Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit jantung yang ditimbulkan akibat
penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh
darah yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi atreri yang disebut
aterosklerosis. Kelainan pada arteri korener akibat aterosklerosis menyebabkan suplai
darah ke jantung tidak adekuat dan sel-sel otot jantung kekurangan komponen darah. Hal
ini akan menimbulkan iskhemia pada otot-otot jantung sehingga pasien akan mengalami
nyeri dada dan pada kondisi iskhemia yang lebih berat dapat disertai dengan kerusakan
sel jantung yang bersifat irreversible (Smeltzer & Bare, 2008).
Penyakit kardiovaskular atau cardiovascular disease (CVD) menempati peringkat
pertama penyebab kematian di dunia melebihi penyakit lain. Penyakit kardiovaskular
merupakan penyakit tidak menular yang menyebabkan sebanyak lebih dari 17 juta
kematian di dunia setiap tahun (30% dari semua kematian). Sebanyak 80% terjadi pada
negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 23,6 juta pada tahun 2030. Menurut data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2013 prevalensi penyakit kardiovaskular cenderung meningkat dari
tahun ke tahun. Diperkirakan hingga ahun 2030 penyakit kardiovaskular akan
menyebabkan kematian lebih dari 23 juta jiwa per tahun.
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi tertinggi untuk penyakit
Kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, yakni sebesar 1,5%. Dari prevalensi tersebut,
angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%) dan terendah di Provinsi
Riau (0,3%). Menurut kelompok umur, PJK paling banyak terjadi pada kelompok umur
65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur 75 tahun ke atas (3,2%), kelompok umur 55-
64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun (1,3%). Sedangkan menurut status
ekonomi, terbanyak pada tingkat ekonomi bawah (2,1%) dan menengah bawah (1,6%).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5 juta orang di
dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di
seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi di negara
berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang. Dari seluruh kematian akibat
penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh stroke. (Kemenkes RI, 2017)
Di RS Jantung & Pembuluh darah Harapan Kita Jakarta, Jumlah kasus pasien yang
dilakukan PCI adalah pasien yang mengalami kasus dengan Jantung Koroner mengalami
peningkatan dari tahun 2016 sebanyak 2009 orang dan di tahun 2017 sebanyak 2160
sehingga mengalami peningkatan yang signifikan dengan angka kurang lebih 7.09 %.
(Laporan tahunan RSJPDHK tahun 2017).
PCI (Percutaneus Coronary Intervention) merupakan salah satu penanganan
intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara membuat saluran baru
melewati bagian arteri koronaria yang mengalami penyempitan atau penyumbatan.
Banyak penelitian telah dilakukan dengan membandingkan revaskularisasi yang terjadi
dan kelangsungan hidup pasien pasca operasi mempergunakan berbagai variasi teknik
opersi dengan menggunakan pembuluh- pembuluh darah tersebut, dengan hasil yang
beragam tergantung dari kondisi dan keparahan dari PJK yang dideritanya. Seiring
dengan perkembangan waktu, penelitian menyimpulkan bahwa Penyakit jantung-koroner
(PJK) merupakan problem kesehatan utama di negara maju.
Di Indonesia diperkirakan lebih dari 10.000 PCI dilakukan tiap tahun dan akan
semakin banyak dari tahun ke tahun seiring dengan semakin banyaknya fasilitas dan
tenaga intervensi yang tersedia di seluruh Indonesia. Sepanjang tahun 2011 tercatat 2.100
PCI telah dilakukan di Pusat Jantung Dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita
(RSPJDNHK) (Depkes RI, 2012). Menurut data rekam medis RSPJDNHK pada tahun
2013 tercatat sebanyak 1.715 pasien yang dilakukan PCI dengan menggunakan stent,
pada tahun 2014 sebanyak 1.986 pasien dan pada tahun 2016 angka kejadian ini
mengalami kenaikan sebanyak 2004 pasien.
Dari data yang didapatkan, jumlah tindakan PCI di RSPJDNHK dari tahun ke
tahun menunjukan peningkatan. Dengan dilakukanya tindakan PCI ini, diharapkan angka
mortalitas dan morbiditas akibat PJK ini akan menurun, walaupun ada komplikasi pasca
prosedur PCI yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu perawat dituntut untuk mampu
meningkatkan pengetahuan tentang PCI dan mampu memberikan asuhan keperawatan
yang optimal pada pasien yang dilakukan PCI agar kualitas hidup pasien meningkat dan
terhindar dari komplikasi yang mungkin akan terjadi, sehingga kelompok tertarik
membahas asuhan keperawatan pada pasien yang dilakukan tindakan Percutaneus
Coronary Intervention (PCI).

B. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Tujuan dari studi kasus makalah ini adalah mampu melakukan asuhan keperawatan
pada pasien dengan Elektif Percutaneus Coronary Intervension (PCI), yaitu pasien
sebelum tindakan PCI dan sesudah tindakan PCI.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami konsep dasar Coronary Artery Disease
b. Mampu memahami konsep teori Percutaneous Coronary Intervention
c. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan pre dan post PCI
d. Mampu merumuskan analisa data pada klien dengan pre dan post PCI
e. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan pre dan post
PCI
f. Mampu melakukan perencanaan keperawatan pada klien dengan pre dan post
PCI
g. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan pre dan post
PCI
h. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan pre dan post PCI
i. Mampu melakukan dokumentasi keperawatan pada klien dengan pre dan post
PCI

C. Manfaat Studi Kasus


Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan elektif PCI
sehingga asuhan keperawatan yang diberikan dapat optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Coronary Artery Disease
1. Pengertian
Coronary Artery Disease adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri
jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung (American Heart Association,
2013). Coronary Artery Disease adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh
darah arteri jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ
tubuh lain, jantung pun memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat memompa
darah ke seluruh tubuh, jantung akan bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara
pasokan dan pengeluaran. Jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit,
maka pasokan darah ke jantung akan berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan pasokan zat makanan dan oksigen, makin besar persentase
penyempitan pembuluh koroner makin berkurang aliran darah ke jantung, akibatnya
timbullah nyeri dada (UPT-Balai Informasi Teknologi Lipi pangan & Kesehatan,
2009).

2. Etiologi
Faktor-faktor yang meningkatkan terjadinya coronary artery disease :
a. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar kemungkinan untuk menderita CAD dan
menderita serangan jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko terkena CAD
adalah 49% untuk laki-laki dan 32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81%
orang-orang yang meninggal akibat CAD adalah ≥ 65 tahun
b. Jenis kelamin
Peningkatan kejadian CAD pada wanita itu terjadi setelah menopause dan
kematian 2-3 kali lebih besar daripada wanita sebelum menopause. Oleh karena
itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap CAD.
c. Genetik
Individu yang memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita CAD
memiliki risiko 40-60% terkena CAD jika dibandingkan dengan anak yang
orang tuanya tidak memiliki riawayat CAD, meskipun kedua orang tua
angkatnya menderita CAD.
d. Diabetes
Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan
aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM
akibat penyakit arterial. Angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien
DM daripada individu normal. Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan
dengan abnormalitas metabolisme lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis
dan advanced glycation endproducts (AGE) yang menggambarkan metabolisme
abnormal pada DM yang berdampak pada injuri endotelium.
e. Hipertensi
Menurut penelitian Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi
merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK.
f. Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan
jantung dan menurunkan kadar HDL yang bersifat kardioprotektif (Nursalim,
2011).
g. Merokok
Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan
serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan
cara menurunkan level kolesterol HDL. Semakin banyak merokok semakin
besar risiko terkena serangan jantung (Ramandika, 2012).

3. Pembuluh Darah Jantung


Pembuluh darah jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
a. Right Coronary Artery (RCA)
Arteri koroner kanan keluar dari sinus aorta kanan dan berjalan didalam parit
atrioventrikular kanan diantara atrium kanan dan ventrikel kanan menuju ke
bagian bawah dari septum. Selanjutnya adalah cabang acute marginal (AM)
dan berjalan di tepi ventrikel kanan diatas diafragma. RCA berlanjut ke
belakang berjalan di dalam parit atrioventrikular dan bercabang arteri AV node
2.1 Right Coronary Artery (RCA)
b. Arteri Coronary Kiri Utama/Left Main (LM)
Arteri koroner kiri utama yang lebih popular dengan sebutan Left Main (LM),
keluar dari sinus aorta kiri; kemudian segera bercabang dua menjadi arteri Left
Anterior Descending (LAD) dan Left Cirumflex (LCX)

2.2 Left Coronary Artery (LCA)


c. Arteri Left Anterior Descending (LAD)
Arteri LAD berjalan di parit interventrikular depan sampai ke apeks jantung.
Arteri ini mensuplai bagian depan septum melalui cabang-cabang septal dan
bagian depan ventrikuler kiri melalui cabang-cabang diagonal, sebagian besar
ventrikel kiri dan juga berkas AntrioVentrikular. Cabang-cabang diagonal
keluar dari arteri LAD dan berjalan menyamping mensuplai dinding antero
lateral ventrikel kiri; cabang diagonal bisa lebih dari satu.
d. Arteri Left Circumflex (LCX)
Arteri LCX berjalan di parit atrioventrikular kiri diantara atrium kiri dan
ventrikel kiri dan mensuplai dinding samping ventrikel kiri melalui cabang-
cabang obtuse marginal yang bisa lebih dari satu (M1, M2, dst)
4. Jenis Coronary Artery Disease
Klasifikasi coronary artery disease menurut Braunwald (2001), coronary artery
disease memiliki beberapa klasifikasi sebagai berikut:
a. Angina pektoris stabil adalah keadaan yang ditandai oleh adanya suatu
ketidaknyamanan (jarang digambarkan sebagai nyeri) di dada atau lengan yang
sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan dengan aktivitas fisik atau stres
emosional dan menghilang dalam 5-15 menit dengan istirahat dan atau dengan
obat nitrogliserin sublingual (Yusnidar, 2007). Angina pektoris stabil adalah
rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen miokard.
Iskemia miokard dapat disebabkan oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri
koroner dan berkurangnya kapasitas oksigen di dalam darah (Aladdini, 2011).
b. Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen
ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal
yaitu:
1) Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya berakhir
setelah lebih dari 20 menit (jika tidak diberikan nitrogliserin).
2) Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan
onset baru (dalam 1 bulan).
3) Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah lama, atau
lebih sering dari sebelumnya). Pasien dengan ketidaknyamanan iskemik
dapat datang dengan atau tanpa elevasi segmen ST pada EKG (Yusnidar,
2007). Istilah angina tidak stabil pertama kali digunakan 3 dekade yang lalu
dan dimaksudkan untuk menandakan keadaan antara infark miokard dan
kondisi lebih kronis dari pada angina stabil. Angina tidak stabil merupakan
bagian dari sindrom koroner akut, dimana tidak ada pelepasan enzim dan
biomarker nekrosis miokard.
c. Variant/Prinzmetal
Biasanya terjadi saat istirahat, tengah malam hingga dini hari. Nyeri mungkin
parah dan terdapat perubahan EKG karena spasme arteri koroner.
5. Manifestasi Klinis Coronary Artery Disease
Menurut Price & Lorraine (2008), manisfestasi klinis dari coronary artery disease
antara lain :
a. Dada terasa tidak enak (digambarkan sebagai mati rasa, berat, atau terbakar,
dapat menjalar ke pundak kiri, lengan, leher, punggung atau rahang).
b. Sesak nafas
c. Berdebar-debar
d. Denyut jantung lebih cepat
e. Pusing
f. Mual
g. Kelemahan yang luar biasa.

B. Aterosklerosis
1. Penertian
Aterosklerosis berasal dari bahasa yunani yaitu ‘athere-‘ yang berarti bubur, dan ‘–
skleros’ yang berarti keras. Aterosklerosis adalah penyakit akibat respon peradangan
pada pembuluh darah (arteri besar dan sedang), bersifat progresif, yang ditandai dengan
deposit massa kolagen, kolesterol, produk buangan sel dan kalsium, disertai proliferasi
miosit yang menimbulkan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sehingga
mengakibatkan kekakuan dan kerapuhan arteri (Stary, 1995).
Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol yang tinggi (khususnya LDL),
merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurangnya aktifitas fisik.
Tingginya kadar homosistein darah, fibrinogen, dan lipoprotein-A juga dilaporkan
sebagai faktor risiko terjadinya aterosklerosis. Ada 4 faktor risiko biologis yang tidak
dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga (genetik). Helicobacter
Pylori dan Chlamydia Pneumoniae, juga bisa menimbulkan infeksi atau transformasi
miosit atau endotel, yang akan memicu lesi aterosklerosis. Hiperglikemia dapat memacu
aktifitas protein kinase C (CPK). Peningkatan aktifitas CPK akan meningkatkan ekspresi
transforming growth factor-beta (TGF- ). Peningkatan ekspresi TGF- menimbulkan
kekakuan dan abnormalitas structural pembuluh darah.
Populasi dengan hiperlipidemia lebih banyak terkena aterosklerosis dibanding
kelompok orang dengan kadar lipid rendah. Populasi dengan hiperlipidemia ini lebih
signifikan berhubungan dengan gejala aterosklerosis dan kematian, oleh karena
komplikasi aterosklerosis koroner. Tingginya kolesterol darah, trigliserida, dan LDL
berhubungan dengan stenosis koroner. Sementara kadar kolesterol HDL berhubungan
dengan menurunnya insiden penyakit aterosklerosis, karena HDL dapat mengembalikan
kolesterol dari jaringan untuk di metabolisme di hepar. Kadar kolesterol LDL yang
tinggi menjadi penyebab utama sel endotel dan miosit. Kolesterol LDL dapat mengalami
oksidasi, agregasi, dan berikatan dengan proteoglikan atau menyatu dengan kompleks
imun. Pada kondisi hipertensi juga berperan agen proinflamasi yang meningkatkan
formasi hidrogen peroksida (hidroksi radikal) dan radikal bebas (anion superoksida)
dalam plasma. Substansi itu mereduksi pembentukan nitrit oksida oleh endotel,
meningkatkan adhesi leukosit, dan peningkatan resistensi perifer. Selanjutnya formasi
radikal bebas mengakibatkan efek hipertensi dan hiperkolesterolemia (Hansson, 2005).

2.3 Gambar LCA dengan Arterosklorosis

2. Patogenesis Aterosklerotik
Dinding arteri merupakan suatu sistem yang dinamis dan teratur. Akan tetapi,
elemen-elemen perusak dapat mengganggu homeostasis normal pada arteri dan
memberi jalan terjadinya aterogenesis. Beberapa hal telah berhasil diidentifikasi
sebagai komponen - komponen penting yang berkontribusi pada proses inflamasi
aterosklerosis, yaitu (1) disfungsi endotel, (2) akumulasi lipid di dalam intima, (3)
pengerahan leukosit dan sel-sel otot polos ke dalam dinding pembuluh darah, (4)
pembentukan foam cell, (5) deposisi dari matriks ekstraseluler seperti yang
ditunjukkan dalam gambar.
Gambar 2.4 Diagram evolusi plak aterosklerosis (Libby, 2002)
(1) Akumulasi partikel lipoprotein di dalam intima. Lipoprotein yang berwarna
lebih gelap menunjukkan modifikasi lipoprotein (oksidasi atau glikasi). (2) Stres
oksidatif, termasuk konstituen dari LDL yang termodifikasi (mLDL), menginduksi
produksi sitokin-sitokin lokal. (3) Sitokin tersebut menginduksi pelepasan molekul-
molekul adesi yang mengikat leukosit dan zat-zat kemoatraktan (monocyte
chemoattractant protein 1 [MCP1]) yang menyebabkan migrasi leukosit ke dalam
intima. (4) Setelah masuk ke dalam dinding pembuluh darah, monosit darah
mengalami stimulus seperti faktor stimulus koloni makrofag (M-CSF) yang
meningkatkan ekspresi reseptor scavenger. (5) Reseptor scavenger memediasi
pengambilan mLDL oleh makfrofag dan menyebabkan pembentukan foam cell.
Foam cell makrofag merupakan sumber tambahan sitokin dan molekul efektor
seperti anion superoksida dan matriks metalloproteinase. (6) Sel-sel otot polos
bermigrasi dari media ke lapisan intima (7) Sel otot polos intima membelah, dan
berelaborasi dengan matriks ekstraseluler, mendorong akumulasi matriks pada plak
aterosklerosis. Pada tahap ini fatty streak berubah menjadi fibrofatty lesion. (8) Pada
tahap lanjutan, dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis, dan kadang diikuti oleh
kematian sel-sel otot polos (apoptosis).
Fatty streak merupakan lesi yang pertama kali terlihat pada ateroklerosis. Pada
inspeksi secara kasat mata, lesi ini terlihat sebagai area yang berwarna kuning pada
permukaan arteri, akan tetapi lesi ini belum menonjol dan belum mengganggu aliran
darah pada arteri. Fatty streak dapat dijumpai pada aorta dan arteri koroner orang
berumur 20 tahun. Lesi ini tidak menimbulkan gejala, dan dapat membaik perlahan
pada beberapa lokasi pembuluh darah. Inisiasi terbentuknya lesi ini sangat
berhubungan dengan terjadinya disfungsi endotel.
Disfungsi endotel dapat dipicu oleh dua hal utama yaitu stres fisik dan zat-zat
iritan. Peran dari stress fisik pada pembuluh darah dapat dilihat dari fakta bahwa
aterosklerosis lebih cenderung terbentuk pada titik-titik percabangan arteri. Pada
bagian pembuluh darah yang lurus, aliran laminar menyediakan nitrit oksida yang
lebih banyak, yang bermanfaat sebagai vasodilator, inhibisi agregasi platelet, dan
efek anti inflamasi. Arteri-arteri dengan cabang yang sedikit seperti left internal
mammary artery (LIMA), menunjukkan resistensi yang lebih baik terhadap
aterosklerosis, sedangkan pembuluh darah dengan percabangan seperti arteri karotis
komunis dan arteri koroner kiri merupakan tempat utama terjadinya aterosklerosis.
Disfungsi endotel juga dapat terjadi akibat paparan zat-zat toksik. Sebagai
contoh merokok, level lipid yang abnormal, dan diabetes, yang dikenal sebagai
faktor risiko mayor aterosklerosis, dapat menginduksi terjadinya disfungsi endotel.
Setiap keadaan tersebut meningkatkan produksi zat-zat oksigen reaktif dari endotel,
terutama anion superoksida, yang berinteraksi dengan molekul intraseluler lainnya
untuk mempengaruhi fungsi metabolik dan sintesis endotel. Sebagai akibatnya, sel-
sel tersebut menyebabkan terjadinya proses proinflamasi.
Saat stresor fisik dan kimia mengganggu homeostasis endotel, akan terjadi
beberapa hal berikut (1) rusaknya fungsi endotel sebagai barier permeabilitas, (2)
pelepasan sitokin inflamasi, (3) peningkatan produksi molekul adesi permukaan sel
yang memanggil leukosit, (4) terganggunya pelepasan zat-zat vasoaktif (prostasiklin
dan nitrit oksida), (5) terganggunya sifat antitrombotik.

Gambar 2.5 Disfungsi endotel sebagai tahap awal pembentukan plak (Libby,
2002)
Stressor fisik dan kimia merusak endotel, memungkinkan masuknya lipid ke
lapisan subintima dan mendorong pelepasan sitokin proinflamasi. Sitokin ini dan
lingkungan yang kaya lipid mendorong pengerahan leukosit ke lapisan subintima,
yang nantinya akan berkumpul menjadi foam cell.
Endotel yang telah teraktifasi tidak lagi berfungsi sebagai barier yang efektif
terhadap pergerakan lipoprotein ke dalam dinding pembuluh darah. Permeabilitas
endotel yang meningkat memberi jalan bagi LDL untuk masuk ke intima, suatu
proses yang difasilitasi dengan meningkatnya konsentrasi LDL dalam sirkulasi.
Setelah berada di dalam intima, LDL berakumulasi di subendotel, berikatan dengan
matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. Hal ini meningkatkan waktu keberadaan
LDL di dalam intima, yang memungkinkan LDL mengalami modifikasi kimia yang
merupakan poin penting dalam terbentuknya lesi aterosklerosis. Hipertensi, yang
merupakan faktor risiko mayor aterosklerosis, dapat meningkatkan retensi LDL di
dalam intima dengan meningkatkan produksi proteoglikan pengikat LDL oleh sel-sel
otot polos.
Oksidasi merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada LDL yang berada
di dalam intima. Hal ini dapat terjadi sebagai aksi dari zat oksigen reaktif dan enzim-
enzim prooksidan yang berasal dari endotel yang teraktifasi atau sel-sel otot polos,
atau dari makrofag yang mempenetrasi dinding pembuluh darah. Pada pasien
diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis, dapat terjadi glikasi dari LDL, suatu
modifikasi yang dapat mengaktifkan sifat proinflamasi dari LDL. Perubahan
biokimia ini terjadi cepat dan berkontribusi pada mekanisme inflamasi yang
diinisiasi oleh disfungsi endotel, dan mereka dapat menyebabkan inflamasi
sepanjang siklus pertumbuhan dari plak. Pada tahap fatty streak dan sepanjang
pertumbuhan dari plak, LDL yang dimodifikasi (mLDL) menyebabkan pengerahan
leukosit dan pembentukan foam cell (Libby, 2002).
Pengerahan dari leukosit (terutama monosit dan limfosit T) ke dalam dinding
pembuluh darah merupakan tahap kunci dalam aterogenesis. Proses ini bergantung
kepada (1) ekspresi dari leukocyte adhesion molecule (LAM), (2) signal
kemoatraktan seperti monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1), IL-8, interferon-
inducible protein-10.
Aterogenesis dimulai saat terjadinya jejas pada endotel akibat berbagai faktor
risiko dengan berbagai intensitas. Salah satu penjejas utama endotel adalah LDL
plasma yang tinggi. LDL akan mengalami oksidasi menjadi LDL-oks yang mudah
sekali menempel dan menumpuk pada dinding pembuluh darah menjadi deposit
lipid. Penumpukan ini menyebabkan jejas pada endotel. Pada keadaan terjejas,
endotel normal akan menjadi endotel yang hiperpermeabel, yang ditunjukkan dengan
terjadinya berbagai proses eksudasi (misalnya; protein, glukoprotein) dan infiltrasi
monosit ke dalam lapisan pembuluh darah akibat peningkatan adesifitas terhadap
lipoprotein, leukosit, platelet dan kandungan plasma lain. Selain itu, endotel terjejas
juga memiliki prokoagulan yang lebih banyak dibandingkan antikoagulan, serta
mengalami pemacuan molekul adesi leukosit seperti L-selektin, integrin, platelet-
endothelial-cell adhesion molecule (PECAM)-1 dan molekul adesi endotel seperti
Eselektin, P-selektin, intraceluar cell adhesion molecule (ICAM-1) dan vascular-cell
adhesion molecule (VCAM-1). Keadaan ini mengakibatkan makro molekul lebih
mudah menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan jejas pada
endotel (Soehnlein, 2012).
Sel endotel berfungsi sebagai vasodilator, antitrombotik, dan antiinflamasi. Sel
endotel, paling sedikit mensintesis 3 faktor vasodilator yang berbeda; Nitrit Oxide
(NO), prostasiklin (PGI2), dan EDHF (endothelium-derived hyperpolarizing factor)
yang belum teridentifikasi. Pada beberapa kondisi patologis, sel endotel juga
mensintesis beberapa faktor vasokonstriksi (EDCF-endothelium-derived constriction
factor) termasuk endothelin, superoxide, dan prostaglandin vasokonstriktor.
Respon inflamasi yang terjadi pada aterogenesis diperantarai oleh makrofag
derivat monosit dan limfosit T, yang apabila berlanjut akan meningkatkan jumlah
makrofag dan limfosit yang beremigrasi. Aktifitas makrofag dan limfosit
menimbulkan pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan,
yang dapat menginduksi kerusakan lebih lanjut, dan akhirnya menimbulkan nekrosis
fokal. Respon inflamasi ini apabila terus berlanjut akan menstimulai migrasi dan
proliferasi miosit yang saling bercampur pada area inflamasi dan membentuk lesi
intermedia. Apabila inflamasi tidak mereda, maka arteri akan mengalami remodeling,
yaitu penebalan dan pelebaran dinding arteri secara bertahap hingga lumen arteri
tidak dapat berdilatasi kembali.

2.6 Gambar Atrherosclerosis Timeline


C. Percutaneous Coronary Intervention
1. Pengertian Percutaneous Coronary Intervention
PCI terdiri dari tiga kata yakni Percutaneous yang artinya melalui kulit, Coronary
adalah pada arteri koroner, dan Intervention adalah tindakan yang dilakukan dalam
rangka pengobatan pada kelainan/penyakit jantung koroner. Percutaneous coronary
intervention (PCI) adalah intervensi atau tindakan non bedah untuk
membuka/dilatasi/melebarkan arteri koroner yang mengalami penyempitan agar aliran
darah dapat kembali menuju ke otot jantung ( Davis, 2011).
Yang dimaksud dengan Percutaneous Coronary Intervention adalah suatu teknik
untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh darah koroner yang
menyempit dengan memakai kateter balon dan sering kali dilakukan pemasangan
stent ( Trisnohadi, 2017).

2. Jenis Percutaneous Coronary Intervention


Team Work Service Koroner PJNHK membagi Percutaneous Coronary
Intervention menjadi tiga :
a. Primary Percutaneous Coronary Intervention adalah tindakan yang dilakukan
pada Akut Coroner Infark dengan Onset gejala kurang dari 12 Jam,
Keterlambatan door to needle lebih 30 menit dan door to balloon lebih dari 90
menit akan meningkatkan risiko relative 1 tahun sebanyak 7.5%. Sehingga segala
usaha harus dilakukan untuk mempercepat reperfusi. (May MRL,2008).
Primary PCI dilakukan apabila ada kriteria:
1) Dilakukan pada pasien STEMI dan gejala iskemik kurang dari 12 jam.
2) Dilakukan pada pasien dengan kontraindikasi fibrinolitik
3) Pada pasien STEMI dan syok kardiogenik atau heart failure akut terlepas
dari waktu tunda dari miocard infark
4) Ada nyeri dada khas infark
5) Ada ST Elevasi lebih dari 2 lead dan ada new LBBB (ESC Guidelines,
2011)
b. Early Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan yang dilakukan pada
Akut Coroner Infark dengan Onset gejala lebih dari 12 Jam
Early PCI dilakukan apabila ditemukan kriteria:
1) Nyeri dada khas infark
2) Ada ST Elevasi lebih dari 12 lead
3) Ada new LBBB
4) Onset lebih dari 12 jam kurang dari 24 jam
5) Kondisi tidak stabil(adanya aritmia)
6) Bunyi S3 dan murmur
7) Prolong chest pain
8) Crusade <140
9) Terdapat paling tidak 1 kriteria primer resiko dilakukan tindakan invasif
yaitu: peningkatan enzim jantung, perubahan ST segmen atau gelombang T
(ESC guidelines, 2011)

c. Rescue Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan yang dilakukan pada


Akut Coroner Infark dengan Onset gejala kurang dari 12 Jam setelah mengalami
kegagalan terapi Fibrinolitik.
Rescue PCI dilakukan apabila :
1) Terdapat tanda-tanda gagal fibrinolisis didasarkan pada data gejala klinis
contohnya masih nyeri dada
2) Resolusi segment ST <50%
3) Adanya infark yang luas dan PCI dapat dilakukan dalam 12 jam setelah
mulai keluhan nyeri dada
d. Elective Percutaneous Coronary Intervention adalah tindakan yang dilakukan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi gejala dari CAD pada
penderita yang sudah stabil atau tidak muncul gejala.
Elektive PCI dilakukan apabila ada kriteria:
1) Nyeri dada infark
2) Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
3) Tidak ada gambaran EKG abnormal pada serial 1 dan ke 2 (6-9 jam)
4) Tidak ada peningkatan troponin (saat datang dan 6-9 jam)
5) Tidak ada menunjukkan iskemik (ESC Guidelines, 2011)

3. Indikasi Percutaneous Coronary Intervention


a. Acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) Adalah sindrom Koroner
akut dengan deviasi ST segmen elevasi > 1 mm di ekstrimitas dan > 2 mm di
precordial, lead yang bersebelahan serta peningkatan CKMB lebih dari25µ/l,
Troponin T positif > 0,03.
b. Non–ST-elevation acute coronary syndrome (NSTE-ACS) Adalah sindrom
Koroner akut dengan deviasi ST segmen depresi > 0,5mm, dapat disertai
dengan gelombang T inverse dan peningkatan CKMB > 25 µ/l Troponin T
positif > 0,03
c. Unstable angina Adalah sindrom Koroner akut dengan deviasi ST segmen
depresi > 0,5mm, dapat disertai dengan gelombang T inverse dan Enzim
jantung (Bio-marker) normal.
d. Stable angina
Nyeri pada angina jenis ini, biasanya menghilang, apabila individu
yangbersangkutan menghentikan aktivitasnya.
e. Anginal equivalent (ec, dyspnea, arrhythmia, or dizziness or syncope)
Gejala yang dirasakan selain nyeri dada, misalnya sesak napas, malaise, sakit
dibagian lambung.
f. High risk stress test findings
g. Untuk pasien dengan STEMI, sangat disarankan utnuk dilaukan PCI dengan
segera atau Primary Coronary Angiografi. juga sangat merekomendasikan PCI
pada pasien dengan kasus NSTEACS dalam berbagai kasus (American
College of Cardiology Foundation (ACCF)/American Heart Association
(AHA) pada guedlinenes on guidelines on the management of NSTE-ACS
(updated in 2014).

4. Kontraindikasi Percutaneous Coronary Intervention


a. CHF yang tidak terkontrol, blood pressure tinggi, aritmia
b. Gangguan elekrolit
c. Infeksi (demam)
d. Perdarahan saluran cerna akut/anemia
e. Stroke baru (< 1 bulan)
f. Intoksikasi obat-obatan (seperti : Kontras )
g. Diseksi aorta
h. Usia kehamilan kurang dari 3 bulan
i. Memiliki riwayat stroke hemoragik
j. Memiliki riwayat bleeding disorder
k. Pasien yang tidak kooperatif

5. Persiapan Tindakan PCI


Persiapan rindakan PCI menurut Susan (2010):
a. Persiapan administrasi: surat ijin tindakan, surat permintaan tindakan, surat
jaminan pembayaran/keuangan.
b. Persiapan pasien: puasa, minum obat-obat yang dianjurkan, terutama minum
obat double anti platelet. Obat yang diberikan sebelum tindakan PCI yaitu :
1) Sebelum tindakan pasien sudah minum aspirin dan clopidogrel
2) Obat-obat diabetes mellitus dilanjutkan sebelum PCI, kecuali metformin.
3) Obat-obat diuretik dilanjutkan sebelum PCI
c. Persiapan mental :
1) Kaji pengetahuan pasien akan penyakit dan tindakan yang akan dilakukan
2) Jelaskan tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan seperti, lamanya
tindakan, ingatkan pasien akan mengalami penekanan di daerah lipat paha
dan brachialis selama 6-8 jam, sedangkan di daerah arteri radialis 3-4 jam.
3) Kaji psikologis pasien
4) Beri dukungan positif pada pasien
5) Mempersilahkan pasien dan keluarga untuk berdoa bersama
6) Informasikan pasien untuk banyak minum setelah tindakan untuk
mengeluarkan zat kontras
d. Persiapan fisik
1) Puasa 4-6 jam sebelum tindakan dilakukan, dalam hal ini puasa yang
dimaksud puasa makan, obat yang rutin diminum harus diminum.
2) Mencukur daerah yang akan dilakukan tindakan (arteriradialis kanan dan
kiri, inguinalis kanan dan kiri), menurut Merriweather & Hoke (2012) area
penusukan tindakan PCI yaitu: arteri femoralis, arteri brachialis dan arteri
radialis
3) Mengukur tinggi badan/berat badan
4) Pasang IV-line di tangan kiri
5) Ganti baju pasien dengan baju rumah sakit yang tersedia,lepas semua
pakaian dalam dan barang-barang berharga, seperti : cincin, jam tangan,
gelang.
6) Jika ureum/creatinin tinggi, sebelumnya pasien dilakukan rehidrasi cairan
1 cc/kgBB dan untuk pasien CHF diberikan 0,5 cc/kgbb/jam
7) Melakukan Allen Test (untuk puncture radialis)
8) Melakukan pengkajian
9) Pasang pempers
10) Kaji riwayat alergi
11) Observasi vital sign
12) Hasil pemeriksaan penunjang
13) Laboratorium : darah rutin, elektrolit, GDS, ureum, creatinin, HBsAG,
PT/APTT
14) EKG 12 leads
15) ECHO
16) Thorax foto dan MSCT Cardio
17) Hasil catheterisasi jantung

6. Prosedur Intervensi Percutaneous Coronary Intervention


a. Tim PCI
1. Dokter spesialis yang ahli dalam bidang intervensi non bedah
2. Perawat:
a) Scrub Nurse (Perawat Scrub) : Sebagai perawat steril
b) Circular Nurse (Perawat Sirkuler) Tugas Circular Nurse :
1) Menyiapkan pasien
2) Memberikan penjelasan tentang prosedure / tindakan
yang akan dilakukan
3) Mengobservasi tanda-tanda vital
4) Mencatat pemakaian alkes yang terpakai selama tindakan
5) Membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Dokter dan Scrub nurse
saat tindakan berlangsung.
6) Stand by untuk menangani saat terjadi kegawatan
jantung.
Melakukan surgical safety yang terdiri dari: sign in (saat pasien masuk
ruang tindakan), time out (saat akan dilakukan anestesi, dimana team
sudah siap semua) dan sign out (tindakan sudah selesai).
3. Petugas Teknisi Kardiovaskular
1) Serah terima pasien lengkap dengan file sesuai check list tindakan PCI
2) Menyiapkan macam-macam formulir (Cath/PCI)
3) Input data pasien
4) Map besar untuk arsip laporan hasil cath/ PCI, report selama tindakan
berlangsung ( pada map sudah ada tulisan: Nama pasien, umur, Dokter,
jenis tindakan,tanggal dan Nomer ID)
5) Monitoring pressure dan gambaran EKG
6) Mencatat semua prosedure dan awal sampai selesai
4. Petugas Radiologi
Yang mengatur posisi-posisi foto C-Arm pasien pada saat tindakan PCI
berlangsung.

7. Puncture area
Menurut Merriweather & Hoke (2012), area penusukan pada tindakan PCI terdiri
atas:
a. Arteri Femoralis
b. Arteri Brachialis
c. Arteri Radialis

8. Proses Prosedur Percutaneous Coronary Intervention ( California Pacific


Medical Center, 2008)
a. Perawat/teknisi membawa klien ke ruang kateterisasi (cath lab.)
b. Perawat memberikan obat melalui IV line untuk membantu klien
c. Rileks dan nyaman selama prosedur tindakan
d. Perawat membersihkan dan mensterilkan daerah kecil dipergelangan lengan
atau lipat paha klien (tergantung daerah yang akan digunakan). Daerah
tersebut kemudian ditutup dengan kain steril.
e. Dokter akan menginjeksi obat anestesi lokal dilipat paha atau tangan klien.
Digunakan anestesi lokal karena klien harus tetap sadar selama pemeriksaan
untuk mengikuti instruksi dokter.
f. Jarum akan ditusukkan ke dalam arteri yang digunakan kemudian guide wire
akan dimasukkan melalui jarum lalu jarum dilepas.
g. Sheath kateter akan dimasukkan melalui guide wire, kemudian sheath kateter
dimasukkan melalui pembuluh darah utama tubuh (Aorta), ke muara arteri
koroner di jantung. Kebanyakan orang tidak merasakan sakit selama
pemeriksaan, karena tidak ada serabut saraf dalam pembuluh darah, maka
klien tidak dapat merasakan gerakan kateter dalam tubuh.
h. Dokter akan menginjeksikan kontras dengan melihat melalui gambaran x-ray.
Klien mungkin akan merasakan sensasi panas saat kontras diinjeksikan.
i. Rumus pemberian kontras :
4-6 cc zat kontras x BB klien
Kreatinin klien
j. Pantau keluhan/laporan klien tentang adanya nyeri dada atau perasaan tidak
nyaman selama posedur.

9. Faktor-faktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi PCI:


a. Faktor anatomi
Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai faktor
keberhasilan PCI
b. Faktor klinis
Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya terjadi
komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8% pada
pasienyang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi usia,
jenis kelamin, angina yang tidak stabil dan diabetes.
c. Resiko kematian
Kematian pasien yang mendapat tindakan PCI berhubungan dengan oklusi,
diabetes dan infarkmiokardium
d. Wanita
Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan PCI memiliki
insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan hiperkolestrolemia
e. Usia lanjut
Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar dihubungkan
dengan peningkatan resiko mendapatkan komplikasi
f. Diabetes mellitus
Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus, pasien
diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi
g. Faktor hemodinamik
Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction dan
resiko rusaknya miokardium (AHA, 2014).
10. Komplikasi Tindakan Percutaneous Coronary Intervention
a. Stent thrombosis:
1) Ini adalah risiko karena stent tertutup oleh endotelium.
2) Hal ini paling sering terjadi pada bulan pertama, namun dapat terjadi
beberapa bulan atau tahun setelah PCI.
3) Hal ini terjadi pada 1-2% pasien.
b. Restenosis stent:
1) Hal ini disebabkan 'penyembuhan' berlebihan dari dinding pembuluh darah
2) Biasanya terjadi dalam waktu 3-6 bulan.
3) Hal ini terjadi di 4-20% dari stent.
c. Komplikasi utama lainnya jarang terjadi, tetapi dapat menyebabkan kematian,
MI akut yang mungkin memerlukan CABG darurat, stroke, tamponade
jantung, perdarahan sistemik, diseksi arteri koroner, vasospasme arteri
koroner, akut disritmia, cardiac arest, dan hipotensi.
d. Komplikasi kecil yang alergi terhadap kontras media, contrast induce
nefropathi (CIN) dan komplikasi di lokasi akses, seperti perdarahan,
hematoma, pseudoaneurisma, fistula arteriovenosus, thrombosis dan
embolisasi distal

10. Peran perawat dalam PCI


a. Sebelum Tindakan
1) Informed consent
2) Anjurkan klien untuk puasa 4-6 jam sebelum tindakan ( elektif PCI).
3) Observasi dan ukur tanda-tanda vital (perubahan EKG, tekanan darah,
HR, RR, dan saturasi O2).
4) Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium: Cek darah lengkap, GDS, ureum, creatinin, HBSAg,
elektrolit, PT, APTT.
b) Rontgen thorax
5) Cek pulsasi perifer (dorsalis pedis) untuk kateterisasi melalui arteri
femoralis
6) Melakukan Allen test (jika penusukan melalui arteri radialis)
7) Obat-obat dilanjutkan sesuai instruksi dokter
8) Pada klien dengan nilai creatinin diatas 1,25 mg/dl (nilai normal 0,72-
1,25 mg/dl), lakukan loading cairan (0.5 - 1 cc/kgBB/jam ) diberikan pre
dan post tindakan PCI,
9) Memberikan penjelasan prosedur tindakan
10) Pasang IV line
11) Membersihkan area puncture
b. Selama Tindakan
1) Kaji keluhan selama prosedur tindakan berlangsung
2) Kaji perdarahan selama tindakan berlangsung
3) Pertahankan kesterilan tindakan dan alat yang di pakai
4) Melakukan observasi tanda-tanda vital setiap 15 menit
5) Memantau hemodinamik
c. Setelah Tindakan
1) Kaji keluhan setelah tindakan
2) Setelah tindakan pasien akan dimonitor di ruang RR kurang lebih selama
45 menit- 1 jam
3) Observasi TTV secara ketat : setiap 15 menit pada jam pertama, setiap 30
menit pada jam ke ke tiga dan setiap jam pada 4 jam berikutnya
4) Mengobservasi tanda-tanda adanya perdarahan dan hematoma pada area
penusukan
5) Mengobservasi dan mengukur tanda–tanda vital (tekanan darah, nadi,
respirasi, suhu tubuh, dan saturasi O2)
6) Mengobservasi hasil laboratorium (peningkatan kreatinin
mengindikasikan gangguan ginjal karena zat kontras).
7) Mengobservasi efek alergi zat kontras (seperti menggigil, kemerahan,
gatal, pusing, mual, muntah, urine tidak keluar, dsb)
8) Mengobservasi gangguan sirkulasi perifer Cek pulsasi arteri dorsalis
pedis, tibialis, radialis. Bila terjadi gangguan ( nadi lemah/tak teraba),
beritahu dokter biasanya diberikan obat antikoagulan bolus atau bisa
dilanjutkan dengan pemberian terus menerus (kontinyu). Observasi
kehangatan daerah ekstremitas kanan dan kiri kemudian dibandingkan.
9) Mengobservasi adanya tanda-tanda hipovolemi
10) Memberikan hidrasi sesuai kebutuhan
11) Memonitor adanya tanda-tanda infeksi meliputi : Observasi daerah luka
dari sesuatu yang tidak aseptik/septic, selalu menjaga kesterilan area
penusukan, observasi adanya perubahan warna, suhu pada luka tusukan

11. Prosedur pencabutan Sheath Arteri Femoralis


a. 4 jam post tindakan PCI, sheath boleh dicabut/aff oleh dokter jika nilai ACT
(Activating Clohting Time, nilai normal 100 detik).
b. Dengan menggunakan sarung tangan steril dan prosedur steril, sheath di aff dan
dilakukan penekanan selama kurang lebih 10-15 menit sampai dengan
perdarahan berhenti
c. Beritahu kepada klien bahwa prosedur pencabutan sheath akan dilakukan dan
ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mencegah terjadinya reflek vagal
d. Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, saturasi
oksigen), pulsasi arteri perifer, dan keluhan klien selama aff sheath
e. Bila darah sudah tidak keluar, luka pungsi ditutup dengan kasa steril dan verban
elastic lalu diberi bantal steril
f. 6 jam post aff sheath klien baru diperbolehkan mobilisasi
g. Observasi daerah distal ekstremitas ( pulsasi arteri dorsalis ) dan keadaan umum
klien post aff sheath ( tekanan darah, nadi, irama ekg/perubahan gelombang
EKG, saturasi O2,pernapasan).

12. Prosedur Pelepasan


Bebat Tekan Area puncture di arteri radialis :
a. Pelepasan dilakukan 2-4 jam setelah tindakan PCI
b. Gunakan sarung tangan bersih, letakkan tangan kiri diatas bebat tekan, dan
beri sedikit penekanan dengan kuat
c. Buka plester bebat tekan dengan tangan kanan perlahan-lahan sambil
memperhatikanaliran darah yang keluar dari luka insisi/penusukan
d. Bila masih terdapat perdarahan pasang kembali bebat tekan dan plester untuk
mencegah plester bebat tekan terlepas
e. Bila tidak terjadi perdarahan lanjutkan membuka bebat tekan dan tutup dengan
kassa steril diatas luka insisi dan tekan dengan kuat.
D. Contrast Induced Nephropathy
1. Definisi Contrast Induced Nephropathy
Contrast Induced Akut Kidney Injury adalah adanya peningkatan serum
creatinine ≥ 0,5 mg/dl (≥ 44µmol/L) atau peningkatan 25% dari nilai awal creatinine
yang dilihat 48 jam setelah prosedur radiological, tanpa penyebab yang lainnya.
(McCullough. Contrast Induced-AKI. JACC. Vol.51. No.15, 2008).
Definisi CIN menurut European Society of Urogenital Radiology adalah
peningkatan kreatinin serum ≥ 25% atau 0 , 5 mg/dL yang terjadi dalam 3 hari setelah
pemberian media kontras intravaskular tanpa ada penyebab lainnya (Thomsen, 2006).
Slocum dkk (2010) melakukan studi untuk menentukan definisi CIN yang paling
baik dalam implikasi klinis apakah peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin
serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL. Dari data yang ada peningkatan
yang absolut ≥ 0,5 mg/dL lebih superior dibanding peningkatan serum ≥ 25% dari
nilai dasar kreatinin serum dalam menegakkan CIN.

2. Faktor Risiko Contrast Induced Nephropathy (CIN) Menurut Shoukat (2010)


a. Faktor risiko terkait pasien
1) Dapat dirubah :
a) Kekurangan cairan.
b) Anemia ringan
c) Penggunaan obat – obatan yang nephrotoksik.
d) Albumin rendah
2) Tidak dapat dirubah :
a) Usia
b) Diabetes Mellitus
c) Gagal ginjal yang sudah ada sebelumnya
d) CHF
e) Hemodinamik yang tidak stabil
f) Nephrotik sindrom
g) Transplantasi ginjal.
b. Faktor risiko terkait prosedur
1) Dapat dirubah
a) Volume media kontras
b) Pemberian media kontras berulang dalam durasi 72 jam Osmolaritas dan
ionicity media kontras.
2) Tidak dapat dirubah
a) Pemakaian IABP
b) Emergency PCI
c) Pemberian media kontras

3. Stratifikasi Resiko Contras Induced Nephropathy (CIN)


Berdasarkan National Kidney and Transplant Institute Phillipines (2013):
a. Low Risk : eGFR > 60 ml/menit
b. Moderate Risk : eGFR 30 – 59 ml/menit
c. High Risk : eGFR < 30 ml/menit
Dengan rumus = (140)-( Usia)xBB
72 x Kreatinin

Tabel 1 Klasifikasi skor CIN


Resiko rendah (skor ≤5), resiko moderate (skor 6-10), resiko tinggi(skor 11-15), dan
resiko sangat tinggi (≥16).

4. Penatalaksanaan CIN
Penatalaksanaan CIN berdasarkan Standar Prosedur Operasional CIN di Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita.
Tujuan :
a. Mencegah kejadian CIN semua pasien yang menjalani prosedur.
b. Mengurangi kejadian CIN semua pasien risiko tinggi yang menjalani prosedur.
Informasi Umum :
a. CIN masih merupakan masalah yang berkaitan dengan penggunaanmedia kontras.
b. CIN merupakan salah satu penyebab Gagal Ginjal Akut yangdidapat saat
perawatan di Rumah Sakit.
c. Gagal Ginjal Kronis merupakan faktor predisposisi utama untukterjadinya CIN.
d. Bila pasien yang menjalani prosedur mengalami CIN danmemerlukan dialisa
akan berdampak pada lama waktu perawatan,biaya perawatan dan risiko
kematian.
e. Pasien yang akan menjalani prosedur angiografi harus di periksakadar creatinin
plasma.
f. Pasien yang sudah pernah menjalani prosedur, harus di cek jenismedia kontras
yang digunakan sebelumnya.
g. Pasien dengan kadar creatinin > 2.0, harus dirawat terlebihdahulu sebelum
menjalani prosedur.

5. Prosedur
a. Untuk pasien Ambulatory
1) Untuk Pasien ambulatory dengan creatinin ≥ 1.7 sampai 2.0 mg/dl tanpa tanda-
tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi ≥ 40 %.
Pre Prosedur:
a) Anjurkan pasien minum air putih kurang lebih 1 liter dalam 12 jam atau
sekurang-kurangnya 3 jam sebelum prosedur atau diberikan infus NaCL
0.9 % 500 cc sebelum prosedur.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality )
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang didapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
2) Untuk Pasien ambulatory dengan creatinin ≥ 1.7 sampai 2.0 mg/dl dengan
tanda-tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi < 40 %.
Pre Prosedur:
a) Anjurkan pasien minum air putih kurang lebih 500 cc dalam 12 jam atau
sekurang-kurangnya 3 jam sebelum procedure atau diberikan infus NaCL
0.9 % 300 cc sebelum prosedur sambil di evaluasi tanda –tanda
perburukan gagal jantung seperti keluhan sesak bertambah, denyut nadi
meningkat, terdengar rales pada kedua basal paru.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality )
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Berikan profilaksis dengan oradexon 1 ampul dan chlorphenon 10 mg (1
cc) IV pada pasien dengan riwayat alergi media kontras.
d) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yangdidapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
b. Untuk pasien rawat inap.
1) Untuk Pasien rawat inap dengan creatinin ≥ 1.7 sampai 2.0 mg/dltanpa tanda-
tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi ≥ 40 %.
Pre Prosedur:
a) Diiberikan infus NaCL 0.9 % 1 cc/kgBB/jam dalam 12 jam sebelum
prosedur.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality)
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang didapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
2) Untuk Pasien rawat inap dengan creatinin ≥ 1.7 sampai2.0 mg/dl dengan
tanda-tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi ≥ 40 %.
Pre Prosedur:
a) Diiberikan infus NaCL 0.9 % 0.5 cc/kgBB/jam dalam 12 jam sebelum
prosedur.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (lowosmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality)
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang didapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik Percutaneous Coronary Intervention adalah:
1. Pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, Leu, Tromb, Ur, Cr, PT/APTT, BT, ACT,
elektrolit, dan HbSAG).
2. Pemeriksaan EKG
3. Pemeriksaan echocardiografi
4. Pemeriksaan rontgen thorax
5. Treadmill (uji latih beban jantung)
6. Angiography

Anda mungkin juga menyukai