Anda di halaman 1dari 20

KROMOBLASTOMIKOSIS

1. PENDAHULUAN
Kromoblastomikosis adalah infeksi jamur kronis pada kulit dan jaringan subkutan yang
disebabkan oleh jamur berpigmen (dematiaceous fungi).1 Kromoblastomikosis pertama kali
dipublikasi oleh Rudoph pada tahun 1914 di Brazil dengan menggunakan istilah
kromomikosis.2 Kromomikosis berasal dari kata “chroma” dan “mycosis”. Istilah “chroma”
berarti berwarna atau berpigmen, sedangkan “myces” berarti jamur. Peneliti terbaru lebih
cenderung menggunakan istilah kromoblastomikosis untuk kondisi penyakit ini.3
Kromoblastomikosis dideskripsikan sebagai suatu penyakit eksotis dengan istilah
‘figueira’ (pohon ara) pada pekerja-pekerja yang tinggal di daerah pedalaman Minas Gerais,
Brazil. Pedroso juga telah mempublikasikan mengenai penemuan penyakit ini di Sao Paulo
pada tahun 1920. Pada tahun 1922, istilah ‘kromoblastomikosis’ diperkenalkan oleh Terra
dkk.3
Etiologi yang paling sering adalah Phialophora verrucosa, Fonsecaea pedrosoi,
Fonsecaea compacta dan Cladophialophora carrionii.1-4 Penyebab lain yang jarang
ditemukan adalah Rhinocladiella aquaspersa.2 Jamur-jamur ini dapat diisolasi di lingkungan,
kayu, tanaman, atau tanah.1
Kromoblastomikosis diawali dengan inokulasi transkutan akibat trauma pada kaki,
tungkai, lengan, atau tubuh bagian atas.1,2,4,5 Lesi awal berupa papul seperti kutil yang meluas
secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Lesi tersebut dapat berkembang menjadi
beberapa gambaran klinis, antara lain lesi nodul, lesi tumor (seperti-bunga kol), lesi verukosa,
lesi plak, atau lesi sikatriks.1,5 Umumnya, lesi tidak nyeri. Namun, rasa gatal dan nyeri dapat
ditemukan pada lesi dengan infeksi sekunder.3
Sel-sel yang khas dari jamur tersebut dapat diperiksa melalui pemeriksaan kerokan kulit
dari permukaan lesi dengan kalium hidroksida (KOH). Pemeriksaan histopatologi dari biopsi
lesi juga dapat menunjukkan perubahan patologi dan sel sklerotik yang khas. 1,2,4,5 Pada kultur,
jamur membentuk koloni hitam dengan permukaan seperti beludru. Identifikasi kultur
didasarkan pada tipe spora dan mekanisme pembentukan spora setiap jamur.
Perjalanan penyakit ini sangat lambat dan hamper menetap pada jaringan subkutan.
Kromoblastomikosis tidak melibatkan tulang, dan jarang menyebar melalui pembuluh limfe
dan secara diseminata menyebar ke sistem saraf pusat.
Penatalaksanaan kromoblastomikosis berupa itrakonazol, terbinafine, atau amfoterisin
B intravena. Tindakan bedah hanya dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan adjuvan dengan

1
pemberian obat jamur. Penatalaksanaan dilakukan sampai terdapat perbaikan klinis dan
umumnya membutuhkan beberapa bulan.1,2,4

SEJARAH
Kromoblastomikosis merupakah salah satu mikosis subkutan yang sering terjadi.
Kromoblastomikosis pertama sekali ditemukan di Brazil pada tahun 1911 oleh de Moraes
Pedroso, namun ini tidak dilaporkan sampai tahun 1920 oleh Pedroso dan Gomes. Pada tahun
1914, Max Rudoph menekankan gambaran klinikopatologi berupa penyakit eksotik yang
disebut “figuiera” dan Medlar serta Rane melaporkan kasus pertama di Boston daerah
Amerika Utara tahun 1915. Saat itu, jamur yang diisolasi dinamakan Phialophora verrucosa.
Pada tahun 1922, Pedroso melakukan kultur kembali dan ditemukan tipe reproduksi yang
berbeda termasuk Hormodendrum, Phialiphora dan Acrotheca. Dari hasil temuan in, maka
jamur dinamai dengan Hormodendrum pedrosoi. Pada tahun 1936, Carrion di Puerto Rico
menjelaskan organisme ketiga yaitu Hoemodendrum compactum. Kromoblastomikosisra dkk
diperkenalkan pada tahun 1922 oleh Terra dkk dan disahkan pada tahun 1992. (elsv 12)
Pada tahun 2005, genus Fonseceae telah dijelaskan, dan Fonsecea monophora
dijelaskan melalui analisa molekuler yang diisolasi, yang kebanyakan yang diidentifikasi
berasal dari Fonseceae pedrosoi. Penggunaan pemanas untuk pengobatan
kromoblastomikosis diperkenalkan pertama kali oleh Silva pada tahun 1958. Setelah
penemuan ini, beberapa klinisi di Jepang melakukan percobaan termoterapi dimana dampak
keberhasilan dengan menggunakan penghangat saku.

EPIDEMIOLOGI
Infeksi jamur ini ditemukan secara sporadik di Amerika Selatan dan Amerika Tengah.
Infeksi terjadi pada area Karibean, Afrika, Australia, dan Jepang. 4,3 Infeksi ini sering terjadi
terutama pada pekerja laki–laki di pedesaan. Sebagian besar kasus dilaporkan di daerah iklim
tropis dan subtropis di Amerika, Asia dan Afrika. Tingkat tertinggi prevalensi yang
dilaporkan di Meksiko, Kuba, Venezuela, Republik Dominika, Kolombia dan Brazil (Gambar
1).4 Kromoblastomikosis di Asia sering dijumpai di Jepang, Sri Lanka dan India. 3,4 Penyakit
ini cenderung terjadi di China, yang dilaporkan pertama kali pada tahun 1952, dan dilaporkan
lebih dari 500 kasus. Di Afrika kebanyakan kasus dilaporkan terjadi di Madagaskar pada
tahun 1955-1994 dilaporkan 1323 kasus dan di Afrika Selatan.4

2
(Gambar 1: Distribusi geografi kromoblastomikosis berdasarkan
laporan kasus)

Pada negara-negara tropis dan subtropis, infeksi yang lebih umum pada laki-laki dengan
rentang usia 30-50 tahun yang bekerja di pertanian (sekitar 70% dari kasus) karena beresiko
terjadi peningkatan trauma pada kulit dan sentuhan langsung dengan tanah yang
terkontaminasi yang merupakan faktor terjadinya kromoblastomikosis. Perbandingan
kejadian pada pria : wanita kejadian 4:1 di Brazil. 3,4 Jarang terjadi pada anak-anak.5,6
Kromoblastomikosis paling sering mengenai daerah tubuh bagian atas, bokong dan tungkai,
terutama kaki yang paling sering terkena kontak dengan bahan yang mengandung jamur yang
berasal dari tanah, tanaman atau kayu yang membusuk.4,6
ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah beberapa spesies dari golongan Dermatiaceae, pada
umumnya dianggap sebagai saprofit yang dapat ditemukan di dalam tanah dan menyerap
nutrient dari tanaman atau kayu yang membusuk.1,3,4 Sebagian besar organisme jamur tersebut
menyukai daerah dengan curah hujan lebih besar dari 2,5 m (100 inci) dalam satu tahun
dengan temperature kisaran 120C hingga 240C.4 Spesies yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah Fonsecaea pedrosoi dan Cladophialophora carrionii. Rhinocladiella
aquaspersa dan Exophiala dermatitidis sedikit dilaporkan.4,5,6 Telah dilaporkan bahwa
Exophiala jeanselmei dan E. spinifera berperan pada perkembangan phaeohyphomycosis
yang menghasilkan sel muriform yang terdapat pada lesi kromoblastomikosis. 4 Beberapa
tahun terakhir, dilaporkan Fonsecaea nubica dan Phialophora richardsiase sebagai penyebab
kromoblastomikosis.4,5 Gambaran klinis dan morfologi koloni dari masing-masing spesies

3
jamur tersebut sangat mirip, tetapi dapat dibedakan berdasarkan gambaran mikroskopik dan
karakteristik konida.6,7
Fonsecaea pedrosoi adalah penyebab paling umum dan menyumbang 90% atau lebih dari
kasus yang dilaporkan di Amerika Selatan. Jamur ini juga dilaporkan sebagai penyebab yang
paling umum di bagian lain dunia.3,8 Umumnya ditemukan pada iklim tropis dengan
kelembapan dan curah hujan tinggi, sementara Cladophialophora carrionii ditemukan pada
daerah beriklim tropis yang sedikit gersang dengan curah hujan yang sedikit rendah seperti
Kuba, Venezuela, Afrika Selatan dan Australia.3
Secara mikroskopik, Fonsecaea pedrosoi memiliki konidiasi dominan berbentuk
simpodial, dengan konidia berbatasan dengan bagian atas sel. Konidia coklat bersel satu yang
diproduksi pada dentikel pendek dapat menghasilkan konidia sekunder dengan cara yang
sama. Konidia yang diproduksi oleh pertunasan secara acropetal juga ditemukan pada
sebagian besar isolat, dan beberapa isolate akan menghasilkan sedikit phialide, yaitu
semacam kantung vesikel pada bagian ujung konidiofor.3,9
Pada Cladophialophora carrionii dengan produksi konidia seperti rantai panjang yang
pucat, berbentuk oval atau seperti lemon. Rantai tersebut bercabang dengan dengan interval
yang cukup dekat. Pada media starvation, seperti agar jagung dengan setengah kekuatan
materi (half-strength), phialide bulat dapat muncul oleh konversi dari beberapa sel dalam
rantai bercabang.9
Penelitian terbaru menemukan penyebab seperti Aerobasidium pullulans, Rhytidhysteron
sp., Chaetomium funicola dan Catenulostroma chromoblastomycosum yang dihubungkan
dengan lesi kulit sesuai tipe kromoblastomikosis, terutama pada pasien imunokompromis
tanpa adanya sel muriform.

PATOGENESIS
Patogenesis kromoblatomikosis belum sepenuhnya dimengerti. Adanya pengaruh
genetik diduga berperan pada beberapa kasus dalam satu keluarga, walaupun in belum
terbukti. Pada penyakit kromomikosis yang berperan adalah respon imun humoral dan respon
imun yang diperantarai sel.5

1. Respon Imun Humoral


Pasien dengan kromomikosis menghasilkan antibodi spesifik. Selain IgG spesifik, IgM
dan IgA juga dihasilkan pada kromomikosis. 5 IgM yang tinggi merupakan hasil stimulasi
antigenic konstan karena degradasi jamur yang lama. Kromoblastomikosis tidak merusak
epitel mukosa, terdapat peningkatan IgA. Komplikasi jangka panjang dapat terjadi karena

4
perubahan growth factor- dapat merangsang fibrosis dan imunosupresi pada kulit yang
terkena.

2. Respon Imun Yang Diperantarai Sel


Pada penyakit kromomikosis, masih belum diketahui bagian jamur yang menginvasi
apakah spora, hifa atau karotic body. Makrofag dan netrofil merupakan sel yang berperan
penting dalam respon imunologi kromomikosis. Reaksi spesifik berupa granulasi, diatur oleh
neutrofil polimorfonuklear. Lini pertama pertahanan tubuh terhadap jamur ini adalah sel
dendritik. Makrofag mempresentasikan antigen jamur ke sitoplasma. Terdapat kemiripan sifat
antara sel dendritik dengan sel langerhans.3
Pada pasien dengan kromomikosis sel-sel menunjukkan peningkatan ekspresi CD 86,
HLA-DR dan CD 83 reseptor. Sel dendritik menghasilkan TNF-α, IL-10 dan IL-12. Setelah
stimulasi F. pedrosoi antigen, pada pasien dengan bentuk parah dari kromomikosis, dendritik
Sel-sel menghasilkan sejumlah besar IL-10 dan sejumlah kecil
IFN-γ.3

MANIFESTASI KLINIS
Lesi biasanya ditemukan pada daerah tubuh yang yang terekspos, biasanya pada kaki,
lutut, tangan, muka dan leher. Sebuah papul yang membesar secara perlahan yang kemudian
akan membentuk suatu plak hiperkeratosis. Pada beberapa lesi plak ini datar dan menyebar

5
secara lambat dengan skar disentral lesi. Lesi awal dapat menjadi ulkus. Kemudian, setelah
beberapa bulan atau tahun, terbentuklah massa hiperkeratosis yang besar dan biasanya
memiliki ketebalan kira-kira 3cm. Ulkus sekunder dapat terjadi. Lesi ini biasanya
memberikan rasa nyeri kecuali jika terjadi infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan gatal
dan nyeri. Lesi satelit terbentuk akibat garukan, dan mungkin dapat menyebar melalui
jaringan limfatik ketempat yang jauh. Penyebaran secara hematogen dapat terjadi namun
jarang, dan abses pada otak pernah ditemukan. Infeksi sekunder akhirnya dapat menyebakan
stasis limfatik yang akhirnya menjadi elefantisiasis. Beberapa bentuk dari lesi dapat
membentuk lesi psoriasiform. Karsinoma sel skuamosa dapat terjadi pada lesi kronik.3,6
Lesi awal dari infeksi biasanya ditemukan pada kaki, lutut, tangan dan tungkai atas.
Gambaran klinik bervariasi, lesi awal dapat berupa makula eritematosa dan membentuk lesi
papul berwarna merah muda (Gambar 2). Bentuk yang sering berupa verrucous menyebar
secara lambat dan lokal.1

(Gambar 2. Klinis lesi pada kromoblastomikosis. A) Lesi awal dengan durasi 3 bulan
pada ekstremitas bawah B) Lesi konfluens nodular pada lutut C) Lesi tumoral (bunga kol)
pada calcaneus D) Lesi sikatrikal dengan veruka E) Lesi verukosa hiperkertatotik pada
telapak kaki F)Lesi plak violaceus pada paha
Untuk menggambarkan spektruk klinis yang luas pada lesi kromoblatomikosis, beberapa
klasifikasi diajukan. Diantaranya, klasifikasi yang diperkenalkan Arturo Carrion pada tahun
1950 dan diterapkan untuk membantu klinisi dalam menetukan diagnosis kromoblatomikosis.
Berdasarkan bentuknya, penyakit ini dapat dibedakan menjadi lesi nodular, tumoral,
verukosa, plakat dan sikatrikal (Gambar 2 & 3):

6
1. Lesi Nodular
Jenis nodular merupakan lesi paling awal dan elemen terkecil gambaran klinis
kromomikosis. Tipe ini bernodul lunak, merah muda pucat atau ungu. Permukaan bisa halus,
papiler atau bersisik. Lesi nodul akan bertambah banyak secara bertahap dan berubah
menjadi lesi tumoral yang lebih besar.

2. Lesi Tumoral
Jenis tumoral digambarkan jauh lebih besar dan lebih menonjol, papilomatosa,
kadang-kadang berlobus-lobus seperti massa tumor, sebagian atau seluruhnya ditutupi sisa
epidermal kotor abu-abu, krusta dan keratosis. Pada jenis ini paling sering mengenai kaki dan
tibia dan memiliki tampilan seperti kembang kol.

3. Lesi Verukosa
Tipe verukosa yang ditandai dengan hyperkeratosis yaitu tampilan lesi verukosa dan
mungkin menyerupai veruka vulgaris.
4. Lesi Plakat
Tipe plakat adalah bentuk paling sering pada kromomikosis. Mencakup lesi dari
berbagai bentuk dan ukuran, berwarna kemerahan sampai keunguan dan bersisik pada
permukaannya.

5. Lesi Sikartikal
Jenis sikatrikal adalah lesi pada tingkat kulit yang terbentuk oleh pertumbuhan perifer
dengan atropik jaringan parut, sementara di pusat lesi terjadi proses penyembuhan. Biasanya
bentuk lesi anular dan melengkung dalam lesi.

7
(Gambar 4 .Manifestasi klinis, tingkat keparahan pada pasien kromoblatomikosis)

KLASIFIKASI KLINIS BERDASARKAN KEPARAHAN


Lesi pada kromomikosis dapat dibedakan menurut tingkat keparahannya yaitu:

1) Bentuk ringan, yaitu nodul dengan diameter < 5 cm

2) Bentuk sedang, yaitu jenis satu atau beberapa lesi tumoral, verukosa atau jenis
plakat terisolasi atau bergabung yang saling berdekatan dengan diameter < 15 cm

3) Bentuk berat, yaitu jenis satu atau beberapa lesi yang meliputi luas daerah kulit,
saling berdekatan dan jauh. Lesi berat cenderung memberikan hasil buruk dalam pengobatan
atau menjadi resisten (Gambar 5)

(Gambar 5 Lesi kromoblatomikosis dengan tingkat keparahan yang berbeda A) Bentuk


ringan, B) Bentuk sedang, C) Bentuk berat)
DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang yaitu kerokan kulit dengan potasium hidroksida (KOH), kultur jamur dan
pemeriksaan histopatologi.

8
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Secara teknis, diagnosis kromomikosis tidak sulit, namun rata-rata waktu antara
terjadinya penyakit dan diagnosis adalah 14 tahun. Diagnosis standar didasarkan pada
ditemukannya badan Medlar yang diperoleh dari kerokan kulit atau histopatologi.1,3

1. Kultur
Kultur mikrobiologi sangat penting untuk menentukan agen etiologi
kromoblatomikosis. Kultur ini dengan menggunakan agar Sabouraud dan agar Sabouraud
dengan cycloheximide. Jamur merupakan agen etiologi dari kromoblastomikosis tumbuh
perlahan pada media standar dan membentuk koloni hitam kehijauan ditutupi beludru halus,
berbatas tegas dan tumbuh lambat yaitu selama 4-6 minggu pada suhu 25-30 0C. Identifikasi
kultur untuk menunjukkan adanya jenis yang berbeda tetapi sporulasi spesifik, dan
mekanisme sporulasi baik tunggal atau beberapa dapat dilihat di setiap organisme. Jamur
yang terisolasi harus berasal dari turunan Chaetothyriales. Oleh karena itu, identifikasi yang
benar dari spesies sangat penting untuk diagnosis yang benar.1, 3

Beberapa gambaran yang tampak pada kultur yaitu :

 Phialophora verrucosa menghasilkan koloni warna abu kecoklatan hingga abu gelap
kekuningan pada agar Sabourabd , pada suhu 25-300C

 F. Pedrosoi menghasilkan koloni warna coklat tua, kuning gelap atau hitam pada agar
Sabourand.

9
 F. Compacta menghasilkan koloni kuning kehitaman

 Cladosporium carrionii menghasilkan koloni beludru hingga berbulu, kuning tua atau
mendekati hitam pada agar Sabourand dengan konodia oval.

 Rhinocladiella aquaspersa tampak berbulu, gelap hingga kuning keabuan dengan


konidiofora yang lurus, berbetuk silinder, berdinding tebal, konidia bersel satu.

(Gambar 6 Konidiofor pada F. pedrosoi , koloni Fonsecaea pedrosoi pada medium


SGA setelah inkubasi 14 hari)

2. Pemeriksaan Langsung
Spesimen diperoleh dari kerokan kulit dari lesi. Badan sklerotik mudah diamati pada
spesimen dengan KOH 20-40%.3,4 Sel sklerotik khas cokelat keemasan (badan Medlar) dan
unsur-unsur lain dari miselium adalah tujuan pemeriksaan.3

10
Gambar 7. Sel sklerotik pada pemeriksaan dengan larutan KOH

3. Histopatologi
Biopsi dilakukan untuk memperkuat diagnosis. Dalam kebanyakan kasus, tuberkuloid
jenis granuloma dilaporkan, terdiri dari infiltrat lymphohistiocytic, sel-sel epitel dan sel
raksasa Langerhans berinti banyak (sel raksasa Langerhans adalah sel besar yang dibentuk
oleh fusi sel epiteloid) badan sklerotik ditemukan dalam stratum korneum dan lapisan berikut
dari epidermis dan kulit. Badan sklerotik juga dapat ditemukan dalam proses granulomatosa
dan dalam sel raksasa. Pewarnaan khusus tidak diperlukan untuk mengamati lesi karena
dengan pewarnaan haematoxylin-eosin sudah cukup.3

11
12
(Gambar 6 Sel sklerotik (Badan Medlar) pada pemeriksaan histopatologi )

4. Teknik Lainnya
Teknik pencitraan dan serologi biasanya tidak digunakan dalam menegakkan
diagnosis. Dalam diagnosis molekuler, PCR duplek dari DNA ribosom untuk Fonsecaea spp.
dan mengidentifikasi oligonukleotida primer khusus untuk C.carrionii dapat digunakan.3

DIAGNOSIS BANDING
Lesi pada kromoblastomikosis bersifat kronik, indolen dan polimorfik. 3,4 Untuk

mengkonfirmasi   diagnosis   adanya   sel   muriform   (badan   Medlar)   dan   pemeriksaan

kultur   perlu   dilakukan.   Beberapa   penyakit   dapat   menimbulkan   gejala   yang   sama

dengan gejala yang ditemukan pada kromoblatomikosis. Pada infeksi jamur seperti

paracoccidioidomycosis,   blastomycosis,   coccidioidomycosis,   phaeohyphomycosis,

13
sporotrichosis,   granulomatous   candidiasis,   trichophytosis.   Infeksi   bakteri   seperti

tuberculosis   kutis,   kusta,   sifilis   tersier.   Infeksi   parasite   seperti   leishmaniasis   dan

rhinosporidiosis.   Kromoblatomikosis   juga   harus   dibedakan   dengan   penyakit   non

infeksi seperti karsinoma epidermoid, psoriasis, sarcoidosis dan lupus eritematosa.

PENATALAKSANAAN

14
Kromoblastomikosis merupakan penyakit yang sulit untuk diobati dan memiliki nilai
kekambuhan yang tinggi karena merupakan penyakit kronis dan angka kesembuhan
kromoblastomikosis rendah berkisar 15%-80%. Pilihan pengobatan dan hasilnya tergantung
pada agen penyebab, ukuran dan luasnya lesi dan ada tidaknya komplikasi. Pengobatan
kromoblastomikosis dibagi dalam tiga kelompok yaitu terapi fisik, terapi medis dan
pembedahan. Terapi utama yang dapat diberikan berupa itrakonazol 200 mg/hari, terbinafin
250 mg/hari, dan pada kasus yang berat dapat diberikan amfoterisin B intravena (hingga 1
mg/kgBB/hari). Terapi lain juga dapat digunakan yaitu kuretase, elektrodesikasi, dan
cryosurgery. Terapi dapat diberikan lebih kurang selama 6 bulan yang menunjukkan respon
yang baik, namun kekambuhan sering terjadi baik selama atau setelah pengobatan.

Terapi Medis
Itrakonazol
Itrakonazol merupakan terapi standar untuk kromoblastomikosis, dengan angka kesembuhan
berkisar 15%-80%. Itrakonazol direkomendasikan dosis 200-400 mg, tergantung pada
keparahan. Di Brazil, sebanyak 30 orang pasien yang diterapi dengan itrakonazol 200-400
mg/hari menunjukkan 8 orang pasien dengan lesi yang ringan dari penyakit menunjukkan
perbaikan klinis dan mikologi selama setelah 10 bulan. Respon lain yang ditunjukkan dari 9
pasien dengan lesi yang berat menunjukkan perbaikan secara klinis dan mikologi setelah
pemberian terapi selama 30 bulan. Pemberian itrakonazol dengan terapi pulse (400 mg/hari
selama 1 minggu dalam sebulan) menunjukkan keberhasilan pada beberapa kasus. Walaupun
obat ini atraktif, namun dapat juga menibulkan resistensiItrakonazol dapat juga digunakan
secara kombinasi dengsn terapi lain seperti krioterapi atau dengan 5-flusitosin.
Terbinafin

15
Terbinafin merupakan derivate alilami yang dapat digunakan pada dosis 250-500 mh/hari.
Seperti itrakonazol. Obat ini menunjukkan respon yang baik dalam melawan jamur
berpigmen secara in vitro. Terdapat beberapa lapiran keberhasilan terapi dengan dosis rendah
250mg/hari tetapi dosis 500 mg/hari lebih baik. Terdapat penelitian yang menemukan
perbaikan klinis dan mikologi sebesar 74,2% setelah 12 bulan pengobatan. Hal ini merupakan
salah satu pengobatan terbaik secara efikasi dan keamanannya, terutama dengan sifat
fungisidalnya dan obat ini tidak menunjukkan keterlibatan dengan oksidasi sitokrom P-450
yang menghasilkan interaksi obat yang minimal

5-Flusitonin
5-flusitosin berasal dari sitosin dengan dasar pirimidin, dimana pada pertengahan
tahun 1960 merupakan terapi yang penting untu kromoblastomikosis ini. Hingga pada tahun
1980-an merupakan salah satu terapi pilihan, tetapi ini dapat digunakan secara tunggal
maupun kombinasi yang menghasilkan perbaikan yang bervariasi. Dosis yang
direkomendasikan adalah 100-150 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 4 dosis. Ini diberikan
selama 6-12 bulan. Sebanyak 10% 5-flusitosin solusio dapat diaplikasikan 2 kali sehari
disertai dengan perban oklusif. Pemberian dosis sebanyak 10 gr/hari tampak menimbulkan
perbaikan klinis dan pada beberapa kasus menunjukkan penyembuhan sempurna dalam
beberapa bulan.(mmf09) Obat ini dapat dikombinasikan juga dengan obat lain seperti
potassium iodida atau amfoterisin B, yang dapat menimbulkan resistensi jika digunakan
secara tunggal.

Posakonazole
Dosis yang direkomendasikan adalah 800 mg/ hari. Pengobatan ini memiliki efikasi yang
baik dan ditoleransi dengan baik. Tetapi memiliki harga jual yang sangat mahal

Amfoterisin B intravena
Amfoterisin B intravena menunjukkan keberhasilan pada beberapa kasus, namun
kegagalan juga sering terjadi. Sebagai tambahan, pasien harus monitor dengan ketat untuk
efek nefrotoksisitas. Dosis awal Amfoterisin B 0,1-0,25 mg/kgBB/hari. Jika toksisitas terjadi
maka obat dapat diberikan pada hari yang berbeda atau dosis dapat dikurangi. Sebagai
alternatif, amfoterisin B dapat diberikan secara intralesi dalam 2% larutan prokain perminggu
selama 5 bulan. Yang harus diperhatikan yaitu jika terjadi injeksi intra arterial dapat

16
menyebabkan nekrosis distal dari anggota tubuh. Respon topikal amfoterisin B sangat lambat
dan sangat tidak efektif

Terapi Kombinasi
Kombinasi terapi sistemik
Penyakit ini menunjukkan kekambuhan yang tinggi, oleh karena itu terapi kombinasi
dianjurkan untuk meningkatkan angka kesembuhan dan juga menghasilkan beberapa efek
samping. Kombinasi yang paling sering digunakan adalah 5-flusitosin dengan amfoterisin B
dan 5-flusitosin dengan itrakonazol. Saat ini, Gupta dkk melaporkan pengamatan mereka
menggunakan itrakonazol dan terbinafin pada kromoblastomikosis kronis yang tidak respon
terhadap amfoterisin B, antijamur oral (termasuk itrakonazol) atau terapi panas. Suatu
penelitian menggunakan dua modalitas terapi yaitu kombinasi alternate dan concomitant.
Terapi alternate yang digunakan berupa itrakonazol 200-400 mg/hari dan terbinafin 500-750
mg/hari. Yang lain diberikan itrakonazol 200-400 mg/hari dengan terbinafin 250-1000
mg/hari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya efek sinergis dari sintesa ergosterol
sebagai mekanisme aksi dari kedua obat tersebut.
Itrakonazol, amfoterisin B dan tiabendazol sering dikombinasikan dengan 5-flusitosin.
Pemberian itrakonazol disertai dengan aplikasi lokal dari cairan nitrogen krioterapi tampak
bermanfaat pada beberapa kasus. Amfoterisin B intravena dapat diberikan tunggal, namun
kurang efektif, dan direkomendasikan pemberian kombinasi dengan injeksi intralesi yang
lain. Itrakonazol, amfoterisin B dan tiabendazol sering dikombinasikan dengan 5-flusitosin.
Pemberian itrakonazol disertai dengan aplikasi lokal dari cairan nitrogen krioterapi tampak
bermanfaat pada beberapa kasus.

Semua terapi yang diberikan ini memiliki efek samping yang signifikan, sehingga
diperlukan pemantauan fingsi hati dan fungsi ginjal. Amfoterisin B intravena dapat diberikan
tunggal, namun kurang efektif, dan direkomendasikan pemberian kombinasi dengan injeksi
intralesi yang lain.

Kombinasi terapi fisik dan kemoterapi

Metode pembedahan dapat digunakan untuk penyembuhan dan juga mencegah


penyebaran penyakit. Ini penting apabila dikombinasi dengan itrakonazol atau terbinafin.
Hasil kombinasi terapi panas dan itrakonazol telah outstanding, namun bedah krio dengan
itrakonazol tampak berhasil terutama untuk kasus yang berat. Itrakonazol diaplikasikan

17
hingga menunjukkan perbaikan lesi yang muncul setelah 8 hingga 12 bulan terapi dan
pembedahan dilakukan pada beberapa sesi

Terapi pembedahan

Pembedahan direkomendasikan jika lesi kecil. Fotokoagulasi lesi tampak berhasil


dengan menggunakan laser CO2. Pembedahan Moh’s Surgery disertai dengan
pemeriksaan histopatologi yang bermanfaat pada beberapa kasus.
Untuk kasus dengan lesi yang berbatas tegas, kuretase
menggunakan elektrokauter menunjukkan hasil yang memuaskan.
Aplikasi panas secara lokal menyebabkan shrinkage pada lesi. Krioterapi
dengan cairan nitrogen yang diaplikasikan sekali dalam sebulan dan dikombinasikan dengan
tiabendazol tampak hasil yang baik.

Terapi untuk kromoblastomikosis ini harus diberikan hingga gambaran klinis


mencapai perbaikan, yang biasanya terjadi setelah beberapa bulan terapi. Kekambuhan
biasanya terjadi pada kasus dengan lesi yang luas.

Untuk keberhasilan terapi pasien kromoblastomikosis, yang harus dipertimbangkan adalah


kesehatan umum pasien, keadaan sosial ekonomi, kepatuhan pasien, penanganan resistensi
obat, serta terapi komorbiditas dan komplikasi yang terjadi dikarenakan sekarang ini belum
ada terapi yang memuaskan untuk penanganan kasus ini. Ini dihubungkan dengan beberapa
organisme penyebab, beberapa tidak rentan dengan terapi yang diberikan.

Kriteria Sembuh

Kromoblastomikosis adalah penyakit mikosis kronis yang cenderung resisten terhadap


terapi dan rentan kekambuhan. Pasien dengan bentuk klinis yang sedang sampai berat masih
menjadi tantangan terapi untuk dokter. Menurut laporan kasus terbaru itrakonazole,
posaconazole dan terbinafin adalah pilihan terapi antijamur yang baik pada pasien
kromoblastomikosis yang diberikan dengan waktu yang lama. Biopsi dilakukan setiap tiga
atau empat bulan untuk menilai mikologikal dan histopatologi dalam kriteria sembuh. Pada
mikrologikal dicapai apabila tidak dijumpai jamur pada pemeriksaan mikroskop dan tidak
dijumpai elemen jamur pada kultur. Bahkan tidak dijumpai sel muriform dan mikroabses.

18
Tidak seperti mikosis invasive seperti kandidiasis, aspergilus, histoplasmosis dan
kriptomikosis dimana imunologi dan marker molecular tersedia untuk dipantau. Terapi
kromoblastomikosis harus dimonitor berdasarkan klinis, mikologikal dan histopatologi
sehingga dokter dapat memutuskan lebih baik untuk penghentian terapi dan dievaluasi pada
kunjungan triwulan. Respon terapi dievaluasi berdasarkan klinis, mikologikal dan
histopatologi. Respon klinis yang baik ialah resolusi pada semua lesi dengan skar dan rasa
gatal dan nyeri menghilang.

Pencegahan

Kromoblastomikosis sama seperti infeksi jamur lainnya, tidak ada vaksin yang
tersedia untuk mikosis subkutan. Penyakit ini disebabkan oleh trauma sehingga diperlukan
penggunaan alat pelindung seperti sarung tangan, sepatu, dan pakaian dapat mengurangi
risiko terjadinya infeksi jamur.

Prognosis

Kromoblastomikosis merupakan infeksi kronis dan memerlukan waktu lama untuk


penyembuhan, beberapa bahkan bertahan hingga puluhan tahun. Hanya 30% dari pasien yang
sembuh total dan 60% pasien membalik. Sekitar 10% gagal terapi dan kekambuhan diderita
lebih dari 40% pasien. Penyulit yang dapat memperburuk prognosis adalah infeksi bakteri
sekunder dan munculnya jaringan karsinoma pada area verukosa.

KESIMPULAN

Kromoblastomikosis adalah mikosis subkutan yang bersifat kronik, progresif yang


disebabkan oleh pheoid atau dematiaceous fungi terdapat pada daerah tropis dan subtropis.
Kromoblastomikosis cenderung terjadi pada laki-laki yang bekerja tanpa menggunakan alas
kaki. Lesi diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis dan tingkat keparahannya. Ada lima
klasifikasi berdasarkan tipe lesi yaitu nodular, tumoral, verukosa, skar, dan plak. Diagnosis
kromoblastomikosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan
kerokan pada lesi kulit, kultur dan pemeriksaan histopatologi. Pilihan pengobatan dan
hasilnya tergantung pada agen penyebab, ukuran dan luasnya lesi, dan ada tidaknya
komplikasi. Itrakonazol merupakan terapi standar untuk kromoblastomikosis.

19
20

Anda mungkin juga menyukai