Pendahuluan
Tatanan dunia global saat ini secara natural mengikuti prinsip “Teori Evolusi” yaitu
“Survival for The Fittest”. Dalam konteks Biologi teori ini berbicara tentang bagaimana
spesies-spesies dapat punah dan bertahan, sejak mereka tercipta di bumi sejak jutaan
tahun yang lalu. Charles Darwin menyebutkan bahwa spesies-spesies makhluk hidup
yang dapat bertahan (suvive) adalah yang paling “fit” atau paling mampu beradaptasi dan
berevolusi dengan perubahan lingkungannya. Sementara dalam konteks suatu Negara
atau bangsa, teori tersebut dapat menjelaskan bagaimana suatu Negara atau bangsa
dapat terus bertahan, sejak awal didirikan (merdeka) menghadapi dinamika yang terjadi
baik di lingkungan eksternal maupun di lingkungan internalnya.
Republik Indonesia, atau saat ini masyarakat lebih popular dengan istilah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga tidak luput dari proses evolusi ini. Secara
formal, Negara ini diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus
1945, namun embrio lahirnya kesadaran kebangsaan Indonesia sendiri bias ditelusuri
sejak tahun 1908, ketika para pemuda dari berbagai pulau yang tersebar di wilayah
nusantara mendirikan “Budi Utomo”, sebuah organisasi yang mulai memikirkan dasar-
dasar terbentuknya suatu bangsa yang kemudian disebut sebagai Indonesia. Setelah
proklamasi kemerdekaan Negara Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik dari
dalam maupun luar yang menguji soliditas Negara ini, mulai dari manuver Belanda
melalui Sekutu untuk mengambil alih kembali kedaulatan Indonesia, hingga berbagai
pemberontakan yang dilakukan dari dalam negeri. Bentuk-bentuk upaya disintegrasi
bangsa pun mengalami evolusi dari yang bersifat upaya militeristik seperti yang dilakukan
oleh PRRI/Permesta sampai dengan G 30 S/PKI, hingga upaya untuk menggantikan
kedaulatan Negara dengan konsep khilafah Islam seperti yang dilakukan oleh Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI).
Dari keempat jenis konflik tersebut, sebagian besar merupakan konflik yang
bersifat structural. Yang dalam penyelesaiannya harus mengguakan pendekatan yang
formal. Berbeda dengan itu, konflik kultural terjadi karena proses-proses budaya, yang
penyelesaiannya juga relative tidak memerlukan pendekatan formal.
Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan
(dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada
terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas.
Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai
negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan,
pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat
dikatakanproses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif.
Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai
usaha menyelesaikan konflik.
Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi,
arbitrasi, koersi (paksaan), détente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari
penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara
yang formal, jika cara pertama membawa hasil.
Konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-
lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-
persoalan yang mereka pertentangkan.
Mediasi (mediation) Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak
yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang
bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.
Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan
konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah
satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang
lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.
Perwasitan. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat
untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi diantara mereka.
Penutup
Para pengambil kebijakan dalam pemerintahan harus memiliki kompetensi
analisis yang cermat dan kritis terhadap kondisi-kondisi factual, termasuk pimpinan Polri.
Tentu saja problematika yang ada sangat kompleks dan dinamika yang terjadi
berlangsung begitu cepat.
Sementara itu setiap individu atau institusi memeili keterbatasan dalam hal
komptensi yang dimiliki, maka untuk mengatasi masalah ini diperlukan pendekatan yang
bersifat transdisiplin, lintas kelembagaan. Dalam pelaksanaanya diperlukan model
kolaborasi atau koordinasi yang disesuaikan dengan proporsinya. Ada yang bentuknya
memang harus koordinatif da nada yang kolaboratif.
Di setiap kelembagaan memang perlu dibentuk semacam lembaga “think-tang”
yang akan melakukan assessment terhadap dinamika yang berkembang. Tetapi
kordinasi tetap harus dilakukan, artinya di tingkat nasional harus ada institusi yang
mengkoordinir lembaga-lembaga think-tang ini.
Daftar Pustaka
Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse. 2000. Resolusi Damai Konflik
Kontemporer. Rajawali. Jakarta.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 1996. Komunikasi Antar Budaya. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Sosial. Rajawali.
Jakarta.