Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

VERTIGO PERIFER

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan (THT)
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Dony Hartanto, Sp.THT

Disusun Oleh:
Guntur Adi Wibowo, S.Ked J510170006
Citra Puspaningrum, S.Ked J510170016

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Ir. SOEKARNO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
VERTIGO PERIFER

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan (THT)
Fakultas Kedokteran

Disusun Oleh:
Guntur Adi Wibowo, S.Ked J510170006
Citra Puspaningrum, S.Ked J510170016

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mengetahui :

Pembimbing :
dr. Dony Hartanto, Sp. THT (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Dony Hartanto, Sp. THT (........................................)

Disahkan Ka Program Profesi:


dr. Flora Ramona S. P., Sp.KK, M.Kes (........................................)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar,
dan igo yang berarti kondisi. Vertigo yaitu adanya sensasi gerakan atau rasa
gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi perputaran yang
sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar.
Vertigo termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai
pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti
berjungkir balik. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear
ataupun miring, tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini
merupakan gejala kunci yang menandakan adanya gangguan sistem vestibuler
dan kadang merupakan gejala kelainan labirin.
Vertigo yang paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV). Menutur penelitian pasien yang datang dengan
keluhan pusing berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun
penyakit ini sering disertai penyakit lainnya. Namun, tidak jarang vertigo
merupakan gejala dari gangguan sistemik lain (misalnya, obat, hipotensi,
penyakit endokrin, dan sebagainya). Berbeda dengan vertigo, dizziness atau
pusing merupakan suatu keluhan yang umum terjadi akibat perasaan
disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi terhadap lingkungan.
Dizziness sendiri mempunyai empat subtipe, yaitu vertigo, disekuilibrium
tanpa vertigo, presinkop, dan pusing psikofisiologis.

B. Tujuan Penulisan
1. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada tenaga medis
dan dokter mengenai Vertigo Perifer.
2. Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,
dan Tenggorokan (THT) RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo.
C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai Vertigo Perifer.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga
a. Anatomi Telinga Luar
Telinga merupakan salah satu pancaindra yang berfungsi sebagai
alat pendengaran dan keseimbangan yang letaknya berada di lateral kepala.
Masingmasing telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, telinga tengah,
dan telinga dalam (Wibowo dan Paryana, 2007). 2.1.1 Telinga luar Telinga
luar (auris externa) terdiri dari daun telinga (auricula/pinna), liang telinga
(meatus acusticus externus) sampai gendang telinga (membrana
tympanica) bagian luar. Telinga luar terletak pada pars tympanica ossis
temporalis dan pada bagian belakang berbatasan dengan processus
mastoideus (Wibowo dan Paryana, 2007).

Gambar 1. Anatomi Telinga Luar (Netter, 2010)


Telinga luar berfungsi sebagai penyalur suara dan sebagai proteksi
telinga tengah. Fungsi telinga luar sebagai penyalur suara tergantung dari
intensitas, frekuensi, arah, dan ada atau tidaknya hambatan dalam
penyalurannya ke gendang telinga. Sedangkan fungsinya sebagai proteksi
telinga tengah yaitu menahan atau mencegah benda asing yang masuk ke
dalam telinga dengan memproduksi serumen, menstabilkan lingkungan
dari input yang masuk ke telinga tengah, dan menjaga telinga tengah dari
efek angin dan trauma fisik (Emanuel dan Letowski, 2009).
b. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah (auris media) berada di sebelah dalam gendang
telinga sekitar 3-6 mm. Atap rongga telinga tengah adalah tegmen
tympani dari pars petrosa ossis temporalis yang berbatasan dengan cavitas
cranii. Dinding lateral telinga tengah berbatasan dengan gendang telinga
beserta tulang di sebelah atas dan bawahnya. Dinding depannya
berbatasan dengan canalis caroticus yang di dalamnya terdapat arteri
karotis interna. Dinding medial telinga tengah ini berbatasan dengan
tulang pembatas telinga dalam yang terlihat menonjol karena terdapat
prominentia canalis facialis di bagian posterior atas. Telinga tengah ini
juga secara langsung berhubungan dengan nasofaring yaitu melalui tuba
eustachius (Wibowo dan Paryana, 2007).

Gambar 2. Anatomi Telinga Tengah (Gray’s Anoatomy of


student)
Telinga tengah berfungsi untuk menyalurkan suara dari udara dan
memperkuat energi suara yang masuk sebelum menuju ke telinga dalam
yang berisi Universitas Sumatera Utara cairan. Fungsi telinga tengah
dalam memperkuat energi suara dibantu oleh tulangtulang kecil seperti
maleus, incus, dan stapes sehingga energi suara tadi dapat menggetarkan
cairan di koklea untuk proses mendengar (Sherwood, 2011)
c. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam dibatasi oleh tulang temporal (pars petrosa)
(Wibowo dan Paryana, 2007). Telinga dalam terdiri dari koklea dan
aparatus vestibularis yang memiliki dua fungsi sensorik yang berbeda.
Koklea berfungsi sebagai sistem pendengaran karena mengandung
reseptor untuk mengubah suara yang masuk menjadi impuls saraf
sehingga dapat didengar. Aparatus vestibularis berfungsi sebagai sistem
keseimbangan yang terdiri dari tiga buah canalis semisirkularis, dan organ
otolit yaitu sacculus dan utriculus (Sherwood, 2011).

Gambar 3. Anatomi Telinga Dalam (Netter, 2010)


B. Fisiologi Keseimbangan
Fungsi keseimbangan diatur oleh beberapa organ penting di tubuh
yang input sensoriknya akan diolah di susunan saraf pusat (SSP). Fungsi ini
diperantarai beberapa reseptor, yaitu: reseptor vestibular, reseptor visual, dan
reseptor somatik.
a. Reseptor vestibular
Reseptor vestibular sebagai pengatur keseimbangan diatur oleh
organ aparatus vestibularis (labirin) yang berada di telinga dalam. Labirin
ini terlindung oleh tulang yang paling keras. Labirin terbagi menjadi 2
bagian, yaitu labirin tulang dan labirin membran. Di antara labirin tulang
dan labirin membran ini terdapat suatu cairan yang disebut perilimfa
sedangkan di dalam labirin membran terdapat cairan yang disebut
endolimfa (Bashiruddin et al., 2010).
Labirin berfungsi untuk menjaga keseimbangan, mendeteksi
perubahan posisi, dan gerakan kepala. Di dalam aparatus vestibularis
selain mengandung endolimfa dan perilimfa juga mengandung sel rambut
yang dapat mengalami depolarisasi dan hiperpolarisasi tergantung arah
gerakan cairan (Sherwood, 2011).
Labirin terdiri dari :
-Labirin kinetik: Tiga kanalis semisirkularis
-Labirin statis: Organ otolit (sakulus dan utrikulus) yang terdapat sel-sel
reseptor keseimbangan pada tiap pelebarannya.

Gambar 4. Anatomi Labirin tulang dan Labirin membran (Netter, 2010)


Kanalis semisirkularis
Kanalis semisirkularis berorientasi pada tiga bidang dalam ruang.
Pada tiap ujungnya melebar dan berhubungan dengan urtikulus, yang
disebut ampula. Di dalam ampula terdapat reseptor krista ampularis yang
terdiri dari sel-sel rambut sebagai reseptor keseimbangan dan sel
sustentakularis yang dilapisi oleh suatu substansi gelatin yang disebut
kupula sebagai penutup ampula. Sel-sel rambut terbenam dalam kupula
dan dasarnya membentuk sinap dengan ujung terminal saraf afferen yang
aksonnya membentuk nervus vestibularis. Nervus vestibularis bersatu
dengan nervus auditorius membentuk nervus vestibulocochlear (Ganong,
2008).
Kanalis semisirkularis berfungsi untuk mendeteksi akselerasi atau
deselarasi rotasi kepala seperti ketika memulai atau berhenti berputar,
berjungkir, balik atau memutar kepala. Akselerasi dan deselarasi
menyebabkan sel rambut yang terbenam di dalam cairan endolimfa
bergerak. Pada awal pergerakan, endolimfa tertinggal dan kupula miring
ke arah berlawanan dengan gerakan kepala sehingga sel-sel rambut
menekuk. Ketika stereosilia (rambut dari sel-sel rambut) menekuk ke arah
kinosilium (rambut dari sel-sel rambut), maka terjadi depolarisasi yang
memicu pelepasan neurotransmitter dari sel-sel rambut menuju ke saraf
afferent. Dan Universitas Sumatera Utara sebaliknya jika menekuk ke arah
berlawanan akan terjadi hiperpolarisasi. Ketika pergerakan perlahan
berhenti, sel-sel rambut akan kembali lurus dan kanalis semisirkularis
mendeteksi perubahan gerakan kepala (Sherwood, 2011).
Gambar 5. Fungsi Keseimbangan
(Despopoulos dan Silbernagl, 2003)
Organ otolit
Organ otolit (makula atau otokonia) terdapat dalam labirin
membran di lantai utrikulus dan semivertikal di dinding sakulus. Makula
juga mengandung sel sustentakularis dan sel rambut. Bagian atasnya
ditutupi oleh membran otolit dan di dalamnya terbenam kristal-kristal
kalsium karbonat (otolit-batu telinga). Lapisan ini lebih berat dan insersi
lebih besar dari cairan di sekitarnya. Serat-serat saraf dari sel rambut
bergabung dengan serat-serat dari krista di bagian vestibuler dari nervus
vestibulokoklearis (Ganong, 2008). Fungsi organ otolit adalah
memberikan informasi mengenai posisi kepala relatif terhadap gravitasi
dan juga mendeteksi perubahan dalam kecepatan gerakan linier (bergerak
garis lurus tanpa memandang arah) (Sherwood, 2011).
Utrikulus berfungsi pada pergerakan vertikal dan horizontal.
Ketika kepala miring ke arah selain vertikal, rambut akan menekuk sesuai
kemiringan karena gaya gravitasi dan akan mengalami depolarisasi atau
hiperpolarisasi sesuai kemiringannya. Contoh pergerakan horizontal
adalah saat berjalan. Pada posisi ini insersinya menjadi lebih besar dan
menyebabkan membran otolit tertinggal di belakang endolimfa dan sel
rambut, sehingga menyebabkan rambut tertekuk ke belakang. Jika
pergerakan ini dilakukan secara konstan maka lapisan gelatinosa akan
kembali ke posisi semula (Sherwood, 2011).
Sakulus fungsinya hamper sama dengan utrikulus namun berespon
secara selektif terhadap kemiringan kepala menjauhi posisi horizontal,
misalnya: bangun dari tempat tidur, lompat atau naik eskalator (Sherwood,
2011).
Krista dan makula dipersarafi oleh nervus vestibularis yang badan
selnya terletak di ganglion vestibularis. Serat saraf kanalis semisirkularis
berada pada bagian superior dan medial nukleus vestibularis dan sebagian
mengatur pergerakan bola mata. Serat dari utrikulus dan sakulus berakhir
di nukleus descendens menuju ke serebelum dan formasio retikularis.
Nervus vestibularis juga menuju ke talamus dan korteks somatosensorik
(Ganong, 2008).
C. Definisi Vertigo
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar,
dan igo yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari “dizziness”
yang secara definitif merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah
perasaan atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau
sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar (Wahyudi, 2012).
Berbeda dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu
keluhan yang umum terjadi akibat perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi
oleh persepsi posisi terhadap lingkungan. Dizziness sendiri mempunyai
empat subtipe, yaitu vertigo, disekuilibrium tanpa vertigo, presinkop, dan
pusing psikofi siologis (Wahyudi, 2012).
Vertigo merupakan sensasi berputar dan bergeraknya penglihatan baik
secara subjektif maupun objektif. Vertigo dengan perasaan subjektif terjadi
bila seseorang mengalami bahwa dirinya merasa bergerak, sedangkan vertigo
dengan perasaan objektif bila orang tersebut merasabahwa di sekitar orang
tersebut merasa bahwa di sekitar orang tersebut bergerak (Joesof, 2002).
D. Epidemiologi
Dari keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32%
kasus, dan sampai dengan 56,4% pada populasi orang tua. Sementara itu,
angka kejadian vertigo pada anak-anak tidak diketahui, tetapi dari studi yang
lebih baru pada populasi anak sekolah di Skotlandia, dilaporkan sekitar 15%
anak paling tidak pernah merasakan sekali serangan pusing dalam periode
satu tahun. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai “paroxysmal
vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren (pucat, mual, fonofobia,
dan fotofobia) (Chang et al., 2008).
Vertigo paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV). Menutur penelitian pasien yang datang dengan keluhan
pusing berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit
ini sering disertai penyakit lainnya.
Menurut penelitian Mizukoshi et al. (1988) di Jepang, insidensi BPPV
sekitar 10,7 per 100.000 populasi sementara di Toyama diperkirakan sekitar
17,3 per 100.000 populasi. Penelitian lain yang dilakukan di Amerika
menyebutkan bahwa insidensi BPPV sekitar 64 per 100.000 populasi per
tahunnya dengan usia lebih dari 40 tahun. Sekitar 64% dari kasus BPPV ini
diderita oleh wanita dan jarang pada usia di bawah 35 tahun tanpa ada riwayat
trauma kepala (John, 2012). Dalam penelitian lain yang dilakukan di Israel
menyebutkan bahwa sekitar 25,6% pasien didiagnosa BPPV dari keseluruhan
kunjungan ke dokter (Pollak, 2009).
E. Etiologi
Menurut Mohammad Maqbool (2000), ada beberapa hal yang menjadi
penyebab vertigo, yaitu:
a. Vascular
Penyebab vertigo dari gangguan vaskular terdiri atas insufisiensi
vertebrobasiler, stroke, migraine, hypotensi, anemia, hipoglikemia, dan
penyakit meniere.
b. Epilepsy
c. Receiving any treatment
Beberapa obat-obatan seperti antibiotik, obat jantung, antihipertensi, obat
sedatif, dan aspirin, dapat menyebabkan gangguan vertigo.
d. Tumour or Trauma or Tyroid
1. Tumor
Adanya tumor seperti neuroma, glioma, dan tumor intraventrikular.
2. Trauma
Adanya trauma pada daerah tulang temporal, dan trauma servikal.
3. Tyroid
Adanya penurunan fungsi tyroid.
e. Infection
Apabila terjadi infeksi pada daerah keseimbangan seperti labirinitis
maupun vestibular neuritis.
f. Glial disease (multiple sclerosis)
g. Ocular diseases or imbalance
F. Patofisiologi
Etiologi vertigo adalah abnormalitas dari organ organ vestibuler,
visual, ataupun sistem propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri
atas 3 kanalis semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan
akselerasi angular, serta utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan
rangsangan gravitasi dan akselerasi vertikal. Rangsangan berjalan melalui
nervus vestibularis menuju nukleus vestibularis di batang otak, lalu menuju
fasikulus medialis (bagian kranial muskulus okulomotorius), kemudian
meninggalkan traktus vestibulospinalis (rangsangan eksitasi terhadap otot-
otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan punggung untuk mempertahankan
posisi tegak tubuh). Selanjutnya, serebelum menerima impuls aferen dan
berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara respons okulovestibuler dan
postur tubuh.
Fungsi vestibuler dinilai dengan mengevaluasi refleks okulovestibuler
dan intensitas nistagmus akibat rangsangan perputaran tubuh dan rangsangan
kalori pada daerah labirin. Refleks okulovestibuler bertanggung jawab atas fi
ksasi mata terhadap objek diam sewaktu kepala dan badan sedang bergerak.
Nistagmus merupakan gerakan bola mata yang terlihat sebagai respons
terhadap rangsangan labirin, serta jalur vestibuler retrokoklear, ataupun jalur
vestibulokoklear sentral. Vertigo sendiri mungkin merupakan gangguan yang
disebabkan oleh penyakit vestibuler perifer ataupun disfungsi sentral oleh
karenanya secara umum vertigo dibedakan menjadi vertio perifer dan vertigo
sentral. Penggunaan istilah perifer menunjukkan bahwa kelainan atau
gangguan ini dapat terjadi pada end-organ (utrikulus maupun kanalis
semisirkularis) maupun saraf perifer.
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20% - 25% dari seluruh
kasus vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat
terjadi pada 50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup
bervariasi, di antaranya iskemia atau infark batang otak (penyebab
terbanyak), proses demielinisasi (misalnya, pada sklerosis multipel,
demielinisasi pascainfeksi), tumor pada daerah serebelopontin, neuropati
kranial, tumor daerah batang otak, atau sebabsebab lain.
Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga
menimbulkan gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti
antikonvulsan, antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu,
vertigo juga dapat timbul pada gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop
kardiak maupun non-kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM,
hipotiroidisme), vaskulitis, serta penyakit sistemik lainnya, seperti anemia,
polisitemia, dan sarkoidosis. Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam
patofi siologi vertigo, baik perifer maupun sentral, di antaranya adalah
neurotransmiter kolinergik, monoaminergik, glutaminergik, dan histamin.
Beberapa obat antivertigo bekerja dengan memanipulasi neurotransmiter-
neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala vertigo dapat ditekan.
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam serabut
saraf vestibuler. Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler melalui
reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik
banyak ditemukan di daerah pons dan medulla, dan akan menimbulkan
keluhan vertigo dengan memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2,
sedangkan neurotransmiter histamin banyak ditemukan secara merata di
dalam struktur vestibuler bagian sentral, berlokasi di predan postsinaps pada
sel-sel vestibuler (Wahyudi, 2012).
G. Klasifikasi
Vertigo terbagi menjadi 2 yaitu vertigo vestibular dan vertigo
nonvestibular. Vertigo vestibular memiliki kriteria sebagai berikut: vertigo
rotasi, vertigo posisi atau pusing permanen dengan mual dan gangguan
keseimbangan lainnya. Vertigo rotasi diartikan sebagai perasaan dirinya
berputar atau objek yang berputar. Vertigo posisi diartikan sebagai perasaan
pusing karena perubahan posisi kepala seperti berbaring dan bangkit dari
tidur (Neuhauser et al., 2008).
Vertigo vestibular dibagi lagi menjadi vertigo vestibular perifer dan
vertigo vestibular sentral. Vertigo vestibular perifer lebih sering sekitar 65%
dibandingkan vertigo vestibular sentral sekitar 7%. Vertigo vestibular perifer
yang paling sering yaitu benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) 32%,
Meniere's disease 12% dan vertigo vestibular lainnya sekitar 15-20%.
Sedangkan vertigo vestibular sentral yang paling sering yaitu space-
occupying lesions (SOL) pada fossa posterior sekitar 1%, infark serebelum
sekitar 1,9% {abstrak} (Sekine, 2005).
Klasifikasi vertigo berdasarkan letak lesinya:
a. Sentral
1.) Infark batang otak
2.) Tumor otak
3.) Radang otak
4.) Insufisiensi a.v basiler
5.) Epilepsi
b. Perifer
1.) Labirin
a.) Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
b.) Meniere
c.) Ototoksik
d.) Labirinitis
2.) Saraf vestibuler
a.) Neuritis
b.) Neuroma akustikus

Vertigo Perifer
a.) Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi di telinga dalam
dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang
dengan tipikal nistagmus paroksimal. Benign dan paroksimal biasa
digunakan sebagai karakteristik dari vertigo posisional. Benign pada
BPPV secara historikal merupakan bentuk dari vertigo posisional yang
seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat yang serius
dan secara umum memiliki prognosis yang baik. Sedangkan paroksimal
yang dimaksud adalah onset vertigo yang terjadi secara tiba-tiba dan
berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari satu menit. Benign Paroxysmal
Positional Vertigo memiliki beberapa istilah atau sering juga disebut
dengan benign positional vertigo, vertigo paroksimal posisional, vertigo
posisional, benign paroxymal nystagmus, dan dapat disebut juga
paroxymal positional nystagmus.
b.) Meniere
Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten diikuti dengan
keluhan pendengaran.11 Gangguan pendengaran berupa tinnitus (nada
rendah), dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan
sensasi penuh pada telinga. 10 Ménière’s disease terjadi pada sekitar 15%
pada kasus vertigo otologik. Ménière’s disease merupakan akibat dari
hipertensi endolimfatik. Hal ini terjadi karena dilatasi dari membrane
labirin bersamaan dengan kanalis semisirularis telinga dalam dengan
peningkatan volume endolimfe. Hal ini dapat terjadi idiopatik atau
sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga atau gangguan
8
metabolic.

c.)

H. Manifestasi Klinis
Jika fungsi keseimbangan terganggu, gejala yang paling sering
dirasakan pasien yaitu perasaan berputar terhadap sekitar, perasaan seperti
hendak terjatuh, pingsan, pandangan kabur, dan bingung. Gejala lainnya
seperti: penderita datang ke dokter untuk konsultasi medis karena sakitnya,
izin dari pekerjaan, mempengaruhi aktivitas sehari-hari, dan menghindari
untuk meninggalkan rumah karena gejala tersebut (Neuhauser et al., 2008).

Tabel 1. Perbedaan vertigo vestibuler perifer dan vestibuler sentral


Vertigo vestibuler Vertigo vestibuler
perifer sentral
Kejadian Episodik, onset Konstan
mendadak
Arah nistagmus Satu arah Bervariasi
(spinning)
Aksis nistagmus Horizontal atau Horizontal, vertikal,
rotatorik oblik, atau rotatorik,
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler tau
seimbang (equal)
Hilang pendengaran, Bisa terjadi Tidak ada
tinnitus
Kehilangan kesadaran Tidak ada Dapat terjadi
Gejala neurologis Tidak ada Sering disertai defisit
lainnya saraf kranial serta
tanda-tanda serebelar,
dan piramidal

I. Diagnosis

BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Wreksoatmojo BR. Vertigo-Aspek Neurologi. [online] 2009 [cited 2009 May
30th]. Available from : URL:http://www.google.com/vertigo/cermin dunia
kedokteran .html
2. Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59
1. Huang Kuo C., Phang L., Chang R. Vertigo. Part 1-Assesement in General
Practice. Australian Family Physician 2008; 37(5):341-7.
2. MacGregro DL. Vertigo. Pediatric in Review 2002:23(1):9-19.
3. Troost BT. Dizziness and Vertigo in Vertebrobasilar Disease. Part I:
Pheripheral and Systemic Causes Dizziness. Stroke 1980:11:301-03.
1. Gotovac Marta, Snjezana Kastelan. Eye and Pregnancy.Croatia: Dubrava
University Atropol; 2013; 1:189-193.
2. Omoti, Afekhide, Joseph M.Waziri. Article : A Review of the Changes in the
Opthalmic and Visual System in Pregnancy.African journal of Reproductive
Health Vol.12 Dec 2008. Hal. 185-93.
3. Lancu, George dan Valeria Covilti. Particularity of Myopia in Pregnancy.
Romania: 2013; 196-9.
4. Somani S., dkk. Pregnancy Special Consideration,. Ophtalmology
[serial online] 2008 Jan-Mar; 1(1): [24 screens] Avalaible from URL:
http://emedicine.medscape.com/ophthalmology#unclassified, eMedicine,
Nov 4, 2008.
5. Goss A David, Theodore P. Grosvenor. Optometric Clinical Practice
Guideline : Care of the Patient with Myopia. America : American
Optometric Association; 2010; 1: 71.
6. Irwana Olva, Aulia Rahman. Miopia Tinggi. [serial online]2009 Feb-April;
1;1 [24 screens] Avalaible from URL: http://www.Files-of-DrsMed.tk.
Faculty of Medicine Riau University, 2009.
7. Willoughby Colin E, Diego Ponzin dkk. Anatomy and Physiology of the
Human Eye: effects of mucopolysaccharidoses disease on structure and
function-a review.New Zealand : Clinical and Experimental Ophtalmology.
2010; 38: 2-11
8. Mackensen, Friederike dan Wolfgang Paulus. Ocular Changes During
Pregnancy. Netherland : Deutsches Arzteblatt International.2014;111:567-
76
9. Larkin GL. Retinal Detachment. [serial online] 2006 Jan-April; 1;1 [22
screens] Avalaible from URL
:http://www.emedicine.com/emerg/OPHTHALMOLOGY.htm April 11,
2006
10. Shafa, Myopia. [serial online] 2010Feb-Mar; 1;1 [25 screens] Avalaible
from URL: http://drshafa.wordpress.com/2010/03/09/miopiaaMaret 9, 2010
11. Chen Zoe, I Jong Wang. Polymorphisms in steroidogenesis genes, sex
steroid levels, and high myopia in the Taiwanese population. Taiwan :
Molecular Vision 2011; 17:2297-310
12. Ebeigbe JA, ADA Ighoroje. Ocular Changes in Pregnant Nigerian Women.
Nigeria : Nigerian Journal of Clinical Practice. 2012. Vol 15 hal. 298-301
13. Papamichael Esther, George William. Obstetric opinions regarding the
method of delivery have had surgery for retinal detachment.London : UK.
2011. 2;24;1-4
14. Elvioza. Pemeriksaan Mata Dasar. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013
15. Amin, Ramzi. Ablasio Retina Non Rhegmatogen. Palembang : Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Universitas Sriwijaya. 2013

Anda mungkin juga menyukai