Anda di halaman 1dari 33

Abu Bakar tumbuh di antara masyarakat yang menyembah berhala.

Ayah Abu Bakar bernama Abu


Quhafah, sedangkan ibunya bernama Salma. Seperti halnya masyarakat saat itu, Abu Quhafah dan salma
juga menyembah berhala. Sejak kecil, orang tuanya telah mengenalkan tuhan berhala kepada Abu Bakar.
Oleh karena itu, Abu Bakar telah mengetahui bahwa kedua orang tuanya meminta segala sesuatu kepada
tuhan berhala. Pada suatu ketika, Abu Bakar muda pergi ke tempat penyembahan berhala di kota
Mekkah. Abu Bakar mendekati berhala. Abu Bakar berkata, “Wahai berhala, aku lapar, berilah aku
makanan”.

Abu Bakar berharap berhala dapat memberikan makanan atau setidaknya jawaban. Namun, berhala itu
diam saja. Setelah itu, Abu Bakar berkata, “Wahai berhala, aku haus, berilah aku minuman”. Berhala
tetap saja diam. Abu bakar berkata, “Aku tidak memiliki pakaian, berilah pakaian untukku”. Berhala itu
tidak menjawab. Abu Bakar pun merasa jengkel. Kemudian, Abu Bakar mengambil batu besar dan
berkata, “Aku akan melemparmu dengan batu ini. Jika engkau benar tuhan, tangkislah batu ini”. Batu itu
pun dilemparkan hingga mengenai wajah berhala.

Pada suatu hari, Abu Bakar diajak ke tempat penyembahan berhala oleh ayahnya. Di sana, ayahnya
meminta Abu Bakar untuk menyembah patung. Abu Bakar menanggapi permintaan ayahnya dengan
tertawa, “Itu hanyalah batu, bukan tuhan. Mengapa ayah menyembahnya ? Jelas-jelas, ia tidak akan
dapat memberikan apa yang kita minta”. Mendengar perkataan Abu Bakar, ayahnya marah. Ayahnya,
Abu Quhafah segera menyeret Abu Bakar untuk pulang. Di tengah perjalanan pulang, Abu Quhafah dan
Abu Bakar bertemu dengan saudara Abu Quhafah, Jud’an. Jud’an mengajak keduanya mampir ke
rumahnya. Mereka pun memenuhi permintaan Jud’an. Saat sampai di rumah Jud’an, Abu Quhafah
meminta segelas air. Namun, Jud’an memberikan segelas arak. Belum sampai diminum, gelas di tangan
Abu Quhafah di pukul oleh Abu Bakar. Hal itu membuat Abu Quhafah semakin marah dan bermaksud
memukul Abu Bakar. Jud’an segera mencegah tindakan Abu Quhafah.

Setelah Abu Quhafah bercerita, Jud’an mengetahui penyebab kemarahan Abu Quhafah. Setelah itu,
Jud’an bertanya kepada Abu Bakar, “Wahai anakku, mengapa engkau tidak mau menyembah tuhan
berhala kita ?” Abu Bakar menjawab bahwa dirinya tidak mau menyembah batu yang tidak dapat
memberikan sesuatu kepadanya. Setelah itu, Jud’an bertanya tentang alasan Abu Bakar memukul gelas
tersebut. Abu Bakar menjawab, “Aku tidak ingin ayahku mabuk. Aku malu jika ayahku berteriak dan
menari di jalanan seperti halnya orang gila”. Jud’an sungguh kagum dengan jawaban Abu Bakar. Ia
berkata, “Wahai Abu Quhafah saudaraku. Malahan aku mengharapkan anakku secerdas anakmu. Kelak,
ia akan menjadi orang yang dihormati oleh masyarakat.

Abu Bakar Menjadi Saudagar


Abu Quhafah adalah seorang saudagar yang sukses. Karena kepandaiannya dalam berdagang, ia dikenal
sebagai saudagar yang kaya raya di kota Mekkah. Ia tidak hanya berdagang di kota Mekkah, tetapi juga
sampai ke Syam dan Syria. Abu Quhafah tetap menyayangi Abu Bakar, meskipun Abu Bakar tidak mau
menyembah berhala. Ia mengajak Abu Bakar berdagang dari satu tempat ke tempat lain. Kepada Abu
Bakar, Abu Quhafah mengajari cara memilih barang dagangan dan cara memasarkannya. Setelah
menginjak dewasa, Abu Bakar mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang sudagar. Akhirnya ia juga berhasi
menjadi seorang saudagar yang sukses.

Abu Bakar Bersahabat Dengan Rasulullah SAW

Sebelum memeluk agama Islam, Abu Bakar telah mengenal Nabi Muhammad. Bahkan, mereka
bersahabat. Di mata masyarakat, mereka berdua dikenal sebagai pemuda yang berakhlak baik.
Persahabatan mereka didukung oleh kebiasaan mereka yang sama, yaitu merenung tentang pencipta
kehidupan dunia dan alamnya. Namun, keduanya melakukannya dengan cara berbeda. Abu Bakar
mendatangi para penyembah berhala dan member tahu tentang berhala yang tidak memberikan
manfaat apapun. Berbeda dengan Abu Bakar, Nabi Muhammad lebih sering menyendiri. Ia pergi ke gua
hira untuk merenungkan keesaan Allah SWT. Pada suatu ketika, Nabi Muhammad yang sedang berada di
gua hira menerima wahyu pertama dari Allah. Sejak itu, Nabi Muhammad telah diangkat menjadi Rasul
Allah. Ketika itu, Nabi Muhammad menerima wahyu berupa surat Al-Alaq ayat 1-5.

Suatu waktu, Nabi Muhammad bertemu dengan Abu Bakar di dekat Ka’bah. Nabi Muhammad
mengatakan bahwa dirinya telah diangkat menjadi Rasul dan menerima wahyu dari Allah. Setelah itu,
Nabi Muhammad membacakan wahyu tersebut. Mendengar ayat-ayat itu, Abu Bakar mengatakan bahwa
ayat-ayat tersebut sungguh indah. Ia pun meminta Nabi Muhammad membacakan lagi. Kemudian, Abu
Bakar bertanya, “Apa yang harus aku lakukan jika aku ingin memeluk agamamu ?” Nabi Muhammad
menjawab, “Ucapkanlah, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah)”. Saat itulah, Abu Bakar menyatakan keislamannya. Abu Bakar merupakan orang
keempat yang memeluk agama Islam setelah Khadijah, Ali bin Abu Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Sejak
memeluk agama Islam, Abu Bakar selalu membantu Rasulullah dalam berdakwah.

Abu Bakar Dan Penganiayaan Kaum Quraisy

Semakin lama, kaum Quraisy semakin sering memerangi pengikut Nabi Muhammad. Kaum Quraisy
banyak melakukan penganiayaan terhadap kaum muslim. Hal itu mereka lakukan karena kekhawatiran
mereka terhadap pengikut Nabi Muhammad yang terus bertambah. Karena khawatir denga
penganiayaan yang terus meningkat, Rasulullah meminta kaum muslim untuk hijrah ke Habsyah. Salah
satu kaum muslim yang hendak berhijrah ke Habsyah adalah Abu Bakar. Dalam perjalanan ke Habsyah,
Abu Bakar bertemu dengan Ibnu Addagah. Ibnu Addagah adalaj seorang tokoh kaum Quraisy yang
disegani. “Wahai Abu Bakar, kamu hendak pergi ke mana ?” Tanya Ibnu Addagah kepada Abu Bakar. Abu
Bakar menjawab, “Aku hendak pergi ke tempat lain sehingga aku bebas melaksanakan ibadah kepada
Allah SWT”. Wahai Abu Bakar, engkau adalah seorang yang selalu member pertolongan dan suka
bersilaturahmi. Engkau adalah orang yang tidak layak diusir. Oleh karena itu, aku akan menjadi
pelindungmu. Kembalilah ke rumahmu. Abu Bakar pun memutuskan kembali ke Mekkah.

Di kota Mekkah, Ibnu Addagah mengumumkan kepada kaum Quraisy bahwa dirinya melindungi Abu
Bakar. “Barangsiapa mengganggu Abu Bakar, ia akan berhadapan denganku”. Kaum Quraisy pun berjanji
tidak akan mengganggu Abu Bakar, tetapi dengan suatu syarat. Syarat itu adalah Abu Bakar tidak boleh
memperlihatkan dirinya saat melaksanakan ibadah. Namun syarat itu dilanggar oleh Abu Bakar. Abu
Bakar mendirikan sebuah tempat shalat (mushala) di depan rumahnya. Jika Abu Bakar membaca Al-
Quran di tempat itu, anak-anak dan ibu-ibu berkumpul untuk mendengarkannya. Hal itu sangat
mengganggu kaum Quraisy. Oleh karena itu, mereka menemui Ibnu Addagah. Mereka melaporkan Abu
Bakar yang telah melanggar persyaratan itu. Ibnu Addagah segera menemui Abu Bakar. Ibnu Addagah
mengatakan bahwa dirinya tidak dapat melindungi Abu Bakar jika Abu Bakar melanggar persyaratan
tersebut. Abu Bakar berkata, “Wahai Ibnu Addagah, aku mengembalikan jaminan perlindunganmu
terhadap diriku. Aku akan mencari perlindungan kepada Allah”.

Kaum Quraisy menjadi marah kepada Abu Bakar. Mereka menganiaya Abu Bakar yang saat itu sedang
membaca Al-Quran di dekat Ka’bah. Salah seorang diantara mereka mencekik Abu Bakar. Kemudian
mereka juga memukuli Abu Bakar hingga Abu Bakar terluka parah. Setelah puas memukuli Abu Bakar,
mereka pergi begitu saja. Kemudian, saudara Abu Bakar menolong Abu Bakar dan membawanya ke
rumahnya. Ibu Abu Bakar terkejut ketika melihat Abu Bakar pulang dalam keadaan terluka parah. Setelah
diobati, Abu Bakar meminta diantar ke tempat Rasulullah. Saat melihat Abu Bakar terluka parah,
Rasulullah terharu dengan pengorbanan dan ketabahan Abu Bakar. Rasulullah mengusap luka-luka di
tubuh Abu Bakar. Anehnya, luka-luka di tubuh Abu Bakar menjadi sembuh seketika setelah diusap oleh
Rasulullah.

Gelar Ash-Shiddiq Untuk Abu Bakar

Rasulullah member gelar Ash-Shiddiq kepada Abu Bakar. Gelar ini berkaitan dengan tanggapan kaum
musyrik Quraisy terhadap peristiwa Isra Miraj. Setelah mengalami peristiwa Isra Miraj, Rasulullah
mengabarkan kejadian itu kepada kaum kafir Quraisy. Mendengar cerita Rasulullah, kaum Quraisy
menertawakan Rasulullah.
Mereka menganggap Rasulullah sebagai orang gila. Sebagian kaum Quraisy pun segera mendatangi Abu
Bakar. Mereka berkata, “Wahai Atiq (panggilan Abu Bakar), temuilah temanmu yang berada di samping
Ka’bah. Ia mengatakan kepada kami bahwa Tuhannya telah memperjalankan dirinya ke Masjidil Aqsa
dalam waktu semalam. Bukankah engkau mengetahui dibutuhkan waktu sebulan untuk sampai di
Masjidil Aqsa ?” Dengan tegas dan wajah berseri-seri, Abu Bakar menjawab, “Apa yang aneh dari berita
itu ? Bahkan aku akan mempercayainya berita yang lebih aneh dari itu”. Setelah itu, Abu Bakar segera
mendatangi Rasulullah. Sambil memeluk Rasulullah, Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, engkau benar…
engkau benar. Demi Allah, apa yang engkau katakana adalah benar. Sejak itu, Abu Bakar mendapat gelar
Ash-Shiddiq dari Rasulullah. Ash-Shiddiq artinya orang yang senantiasa membenarkan.
Kisah Lengkap Abu Hurairah Sang Periwayat Hadits ~ Memang benar, bahwa kepintaran manusia itu
mempunyai akibat yang merugikan dirinya sendiri. Dan orang-orang yang mempunyai bakat-bakat
istimewa, banyak yang harus mambayar mahal, justru pada waktu ia patut menerima ganjaran dan
penghargaan. Sahabat mulia Abu Hurairah termasuk salah seorang dari mereka.

Sungguh dia mempunyai bakat luar biasa dalam kemampuan dan kekuatan ingatan. Abu Hurairah
radhiayallahu 'anhu mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa saja yang didengarnya, sedang
ingatannya mempunyai keistimewaan dalam segi menghafal dan menyimpannya, didengarnya,
ditampungnya lalu tertanam dalam ingatannya hingga dihafalkannya, hampir tak pernah ia melupakan
satu kata atau satu huruf pun dari apa yang telah didengarnya, sekalipun usia bertambah dan masa pun
telah berganti-ganti. Oleh karena itulah, ia mewakafkan hidupnya untuk lebih banyak mendampingi
Rasulullah Saw, sehingga termasuk yang terbanyak menerima dan menghafal Hadits, serta
meriwayatkannya.

Sewaktu datang masa pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membikin hadits-hadits bohong dan
palsu, seolah-olah berasal dari Rasulullah Saw, mereka memperalat nama Abu Hurairah dan
menyalahgunakan ketenarannya dalam meriwayatkan Hadits dari Nabi Saw, hingga sering mereka
mengeluarkan sebuah "hadits" dengan menggunakan kata-kata: "Berkata Abu Hurairah."

Dengan perbuatan ini hampir-hampir mereka menyebabkan ketenaran Abu Hurairah dan kedudukannya
selaku penyampai Hadits dari Nabi Saw, menjadi lamunan keragu-raguan dan tanda tanya, kalaulah tidak
ada usaha dengan susah payah dan ketekunan yang luar biasa, serta banyak waktu yang telah di
habiskan oleh tokoh-tokoh utama para ulama Hadits yang telah membaktikan hidup mereka untuk
berhikmat kepada Hadits Nabi dan menyingkirkan setiap tambahan yang dimasukkan ke dalamnya.
Disana Abu Hurairah berhasil lolos dari jaringan kepalsuan dan penambahan-penambahan yang sengaja
hendak diselundupkan oleh kaum perusak ke dalam Islam, dengan mengkambing hitamkan Abu Hurairah
dan membebankan dosa dan kejahatan mereka kepadanya.

Ia adalah salah seorang yang menerima pantulan revolusi Islam, dengan segala perubahan
mengagumkan yang diciptakannya. Dari orang upahan menjadi majikan. Dari seorang yang terlunta-lunta
ditengah-tengah lautan manusia, menjadi imam dan pantuan! Dan dari seorang yang sujud di hadapan
batu-batu yang disusun, menjadi orang yang beriman kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Inilah dia sekarang dan berkata: "Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi berhijrah dalam
keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada Busrah binti Ghazwan demi untuk mengisi
perutku! Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka sedang menetap dan menuntun binatang
tunggangannya bila sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri
Busrah, maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu
Hurairah panutan ummat!"

Ia datang kepada Nabi Saw, di tahun yang ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar, ia memeluk
Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan. Dan semenjak ia bertemu dengan Nabi Saw, dan
berbai'at kepadanya, hampir-hampir ia tidak berpisah lagi dari padanya kecuali pada saat-saat waktu
tidur. Begitulah berjalan selama masa empat tahun yang dilaluinya bersama Rasulullah Saw, yakni sejak
ia masuk Islam sampai wafatnya Nabi, pergi ke sisi Yang Maha Tinggi. Kita katakan: "Wahai yang empat
tahun itu tak ubahnya bagai suatu usia manusia yang panjang lebar, penuh dengan segala yang baik, dari
perkataan, sampai kepada perbuatan dan pendengaran !

Dengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapat kesempatan yang besar yang memungkinkannya
untuk memainkan peranan penting dalam berbakti kepada Agama Allah. Pahlawan perang dikalangan
sahabat, banyak Ahli fiqih, juru da'wah dan para guru juga tidak sedikit. Tetapi lingkungan dan
masyarakat memerlukan tulisan dan penulis. Di masa itu golongan manusia pada umumnya, jadi bukan
hanya terbatas pada bangsa Arab saja, tidak mementingkan tulis menulis. Dan tulis menulis itu belum
lagi merupakan bukti kemajuan di masyarakat manapun. Bahkan Eropa sendiri juga demikian
keadaannya sejak kurun waktu yang belum lama ini. Kebanyakan dari raja-rajanya, tidak terkecuali
Charlemagne sebagai raja, adalah orang-orang yang buta huruf, tak tahu tulis baca, padahal menurut
ukuran masa itu, mereka memiliki kecerdasan dan kemampuan besar.

Bagaimana Abu Hurairah dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun
oleh Islam, yaitu kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan
ajaran-ajaran-Nya. Pada waktu itu memang ada para sahabat yang mampu menulis, tetapi jumlah sedikit
sekali, apalagi sebagainya tak mempunyai kesempatan untuk mencatat Hadits-hadits yang diucapkan
oleh Rasul. Sebenarnya Abu Harairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir,
di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu, karena ia
tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan diurus. Ia pun menyadari
bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar
ketinggalannya, dengan cara mengikuti Rasul terus-menerus dan secara tetap menyertai majelisnya.
Kemudian disadarinya pula adanya bakat pemberian Allah ini pada dirinya, berupa daya ingatnya yang
luas dan kuat, serta semakin bertambah kuat, tajam dan luas dengan do'a Rasulullah.

Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Illahi untuk memikul tanggung
jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting ini dan mewariskannya kepada generasi
kemudian. Abu Hurairah bukan tergolong dalam barisan penulis, tetapi sebagaimana telah kita utarakan,
ia adalah seorang yang terampil menghafal lagi kuat ingatannya. Karena ia tak punya tanah yang akan
ditanami atau perniagaan yang akan menyibukkannya, ia tidak berpisah dengan Rasul, baik dalam
perjalanan maupun di kala menetap. Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya
untuk menghafal Hadits-hadits Rasulullah Saw dan pengarahannya. Sewaktu Rasul telah pulang ke
Rafikul'Ala (wafat). Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan Hadits-hadits, yang menyebabkan
sebagian sahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya didalam hati, dari mana datangnya hadits-
hadits ini, kapan didengarnya dan mengendapkannya dalam ingatannya.

Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus
keragu-raguan yang menulari putra sahabatnya, maka berkata: "Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu
Hurairah banyak sekali mengeluarkan Hadits dari Nabi Saw. Dan tuan-tuan katakan pula orang-orang
Muhajirin yang lebih dahulu dari padanya masuk Islam, tak ada menceritakan hadits-hadits itu?
Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di
pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka.
Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah, maka aku hadir
sewaktu yang lain absen, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan. Dan Nabi Saw,
pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata beliau, "Siapa yang membentangkan sorbannya hingga
selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari
apa yang telah di dengarnya dari padaku!"

Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian bagiku dari apa yang telah
kudengar dari padanya ! Demi Allah kalau tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak
akan kukabarkan kepada kalian sedikit juga pun! Ayat itu adalah : "Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa-apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk,
sesudah Kami nyatakan kepada manusia di dalam Al Kitab, mereka itulah yang dilaknat oleh Allah dan
dikutuk oleh semua makhluk yang dapat melaknat". (QS Al-Baqarah ayat 159).

Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan rahasia kenapa hanya ia seorang diri yang banyak mengeluarkan
riwayat dari Rasulullah Saw. Yang perama: karena ia melowongkan waktu untuk menyertai Nabi lebih
banyak dari para sahabat lainnya. Kedua: karena ia memiliki daya ingatan yang kuat, yang telah diberi
berkat oleh Rasul hingga ia jadi semakin kuat. Ketiga: ia menceritakannya bukan karena ia gemar
bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadits ini, merupakan tanggung
jawabnya terhadap Agama dan hidupnya. Kalau tidak dilakukannya berarti ia menyembunyikan kebaikan
dan hak, dan termasuk orang yang lalai sudah tentu akan menerima hukuman atas kelalaiannya. Oleh
sebab itulah ia harus memberitakannya, tak suatu pun yang menghalanginya dan tak seorang pun boleh
melarangnya, hingga pada suatu hari Amirul Mukminin Umar berkata kepadanya: "Hendaklah kamu
hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, maka akan kukembalikan kau ke tanah
Daus...!" (yaitu tanah kaum dan keluarganya)

Tetapi larangan ini tidaklah mengandung suatu tuduhan bagi Abu Hurairah, hanyalah sebagai
kengukuhan dari suatu pandangan yang dianut oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka
waktu tersebut, tidak membaca dan menghafalkan yang lain, kecuali Al-Quran sampai ia melekat dan
mantap dalam hati sanubari dan pikiran. Al-Quran adalah kitab suci Islam, Undang-undang Dasar dan
kamus lengkapnya dan terlalu banyaknya kisah-kisah tentang Rasulullah Saw yang teristimewa lagi pada
tahun-tahun menyusul wafatnya Nabi Saw, saat sedang dihimpunnya Al-Quran, dapat menyebabkan
kesimpangsiuran dan campur baur yang tidak berguna dan tak perlu terjadi ! Oleh karena ini, Umar
berpesan: "Sibukkanlah dirimu dengan Al-Quran karena dia adalah kalam Allah". Dan katanya lagi:
"Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah, kecuali yang mengenai amal perbuatannya"!

Dan sewaktu beliau mengutus Abu Musa Al-Asy'ari ke Irak ia berpesan, kepadanya "Sesungguhnya anda
akan mendatangi suatu kaum yang dalam mesjid mereka terdengar bacaan Al-Quran seperti suara lebah,
maka biarkanlah seperti itu dan jangan anda bimbangkan mereka dengan hadits-hadits, dan aku menjadi
pendukung anda dalam hal ini!" Al-Quran sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga
terjamin keasliannya tanpa dirembesi oleh hal-hal lainnya. Adapun hadits, maka Umar tidak dapat
menjamin bebasnya dari pemalsuan atau perubahan atau diambilnya sebagai alat untuk mengada-ada
terhadap Rasulullah Saw dan merugikan Agama Islam. Abu Harairah menghargai pandangan Umar, tetapi
ia juga percaya terhadap dirinya dan teguh memenuhi amanat, hingga ia tak hendak menyembunyikan
suatu pun dari Hadits dan ilmu selama diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan
kejahatan. Demikianlah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan isi dadanya berupa Hadits yang
pernah didengar dan ditangkapnya tetap saja disampaikan dan dikatakannya.

Pada suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal dari Abu Hurairah.
Maka dipanggilnya ia dan dibawanya duduk bersamanya, lalu dimintanya untuk mengabarkan hadits-
hadits dari Rasulullah Saw. Sementara itu disuruhnya penulisnya menuliskan apa yang diceritakan Abu
Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu tahun, dipanggilnya Abu Hurairah kembali dan
dimintanya membacakan lagi Hadits-hadits yang dulu itu yang telah ditulis sekretarisnya. Ternyata tak
ada terlupa oleh Abu Hurairah walau agak sepatah kata pun...! Ia berkata tentang dirinya, "Tak ada
seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadits dari padaku, kecuali
Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak.' Dan Imam Syafi'i
mengemukan pula pendapatnya tentang Abu Hurairah; "Ia seorang yang paling banyak hafal diantara
seluruh perawis Hadits sesamanya" Sementara Imam Bukhari menyatakan pula: "Ada delapan ratus
orang atau lebih dari sahabat tabi'in dan ahli ilmu yang meriwayatkan Hadits dari Abu Hurairah."
Demikianlah Abu Hurairah tak ubah bagai suatu perpustakaan besar yang telah ditaqdirkan kelestarian
dan keabadiannya.

Abu Hurairah termasuk orang ahli ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, selalu melakukan ibadah
bersama isterinya dan anak-anaknya semalam-malam secara bergiliran, mula-mula ia berjaga sambil
shalat sepertiga malam kemudian dilanjutkan oleh isterinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi
dimanfaatkan oleh puterinya." Dengan demikian, tak ada satu saatpun yang berlalu setiap malam di
rumah Abu Hurairah, melainkan berlangsung di sana ibadah, dzikir dan shalat! Karena keinginanya
memusatkan perhatian untuk menyertai Rasul Saw, ia pernah menderita kepedihan lapar yang jarang
diderita orang lain. Dan pernah ia menceritakan kepada kita bagaimana rasa lapar telah menggigit-gigit
perutnya, maka diikatkannya batu dengan surbannya keperutnya dan ditekannya ulu hatinya dengan
kedua tangannya, lalu terjatuhlah ia di mesjid sambil menggeliat-geliat kesakitan hingga sebagian
sahabat menyangkanya ayan, padahal sama sekali bukan!

Semenjak ia menganut Islam tak ada yang memberatkan dan menekan perasaan Abu Hurairah dari
berbagai persoalan hidupnya ini, kecuali suatu masalah yang hampir menyebabkannya tak dapat
memejamkan mata. Masalah itu ialah mengenai ibunya, karena waktu itu ia menolak untuk masuk
Islam. Bukan hanya sampai di sana saja, bahkan ia menyakitkan perasaannya dengan menjelek-jelekkan
Rasulullah di depannya. Pada sustu hari ibunya itu kembali mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan
bagi Abu Hurairah tentang Rasulullah Saw, hingga ia tak dapat menahan tangisnya dikarenakan sedihnya,
lalu ia pergi ke mesjid Rasul. Sambil menangis aku datang kepada Rasulullah, lalu kataku; "Ya Rasulullah,
aku telah meminta ibuku masuk Islam, ajakanku itu ditolaknya, dan hari ini aku pun baru saja
memintanya masuk Islam. Sebagai jawaban ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap
diri Anda. Karenanya mohon do'akan kepada Allah kiranya ibuku itu ditunjuki-Nya kepada Islam." Maka
Rasulullah Saw. "Ya Allah tunjukkilah Abu Hurairah!"

Aku pun berlari mendapatkan ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang do'a Rasulullah itu.
Sewaktu sampai di muka pintu, kudapati pintu itu terkunci. Dari luar kedengaran bunyi gemercik air, dan
suara ibu memanggilku; "Hai Abu Hurairah, tunggulah ditempatmu itu.....!" Diwaktu ibu keluar ia
memakai baju kerudungnya, dan membalutkan selendangnya sambil mengucapkan; "Asyhadu alla ilaha
ilallah, wa asyhadu anna Muhamadan 'abduhu wa Rasuluh. Aku pun segera berlari menemui Rasulullah
Saw, sambil menangis karena gembira, sebagaimana dahulu aku menangis karena berduka, dan kataku
padanya; "Kusampaikan kabar gembira ya Rasulullah, bahwa Allah telah mengabulkan do'a Anda, Allah
telah menunjuki ibuku ke dalam Islam." Kemudian kataku pula; "Ya Rasulullah, mohon anda do'akan
kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi oleh orang-orang Mu'min, baik laki-laki mauoun perempuan!"
Maka Rasul berdo'a; "Ya Allah, mohon engkau jadikan hamba-Mu ini beserta ibunya dikasihi oleh
sekalian orang-orang Mu'min, laki-laki dan perempuan!"

Abu Hurairah hidup sebagai sorang ahli ibadah dan seorang mujahid, tak pernah ia ketinggalan dalam
perang, dan tidak pula dari ibadah. Di zaman Umar bin Khattab ia diangkat sebagai amir untuk daerah
Bahrain, sedang Umar sebagaimana kita ketahui adalah seorang yang sangat keras dan teliti terhadap
pejabat-pejabat yang diangkatnya. Apabila ia mengangkat seseorang sedang ia mempunyai dua pasang
pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti haruslah orang itu hanya mempunyai dua pasang
pakaian juga, malah lebih utama kalau ia hanya memiliki satu pasang saja!

Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia takkan luput dari
interogasi Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan halal yang dibolehkan syara! Suatu dunia lain.
Yang diisi oleh Umar dengan hal-hal luar biasa dan mengagumkan. Rupanya sewaktu Abu Hurairah
memangku jabatan sebagai kepala daerah Bahrain ia telah menyimpan harta yang berasal dari sumber
yang halal. Hal ini diketahui oleh Umar, maka iapun dipanggilnya datang ke Madinah. Umar berkata; "Hai
musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?. Jawabku; "Aku bukan musuh
Allah dan tidak pula musuh kitab-Nya hanya aku menjadi musuh orang yang memusuhi keduanya dan
aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah! Dari mana aku peroleh sepuluh ribu itu? Kuda itu
kepunyaanku beranak-pinak dan pemberian orang berdatangan. Kembalikan harta itu ke
perbendaharaan Negara (baitul maal) !

Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya ke arah langit
sambil berdo'a; "Ya Allah, ampunilah Amirul Mu'minin. Tak selang beberapa lamanya, Umar memanggil
Abu Hurairah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru. Tapi ditolaknya dan
dimintanya maaf karena tak dapat menerimanya. Kata Umar kepadanya; "Kenapa, apa sebabnya?" Jawab
Abu Hurairah; "Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas punggungku tidak
dipukul!" Kemudian katanya lagi; "Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih!"

Pada suatu hari sangatlah rindu Abu Hurairah hendak bertemu dengan Allah.....Selagi orang-orang yang
mengunjunginya mendo'akannya cepat sembuh dari sakitnya, ia sendiri berulang-ulang memohon
kepada Allah dengan berkata; "Ya Allah, sesungguhnya aku telah sangat rindu hendak bertemu dengan-
Mu. Semoga Engkau pun demikian! "Dalam usia 78 tahun, tahun yang ke-59 Hijriyah ia pun berpulang ke
rahmatullah !!!

Zaid bin Tsabit RA

Zaid bin Tsabit RA adalah seorang sahabat Anshar, ia memeluk Islam bersama keluarganya pada masa
awal Nabi SAW hijrah ke Madinah, saat itu ia berusia 11 tahun. Ia beruntung karena sebagai anak-anak,
ia secara khusus didoakan oleh Nabi SAW.

Pada waktu terjadinya perang Badar tahun 2 hijriah, saat itu ia berusia 13 tahun, ia dibawa serta oleh
ayahnya, tetapi Nabi SAW melarangnya ikut serta karena masih terlalu kecil dan tubuhnya juga kecil.
Begitu juga ketika perang Uhud, Nabi SAW masih melarang sekelompok anak muda berkuda termasuk
Zaid di dalamnya. Tetapi dua anak muda yang tubuhnya cukup kekar dan mempunyai keahlian tertentu
Nabi SAW mengijinkannya, yakni Rafi bin Khudaij dan Samurah bin Jundub. Keduanya berusia limabelas
tahun. Zaid bin Tsabit sendiri baru terjun dalam pertempuran dalam perang Khandaq pada tahun ke 5
hijriah. Setelah itu, ia hampir selalu menyertai berbagai pertempuran yang dilakukan Nabi SAW.

Sebagai anak muda, ia mendapat perhatian secara khusus oleh Rasulullah SAW. Ia seorang yang cerdas
dan mempunyai kemampuan tulis menulis, sehingga diberi tugas menulis wahyu. Beliau juga
memerintahkannya mempelajari beberapa bahasa asing, yang bisa dikuasainya dalam waktu singkat.
Ketika Nabi SAW mulai melakukan dakwah kepada raja-raja dan kaisar di luar negeri Arab, Zaid bin Tsabit
menjadi salah satu penulis surat-surat dakwah tersebut karena kemampuan bahasanya.

Sebenarnya cukup banyak sahabat yang diserahi Nabi SAW untuk menghafal dan menuliskan wahyu yang
turun secara bertahap, terkadang juga berkaitan dengan suatu peristiwa atau sebagai jawaban dan solusi
atas suatu masalah. Tetapi beberapa orang saja yang dianggap sebagai "pemimpin-pemimpin" dalam
bidang ini, mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka'ab
dan Zaid bin Tsabit sendiri. Tiga yang pertama adalah dari sahabat Muhajirin dan dua yang terakhir dari
sahabat Anshar.

Ketika pecah pertempuran Yamamah pada masa Khalifah Abu Bakar, banyak sekali sahabat yang ahli
baca (Qary) dan ahli hafal (Huffadz) yang gugur menemui syahidnya. Hal yang cukup mengkhawatirkan
ini ‘ditangkap’ oleh Umar bin Khaththab. Segera saja menghadap Abu Bakar dan mengusulkan agar
segera menghimpun Al Qur'an dari catatan-catatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang masih hidup.
Tetapi Abu Bakar berkata tegas, "Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat
Rasulullah SAW (yakni, bid'ah) ?"

"Demi Allah, ini adalah perbuatan yang baik!!" Kata Umar, agak sedikit memaksa.

Abu Bakar masih dalam keraguan. Ia shalat istikharah, dan kemudian Allah membukakan hatinya untuk
menerima usulan Umar. Abu Bakar dan Umar bermusyawarah, dan mereka memutuskan untuk
menyerahkan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Zaid menghadap Abu Bakar dan diberikan
tugas tersebut, reaksinya sama seperti Abu Bakar, ia berkata "Mengapa aku harus melakukan sesuatu
yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid'ah) ?"

Abu Bakar dan Umar menjelaskan tentang keadaan yang terjadi dan bahaya yang mungkin bisa terjadi,
dan akhirnya Abu Bakar berkata, "Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan kami tidak pernah
meragukan dirimu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi SAW untuk menuliskan wahyu, maka
kumpulkanlah ayat-ayat Qur'an tersebut…."

Zaid bin Tsabit berkata, "Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan
aku untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun al Qur'an
yang engkau perintahkan tersebut!!"

Seperti halnya Abu Bakar, akhirnya Zaid bisa diyakinkan akan pentingnya pekerjaan tersebut demi
kelangsungan Islam di masa mendatang.
Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal al Qur'an dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi SAW sendiri
sering mengecek hafalannya. Namun demikian, ia tidak mau menggunakan hafalannya saja. Ia berjalan
menemui para sahabat yang mempunyai catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang terserak
pada kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya dan juga membandingkannya dengan hafalan
para sahabat tersebut. Setelah semua terkumpul dan dicek ulang dengan hafalannya dan juga hafalan
para sahabat, Zaid menuliskannya lagi dalam lembaran-lembaran dan menyatukannya dalam satu ikatan.
Semuanya disusun menurut urutan surat dan urutan ayat-ayat seperti yang pernah di-imla'-kan
(didiktekan) Nabi SAW kepadanya. Inilah mushhaf pertama yang dibuat dalam Islam, dan peran Zaid bin
Tsabit sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir satu tahun untuk
menyelesaikannya.

Al Qur'an diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat sab'ah). Hal ini memang diminta Nabi SAW
sendiri untuk kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-beda, sehingga jika
telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut sudah dianggap benar. Di masa Nabi SAW hidup
dan Islam masih di sekitar jazirah Arab, hal itu tidak jadi masalah. Tetapi ketika wilayah Islam makin
meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat lainnya, sementara pemeluk Islam juga makin beragam
dari berbagai bangsa, bukan hanya Arab, hal itu bisa menimbulkan perpecahan.

Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni Siprus dan
sekitarnya, benih berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat lainnya.
Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan usulan untuk menyatukan mush’af
dalam satu bacaan/qiraat saja, dan menyebar-luaskannya sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang
makin meluas saja. Untuk qiraat sab'ah (bacaan yang tujuh), biarlah hanya diketahui para ulama dan
ahlinya saja.

Khalifah Utsman tidak serta-merta menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam bid’ah,
sebagaimana yang dikhawatirkan Abu Bakar. Tetapi setelah melakukan istikharah dan
mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya Qiraat Sab’ah, akhirnya ia
menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu Bakar, khalifah Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit untuk
memimpin proyek besar ini, sehingga tersusun kodifikasi Mush’af Utsmani, yang menjadi cikal bakal dari
hampir seluruh Mush'af Al Qur'an yang sekarang beredar di antara kita. Sungguh kita semua berhutang
jasa kepada Zaid bin Tsabit RA.

Kisah Perjalanan Hidup Hamzah Bin Abdul Muthallib | Hamzah adalah paman nabi yang hampir seumur
dengan beliau. Hamzah mengenal Rasulullah seperti ia mengenal dirinya. Ia adalah saudara sesusuan
dengan Rasulullah. Sejak dilahirkan ke duania, menjadi remaja dan berangkat dewasa, tidak satupun
lembaran hidup Rasulullah yang dilihatnya ternoda oleh perbuatan buruk. Tidak sekalipun ia melihat
keponakannya naik darah, putus asa, apalagi menampakkan ketamakan dan keserakahan dan berolok-
olok atau berbuat hal yang sia-sia.
Sebelum masuk Islam, ia sama sekali tidak terusik dengan apa yang telah diserukan oleh keponakannya.
Pada mulanya ia masuk Islam bukan karena iman dan kepercayaan Tauhid melainkan hanyalah
mempertahankan kehormatan semata-mata, untuk menghalangi maksud Abu Jahal yang menyangka
bahwa Muhammad tak ada pembela.

[]Sebelum dakwah Nabi Muhammad tampak ke permukaan Abu Jahal dan kawan-kawan tak ambil peduli
atau tidak memperdulikan dakwah Nabi Muhammad. Tetapi lama-kelamaan wajah mereka pun sangat
merah karena murkanya, menyeringai, mendengar obrolan mereka, ia hanya tertawa dan menganggap
mereka keterlaluan dan salah tafsir. Di saat itu Abu Jahal menegaskan kepada kawan-kawannya bahwa
sebenarnya Hamzah paling tahu akan bahaya yang diserukan oleh Muhammad, sayangnya ia
menganggap enteng sehingga kaum Quraisy lengah dan lalai. Seandainya ia menyadari akan tampaklah
baginya bahaya yang disebabkan oleh keponakannya itu.

Lama-kelamaan obrolan itu berkembang menjadi ancaman dan siksa kaum kafir Quraisy terhadap
keponakannya. Hamzah ingat bagaimana nakalnya pemuda-pemuda Quraisy dan perbuatan mereka
memperolok-olokkan orang yang masuk Islam. Ia takut kalau-kalau perbuatan itu sampai melampaui
batas. Ia ingat bagaimana satu suku menganiaya suku lain. Hatta anak perempuan pingitan suku itu pun
kerap diganggu. Mengingat itu semua ia pergi ke Ka’bah, tak peduli kepada siapa yang menghalangi
jalannya dimana ia bertemu dengan Abu Jahal. Baru saja berhadapan muka ditekannya hulu tombaknya
ke dada Abu Jahal seraya berkata “Kenapa kamu cela dan kamu maki Muhammad padahal aku adalah
pemeluk agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannya? CObalah ulangi makianmu itu kepadaku
jika kamu berani”.

Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Syukurlah orang yang melihat kejadian itu tahu bahwa Hamzah
dalam hal memegang senjata sukar tandingannya. Ia ditarik orang bersama-sama, disabarkan orang
hatinya dengan berkata: “Hai Abu Yala mengapa jadi begini. Berilah kami keterangan” Hamzah
menjawab: “Katakan kepada Abu Amat (gelar Abu Jahal) bahwa ia selalu mencela anak saudaraku, kalau
perbuatannya ini diteruskan juga, suatu kecelakaan akan menimpa rumahnya”.

Setelah peristiwa itu ia pulang menuju ke rumahnya. Tetapi dalam perjalanan pulang hatinya berkata:
“Hai Hamzah, engkau ini seorang terpandang di kalangan kaum Quraisy. Mengapa engkau menganut
agama yang dibawa oleh seorang yang masih anak-anak , dan engkau tinggalkan agama nenek
moyangmu, lebih baik engkau mati daripada begini”. Ia pun diliputi kebingungan hingga tak hendak tidur.
Setelah itu ia pergi menuju ka’bah ia berkata pula:” Ya Allah jika perbuatanku ini benar, jadikanlah ia
tetap dalam hatiku. Kalau dia salah tunjukkan bagiku suatu jalan untuk melepaskan diri”.
Ia terus pulang dan hari telah malam, matanya tak hendak tidur jua. Ia ingat bahwa dirinya sedang
menghadapi suatu persoalan besar, benarkah pilihannya atau salah. Demi setelah fajar terbit, ia bangun
dari tidurnya, lalu pergi mencari Nabi Muhammad. Setelah bertemu ia berkata:” Wahai anak saudaraku!
Sebenarnya aku ini telah terperosok ke dalam satu perkara yang saya sendiri tak mengerti bagaimana
cara melepaskan diri darinya, aku telah jatuh ke dalam satu pekerjaan yang tak kuketahui salah
benarnya. Terangkanlah kepadaku pengajaran yang engkau bawa ini”.

Dengan tenang Rasulullah memberikan keterangan kepadanya tentang hakikat agama Islam, agama tauhi
dan persaudaraan. Kian lama Rasulullah memberi keterangan, kian memancar cahaya iman dalam
dadanya, dan membayang di wajahnya sehingga akhirnya terlompat perkataan dari mulutnya: “Sekarang
aku mengakui, Muhammad engkau benar. Mulai saat ini siarkanlah agamamu dengan terus terang. Demi
Allah selama langit masih memayungiku, aku akan tetap membelamu dan agamaku yang lama
kulemparkan sekarang juga”.

Sejak saat itu bukan sedikit kekuatan yang diperoleh Islam, sehingga tersebut dalam riwayat bahwa arak-
arakan yang diadakan atas ajakan Umar menuju Kabah dari rumah Arkam bin Arkam, ialah dengan
pimpinan Hamzah.

Pahlawan Badar dan Uhud

Hamzah adalah idola kaum muslimin dalam peperangan, bahkan Hamzah juga idola kaum kafir Quraisy
yang mereka tuakan dan mereka muliakan. Bedanya kaum muslimin mengidolakan dirinya karena
keberanian membela yang benar, sedangkan kaum kafir memuliakannya karena kedudukan wibawanya
di antara suku-suku lainnya.

Maka sudah dapat dikira-kira, bahwa Hamzah akan menjadi sandungan besar dalam peperangan
melawan kaum muslimin. Ia adalah singa Allah, dengan raungannya yang menggetarkan musuh,
menyibak hutan pedang, tombak debu pasir dan ringkik kuda di tengah kepatian. Sekali namanya
disebut, gentar dan takut menyibak musuh dan lawan-lawannya.

Dalam perang badar Hamzah melayani tantangan Aswad al-Machzumi yang dengan singkat dilumpuhkan
dengan pedangnya. Kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar membuktikan bahwa betapa
besarnya pertolongan Allah, dengan jumlah pasukan yang sangat kecil dibandingkan kafir Quraisy,
ternyata dengan keimanan mereka dapat melumpuhkan ribuan pasukan kafir Quraisy yang telah
menghina dan menginjak-injak hak-hak kemanusiaan mereka.
Seusai perang Badar, para pemuka Quraisy bersumpah untuk kembali membalas dendam kematian
keluarga mereka. Perang Uhud, terjadi dengan dahsyatnya. Dengan jumlah pasukan dari kedua belah
pihak yang lebih besar. Sementara kekuatan kaum muslimin sangat jauh dibandingkan dengan kekuatan
kaum kafir Quraisy. Zubair bin Mutham menjanjikan para budaknya Wahsyi, kalau dapat membunuh
Hamzah diakan dimerdekakan, karena paman Zaubair yang bernama Thuaiman bin Adi mati dalam
perang Badar kena tikam pedang Hamzah. Hindun anak Utbah bin Rabiah dan isteri dari Abu Sufyan yang
ayahnya mati oleh pedang Hamzah ikut juga dalam peperangan dan bersumpah akan mengunyah
jantung Hamzah. Dendam kesumat dan amarah luar biasa merongrong dada Hindun yang kehilangan
orang tuanya.

Dari tengah wanita-wanita yang ikut berperang dalam perang Uhud Hindun berkata kepada Wahsyi
budaknya:”Hai Wahsyi hari ini adalah hari pembalasan atas Hamzah bin Abdullah Muthallib, upahnya
besar hai Wahsyi, seperti yang telah dikatakan oleh majikanmu Zubair.. kemerdekaan, uang dan barang
semuanya untukmu”.[/three_fourth_last] [/tie_slide]

[tie_slide]Wahsyi menekan tombaknya dan dengan penuh semangat berteriak: :Ya… Kemerdekaan”. Ia
berjalan menyelinap dari balik bukit. Ia terus memperhatikan Hamzah, buruan berharga yang sedang
diincarnya. Dengan hati-hati ia bersembunyi di balik batu agar tidak diketahui oleh lawannya. Sementara
gemerincing pedang dan derap kuda telah menjadi musik kematian yang menegangkan. Dan satu demi
satu Hamzah mematahkan serangan lawan, tebasan pedang tak mudah dielakkan musuh-musuhnya.
Beberapa orang jatuh tersungkur di ujung pedangnya. Lalu sepertinya ia melihat seseorang bersembunyi
di bata, namun belum sempat ia menyerangnya sudah datang pula Siba bin Abdul Uzza musuh yang
menerjangnya.

Ketika itu kesempatan emas dilihat Wahsyi yang bersembunya di batu itu. Dengan licik, dilemparnya
lembing batu ke bagian belakang kepala Hamzah, sehingga ia jatuh tersungkur. Wahysi terus melempar
lembing batu itu kepada Hamzah hingga mati. Ia berkata:

“Terimalah ini dari seorang budak yang dirundung malang, Aku tidak membunuhmu tetapi membunuh
kemalanganku, perbudakanku dan masa lampauku yang penuh duka”

Kemudian datanglah Hindun dengan membawa dendam yang telah sampai puncaknya. Matanya gelap
berapi, dadanya gemuruh mendidih, dengan biadabnya laksana serigala buas merobek dada paman nabi
yang tercinta itu. Dada Hamzah dirobek ke atas ke bawah, ke kanan ke kiri lalu dibenamkan tangannya
ditarik jantung hamzah dan dikunyahnya dengan buas, naudzu billaah… Inilah perbuatan terkejam yang
pernah dilakukan kafir Quraisy, mereka tidak pernah berhenti menyiksa kaum muslimin.

Betapa sedihnya hati Rasulullah melihat jenazah pamannya itu, kaum muslimin pun tidak kurang
sedihnya melihat kaum muslimin didalam perang Uhud itu. Sehingga para pahlawam Uhud dikubur di
tempat mereka telah wafat. Banyak para sahabat yang gugur akibat mereka tidak mematuhi rasulnya,
mereka tergiur oleh harta benda. Banyak keinsyafan yang mereka peroleh atas kekalahan itu bahwa,
musuh mereka tidak hanya orang-orang kafir tetapi juga orang-orang munafik.

Dan sejak kekalahan itu, umat islam mengambil hikmah dan pelajaran: Jiwa pahlawan perang Uhud telah
mengobarkan semangat yang tidak pernah kendur di kemudian hari. Sejak saat itu umat Islam terus
memperoleh kemenangannnya dan sangat taat dan patuh pada rasulnya. Hamzah bin Abdul Muthallib
telah memberikan contoh keberanian yang patut mereka banggakan. Dan terpatri dalam dada mereka,
kematian hanyalah sebuah pintu, dimana manusia seluruhnya akan lewat ke dalamnya.

Hamzah bin Abdul Muthallib gugur sebagai syahid, ia gugur membela kebenaran. ia wafat dengan
keadaan yang menggemparkan sebagaimana masa hidupnya. Syurga telah menantinya dengan
kerinduan bidadari.

JA’FAR BIN ABI THALIB

Ada lima orang keturunan Abdi Manaf yang sangat mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang tidak jeli, terkadang susah membedakannya. Di antara kelima orang tersebut ialah Ja’far bin
Abi Thalib, saudara kandung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dialah Sayyidul Asy-Syuhada, pemimpin
para mujahidin, Abu Abdillah anak paman Rasulullah bin Abdul Mutthalib bin Hasim bin Abdi Manaf Al-
Quraisy.
Dia dikenal sebagai orang yang sangat lemah lembut, penuh kasih sayang, sopan santun, rendah hati dan
sangat pemurah. Di samping itu, ia juga dikenal sangat pemberani, tidak mengenal rasa takut. Beliau
diberi gelar sebagai orang yang memiliki dua sayap di surga dan bapak bagi si miskin. Masuk Islam berkat
ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tepatnya sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah
Al Arqam.

Ketika orang Quraisy mendengar berita tentang masuk Islamnya, mulailah mereka membuat makar dan
gangguan-gangguan dalam rangka melemahkan iman kaum muslimin. Mereka tidak ingin melihat kaum
muslimin bisa tenang beribadah.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin untuk hijrah ke Habasyah, tanpa pikir
panjang beliau bersama istrinya ikut serta dalam rombongan tersebut. Sungguh hal ini sangat berat bagi
Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah
rombongan itu yang terdiri dari 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah.

Penguasa Habasyah adalah Najasyi. Seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, serta suka melindungi
orang-orang yang lemah. Sesampainya di Habasyah, mereka mendapatkan perlindungan dari Najasyi,
sehingga bisa leluasa dan lebih tenang dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi,
ketenangan ini terusik. Yaitu tatkala orang-orang Quraisy mengetahui perlindungan keamanan yang kami
dapatkan di Habasyah.

Ummu Salamah menceritakan:

Ketika orang-orang Quraisy mengetahui keadaan kami di Habasyah, mereka tidak ridha dan mengirimkan
dua utusan untuk menemui Najasyi. Mereka adalah Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, serta
membawah hadiah-hadiah yang mereka berikan kepada para menterinya, dengan maksud agar tujuan
serta niat mereka mendapat dukungan.

Ketika telah sampai di Habasyah, mereka segera menemui para menterinya serta menyerahkan hadiah
tersebut seraya berkata, “Sungguh telah datang di negerimu orang-orang yang bodoh dari kaum kami
yang keluar dari agama nenek moyang, serta memecah-belah persatuan. Maka, kalau kami berbicara
kepada raja, dukunglah kami. Karena tokoh-tokoh kaum mereka lebih tahu akan mereka.”
Maka para menteri itu mengatakan, “Ya, kami akan mendukung kalian berdua.”

Setelah itu, masuklah mereka berdua menemui Najasyi dengan membawa hadiah yang banyak dan
berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari
kaum kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau
ketahui. Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu. Dan orang-orang yang
mulia di antara kami telah mengutus kami, agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan
mereka lebih mengetahui akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para
menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui
tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada mereka.”

Mendengar hal itu, Raja Najasyi marah, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengembalikan
mereka kepada kaumnya sampai aku menemui mereka. Sehingga aku bisa mengetahui, apakah yang
telah dikatakan oleh dua orang ini benar? Kalau memang benar, maka akan aku kembalikan, mereka.
Akan tetapi, kalau tidak, aku akan melindungi dan berbuat baik kepada mereka.”

Kemudian Raja Najasyi mengutus orang agar memanggil kami. Sebelum berangkat untuk menemuinya,
kami berkumpul dan saling mengatakan, “Sesungguhnya Najasyi akan bertanya kepada kalian tentang
agama kalian. Maka terangkanlah dengan apa yang telah kalian imani.” Dan kami bersepakat mengangkat
Ja’far sebagai juru bicaranya.

Berangkatlah kami untuk menemuinya. Kami mendapatkan Raja Najasyi tengah duduk di antara para
menterinya yang memakai pakaian kebesaran mereka. Kami juga mendapatkan Amru bin Ash dan
Abdullah bin Abi Rabi’ah telah ada di hadapan mereka. Ketika semuanya telah siap, Najasyi menoleh
kepada kami dan berkata, “Apakah agama yang kalian peluk, sehingga kalian meninggalkan agama kaum
kalian dan tidak pula kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lainnya?”

Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami
menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat
jelek kepada tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian,
sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya,
keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan
meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada
kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan
perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim,
menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan kami agar mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman
kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang
dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui
tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan
berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah
berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari
yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”

Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki apa yang dibawa oleh Nabimu
dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun
membaca surat maryam.

Ketika mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya membasahi
jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka. Dan Najasyi berkata,
“Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan
satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka
tidak akan aku serahkan kepada kalian!”

Ketika kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan berkata, “Demi Allah, besok
pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”

Maka keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya
orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”

Raja Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan takut. Sebagian kami bertanya-
tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin Maryam?” Akhirnya kami bersepakat
untuk mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui
Najasyi. Kami dapatkan Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.

Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”
Najsyi berkata, “Apa yang dia katakan?”

Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang Dia berikan
kepada Maryam yang suci.”

Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakannya
sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia
adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.” Kemudian Najasyi
berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku
tidak butuh kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil
melaksanakan apa yang mereka niatkan.

Ja’far bersama istrinya tinggal beberapa saat di Habasyah; bisa merasakan ketenangan serta lindungan
dari Najasyi.

Pada tahun ketujuh hijriah, pergilah Ja’far bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah untuk menuju ke
Yatsrib. Sesampainya di Yatsirb, ia disambut hangat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada
waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja kembali dari perang Khaibar. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ja’far dan bersabda, “Sungguh aku tidak tahu, dengan yang mana
aku merasa bahagia. Apakah dengan kemenangan Khaibar ataukah dengan kadatanganmu?!”

Selang beberapa lama, ia tinggal di Madinah. Ketika pada awal-awal tahun ke delapan hijriah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak ingin mengirim pasukan untuk memerangi Romawi, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandan. Beliau bersabda, “Kalau Zaid
terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang
menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin
memilih bagi mereka sendiri.”

Kemudian beliau memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.

Berangkatlah pasukan pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah, kaum muslimin mendapatkan
orang-orang Romawi telah siap dengan jumlah yang sangat banyak. Yaitu dua ratus ribu tentara.
Merupakan jumlah yang sangat besar. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin
sebelumnya. Sementara jumlah kaum muslimin hanya tiga ribu orang.

Ketika dua pasukan ini telah berhadapan, peperanganpun mulai berkecamuk, hingga Zaid bin Haritsah
gugur sebagai sahid. Begitu melihat Zaid jatuh tersungkur, bergegas Ja’far melompat dan mengambil
bendera, dan menyusup ke barisan musuh sambil melantunkan syair:

Wahai… alangkah dekatnya surga

Yang sangat lezat dan dingin minumannya

Romawi yang telah dekat kehancurannya

Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya.

Mulailah ia berputar-putar memporak-porandakan barisan musuh sehingga terputus tangan kanannya.


Segera ia ambil bendera itu dengan tangan kriinya, kemudian terputus pula tangan kirinya sehingga ia
gugur sebagai syahid. Setelah itu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan terus
mempertahankannya dan akhirnya gugur juga sebagai sahid.

Ketika sampai kabar kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang kematian tiga pahlawannya,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih. Diriwayatkan bahwa pada tubuh Ja’far terdapat
sembilan puluh sekian luka yang semuanya terdapat di bagian depan tubuhnya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju rumah Ja’far bin Abi Thalib. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan Asma sudah membuat roti dan memandikan anaknya untuk
menyambut kepulangan sang ayah.

Asma menuturkan:

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, aku mendapatkan wajah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat sedih. Maka timbullah perasaan takut pada diriku, akan tetapi aku tidak berani
untuk menanyakannya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruhlah anak-anak
Ja’far kemari. Aku akan mendoakannya,” maka bergegaslah mereka mendekat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bercengkerama dengan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
merangkul mereka, mencium, serta berlinang air matanya. Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah , apa
yang menjadikan engkau menangis? Apakah ada sesuatu yang menimpa Ja’far?”

Beliau menjawab, “Ya, dia telah gugur sebagai syahid pada hari ini.” Sesaat hilanglah keceriaan yang
terdapat pada wajah-wajah mereka, tatkala mendengar tangisan ibunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat Ja’far sebagai Malaikat di surga dan
bahunya bercucuran darah dan ia terbang di surga.”

Inilah perjuangan Ja’far bin Abi Thalib. Dia memberikan semua yang dimilikinya untuk Allah dan Rasul-
Nya. Semoga Allah meridhai Ja’far bin Abi Thalib dan menjadikan surga sebagai tempat kembali baginya.

Sejarah peradaban manusia mencatat banyak nama yang menggoreskan kisah di lembaran-lembaran
zaman tentang keahlian militer yang layak ditiru. Di antara tokoh militer yang paling cemerlang adalah
panglima Islam Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu. Ia berada di puncak para ahli strategi militer.
Kesimpulan itu berangkat dari kemampuannya menggetarkan benteng-benteng Persia dan Romawi
dalam hitungan tahun yang singkat saja –atas izin Allah-. Padahal dua kerajaan itu adalah kerajaan
adidaya. Karena kepemimpinan militernya, Islam tersebar di Jazirah Arab, Iraq, dan Syam dengan mulia
dan penuh wibawa.

Saking mengerikan dan hebatnya tipu daya (strategi) Khalid dalam berperang, sampai-sampai Abu Bakar
memujinya dengan ucapan, “Demi Allah, orang-orang Romawi akan lupa dengan tipu daya setan karena
(kedatangan) Khalid bin al-Walid”. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu juga mengatakan, “Para wanita tidak akan
mampu lagi melahirkan seseorang seperti Khalid”.

Kaum muslimin mengenalnya dengan sebutan Saifullah (pedang Allah). Sebutan itu melekat bermula
saat Rasulullah menyebutnya demikian di hari keislamannya, “Engkau adalah pedang di antara pedang-
pedang Allah yang Dia hunuskan kepada orang-orang musyrik”.

Strategi Khalid bin al-Walid di Perang Mu’tah

Di Perang Mu’tah –perang yang terjadi pada tahun 8 H-, 3000 pasukan Islam dikepung oleh 100.000
pasukan Romawi. Saat itu, tiga panglima pasukan kaum muslimin gugur di Mu’tah: Zaid bin Haritsah,
Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah radiallahu ‘anhum. Kemudian orang-orang mengangkat
Khalid bin al-Walid menjadi panglima.

Sadar dengan jumlah yang tidak sepadan, Khalid membuat taktik mundur yang begitu rapi. Gerakan
mundur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga musuh takut untuk mengejar. Strategi yang unik,
mundur dari medan perang, tapi musuh yang jumlahnya sangat besar, tersusun, dan bersenjata lengkap
malah merasa ketakutan. Sehingga mereka tidak berani mengejar. Kaum muslimin pun pulang dengan
selamat. Bahkan, setelah peperangan, taktik itu memberikan ketakutan yang membekas. Pasukan
romawi yang sebelumnya meremehkan kaum muslimin, kini melihat mereka sebagai musuh yang
menakutkan.

Peran Besar Menghadapi Orang-Orang Murtad

Setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi pengganti beliau. Di masa itu,
terjadi gelombang pemurtadan. Sebagian kabilah yang dulunya muslim, kemudian keluar dari Islam. Yang
dulu, membayar zakat di zaman Nabi ‫ﷺ‬, kini tidak lagi menunaikannya. Madinah mendapat ancaman.
Kebijakan berani pun harus diputuskan oleh khalifah baru.

Abu Bakar menetapkan kebijakan dan sikap tegas atas pelanggaran ini. Ia mengutus panglima perangnya,
Khalid bin al-Walid untuk membungkam pembangkangan. Melalui keputusan tegas Abu Bakar dan
kemampuan militer Khalid, Allah ‫ ﷻ‬kembalikan kewibawaan kaum muslimin di Jazirah Arab.
Membebaskan Negeri-Negeri Irak

Setelah khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq merampungkan urusan dalam negeri, mulailah beliau berpikir
mengamankan daerah perbatasan. Khususnya wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Persia dan
Romawi. Karena bukan rahasia lagi, dua kerajaan besar ini tengah mempersiapkan diri menyerang
Daulah Islamyah yang baru tumbuh.

Abu Bakar mengutus panglima-panglima terbaiknya untuk mengamankan perbatasan. Khalid bin al-
Walid membawa pasukan besar yang berjumlah 10.000 orang menuju Irak. Al-Mutsanna bin Haritsah
asy-Syaibani menuju wilayah Hirah. Iyadh bin Ghanam menuju Daumatul Jandal dan kemudian
bergabung ke wilayah Hirah. Dan Said bin al-Ash dengan 7000 pasukan menuju perbatasan Palestina.
Persia dan Romawi pun dibuat sibuk oleh negara kecil yang berpusat di Madinah itu.

Khalid bin al-Walid berhasil merebut wilayah selatan Irak, kemudian menaklukkan Hirah. Sementara
pasukan Iyadh menghadapi kesulitan melawan orang-orang Ghasasinah. Khalid pun datang membantu
Iyadh. Setelah itu, ia kembali lagi menuju Irak.

Rencana Menghadapi Romawi di Syam

Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu mengetahui Heraclius menyiapkan 240.000 pasukan
perang untuk menyerang Madinah, ia sama sekali tak gentar. Abu Bakar tidak merasa ciut sehingga
merasa perlu merendahkan diri dan mengikat perjanjian damai dengan Kaisar Romawi itu. Ia
meresponnya dengan mengumumkan jihad ke seantero Hijaz, Nejd, dan Yaman. Seruannya pun
disambut dari segala penjuru.

Setelah para mujahid datang, Abu Bakar menyiapkan empat brigade serang menuju Syam. Empat
kelompok besar ini dipimpin oleh Yazid bin Abi Sufyan, Syurahbil bin Hasnah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah,
dan Amr bin al-Ash. Kabar persiapan pasukan Arab Islam menuju Syam pun didengar oleh tuan rumah
Romawi. Heraclius menyiapkan sambutan untuk tamunya dengan pasukan yang sangat besar. Lebih dari
120.000 pasukan disiapkan untuk menghadang pasukan Islam dari segala penjuru. Mengetahui besarnya
jumlah pasukan musuh, panglima-panglima pasukan Islam berunding dan akhirnya bersepakat
meleburkan 4 pasukan menjadi satu kelompok saja. Strategi ini diamini oleh Abu Bakar.
Strategi kaum muslimin juga direspon Romawi dengan menyatukan pasukan besarnya di bawah
pimpinan Theodoric, saudara Heraclius. Jarak tempuh dua bulan perjalanan membuat panglima-
panglima kaum muslimin ketar-ketir dengan stamina pasukan mereka. Mereka khawatir jarak tersebut
membuat semangat tempur dan kesabaran pasukan menguap terpapar teriknya matahari padang pasir.
Ditambah lagi materi pasukan musuh yang besar dan lengkap. Mereka pun meminta bantuan kepada
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.

Surat permohonan bantuan tiba di Madinah. Setelah bermusyawarah dan mengetahui detil keadaan di
lapangan, Abu Bakar memandang perlunya peralihan kepemimpinan pasukan. Perang besar ini butuh
seorang pemimpin yang cerdas strateginya dan berpengalaman. Ia memerintahkan agar Khalid bin al-
Walid yang berada di Irak berangkat menuju Syam. Abu Bakar perintahkan Khalid membagi dua
pasukannya. Setengah ditinggal di Irak dan setengah lagi berangkat ke Syam. Pasukan Irak, Khalid
serahkan kepad al-Mutsanna bin Haritsah. Kemudian ia bersama pasukan lainnya berangkat menuju
Yarmuk menambah materi pasukan kaum muslimin di sana.

Strategi ini bertujuan agar aktivitas militer di Irak berjalan. Dan pasukan di Syam pun mendapat bantuan.

Menajemen Pasukan Saat Menuju Syam

Khalid menyiapkan batalyon yang kuat. Yang terdiri dari para panglima pilihan. Seperti: al-Qa’qa’ bin Amr
at-Tamimi, Dharar bin al-Khattab, Dharar bin al-Azwar, Ashim bin Amr, dll. Sampai akhirnya terkumpullha
10.000 pasukan berangkat menuju Syam.

Kecerdasan strategi militer Khalid dalam Perang Yarmuk telah tampak sejak mula. Terlihat pada caranya
memilih jalan menuju lembah Yarmuk. Ia memilih melewati gurun-gurun yang bergelombang dan
memiliki sumber air yang langka, sehingga pergerakan pasukan tidak mencolok. Kontur tanah
bergelombang menyembunyikan pasukan dari penglihatan. Sementara sumber air langka membuat
orang-orang jarang tinggal atau melewati tempat tersebut. Sehingga kerahasiaan pasukan bantuan pun
tetap terjaga. Tentunya strategi ini membutuhkan pengenalan detil terhadap kondisi alam.

Khalid mendiskusikan bagaimana solusi kebutuhan air pasukan dengan penunjuk jalannya, Rafi’ bin
Amirah. Rafi’ menyarankan agar semua pasukan membawa air sekemampuan mereka masing-masing.
Sedangkan kuda-kuda mereka disiapkan sumber air sendiri. Mereka membawa 20 onta yang besar. Onta-
onta meminum air yang banyak. Kemudian pada saatnya nanti, mereka disembelih dan dimanfatkan
simpanan air di tubuh mereka untuk kuda-kuda yang kehausan. Sedangkan dagingnya dimakan oleh
pasukan.

Khalid memotivasi pasukannya dengan mengatakan, “Kaum muslimin, jangan biarkan rasa lemah
menjalari kalian. Dan rasa takut menguasai kalian. Ingatlah, pertolongan Allah itu datang tergantung
dengan niat. Dan besarnya pahala itu tergantung pada kadar kesulitan. Seorang muslim wajib untuk tidak
khawatir terhadap sesuatu, selama Allah menolong mereka.”

Para pasukan menanggapi seruan Khalid, “Wahai Amir, Allah telah mengumpulkan banyak kebaikan pada
dirimu. Lakukanlah strategi yang ada di benakmu dan berjalanlah bersama kami dengan keberkahan dari
Allah”.

Rute perjalanan pasukan Khalid adalah Qarqarah Suwa, Arch, Palmyra, al-Qaryatayn, Huwwarin, Marj
Rahit, Bosra, dan tujuan terakhir Yarmuk. Pasukan ini berjalan melibas padang pasir di saat malam, pagi,
dan menjelang siang. Karena di waktu-waktu tersebut cuacanya tidak panas. Selain menghemat energi,
cara ini juga menjaga penggunaan air agar tidak boros.

Strategi Perang Yarmuk

Sebelum tiba di Yarmuk, pasukan Khalid bertemu dengan pasukan Yazid bin Abi Sufyan, Abu Ubaidah bin
al-Jarrah, Amr bin al-Ash, dan Syurahbil bin Hasnah di Ajnadayn. Kemudian para panglima itu berkumpul
dan berdiskusi. Khalid mengatakan, “Jumlah pasukan musuh sekitar 240.000 orang. Sedangkan total
pasukan kita 46.000 orang. Namun Alquran yang mulia mengatakan,

‫صاَّبممريِكن‬
‫اا كمكع ال ا‬ ‫ت فمئكةة ككمثيِكرةة بمإ ممذمن ا‬
‫ام كو ا‬ ‫ككمم مممن فمئكةة قكمليِلكةة كغلكبك م‬

“Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin
Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 249).

Tidak ada sejarahnya, perang dimenangkan semata-mata karena banyaknya jumlah. Tapi kemenangan itu
karena mereka beriman kepada yang memerintahkannya, lurusnya niat, strategi untuk menang, dan
persiapan.”
Setelah memahami gagasan-gagasan panglima yang lain dan mengetahui bahwa pasukan Romawi
bersatu di bawah komando Theodoric, Khalid memantapkan pilihan menyatukan pasukan muslim di
bawah satu komando pula. Strategi ini juga menutup celah setan untuk memecah belah pasukan apabila
dipimpin oleh banyak pimpinan. Pada hari pertama perang, pasukan dipimpin oleh Khalid. Hari-hari
berikutnya panglima yang lain bergiliran menjadi pimpinan pasukan.

Tidak diragukan lagi, Khalid sangat mumpuni dalam mengatur strategi perang. Ia memenangi banyak
perang di Jazirah Arab dan berpengalaman menghadapi negara-negara besar. Kemampuannya
mengeluarkan pasukan dari keadaan kritis juga luar biasa. Dan strategi perangnya selalu berbuah
kemenangan.

Khalid mulai membagi pasukan Arab muslim menjadi 46 bataliyon. Setiap bataliyon terdiri dari 1000
pasukan dan dipimpin seseorang yang tangguh di antara mereka. Kemudian ia mengelompokkan
pasukan-pasukan itu di jantung pasukan, sayap kanan, dan sayap kiri.

Jantung pasukan terdiri dari 15 bataliyon di bawa pimpinan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Pasukan sayap
kanan juga terdiri dari 15 bataliyon yang dipimpin oleh Amr bin al-Ash dan Syurahbil bin Hasnah sebagai
wakilnya. Demikian juga pasukan sayap kiri terdiri dari 15 bataliyon yang dipimpin oleh Yazid bin Abi
Sufyan. Satu bataliyon lainnya berada di garis belakang. Bataliyon ini diizinkan bergerak bebas,
tergantung kondisi perang. Pimpinan bataliyon akhir ini adalah Ikrimah bin Abi Jahl. Sementara Khalid bin
al-Walid berada di jantung pasukan, memimpin mereka semua dari posisi tersebut. Setelah pasukan
tertata rapi, ia menyemangati mereka untuk berjihad dan bersabar dalam menghadapi musuh.

Khalid menyusun rencana, memerintahkan pasukannya menunggu Romawi terlebih dahulu yang
memulai peperangan. Ketika kuda-kuda mereka sudah menyerang garis depan pasukan Islam, Khalid
instruksikan agar pasukan tetap membiarkan mereka leluasa hingga masuk jauh ke dalam sampai garis
belakang pasukan. Di belakang, mereka akan disergap pasukan kavaleri (pasukan berkuda) kaum
muslimin. Keadaan itu akan memecah pasukan infanteri Romawi dan kavalerinya. Kaum muslimin pun
bisa dengan mudah melibas infanteri Romawi.

Khalid memilih taktik difensif karena di belakang mereka ada Kota Madinah yang harus dilindungi.
Sedangkan orang-orang Romawi lebih memilih menyerang dahulu karena mereka berada di lembah
Yarmuk yang dikelilingi oleh tiga bukit. Ketika orang-orang Romawi sampai di tempat itu, kaum muslimin
menyeberangi sungai hingga berada di sisi kanannya. Dan orang-orang Romawi dikepung bukit
sementara di hadapan mereka ada pasukan kaum muslimin.

Saat fajar hari, tanggal 28 Jumadil Ula 13 H, mulailah kaum muslmimin memprovokasi Romawi. Sesuai
rencana Khalid, pasukan berkuda Romawi memasuki garis depan pasukan Islam. Dan Khalid telah
menyiapkan pasukan berkuda untuk menghadapi mereka. Keadaan berjalan sesuai rencana. Tentar-
tentara Romawi diterkam oleh singa-singa Islam. Mereka lari kocar-kacir. Ada yang menuju sungai. Ada
pula yang memasuki jurang-jurang. Mereka kian terpojok dan banyak yang tewas terbunuh.

Sedangkan pasukan infanteri Romawi berada dalam keadaan terikat. Karena takut lari dari perang,
pemimpin mereka merantai pasukan pejalan kaki ini, satu rantai 10 orang. Rantai itu membuat mereka
sulit bergerak. Terlebih saat salah seorang dari mereka terluka atau tewas. Perang berlangsung selama
satu hari. Theodoric kabur dan akhirnya tewas terjerembab ke dalam jurang.

Kerugian yang didapat kaum muslimin pada perang ini sekitar 3000 pasukan terluka, sedangkan kerugian
Romawi tak terhitung. Seorang dari pasukan Khalid menyatakan bahwa kerugian yang diderita Romawi
adalah 8000 orang Romawi tewas terjerembab di parit termasuk di antaranya Theodoric, saudara
Heraclius. Khalid berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menolong hamba-hamba-Nya yang
beriman”.

Sebelumnya, saat perang tengah berkecamuk, datang seorang utusan dari Madinah yang mengabarkan
bahwa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu wafat. Kaum muslimin telah sepakat membaiat
Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya. Utusan itu juga mengabarkan, Khalifah
Umar mengganti Khalid bin al-Walid dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai panglima utama pasukan.
Khalid sengaja merahasiakan kabar ini, khawatir konsentrasi pasukan terpecah dan mengganggu moral
pasukan jika diberitahu saat perang terjadi. Setelah perang usai, Khalid meletakkan jabatan dan
memberikannya kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah. “Sekarang, engkaulah panglima besar pasukan. Aku
adalah prajuritmu yang bisa dipercaya. Perintahkanlah aku, aku akan menaati,” kata Khalid kepada Abu
Ubaidah.

Wafatnya Panglima Besar

Nama Khalid bin al-Walid telah terukir dalam sejarah sebagai seorang panglima besar. Ia turut serta
dalam perang-perang yang mengubah perjalanan sejarah. Mampu menghatam negara adidaya yang
sebelumnya tak terkalahkan. Dan mengangkat martabat Daulah Islamiyah.
Setelah kemenangan di Yarmuk, Khalid memperingatkan Raja Persia, Kisra, yang juga ingin memerangi
Islam. Khalid mengatakan, “Masuk Islamlah, pasti kau selamat. Jika tidak, sungguh aku akan datang
menemui kalian bersama orang-orang yang mendambakan kematian sebagaimana kalian mencintai
kehidupan”.

Saat membaca surat itu, Kisra merasa ciut. Ia mengirim utusan ke Kaisar China untuk meminta bantuan.
Kaisar China menanggapinya dengan mengatakan, “Wahai Kisra, tidak ada daya bagiku menghadapi
kaum yang seandainya mereka ingin mencongkel gunung, niscaya mereka bisa melakukannya. Orang-
orang yang takut kepada Allah, maka Allah membuat segala sesuatu takut kepada mereka”.

Di akhir hayatnya, ia hanya memiliki harta berupa pedang dan kuda yang ia pakai untuk berjihad di jalan
Allah. Saat itu ia menangis, “Inilah keadaanku, akan wafat di atas kasurku. Padahal tidak satu jengkal pun
di tubuhku kecuali terdapat bekas sabetan pedang, atau tusukan tombak, atau luka bekas anak panah
yang menancap di jalan Allah. Aku mati seperti seekor hewan. Padahal aku berharap mati syahid di jalan
Allah. Karena itu, jangan tidur mata-mata yang penakut”.

Benarlah firman Allah ‫ﷻ‬,

‫ضىى نكمحبكها كومممنهامم كممن يِكمنتكمظار ۖ كوكماَّ بكادالوُا تكمبمديِةل‬


‫اك كعلكميِمه ۖ فكمممنهامم كممن قك ك‬ ‫ممكن املاممؤمممنيِكن مركجاَّلل ك‬
‫صكداقوُا كماَّ كعاَّهكادوا ا‬

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-
nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS:Al-Ahzab | Ayat: 23).

Lahir 40 tahun sebelum hijrah Rosululloh. Nama lengkapnya Umar bin Khaththab bin Nafail bin Abdul
‘Izzy al-Qursy. Nama pangilannya adalah Abu Hafsh (anak singa). Ayahnya, al-Khaththab bin Nufail al-
Adwy adalah seorang yang gagah berani. Ibunya, Hantamah binti Hasyim bin al-Mughiroh. Gelarnya al-
Faaruq (pembeda/pemisah antara yang benar dengan yang batil).

Pada masa jahiliyah beliau menikah dengan kerabat dekatnya, Ummu Kultsum binti Jaruul. Sesudah
masuk Islam, beliau menikah dengn Zaenab bin Ma’dhun, Ummu Kultsum binti Ali ra., Jamilah binti
Tsabit, Ummu Hakim binti al-Harits, ‘Atakah binti Zaid, Sabi’ah binti al-Harits. Dari perkawinannya lahir 12
anak. 6 anak laki-laki; Abdullah, Abdurrahman, Zaid, Ubaidillah, ‘Ashim dan ‘Iyadh. 7 anak perempuan;
Hafsah,Roqiyah, Fatimah, Shofiyah, Zainab dan Ummul Walid.
Beliau memeluk Islam pada tahun ke-enam dari kenabian Muhammad SAW, pada waktu ia masih
berumur 27 tahun. Dari Ibn Umar diceritakan bahwa Rosululloh berdo’a, “Ya Alloh muliakan Islam
dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau cintai; Abu Jahal atau Umar bin Khottob.” “Dan orang
yang paling Alloh cintai adalah Umar bin Khaththab.” (HR.Ahmad).

Sebab beliau orang pertama yang menyatakan secara terang-terang keislamannya. Semasa remaja,
beliau terkenal sangat keras dan kuat pendirianya di kalangan kaum Quraisy. Pandai membaca dan
menulis. Di masa jahiliyah beliau juga dikenal sebagai duta besar dan sangat disegani. Mengenai
pribadinya, as-Syifa’ binti Abdullah berkata; “Kalau sudah bicara, suaranya terdengar ke mana-mana,
kalau jalan cepat, kalau memukul membuat orang kesakitan. Sesunguhnya beliau adalah seorang ahli
ibadah (an-naasik).”

Dalam sejarah Islam permulaan tahun dan penanggalan dimulai dari peristiwa hijrahnya Rosululloh dari
Mekkah ke Madinah.

Sebelum masuk Islam, beliau adalah orang yang sangat benci dan menentang Islam. Maklum, beliau
adalah orang yang disegani di kalangan Quraisy karena wataknya yang keras dan susah kompromi. Di
samping itu beliau adalah ‘ikon pejuang’ kebanggaan sukunya. Konon ceritanya “sekiranya keledai Umar
masuk Islam, tidak mungkin Umar akan ikut masuk Islam.”

Sejarah masuknya Umar dalam ajaran Islam sangatlah unik dan menarik. Disebutkan bahwa suatu hari
Umar sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara orang mengaji al-Qur’an. Didatangilah suara aneh itu.
Maklum suara itu belum pernah didengarnya sebelum itu. Sesampai Umar ke sumber suara itu, ternyata
dilihatnya Khobab bin ar-Art sedang mengajari ngaji Fatimah, saudaranya. Seketika Umar wajahnya
sangat geram dan memukul Fatimah. Umar meminta supaya mushaf itu diberikannya. Tapi Fatimah
menolaknya kecuali dengan syarat kalau Umar sudah bersuci dulu. Lalu Umar pun memenuhi syarat itu.
Umar pun kemudian bersuci dengan mandi. Setelah itu dibacanya mushaf al-Qur’an itu. Waktu itu yang
dibaca surat Thoha. Tanpa disadari Alloh telah membukakan hatinya. Kemudian Umar pergi ke rumah al-
Arqom bin ar-Arqom dan menyatakan masuk Islam di depan Rosululloh tiga hari setelah Hamzah bin
Abdul Mutholib masuk Islam.

Menurut pendapat yang masyhur, beliau masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian Muhammad. Orang
nomer 40 dalam urutan orang-orang yang masuk Islam. Masuknya Umar dalam ajaran Islam adalah bukti
dari kecintaan dan kemulian Alloh, juga merupakan jawaban atas do’a yang pernah dibacakan Rosululloh.
Suatu ketika Rosululloh pernah berdoa; “Ya Alloh, tinggikan dan muliakan Islam salah satu dari orang
yang paling Engkau cinta; Abu Jahal dan Umar bin Khaththab.” (HR.at-Tirmidhi,hadits hasan sohih
ghorib).
Masuknya Umar dalam barisan orang-orang Islam waktu itu merupakan kegembiraan dan menjadi
penyemangat bagi yang lain. Sebab beliau termasuk di antara orang yang berpengaruh di kaumnya.
Maka dengan masuknya Islam, sedikit banyak mempengaruhi ‘imej’ masyarakat. Dalam hal ini Ibn
Mas’ud berkata; “Kami masih tetap menjadi mulia sejak Umar masuk Islam.”

Mengenai keislamanya Rosululloh berkata; “Sesunguhnya Alloh telah menjadi kebenaran agama (Islam)
melalui lisan/ucapan Umar dan (keteguhan) hatinya.”(HR.Tirmidhi).

Di hadits lain disebutkan; “Dahulu kala umat-umat sebelum kalian mempunyai pahlawan yang selalu
menjadi buah bibir (pembicaraan), sekiranya umatku dibandingkan dengan umat-umat terdahalu, maka
Umar bin Khaththab pahlawannya.” (HR.Bukhori).

Mengenai pribadinya Rosululloh berkata; “Demi Jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, syetan tidak
akan mungkin dapat menghalangi jalanmu, melainkan jalan orang selain kamu.” (HR. Bukhori).

Ada enam perkara yang diusulkan Umar hingga akhirnya turun wahyu membenarkan usulannya itu:

Pertama mengenai haramnya khomer. Maka turunlah ayat larangan minum khomer.

Kedua; usulan supaya tawanan perang Badr dibunuh dan tidak boleh menerima tebusan darinya. Maka
turunlah ayat yang menguatkan pendapatnya itu.

Ketiga; usulan supaya istri-istri Rosululloh memakai hijab (kerudung). Maka turunlah ayat yang
memerintahkan memakai hijab.

Keempat, usulan supaya orang-orang munafik yang meninggal tidak usah disholati. Maka turunlah ayat
yang melarang sholat mayit untuk orang-orang munafik.

Kelima, usulan untuk melakukan sholat di maqom (tempat) Ibrahim. Maka turunlah ayat yang
memerintahkan sholat di maqom Ibrahim.

Keenam, ketika istri-istri saling cemburu terhadap Rosululloh, Umar berkata; “Semoga saja Tuhannya
menganti istri-istri yang lebih baik dari kalian sekiranya Rosululloh memang berniat menceraikan kalian.”
Dari situlah turun surah at-Tahrim dan menjadi bagian dari ayat-ayatnya. Begitu pula di antara
pendapatnya adalah memerangi orang-orang yang murtad dan menunda memerangi orang-orang yang
enggan membayar zakat karena kondisi negara yang sangat lemah. Tetapi pendapatnya itu ditolak Abu
Bakar. Akhirnya pun Umar menerima pendapat Abu Bakar setelah Alloh memberikan pencerahan dalam
hatinya.

Setelah wafatnya Rosululloh, beliau orang yang pertama membaiat Abu Bakar menjadi khalifah.
Sebelum wafatnya Abu bakar, khalifah pertama, beliau pernah mencalonkan Umar untuk
mengantikannya. Setelah dipilih menjadi khalifah, pertama-tama yang dilakukan adalah memerangi
orang-orang murtad (keluar dari Islamm) hingga para tawanan tidak menjadi cacat dan cela bagi bagi
bangsa Arab. Pada masa kekhalifannya, beliau berhasil menaklukkan Syam (Syiria), Irak, Persia (Iran),
Mesir, Barqoh, Barat Tripolis, Azarbaijan, Nahawan dan Jarjan. Begitu juga pada masanya dibangun kota
Kuffah, Basroh dan Fustat (kota Mesir kuno).

Beliau adalah sosok yang sangat penyayang dengan rakyatnya dan penuh perhatian terhadap
kepentingan rakyatnya. Diceritakan bahwa beliau datang menjumpai rakyatnya dengan menyamar
sebagai orang biasa. Beliau ingin mendengar langsung keluhan rakyat dan memenuhi kebutuhannya.
Dengan cara ini, beliau ingin mengajarkan kepada umat Islam bahwa penguasa adalah pembantu rakyat.
Hidupnya didedikasikan dan dicurahkan untuk membantu rakyat.

Sebelum wafatnya, beliau pernah mimpi melihat seekor ayam jago mematuk tubuhnya. Mimpi itu
ditakwilkan bahwa ajalnya sudah dekat. Tidak lama sesudah mimpi itu, tepatnya pada hari Rabu,
Dzulhijjah 23 H, ketika sedang sholat subuh, Abu Lukluk al-Fairuz menikam tubuhnya dengan pisau. Abu
Lukluk adalah anak al-Mughiroh bin Syu’bah, orang Persia yang beragama Majusi. Lukanya cukup parah
hingga hanya bertahan tiga hari. Dan setelah itu wafat sebagai seorang syahid yang berjuang di jalan
Alloh. Selama menahan sakit akibat tikaman pisau, beliau memilih dan merekomendasi 6 sahabat supaya
kaum muslimin memilih satu di antara calon khalifah itu. Akhirnya terpilihlah Utsman sebagai
pengantinya.

Beliau dimakamkan di kamar Aisyah berdampingan dengan makan Rosululloh dan Abu Bakar. Masa
kekhalifahnya 10 tahun,6 bulan dan 4 hari. Umur beliau ketika wafat 63 tahun seperti umur Rosululloh
dan Abu Bakar ketika wafat.

Di antara prestasi selama menjadi khalifah yaitu membuat pembukuan mengenai anggaran negara dan
pengunaan alat-alat negara untuk dipertanggungjawabkan di depan rakyat, hingga kemudian melahirkan
undang-undang pengunaan alat negara (min aina hadha?). Dalam sejarah Islam, beliau orang pertama
yang mengunakan penanggakan Hijriah, orang pertama yang digelari Amirul Mukminin, orang pertama
yang berjalan kaki untuk menjenguk rakyatnya pada waktu malam, orang yang pertama kali yang
mengadakan muktamar para penguasa dan pemimpin kaum pada musim tertentu, orang yang pertama
kali yang mengunakan mutiara untuk perhiasan, orang pertama yang melakukan sholat tarawih dengan
berjamaah, orang pertama yang menghidupkan malam-malam ramadhan, orang pertama yang
melakukan sholat jenazah berjamaah dengan 4 takbir, orang pertama yang memberi hadiah untuk
penghafal al-Qur’an, orang pertama yang menjadikan khilafah sebagai lembaga musyawarah. Di samping
itu beliau juga menyuruh umat Islam (waktu itu) untuk melakukan sholat sunnah tarawih di bulan
Ramadhan secara berjama’ah dengan tujuan untuk mengeratkan ukhuwah dan menjaga syiar agama.

Diantara nasehat dan petuahnya;


“Suatu perkara akan menjadi baik jika memenuhi tiga hal; melaksanakan amanah, memberi contoh dan
menghukumi dengan hukum Alloh.”

“Harta menjadi barokah dan bermakna jika memenuhi tiga hal; diperolehnya dengan cara yang hak,
diberikan dengan cara yang hak dan tidak tercampuri barang batil (haram/bukan haknya).”

“Wahai Ahnaf, barangsiapa banyak tertawa, wibawanya berkurang dan barangsiapa suka bergurau, maka
akan diremehkan, barangsiapa memperbanyak sesuatu maka akan dikenal dengan barang itu, siapa
banyak bicara banyak salahnya, siapa banyak salahnya sedikit rasa malunya, siapa sedikit rasa malunya
maka sedikit pula wara’nya (sikap hati2 dalam menjaga yang haram) dan siapa yang sedikit wara’nya,
maka hatinya mati.”

Mengenai wasiatnya, Hayyawah bin Syarih berkata bahwa pada waktu mengutus tentara ke medan
perang beliau berkata, “Hendaklah kalian tetap menjaga takwa kepada Alloh. Bismillah dan atas
pertolongan Alloh, tanda-tangani perjanjian ini dengan memohon pertolongan Alloh dan kemenangan.
Dan selalu berlaku benar dan sabar. Perangilah orang kafir dan jangan kalian melampui batas.
Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang melampui batas. Kemudian jangan kalian lari ketika
bertemu musuh dan jangan berprilaku buruk, berlebih-lebihan dalam bersikap, banyak ngobrol ketika
berperang. Jangan bunuh wanita, orang tua, dan anak kecil…”

Diantara doa yang biasa beliau lakukan adalah;

“Allohumma tawaffani ma’al abror, wala tukholifni fil asror, wa qini ‘azabannar, wa alhiqni bil abror

Selama hidupnya, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 527 hadits, di antara riwayat haditsnya;
suatu ketika Rosululloh bersabda; “Sesungguhnya amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya. Dan
setiap seseorang itu mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena ingin mendapatkan
kenikmatan dunia atau wanita yang hendak dinikahi maka hijrahnya itu tidak diniatkan untuk Alloh tapi
untuk kenikmatan dunia dan wanita.”

Anda mungkin juga menyukai