PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit jantung yang ditimbulkan akibat
penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh
darah yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi atreri yang disebut
aterosklerosis. Kelainan pada arteri korener akibat aterosklerosis menyebabkan suplai
darah ke jantung tidak adekuat dan sel-sel otot jantung kekurangan komponen darah. Hal
ini akan menimbulkan iskhemia pada otot-otot jantung sehingga pasien akan mengalami
nyeri dada dan pada kondisi iskhemia yang lebih berat dapat disertai dengan kerusakan
sel jantung yang bersifat irreversible (Smeltzer & Bare, 2008).
Penyakit kardiovaskular atau cardiovascular disease (CVD) menempati peringkat
pertama penyebab kematian di dunia melebihi penyakit lain. Penyakit kardiovaskular
merupakan penyakit tidak menular yang menyebabkan sebanyak lebih dari 17 juta
kematian di dunia setiap tahun (30% dari semua kematian). Sebanyak 80% terjadi pada
negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 23,6 juta pada tahun 2030. Menurut data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2013 prevalensi penyakit kardiovaskular cenderung meningkat dari
tahun ke tahun. Diperkirakan hingga ahun 2030 penyakit kardiovaskular akan
menyebabkan kematian lebih dari 23 juta jiwa per tahun.
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi tertinggi untuk penyakit
Kardiovaskuler di Indonesia adalah PJK, yakni sebesar 1,5%. Dari prevalensi tersebut,
angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%) dan terendah di Provinsi
Riau (0,3%). Menurut kelompok umur, PJK paling banyak terjadi pada kelompok umur
65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur 75 tahun ke atas (3,2%), kelompok umur 55-
64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun (1,3%). Sedangkan menurut status
ekonomi, terbanyak pada tingkat ekonomi bawah (2,1%) dan menengah bawah (1,6%).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan 17,5 juta orang di
dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di
seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi di negara
berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang. Dari seluruh kematian akibat
penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh stroke. (Kemenkes RI, 2017)
Di RS Jantung & Pembuluh darah Harapan Kita Jakarta, Jumlah kasus pasien yang
dilakukan PCI adalah pasien yang mengalami kasus dengan Jantung Koroner mengalami
peningkatan dari tahun 2016 sebanyak 2009 orang dan di tahun 2017 sebanyak 2160
sehingga mengalami peningkatan yang signifikan dengan angka kurang lebih 7.09 %.
(Laporan tahunan RSJPDHK tahun 2017).
PCI (Percutaneus Coronary Intervention) merupakan salah satu penanganan
intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara membuat saluran baru
melewati bagian arteri koronaria yang mengalami penyempitan atau penyumbatan.
Banyak penelitian telah dilakukan dengan membandingkan revaskularisasi yang terjadi
dan kelangsungan hidup pasien pasca operasi mempergunakan berbagai variasi teknik
opersi dengan menggunakan pembuluh- pembuluh darah tersebut, dengan hasil yang
beragam tergantung dari kondisi dan keparahan dari PJK yang dideritanya. Seiring
dengan perkembangan waktu, penelitian menyimpulkan bahwa Penyakit jantung-koroner
(PJK) merupakan problem kesehatan utama di negara maju.
Di Indonesia diperkirakan lebih dari 10.000 PCI dilakukan tiap tahun dan akan
semakin banyak dari tahun ke tahun seiring dengan semakin banyaknya fasilitas dan
tenaga intervensi yang tersedia di seluruh Indonesia. Sepanjang tahun 2011 tercatat 2.100
PCI telah dilakukan di Pusat Jantung Dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita
(RSPJDNHK) (Depkes RI, 2012). Menurut data rekam medis RSPJDNHK pada tahun
2013 tercatat sebanyak 1.715 pasien yang dilakukan PCI dengan menggunakan stent,
pada tahun 2014 sebanyak 1.986 pasien dan pada tahun 2016 angka kejadian ini
mengalami kenaikan sebanyak 2004 pasien.
Dari data yang didapatkan, jumlah tindakan PCI di RSPJDNHK dari tahun ke
tahun menunjukan peningkatan. Dengan dilakukanya tindakan PCI ini, diharapkan angka
mortalitas dan morbiditas akibat PJK ini akan menurun, walaupun ada komplikasi pasca
prosedur PCI yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu perawat dituntut untuk mampu
meningkatkan pengetahuan tentang PCI dan mampu memberikan asuhan keperawatan
yang optimal pada pasien yang dilakukan PCI agar kualitas hidup pasien meningkat dan
terhindar dari komplikasi yang mungkin akan terjadi, sehingga kelompok tertarik
membahas asuhan keperawatan pada pasien yang dilakukan tindakan Percutaneus
Coronary Intervention (PCI).
2. Etiologi
Faktor-faktor yang meningkatkan terjadinya coronary artery disease :
a. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar kemungkinan untuk menderita CAD dan
menderita serangan jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko terkena CAD
adalah 49% untuk laki-laki dan 32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81%
orang-orang yang meninggal akibat CAD adalah ≥ 65 tahun
b. Jenis kelamin
Peningkatan kejadian CAD pada wanita itu terjadi setelah menopause dan
kematian 2-3 kali lebih besar daripada wanita sebelum menopause. Oleh karena
itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap CAD.
c. Genetik
Individu yang memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita CAD
memiliki risiko 40-60% terkena CAD jika dibandingkan dengan anak yang
orang tuanya tidak memiliki riawayat CAD, meskipun kedua orang tua
angkatnya menderita CAD.
d. Diabetes
Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan
aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM
akibat penyakit arterial. Angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien
DM daripada individu normal. Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan
dengan abnormalitas metabolisme lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis
dan advanced glycation endproducts (AGE) yang menggambarkan metabolisme
abnormal pada DM yang berdampak pada injuri endotelium.
e. Hipertensi
Menurut penelitian Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi
merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK.
f. Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan
jantung dan menurunkan kadar HDL yang bersifat kardioprotektif (Nursalim,
2011).
g. Merokok
Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan
serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan
cara menurunkan level kolesterol HDL. Semakin banyak merokok semakin
besar risiko terkena serangan jantung (Ramandika, 2012).
B. Aterosklerosis
1. Penertian
Aterosklerosis berasal dari bahasa yunani yaitu ‘athere-‘ yang berarti bubur, dan ‘–
skleros’ yang berarti keras. Aterosklerosis adalah penyakit akibat respon peradangan
pada pembuluh darah (arteri besar dan sedang), bersifat progresif, yang ditandai dengan
deposit massa kolagen, kolesterol, produk buangan sel dan kalsium, disertai proliferasi
miosit yang menimbulkan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sehingga
mengakibatkan kekakuan dan kerapuhan arteri (Stary, 1995).
Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol yang tinggi (khususnya LDL),
merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurangnya aktifitas fisik.
Tingginya kadar homosistein darah, fibrinogen, dan lipoprotein-A juga dilaporkan
sebagai faktor risiko terjadinya aterosklerosis. Ada 4 faktor risiko biologis yang tidak
dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga (genetik). Helicobacter
Pylori dan Chlamydia Pneumoniae, juga bisa menimbulkan infeksi atau transformasi
miosit atau endotel, yang akan memicu lesi aterosklerosis. Hiperglikemia dapat memacu
aktifitas protein kinase C (CPK). Peningkatan aktifitas CPK akan meningkatkan ekspresi
transforming growth factor-beta (TGF- ). Peningkatan ekspresi TGF- menimbulkan
kekakuan dan abnormalitas structural pembuluh darah.
Populasi dengan hiperlipidemia lebih banyak terkena aterosklerosis dibanding
kelompok orang dengan kadar lipid rendah. Populasi dengan hiperlipidemia ini lebih
signifikan berhubungan dengan gejala aterosklerosis dan kematian, oleh karena
komplikasi aterosklerosis koroner. Tingginya kolesterol darah, trigliserida, dan LDL
berhubungan dengan stenosis koroner. Sementara kadar kolesterol HDL berhubungan
dengan menurunnya insiden penyakit aterosklerosis, karena HDL dapat mengembalikan
kolesterol dari jaringan untuk di metabolisme di hepar. Kadar kolesterol LDL yang
tinggi menjadi penyebab utama sel endotel dan miosit. Kolesterol LDL dapat mengalami
oksidasi, agregasi, dan berikatan dengan proteoglikan atau menyatu dengan kompleks
imun. Pada kondisi hipertensi juga berperan agen proinflamasi yang meningkatkan
formasi hidrogen peroksida (hidroksi radikal) dan radikal bebas (anion superoksida)
dalam plasma. Substansi itu mereduksi pembentukan nitrit oksida oleh endotel,
meningkatkan adhesi leukosit, dan peningkatan resistensi perifer. Selanjutnya formasi
radikal bebas mengakibatkan efek hipertensi dan hiperkolesterolemia (Hansson, 2005).
2. Patogenesis Aterosklerotik
Dinding arteri merupakan suatu sistem yang dinamis dan teratur. Akan tetapi,
elemen-elemen perusak dapat mengganggu homeostasis normal pada arteri dan
memberi jalan terjadinya aterogenesis. Beberapa hal telah berhasil diidentifikasi
sebagai komponen - komponen penting yang berkontribusi pada proses inflamasi
aterosklerosis, yaitu (1) disfungsi endotel, (2) akumulasi lipid di dalam intima, (3)
pengerahan leukosit dan sel-sel otot polos ke dalam dinding pembuluh darah, (4)
pembentukan foam cell, (5) deposisi dari matriks ekstraseluler seperti yang
ditunjukkan dalam gambar.
Gambar 2.4 Diagram evolusi plak aterosklerosis (Libby, 2002)
(1) Akumulasi partikel lipoprotein di dalam intima. Lipoprotein yang berwarna
lebih gelap menunjukkan modifikasi lipoprotein (oksidasi atau glikasi). (2) Stres
oksidatif, termasuk konstituen dari LDL yang termodifikasi (mLDL), menginduksi
produksi sitokin-sitokin lokal. (3) Sitokin tersebut menginduksi pelepasan molekul-
molekul adesi yang mengikat leukosit dan zat-zat kemoatraktan (monocyte
chemoattractant protein 1 [MCP1]) yang menyebabkan migrasi leukosit ke dalam
intima. (4) Setelah masuk ke dalam dinding pembuluh darah, monosit darah
mengalami stimulus seperti faktor stimulus koloni makrofag (M-CSF) yang
meningkatkan ekspresi reseptor scavenger. (5) Reseptor scavenger memediasi
pengambilan mLDL oleh makfrofag dan menyebabkan pembentukan foam cell.
Foam cell makrofag merupakan sumber tambahan sitokin dan molekul efektor
seperti anion superoksida dan matriks metalloproteinase. (6) Sel-sel otot polos
bermigrasi dari media ke lapisan intima (7) Sel otot polos intima membelah, dan
berelaborasi dengan matriks ekstraseluler, mendorong akumulasi matriks pada plak
aterosklerosis. Pada tahap ini fatty streak berubah menjadi fibrofatty lesion. (8) Pada
tahap lanjutan, dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis, dan kadang diikuti oleh
kematian sel-sel otot polos (apoptosis).
Fatty streak merupakan lesi yang pertama kali terlihat pada ateroklerosis. Pada
inspeksi secara kasat mata, lesi ini terlihat sebagai area yang berwarna kuning pada
permukaan arteri, akan tetapi lesi ini belum menonjol dan belum mengganggu aliran
darah pada arteri. Fatty streak dapat dijumpai pada aorta dan arteri koroner orang
berumur 20 tahun. Lesi ini tidak menimbulkan gejala, dan dapat membaik perlahan
pada beberapa lokasi pembuluh darah. Inisiasi terbentuknya lesi ini sangat
berhubungan dengan terjadinya disfungsi endotel.
Disfungsi endotel dapat dipicu oleh dua hal utama yaitu stres fisik dan zat-zat
iritan. Peran dari stress fisik pada pembuluh darah dapat dilihat dari fakta bahwa
aterosklerosis lebih cenderung terbentuk pada titik-titik percabangan arteri. Pada
bagian pembuluh darah yang lurus, aliran laminar menyediakan nitrit oksida yang
lebih banyak, yang bermanfaat sebagai vasodilator, inhibisi agregasi platelet, dan
efek anti inflamasi. Arteri-arteri dengan cabang yang sedikit seperti left internal
mammary artery (LIMA), menunjukkan resistensi yang lebih baik terhadap
aterosklerosis, sedangkan pembuluh darah dengan percabangan seperti arteri karotis
komunis dan arteri koroner kiri merupakan tempat utama terjadinya aterosklerosis.
Disfungsi endotel juga dapat terjadi akibat paparan zat-zat toksik. Sebagai
contoh merokok, level lipid yang abnormal, dan diabetes, yang dikenal sebagai
faktor risiko mayor aterosklerosis, dapat menginduksi terjadinya disfungsi endotel.
Setiap keadaan tersebut meningkatkan produksi zat-zat oksigen reaktif dari endotel,
terutama anion superoksida, yang berinteraksi dengan molekul intraseluler lainnya
untuk mempengaruhi fungsi metabolik dan sintesis endotel. Sebagai akibatnya, sel-
sel tersebut menyebabkan terjadinya proses proinflamasi.
Saat stresor fisik dan kimia mengganggu homeostasis endotel, akan terjadi
beberapa hal berikut (1) rusaknya fungsi endotel sebagai barier permeabilitas, (2)
pelepasan sitokin inflamasi, (3) peningkatan produksi molekul adesi permukaan sel
yang memanggil leukosit, (4) terganggunya pelepasan zat-zat vasoaktif (prostasiklin
dan nitrit oksida), (5) terganggunya sifat antitrombotik.
Gambar 2.5 Disfungsi endotel sebagai tahap awal pembentukan plak (Libby,
2002)
Stressor fisik dan kimia merusak endotel, memungkinkan masuknya lipid ke
lapisan subintima dan mendorong pelepasan sitokin proinflamasi. Sitokin ini dan
lingkungan yang kaya lipid mendorong pengerahan leukosit ke lapisan subintima,
yang nantinya akan berkumpul menjadi foam cell.
Endotel yang telah teraktifasi tidak lagi berfungsi sebagai barier yang efektif
terhadap pergerakan lipoprotein ke dalam dinding pembuluh darah. Permeabilitas
endotel yang meningkat memberi jalan bagi LDL untuk masuk ke intima, suatu
proses yang difasilitasi dengan meningkatnya konsentrasi LDL dalam sirkulasi.
Setelah berada di dalam intima, LDL berakumulasi di subendotel, berikatan dengan
matriks ekstraseluler yaitu proteoglikan. Hal ini meningkatkan waktu keberadaan
LDL di dalam intima, yang memungkinkan LDL mengalami modifikasi kimia yang
merupakan poin penting dalam terbentuknya lesi aterosklerosis. Hipertensi, yang
merupakan faktor risiko mayor aterosklerosis, dapat meningkatkan retensi LDL di
dalam intima dengan meningkatkan produksi proteoglikan pengikat LDL oleh sel-sel
otot polos.
Oksidasi merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada LDL yang berada
di dalam intima. Hal ini dapat terjadi sebagai aksi dari zat oksigen reaktif dan enzim-
enzim prooksidan yang berasal dari endotel yang teraktifasi atau sel-sel otot polos,
atau dari makrofag yang mempenetrasi dinding pembuluh darah. Pada pasien
diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis, dapat terjadi glikasi dari LDL, suatu
modifikasi yang dapat mengaktifkan sifat proinflamasi dari LDL. Perubahan
biokimia ini terjadi cepat dan berkontribusi pada mekanisme inflamasi yang
diinisiasi oleh disfungsi endotel, dan mereka dapat menyebabkan inflamasi
sepanjang siklus pertumbuhan dari plak. Pada tahap fatty streak dan sepanjang
pertumbuhan dari plak, LDL yang dimodifikasi (mLDL) menyebabkan pengerahan
leukosit dan pembentukan foam cell (Libby, 2002).
Pengerahan dari leukosit (terutama monosit dan limfosit T) ke dalam dinding
pembuluh darah merupakan tahap kunci dalam aterogenesis. Proses ini bergantung
kepada (1) ekspresi dari leukocyte adhesion molecule (LAM), (2) signal
kemoatraktan seperti monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1), IL-8, interferon-
inducible protein-10.
Aterogenesis dimulai saat terjadinya jejas pada endotel akibat berbagai faktor
risiko dengan berbagai intensitas. Salah satu penjejas utama endotel adalah LDL
plasma yang tinggi. LDL akan mengalami oksidasi menjadi LDL-oks yang mudah
sekali menempel dan menumpuk pada dinding pembuluh darah menjadi deposit
lipid. Penumpukan ini menyebabkan jejas pada endotel. Pada keadaan terjejas,
endotel normal akan menjadi endotel yang hiperpermeabel, yang ditunjukkan dengan
terjadinya berbagai proses eksudasi (misalnya; protein, glukoprotein) dan infiltrasi
monosit ke dalam lapisan pembuluh darah akibat peningkatan adesifitas terhadap
lipoprotein, leukosit, platelet dan kandungan plasma lain. Selain itu, endotel terjejas
juga memiliki prokoagulan yang lebih banyak dibandingkan antikoagulan, serta
mengalami pemacuan molekul adesi leukosit seperti L-selektin, integrin, platelet-
endothelial-cell adhesion molecule (PECAM)-1 dan molekul adesi endotel seperti
Eselektin, P-selektin, intraceluar cell adhesion molecule (ICAM-1) dan vascular-cell
adhesion molecule (VCAM-1). Keadaan ini mengakibatkan makro molekul lebih
mudah menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan jejas pada
endotel (Soehnlein, 2012).
Sel endotel berfungsi sebagai vasodilator, antitrombotik, dan antiinflamasi. Sel
endotel, paling sedikit mensintesis 3 faktor vasodilator yang berbeda; Nitrit Oxide
(NO), prostasiklin (PGI2), dan EDHF (endothelium-derived hyperpolarizing factor)
yang belum teridentifikasi. Pada beberapa kondisi patologis, sel endotel juga
mensintesis beberapa faktor vasokonstriksi (EDCF-endothelium-derived constriction
factor) termasuk endothelin, superoxide, dan prostaglandin vasokonstriktor.
Respon inflamasi yang terjadi pada aterogenesis diperantarai oleh makrofag
derivat monosit dan limfosit T, yang apabila berlanjut akan meningkatkan jumlah
makrofag dan limfosit yang beremigrasi. Aktifitas makrofag dan limfosit
menimbulkan pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan,
yang dapat menginduksi kerusakan lebih lanjut, dan akhirnya menimbulkan nekrosis
fokal. Respon inflamasi ini apabila terus berlanjut akan menstimulai migrasi dan
proliferasi miosit yang saling bercampur pada area inflamasi dan membentuk lesi
intermedia. Apabila inflamasi tidak mereda, maka arteri akan mengalami remodeling,
yaitu penebalan dan pelebaran dinding arteri secara bertahap hingga lumen arteri
tidak dapat berdilatasi kembali.
7. Puncture area
Menurut Merriweather & Hoke (2012), area penusukan pada tindakan PCI terdiri
atas:
a. Arteri Femoralis
b. Arteri Brachialis
c. Arteri Radialis
4. Penatalaksanaan CIN
Penatalaksanaan CIN berdasarkan Standar Prosedur Operasional CIN di Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita.
Tujuan :
a. Mencegah kejadian CIN semua pasien yang menjalani prosedur.
b. Mengurangi kejadian CIN semua pasien risiko tinggi yang menjalani prosedur.
Informasi Umum :
a. CIN masih merupakan masalah yang berkaitan dengan penggunaanmedia kontras.
b. CIN merupakan salah satu penyebab Gagal Ginjal Akut yangdidapat saat
perawatan di Rumah Sakit.
c. Gagal Ginjal Kronis merupakan faktor predisposisi utama untukterjadinya CIN.
d. Bila pasien yang menjalani prosedur mengalami CIN danmemerlukan dialisa
akan berdampak pada lama waktu perawatan,biaya perawatan dan risiko
kematian.
e. Pasien yang akan menjalani prosedur angiografi harus di periksakadar creatinin
plasma.
f. Pasien yang sudah pernah menjalani prosedur, harus di cek jenismedia kontras
yang digunakan sebelumnya.
g. Pasien dengan kadar creatinin > 2.0, harus dirawat terlebihdahulu sebelum
menjalani prosedur.
5. Prosedur
a. Untuk pasien Ambulatory
1) Untuk Pasien ambulatory dengan creatinin ≥ 1.7 sampai 2.0 mg/dl tanpa tanda-
tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi ≥ 40 %.
Pre Prosedur:
a) Anjurkan pasien minum air putih kurang lebih 1 liter dalam 12 jam atau
sekurang-kurangnya 3 jam sebelum prosedur atau diberikan infus NaCL
0.9 % 500 cc sebelum prosedur.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality )
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang didapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
2) Untuk Pasien ambulatory dengan creatinin ≥ 1.7 sampai 2.0 mg/dl dengan
tanda-tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi < 40 %.
Pre Prosedur:
a) Anjurkan pasien minum air putih kurang lebih 500 cc dalam 12 jam atau
sekurang-kurangnya 3 jam sebelum procedure atau diberikan infus NaCL
0.9 % 300 cc sebelum prosedur sambil di evaluasi tanda –tanda
perburukan gagal jantung seperti keluhan sesak bertambah, denyut nadi
meningkat, terdengar rales pada kedua basal paru.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality )
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Berikan profilaksis dengan oradexon 1 ampul dan chlorphenon 10 mg (1
cc) IV pada pasien dengan riwayat alergi media kontras.
d) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yangdidapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
b. Untuk pasien rawat inap.
1) Untuk Pasien rawat inap dengan creatinin ≥ 1.7 sampai 2.0 mg/dltanpa tanda-
tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi ≥ 40 %.
Pre Prosedur:
a) Diiberikan infus NaCL 0.9 % 1 cc/kgBB/jam dalam 12 jam sebelum
prosedur.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality)
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang didapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
2) Untuk Pasien rawat inap dengan creatinin ≥ 1.7 sampai2.0 mg/dl dengan
tanda-tanda gagal jantung dan atau Fraksi Ejeksi ≥ 40 %.
Pre Prosedur:
a) Diiberikan infus NaCL 0.9 % 0.5 cc/kgBB/jam dalam 12 jam sebelum
prosedur.
b) Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal antara
lain aminoglokosida, NSAID.
c) Berikan flumucil 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4 dosis (2x1 selama
48 jam), yang dimulai sebelum diberikan kontras.
Saat Prosedur:
a) Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (lowosmolality) atau
kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan plasma (iso
osmolality)
b) Hindari penggunanaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila pasien
menjalani prosedure lebih dari sekali.
c) Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang didapatkan
berdasarkan rumus :
GFR laki-laki: (140-umur) x BB (kg)/ 72 x serum creatinin
GFR Perempuan: (GFR laki-laki) x 0,85
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik Percutaneous Coronary Intervention adalah:
1. Pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, Leu, Tromb, Ur, Cr, PT/APTT, BT, ACT,
elektrolit, dan HbSAG).
2. Pemeriksaan EKG
3. Pemeriksaan echocardiografi
4. Pemeriksaan rontgen thorax
5. Treadmill (uji latih beban jantung)
6. Angiography