Anda di halaman 1dari 4

DASAR TEORI

1. Desain Pushback
Pushback merupakan bentuk-bentuk penambangan yang menunjukkan bagaimana
suatu pit akan ditambang dari titik awal masuk hingga bentuk akhir pit. Pushback
disebut juga phase, slice, dan stage. Tujuan umum dari (pushback) adalah untuk
membagi seluruh volume yang ada dalam pit ke dalam unit-unit perencanaan yang
lebih kecil sehingga mudah ditangani. Adanya pushback akan memudahkan
perancangan tambang yang amat kompleks menjadi lebih sederhana. Dalam
perancangan pushback, parameter waktu dapat mulai diperhitungkan, karena waktu
merupakan parameter yang sangat berpengaruh. Tahapan-tahapan penambangan
yang dirancang secara baik akan memberikan akses ke semua daerah kerja dan
menyediakan ruang kerja yang cukup untuk operasi peralatan kerja tambang.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penentuan Pushback


a. Bentuk dan Kemiringan Perlapisan Batubara
Rencana penambangan batubara yang berbentuk perlapisan (gradded seam) akan
berbeda dengan perencanaan penambangan untuk mineral bijih termasuk dalam
penentuan geometri lerengnya.

b. Jumlah Cadangan dan Overburden yang Harus Dipindahkan


Jumlah cadangan batubara juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam
perencanaan pushback. Jumlah cadangan menentukan umur suatu tambang,
begitupun dengan jumlah material overburden yang harus dipindahkan untuk
mencapai batubara. Pembagian material ini harus direncanakan sebaik mungkin
dengan memperhatikan aspek geologi, teknik serta ekonomi sehingga
penambangan yang akan dilakukan berjalan efektif, aman dan menguntungkan.

c. Striping Ratio (Nisbah Pengupasan)


Nisbah pengupasan merupakan perbandingan antara tonase overburden yang harus
dipindahkan terhadap satu ton batubara yang ditambang. Hasil suatu perancangan
pit akan menentukan jumlah tonase overburden dan batubara yang mengisi pit.
Perbandungan antara overburden dan batubara tersebut akan memberikan nisbah
pengupasan rata-rata suatu pit. Ada dua nisbah pengupasan yang harus dibedakan:
1. Overall Stripping Ratio (R)
R menyatakan volume overburden yang harus dipindahkan untuk menyingkap satu
volume unit batubara.

2. Break Even Striping Ratio (BESR)


Untuk menganalisa kemungkinan sistem penambangan yang akan digunakan,
apakah tambang terbuka atau tambang dalam, maka digunakan konsep Break Even
Stripping Ratio (BESR). Tinggi rendahnya nilai BESR dipengaruhi oleh:
- Nilai kalori batubara yang akan ditambang
- Harga batubara

a. BESR(1) (Overall Striping Ratio)


Merupakan perbandingan antara biaya penambangan secara terbuka dengan biaya
penambangan secara bawah tanah.

Dimana:
A = Biaya penambangan secara bawah tanah /ton batubara.
B = Biaya penambangan secara terbuka /ton batubara.
C = Biaya pengupasan tanah penutup /ton overburden.

Hal ini berarti hanya bagian endapan yang mempunyai BESR lebih kecil dari D
yang dapat ditambang secra menguntungkan. Jadi D adalah BESR(1) tertinggi yang
masih diperbolehkan untuk ditambang secara terbuka.

b. BESR(2) (Economic Stripping Ratio)


Merupakan besarnya keuntungan yang diperoleh bila endapan batubara ditambang
secara terbuka.

Dimana:
E = Pendapatan /ton batubara
F = Biaya produksi /ton batubara
G = Biaya pengupasan tanah /ton overburden

c. BESR(3)
Keuntungan maksimum dimasukan dalam pertimbangan BESR sebagai berikut:

Dimana:
H = Keuntungan minimum /ton batubara yang diharapkan

d. Ultimate Pit Slope


Merupakan salah satu faktor teknis yang berarti kemiringan atau batas luar tambang
yang masih tetap stabil dan menguntungkan. Ultimate Pit Slope akan berhubungan
dengan geometri lereng yang direncanakan. Hal ini berarti menentukan besarnya
cadangan batubara yang akan ditambang (tonase dan nilai kalorinya) yang akan
memaksimalkan nilai bersih total dari cebakan batubara tersebut.
Ultimate Pit slope juga akan berpengaruh terhadap eksplorasi lanjut, tahap evaluasi
dan tahap persiapan yang didasarkan pada:
a. BESR (Break Even Striping Ratio) yang diperkenankan
b. Sifat fisik dan mekanik batuan
c. Struktur geologi (sesar, kekar, bidang perlapisan, dan bidang geser)
d. Air tanah, unsur kimia batuan dan waktu yang dibutuhkan.

e. Rancangan Lereng
Jenjang digambarkan dengan kaki lereng (toe), puncak (crest), sudut muka jenjang
(face angle), dan lebar jenjang (bench width). Permukaan bagian atas dari jenjang
satu dengan yang berikutnya dipisahkan oleh jarak (H) yang disebut dengan tinggi
jenjang. Pembentukan dimensi dan bentuk lereng dipengaruhi oleh karakteristik
batuan, bentuk cadangan, stripping ratio maksimum dan ukuran areal tambang.
Sudut muka jenjang dapat bervariasi tergantung jenis batuannya. Pada umumnya
untuk batuan masif sudut lereng antara 55o-80o sedangkan untuk batuan sedimen
bervariasi antara 50o-60o dengan tinggi jenjang antara 12 -15 meter. Rancangan
lereng yang baik akan memberikan kondisi kerja yang aman dan efisien.

Gambar 1 Bagian-bagian jenjang


f. Ukuran dan jenis alat yang digunakan sehingga lebar minimum jenjang
operasi dapat ditentukan. Perlu untuk menentukan jenis alat yang digunakan untuk
penggalian, pemuatan serta pengangkutan sehingga lebar jalan dan jenjang dapat
ditentukan untuk lebih memaksimalkan proses penambangan.

Gambar 2 Kondisi Penambangan Batubara

Perhitungan lebar jalan angkut harus mempertimbangkan jumlah lajur, yaitu lajur
tunggal untuk jalan satu arah atau lajur ganda untuk jalan dua arah. Dalam
kenyataannya, semakin lebar jalan angkut maka akan semakin baik dimana lalu
lintas pengangkutan semakin baik dan lancar. Sebaliknya, semakin lebar jalan
angkut, biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan dan perawatan juga semakin
besar. Misalnya saja untuk lajur ganda, ukuran yang dianjurkan adalah tiga setengah
kali dari lebar alat angkut.

Gambar 3 Lebar Jalan Angkut

Anda mungkin juga menyukai