F1 Pemberdayaan Masyarakat
Latar Belakang
Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit, yang
umumnya terabaikan sehingga menjadi masalah kesehatan yang umum di seluruh
dunia, dapat menjangkiti semua orang pada semua umur, ras dan level sosial
ekonomi. Di Indonesia, Skabies masih sering di jumpai di Indonesia dan tetap
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kulit skabies merupakan
penyakit yang mudah menular. Penyakit ini dapat ditularkan secara langsung
(kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan melalui
hubungan seksual. Penularan secara tidak langsung (melalui benda), misalnya
pakaian, handuk, sprei, bantal, dan selimut.
Skabies merupakan penyakit endemi di masyarakat. Penyakit ini banyak
dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua
golongan umur. Prevalensi skabies di negara berkembang dilaporkan sebanyak 6-
27% dari populasi umum dan insidens tertinggi pada anak usia sekolah dan
remaja. Berdasarkan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI)
tahun 2001, dari sembilan rumah sakit di tujuh kota besar di Indonesia, jumlah
penderita skabies terbanyak didapatkan di Jakarta yaitu 335 kasus di tiga rumah
sakit. Penularan skabies terjadi lebih mudah karena faktor lingkungan dan
perilaku yang tidak bersih.
Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren memang
berisiko mudah tertular berbagai penyakit kulit, khususnya penyakit Skabies.
Penularan terjadi bila kebersihan pribadi dan lingkungan tidak terjaga dengan
baik. Hal inilah umumnya menjadi penyebab timbulnya skabies. Faktor – faktor
yang mempengaruhi penularan skabies diantara lain, personal hygiene badan
(kulit, kuku tangan), personal hygiene pakaian (kebiasaan bertukar pakaian,
handuk, selimut dan sprei) dan lingkungan fisik rumah (pencahayaan, suhu,
ventilasi, kelembaban, dan kepadatan hunian).
Permasalahan
Kurangnya pengetahuan santri terkait penyakit skabies sebagai penyakit
tersering di pondok pesantren
Pelaksanaan
Pelaksanaan penyuluhan dilaksanakan pada:
Hari : Jumat, 4 September 2015
Pukul : 08.00 - 10.00
Tempat : Aula Pondok Pesantren Assirojiyah
Jumlah peserta yang hadir adalah 25 orang meliputi para Santri Husada
Pondok Pesantren Assirojiyah. Pemberian materi dilaksanakan selama ± 15
menit, menggunakan metode ceramah dan presentasi mengenai Skabies dengan
menggunakan laptop dan LCD. Tanya jawab dilaksanakan setelah pemaparan
materi selesai, selama ± 15 menit. Pertanyaan yang disampaikan oleh peserta
adalah apakah kutu skabies bisa mati dengan mandi belerang, dan apakah kutu
skabies bisa mati dengan minum seperti jamu-jamuan.
Latar Belakang
Penyakit Leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis
menular yang menjadi masalah kesehatan dan perhatian dunia.Diperkirakan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Ada beberapa hal yang
menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit Leptospirosis di dunia antara
lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan
yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV
terutama di Afrika dan Asia. Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat
dari beban Leptospirosis global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia.
Penyakit Leptospirosis dapat menular lewat percikan dahak yang keluar
saat batuk,bersin atau berbicara karena penularannya melalui udara yang terhirup
saat bernapas. Diperkirakan, satu orang menderita Leptospirosis BTA positif yang
tidak diobati akan menulari 10-15 orang setiap tahunnya.
Penyakit Leptospirosis erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan rumah,
perilaku,tingkat pendidikan dan jumlah penghasilan keluarga.Sanitasi lingkungan
rumah sangat mempengaruhi keberadaan bakteri Mycobacterium tuberculosis,
dimana bakteri dapat hidup selama 1–2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga
berminggu-minggu tergantung ada tidaknya sinar matahari, ventilasi, kelembaban,
suhu, lantai dan kepadatan penghuni rumah. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi
kejadian penyakit Leptospirosis seperti hasil penelitian Dahlan (2000)
mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi dan kepadatan penghuni merupakan
faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Leptospirosis di kota Jambi.
Permasalahan
Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi rumah terhadap resiko
penularan leptospirosis pasca banjir
Perencanaan
Kami dengan staf sanitasi Puskesmas Banyuanyar merencanakan untuk
melakukan home visit pasien Leptospirosis. Hal-hal yang diperhatikan:
1. Ventilasi
2. Pencahayaan
3. Kepadatan rumah
4. Kelembapan rumah
Pelaksanaan
Pada tanggal 17 Maret 2016 Telah dilakukan home visit pada 1 penderita
Leptospirosis yang saat ini sedang dirawat di RSUD Sampang. Hasil yang
didapatkan dari home visit tersebut adalah
Idenititas Identifikasi
Tn. SA -Panas sejak tanggal 7 Maret 2016 (kira-kira 10 hari)
Laki-laki -Keluarga tidak ada sakit yang sama seperti pasien
Umur: 56 tahun -Terdapat tetangga yang sakit batuk lama seperti pasien
Pekerjaan : - dan saat ini dirawat inap di rumah sakit
Alamat: Jalan Seruni -Tidak ada balita dalam keluarga
No. 02 Sampang -Pencahayaan dirumah pada siang hari cukup di ruang
tamu dan kamar depan (kamar mertua pasien) tetapi
pencahayaan di kamar pasien, kamar istri dan anak
pasien masih kurang. Pasien sudah melubangi
mengganti atap kamar pasien dan istri pasien dengan
dua atap dari kaca tetapi pencahayaan masih kurang.
-Ventilasi di dalam rumah kurang lancar karena rumah
pasien dihimpit rumah lain di sisi kanan dan kirinya
- Ventilasi kamar pasien juga kurang memadai karena
kurang dari 10% luas lantai
- Lantai rumah terbuat dari keramik
- Kamar tidur terpisah dengan anggota keluarga lainnya
- Jika batuk pasien menutup mulut. Pasien selalu
memakai masker. Dahak dibuang di baskom di kamar
pasien diisi dengan air ditambah dengan bayclin
- Alat makan pasien sudah dibedakan dengan anggota
keluarga lainnya
- Rumah pasien terlalu padat penghuni karena dengan
luas rumah kira-kira 10m x 8m dihuni oleh 6 orang
- Rumah pasien dekat dengan kandang ternak ayam dan
burung (kurang dari 10 m)
Kesimpulan
Dari kunjungan rumah yang telah dilaksanakan ditemukan beberapa hal
yang kurang baik,seperti pencahayaan yang kurang pada rumah penderita
terutama pada kamar penderita, ventilasi yang juga kurang memadai pada rumah
karena rumah penderita yang terhimpit dengan rumah tetangga. Namun perilaku
penderita sudah cukup baik, dilihat dari kamar yang sudah terpisah dengan
keluarga, alat makan juga sudah terpisah dari keluarga. Pasien juga selalu
menutup mulut dan hidung dengan masker serta membuang dahaknya di tempat
khusus walaupun cara desinfeksi dahak pasien belum tepat yaitu menggunakan
bayclin.
Dalam hal ini, kami menyarankan kepada pasien untuk selalu
mempertahankan perilaku yang sudah baik tersebut. Yang perlu dirubah adalah
kami menyarankan kepada pasien untuk membuang dahak pada baskom yang
telah diberi lisol atau pembersih lantai (porstex dan lain-lain) bukan bayclin. Kami
juga menyarankan kepada pasien untuk menambah pencahayaan pada kamar
pasien dan kamar istri dan anak-anak pasien dengan menambah genteng kaca
pada atap. Sebenarnya pasien telah memberi lubang dan memberi genteng kaca
pada atap tetapi pencahayaan masih tetap kurang sehingga perlu diberi tambahan
genteng kaca. Untuk masalah ventilasi kami menyarankan pasien untuk pindah ke
kamar depan yang ditempati oleh mertua pasien karena ventilasi yang lebih bagus.
Tetapi apabila tidak memungkinkan pasien tetap di kamar pasien dengan jendela
yang selalu terbuka.
DOKUMENTASI
Upaya Kesehatan Ibu dan Anak
F3 (KIA) serta Keluarga Berencana
Latar Belakang
Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk meningkatkan kesehatan anak usia sekolah. Kegiatan pokok
UKS/M dilaksanakan melalui Trias UKS/M yaitu pendidikan kesehatan,
pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah sehat. Pelaksanaan
pelayanan kesehatan diantaranya penjaringan dan pemeriksaan kesehaatan
berkala. Kegiatan ini bertujuan untuk menigkatkan kesehatan (promotif) dan
upaya pencegahan penyakit (preventif) yang pada tingkat sekolah dasar ditujukan
pada siswa kelas 1. Masalah kesehatan yang ditemukan saat kegiatan penjaringan
kesehatan ini dapat ditindaklanjuti dengan memberikan umpan balik ke pihak
pengelola pendidikan/guru serta orang tua murid sehingga bila memerlukan
intervensi lanjutan dengan rujukan dapat segera dilakukan.
Permasalahan
Mendeteksi masalah kesehatan pada anak-anak sekolah dasar.
Pelaksanaan
Kegiatan penjaringan kesehatan di SDN Banyuanyar pada tanggal 15
September 2015 oleh tim penjaringan puskesmas Banyuanyar yang terdiri dari
dokter internship, paramedis dan bekerja sama dengan tim BIAS yang terdiri dari
bidan desa Banyuanyar.
Setelah berkoordinasi dengan pihak sekolah, dilakukan pemeriksaan
kesehatan pada 27 orang siswa kelas 1 SD Banyuanyar 2 yang meliputi: status
gizi (berat badan dan tinggi badan), visus, pemeriksaan gigi, serumen telinga dan
kelenjar gondok. Hasil pemeriksaan kesehatan dicatat pada form penjaringan
kesehatan anak sekolah dasar.
Monitoring dan Evaluasi
Keterangan:
Kolom kesehatan gigi:
KR: karang gigi
L: Lubang
Hasil penjaringan kesehatan anak siswa kelas 1 SD Aeng Sareh
menunjukkan 59,3% anak memiliki status gizi baik, 40,7% memiliki status gizi
kurang, dan dan tidak anak yang memiliki status gizi lebih. Semua anak yang
diperiksa memiliki visus mata kanan dan kiri yang baik. Pada pemeriksaan tidak
didapatkan anak yang mengalami pembesaran kelenjar gondok. Namun, 50,6%
anak memiliki masalah serumen pada telinga. Untuk mengatasi masalah serumen
diperlukan intervensi berupa penyuluhan kesehatan telinga pada orang tua dan
pembersihan liang telinga oleh dokter. Pada pemeriksaan kesehatan gigi dan
mulut didapatkan 88,9% anak memiliki masalah gigi berlubang, 74,1% memiliki
masalah karang gigi dan hanya 7,4% yang memiliki gigi sehat tanpa masalah
karang atau lubang. Penyuluhan kesehatan gigi anak dan pengobatan oleh dokter
gigi diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut para siswa.
F4 Upaya Perbaikan Gizi
Masyarakat
Latar Belakang
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas
tumbuh kembang seseorang yang nantinya dapat berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia. Status gizi masyarakat sering digambarkan dengan besaran
masalah gizi pada kelompok anak balita. Kekurangan gizi pada balita dapat
menyebabkan terganggunya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta
kecerdasan, bahkan dapat menjadi penyebab kematian. Dampak kekurangan gizi
bersifat permanen yang tidak dapat diperbaiki walaupun pada usia berikutnya.
Berdasarkan data Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi balita kurus
secara nasional sebesar 12,1% mengalami penurunan dibanding data Riskesdas
2010 sebesar 13.3 %. Jika berdasarkan tingkat beratnya masalah gizi menurut
WHO, masalah gizi kurus Indonesia masih tergolong tinggi. Prevalensi balita gizi
kurus di Provinsi Jawa Timur tahun 2013 sebesar kurang lebih 12%.
Ada berbagai cara melakukan penilaian status gizi. Salah satunya adalah
dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan antropometri. Pengukuran
antropometri yang dapat digunakan antara lain: berat badan (BB), panjang badan
(PB) atau tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA), lingkar kepala (LK),
lingkar dada (LD), dan lapisan lemak bawah kulit (LLBK). Indikator ukuran
antropometri digunakan sebagai kriteria utama untuk menilai kecukupan asupan gizi
dan pertumbuhan bayi dan balita. Penggunaannya untuk menentukan sebaran status
gizi (prevalensi berdasarkan usia, jenis kelamin, status sosial dll), menentukan
prioritas intervensi gizi dan evaluasi hasil intervensi.
Dalam penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks
yang dikaitkan dengan variable lain, seperti: berat badan menurut umur (BB/U),
panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) dan lain-lain. Masing-masing indeks antropometri
tersebut memiliki baku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan status gizi
seseorang atau masyarakat. Baku rujukan tersebut dapat menggunakan nilai mean
dan standar deviasi, persentil, persentase, maupun perhitungan z-score. Namun,
untuk mempermudahkan dalam penilaian status gizi terdapat grafik pertumbuhan
standar yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
tahun 2000 dengan menggunakan kurva persentil dan World Health Organization
(WHO) tahun 2005 dengan menggunakan kurva Z-Score.
Kategori ambang batas status gizi anak berdasar Keputusan Menteri
Kesehatan RI: No 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak adalah sebagai berikut:
Permasalahan
Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap status gizi anaknya dan pentingnya
status gizi
Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Intervensi akan dilakukan melalui penilaian status gizi menggunakan
standar WHO yaitu Z-Score. Bayi diukur dan kemudian dicocokkan dengan
kurva WHO sesuai dengan jenis kelamin dan umurnya. Setelah itu dilakukan
interpretasi kategori status gizi berdasarkan indeks tersebut terhadap ambang
batas/Z-Score (BB/U, PB/U, BB/PB).
Bayi yang diukur adalah bayi dicakupan wilayah Puskesmas Banyuanyar
Pelaksanaan
Dilaksanakan penilaian status gizi balita pada
Hari/tanggal : Sabtu, 20 Juni 2015
Pukul : 08.00 – 10.00 WIB
Tempat : Poli Gizi Puskesmas Banyuanyar
Penilaian ini diikuti 7 bayi dengan data status gizi sebagai berikut. (BB dalam kg,
PB dalam cm)
Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh
kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif
maupun absolut. Menurut WHO pada tahun 2003, jumlah penderita diabetes
mellitus mencapai 194 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 333 juta jiwa
di tahun 2025 mendatang. Kasus diabetes dilaporkan mengalami peningkatan di
berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia terutama di kalangan kelompok
dewasa. Indonesia menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah penderita
diabetes mellitus di dunia.
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi diabetes tipe I atau Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan tipe II atau Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Diabetes mellitus tipe I disebabkan oleh faktor
genetika dan diabetes mellitus tipe II umumnya disebabkan oleh gaya hidup yang
kurang sehat.
Diabetes mellitus perlu diwaspadai karena sifat penyakit yang kronik dan
progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang
ditimbulkan. Kenaikan jumlah penderita diabetes mellitus memiliki pengaruh besar
pada peningkatan komplikasi pada pasien bila diabetes mellitus tidak ditangani
dengan baik. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu neuropati, retinopati,
nefropati, hipoglikemia dan hiperglikemia. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
komplikasi diabetes mellitus, pencegahan serta penanganannya penting untuk
diketahui oleh para penderita diabetes mellitus.
Permasalahan
Pemahaman masyarakat yang menderita diabetes mellitus mengenai
komplikasi, pencegahan serta penanganannya pada diabetes mellitus masih
kurang.
Pelaksanaan
Peserta berkumpul di aula PuskesmasBanyuanyar pada tanggal 29 Agustus
2015 pukul 08.30 sampai pukul 11.00 kemudian melakukan senam lansia bersama
yang dipimpin oleh instruktur senam, kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan
yaitu anamnesis singkat dan pemeriksaan GDA. Setelah itu peserta diberikan
penyuluhan mengenai komplikasi, pencegahan serta penanganannya. Pada akhir
kegiatan, terdapat sesi diskusi serta tanyajawab.
Latar Belakang
Herpes zoster adalah penyakit kulit dan mukosa yang disebabkan oleh
virus Varisela zoster. Herpes zoster terjadi pada penderita yang telah pernah
menderita varisela, karena reaktivasi virus yang laten yang terdapat pada ganglion
dorsalis atau nervus kranialis. Pada orang usia lanjut dan dengan penurunan
imunitas seperti pada keganasan, penggunaan radioterapi, imunosupresif dan
penggunaan kortikosteroid lama dapat merupakan pencetus untuk timbulnya
herpes zoster. Di Amerika terjadi 7-11 kasus per 1000 orang per tahun pada usia
lebih dari 60 tahun. Sedangkan individu immunocompromised memiliki resiko
20-100 kali lebih besar dibandingkan individu immunocompetent.
Selain gejala ruam bervesikel pada telinga bagian luar, gejala herpes
zoster oticus yang timbul merupakan akibat dari saraf fasialis yang diserang.
Gejala tersebut antara lain nyeri telinga, paralisis otot fasial bagian bawah,
gangguan pengecapan, gangguan pendengaran, vertigo atau gangguan
keseimbangan tubuh. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian dan bersifat self-
limiting Namun jika tidak ditangani dengan maksimal dapat mengakibatkan
morbiditas kelemahan otot wajah dan gangguan saraf fasialis lainnya yang bersifat
permanen. Sehingga pengenalan dan penanganan herpes zoster oticus secara cepat
dan tepat sangat diperlukan mencegah kecacatan yang bersifat permanen.
Permasalahan
Kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai herpes zoster oticus (Ramsay
Hunt syndrome)
Perencanaan
Membuat materi presentasi mengenai herpes zoster oticus (Ramsay Hunt
syndrome)
Mengumpulkan para tenaga kesehatan Puskesmas Banyuanyar
Pelaksanaan
Diadakan kegiatan presentasi dan diskusi dengan staf Puskesmas Banyuanyar
mengenai kasus herpes zoster oticus (Ramsay Hunt syndrome) pada :
Hari : Senin, 17 September 2015
Pukul : 11.30 – 12.00 WIB
Tempat : Aula Puskesmas Banyunyar
Materi presentasi difokuskan pada:
1. Definisi dan etiologi
2. Patogenesis
3. Manifestai klinik
4. Diagnosis dan diagnosis banding
5. Komplikasi
6. Tatalaksana