Anda di halaman 1dari 13

1|Shalat berjamaah

SALAT BERJAMAAH

Salat berjama’ah adalah salat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan dipimpin oleh satu orang yang
dinamakan imam sedangkan yang mengikutinya dinamakan ma’mum.
Sebagaimana keterangan berikut :

Dari Abu Musa Al-Asy'ari ia berkata, Rasulullah saw bersabda : dua orang atau lebih adalah berjamaah. H.R.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I : 312, no. 972

Apabila kalian bertiga maka salatlah secara berjamaah, dan bila kalian lebih dari itu maka hendaklah salah
seorang diantara kalian menjadi imam. H.R. Muslim, no. 830

1. Hukum Shalat Berjamaah


Hukum salat berjamaah itu sunnah berdasarkan ungkapan 'lebih utama dari pada salat sendirian' sebagai mana
hadits berikut :

Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, ”Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada salat
sendirian dengan dua puluh derajat." H.R. Muttafaq alaih
Salat berjamaah termasuk kategori sunnah muakkadah karena disertai anjuran yang keras sebagaimana hadits
berikut :

Dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Demi Zat yang diriku berada dalam
genggaman-Nya. Sungguh aku bermaksud untuk memerintahkan mengumpulkan kayu bakar dan saya
memerintahkan untuk shalat lalu dikumandangkan azan untuk shalat, kemudian saya menyuruh seseorang
untuk mengimami manusia dan saya mendatangi rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat jamaah, lalu
saya bakar rumah mereka. Demi Zat yang diriku berada dalam genggamanNya, seandainya seseorang
mengetahui bahwa dia mendapat tulang yang gemuk (banyak dagingnya) atau mendapat dua paha kambing
yang baik, niscaya ia menyaksikan (ikut berjamaah) isya." H.R. Bukhari, no. 608
Dalam riwayat lain bahwa Rasulullah saw bersabda: "Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik ialah
salat Isya' dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang ada pada kedua salat itu, mereka akan
mendatanginya walaupun dengan merangkak." Muttafaq Alaihi.


Dari Abu Hurairah r.a: Ada seorang laki-laki buta menghadap Rasulullah saw dan berkata: Ya Rasulullah,
sungguh aku ini tidak mempunyai seorang penuntun yang menuntunku ke masjid. Maka beliau memberi
keringanan padanya. Ketika ia berpaling pulang beliau memanggilnya dan bertanya: "Apakah engkau
mendengar adzan untuk salat?" Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Kalau begitu, datanglah." H.R. Muslim.
Hadits ini tidak menunjukkan pada wajibnya berjamaah, akan tetapi titik tekannya adalah untuk berusaha
datang ke masjid, karena bila penekanannya pada wajib berjamaahnya tentu nabi akan memerintahnya untuk
berjamaah di rumahnya.

Dari Yazid Ibnu al-Aswad bahwa dia pernah shalat (Shubuh) bersama Rasulullah saw di saat ia masih muda.
Maka ketika beliau selesai shalat, ternyata ada dua orang laki-laki yang tidak ikut shalat di sisi masjid. Lalu
beliau memanggil kedua orang itu, lalu keduanya dihadapkan dengan tubuh gemetaran. Beliau bertanya pada
mereka, "Apa yang menghalangimu sehingga tidak ikut sholat bersama kami?" Mereka berdua menjawab,
"Kami telah sholat di rumah kami." Beliau bersabda, "Jangan berbuat demikian, bila salah seorang diantara
kamu telah sholat di rumahnya kemudian melihat imam belum shalat, maka hendaklah ia shalat bersamanya
karena hal itu menjadi sunat bagimu." H.R. Abu Daud, no. 488
2|Shalat berjamaah

2. Keutamaan salat berjamaah di masjid bagi laki-laki


Dari Abu Hurairah ia mengatakan, Rasulullah saw bersabda : "Shalat seseorang secara berjamaah melebihi
shalatnya di rumahnya dan di pasar dua puluh derajat lebih, dan hal itu bila salah seorang diantara mereka
berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian datang ke mesjid, tidak membuatnya berdiri kecuali
shalat dan ia tidak ada yang ia inginkan selain shalat, maka tiada satu langkah pun kecuali diangkat dengan hal
itu derajatnya dan dihapuskan darinya dengan hal itu kesalahannya hingga ia masuk mesjid, maka bila ia masuk
mesjid ia berpahala shalat selama shalat itu yang menahannya serta para malaikat mendo'akan salah seorang
dari kalian selama ia masih berada di tempat duduknya yang ia melaksanakan shalat ditempat itu, para
malaikat berdo'a : "Ya Alloh rahmatilah ia, Ya Alloh ampunilah ia, ya Alloh terimalah taubatnya selama ia tidak
menyakiti siapa pun disana dan tidak pula berhadats."H.R. Muslim

Dari Abu Musa ia mengatakan, Rasulullah saw bersabda : "Sesungguhnya orang yang paling besar pahalanya
dalam shalat adalah yang paling jauh langkahnya untuk menuju shalat, dan yang mereka paling jauh, serta
orang yang menunggu waktu shalat hingga ia melaksanakannya bersama imam lebih besar pahalanya dari
orang yang shalat kemudian tidur." H.R. Muslim


Dari Ubay bin Ka'ab ia mengatakan, 'seorang laki-laki yang paling jauh rumahnya dari mesjid dan ia tidak
pernah tertinggal satu shalat pun, aku berkata kepadanya : "Seandainya kamu membeli seekor keledai untuk
kamu naiki disaat gelap gulita atau disaat terik panas ?" ia berkata : "Tidak membuatku senang rumahku berada
di samping mesjid sesungguhnya aku ingin dicatat untukku langkahku menuju ke mesjid dan kembalinya aku ke
rumahku." Rasulullah saw bersabda : "Sungguh Alloh telah mengumpulkan bagimu hal itu seluruhnya." H.R.
Muslim

Dari Abu Hurairah ia mengatakan, Rasulullah saw bersabda : "Siapa yang bersuci di rumahnya kemudian ia
berjalan menuju ke rumah dari rumah-rumah Alloh (mesjid) untuk menunaikan satu kewajiban diantara
kewajiban-kewajiban dari Alloh, niscaya kedua langkahnya satu langkah menghapus dosa dan langkah yang
lainnya mengangkat derajatnya. H.R. Muslim

3. Perempuan diperbolehkan turut salat berjamaah di masjid



Dari ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Apabila istri-istrimu minta izin ke masjid di malam
hari maka berikanlah izin kepada mereka itu." H.R. Bukhari, no. 818

Dari ibnu Umar r.a. mengatakan, Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kamu menghalangi istri-istrimu untuk
mendatangi masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka." H.R. Abu Daud, no. 480

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian menghalangi hamba Alloh
perempuan untuk mendatangi masjid, tetapi hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak menggunakan
wangi-wangian (dan berpakaian sederhana). H.R. Abu Daud, no. 478
3|Shalat berjamaah

4. Yang Paling Berhak menjadi imam


Sebelum salat berjamaah dilaksanakan harus ditentukan siapa yang akan menjadi imam. Rasulullah saw telah
menetapkan kriteria yang berhak untuk menjadi imam sebagaimana keterangan berikut ini :

Dari Abu Mas'ud Al Anshari ia berkata, Rasulullah saw telah bersabda : "Hendaklah menjadi imam diantara
kalian orang yang paling banyak hafal al-Qur'an. Apabila mereka sama dalam hal itu maka hendaklah yang
paling tahu tentang sunnah Nabi. Apabila masih sama hendaklah yang lebih dahulu hijrah dan bila masih sama
hendaklah yang paling tua umurnya. H.R. Ahmad, Musnad Ahmad IV : 121, Muslim, no. 673, Al Baihaqi, Sunan
al Baihaqi al kubra III : 90, no. 4911, At Tirmidzi, no. 235, Abu Daud, no. 582.

Dalam suatu riwayat: "Dan Janganlah seseorang mengimami orang lain di tempat kekuasaannya dan janganlah
ia duduk di rumahnya di tempat kehormatannya kecuali dengan seizinnya." H.R. Muslim


Dari Abu Athiyah ia berkata, Malik bin Huwairits mendatangi kami di tempat salat kami ini, lalu
dikumandangkan iqamat, lalu kami mengatakan kepadanya, "Majulah (menjadi imam) dan salatlah!" lalu ia
berkata kepada kami, "Angkatlah seorang laki-laki dari kalian untuk memimpin kalian salat dan aku akan
menceritakan kepada kalian mengapa aku tidak mau mengimami kalian, aku mendengar Rasulullah saw
bersabda, "Siapa yang mengunjungi satu kaum maka janganlah ia mengimami mereka, dan hendaklah salah
seorang dari mereka yang menjadi imam." H.R. Abu Daud, no. 504
Berdasarkan keterangan diatas seseorang tidak boleh menjadi imam di tempat orang lain kecuali atas izinnya.

Dari Amar Ibnu Salamah berkata: Ayahku berkata: Aku sampaikan sesuatu yang benar-benar dari Rasulullah
saw Beliau bersabda: "Bila waktu sholat telah datang, maka hendaknya seorang di antara kamu
mengumandangkan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak menghapal Qur'an di antara kamu menjadi
imam." Amar berkata: Lalu mereka mencari-cari dan tidak ada seorang pun yang lebih banyak menghapal
Qur'an melebihi diriku, maka mereka mengangkat aku (untuk menjadi imam) padahal aku baru berumur enam
atau tujuh tahun. H.R. Bukhari, Abu Dawud dan Nasa'I, Bulugh al-Maram :145

Dari Anas, sesungguhnya Nabi saw mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk mengimami orang-orang, padahal ia
adalah seorang yang buta. H.R. Abu Daud.

5. Posisi imam dan ma’mum


1. Apabila berjamaah hanya dua orang maka makmum berdiri sejajar di sebelah kanan imam.
 

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata : "Aku pernah shalat bermakmum kepada Nabi saw pada suatu malam, lalu aku
berdiri disebelah kirinya, maka Rasulullah memegang kepalaku dari belakangku lalu beliau menempatkan aku
disebelah kanannya." H.R. Al Bukhari, no 726.

Dari Ibnu Juraij ia berkata : 'Aku bertanya kepada Atha tentang seorang yang bermakmum kepada seorang
yang lain, dimanakah ia mesti berdiri? Ia menjawab, 'Disebelah kanannya,' aku kembali bertanya : "Apakah
sejajar sehingga satu shaf dengannya tidak mundur salah seorang diantaranya?" ia menjawab : "Ya!" aku
bertanya kembali : "Apakah sejajar sehingga tidak ada celah diantara diantara keduanya ?" ia menjawab : "Ya"

Sedangkan dalam kitab Al-Muwatha dari Abdullah bin Utbah bin Mas'ud ia berkata : Aku pernah menemui
Umar pada waktu dzuhur dan mendapatinya tengah melaksanakan shalat maka aku pun berdiri dibelakangnya
lalu ia merapatkan aku sehingga posisiku sejajar dengan beliau disebelah kanannya. Fathul bari I : 1016
4|Shalat berjamaah

Imam Asy-Syaukani mengatakan, "Dan dari sebagian pengikut Asy-Syafi'i (berkata), 'Dianjurkan makmum untuk
berdiri di belakang imam sedikit.' Dansepengetahuan saya hal itu tidak dalilnya."
2. Apabila berjamaah lebih dari dua orang maka imam berada di depan shaf makmum dan berdiri ditengah-
tengah.

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata, 'Rasulullah berdiri melaksanakan shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri
di sebelah kiri beliau maka beliau melarangku dan memindahkan aku kesebelah kanannya, kemudian datang
sahabatku lalu kami membentuk barisan di belakangnya… H.R. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah III : 18,
no 1535

Dari Abu Hurairah ia berkata, 'Rasulullah saw bersabda : "Jadikanlah imam didepan, ditengah-tengah dan isilah
kekosongan-kekosongan shaf. H.R. Abu Daud, no 681

Dari Raithah Al-Hanafiyah ia berkata, "Aisyah telah mengimami kami lalu ia berdiri diantara mereka dalam
(berjamaah) salat wajib." H.R. Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni IV : 181, no. 1525
Hadits ini doif karena pada sanadnya terdapat rawi yang majhul bernama Raithoh Al-Hanafiyah, dan rawi yang
bernama Maisaroh bin Habib An-Nahdiy ia tidak menerima hadits dari Raithah Al-Hanafiyah.
3. Shaf perempuan berada dibelakang shaf ma’mum laki-laki.

Dari Anas bin Malik ia berkata : "Aku shalat dirumah kami bersama seorang anak yatim bermakmum dibelakang
Nabi dan ibuku Ummu Sulaim dibelakang kami." H.R. Al Bukhari, no. 727

Dari Abu Musa Al-Asy'ari dari Rasulullah saw … dan beliau menjadikan laki-laki dewasa di depan anak-anak
sedangkan perempuan dibelakang anak-anak. " H.R. Ahmad, Musnad Ahmad V : 344, no.22962

Dari Abu Hurairah ia mengatakan, 'Rasulullah saw bersabda, " Shaf laki-laki yang paling baik adalah shaf yang
depan dan yang paling jelek adalah shaf yang paling belakang, sedangkan shaf perempuan yang paling baik
adalah shaf yang paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf yang paling depan." H.R. Muslim, no. 664,
Abu Daud, no. 580, At-Tirmidzi, no. 208, an-Nasai, no. 811, Ibnu Majah, no. 990, Ahmad, no. 7058
4. Imam tidak berdiri di tempat yang lebih tinggi dari ma’mum.

Dari Hamam bahwasanya Hudzaifah pernah mengimami orang-orang di Madain diatas sebuah toko, kemudian
Abu Mas'ud memegang bajunya lalu menariknya. Ketika selesai shalat ia (Abu Mas'ud) berkata : "Apakah kamu
tidak tahu bahwa mereka dilarang berbuat seperti itu ?" ia (Hudzaifah) menjawab : "Ya, ! aku ingat ketika
engkau menarikku." H.R. Abu Daud, no. 597, Ibnu Hibban, no. 2143, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah III
: 13, no. 1523, AlBaihaqi, Sunan al Baihaqi al Kubra III : 108, Asy-Syafi'i, Musnad Asy-Syafi'i I : 59

Dari Abu Mas'ud Al-Anshari ia berkata : 'Rasulullah saw melarang imam berdiri diatas sesuatu sedangkan
orang-orang dibelakangnya (Ma'mum) berada dibawahnya.' H.R. Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni II : 88,
no. 1
5. Ma’mum tidak berdiri sendiri dibelakang shaf.

Dari Wabishah bin Ma'bad Sesungguhnya Rasulullah saw melihat seseorang shalat dibelakang shaf sendirian
maka beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud I : 182, no. 682, At
Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi I : 448, no 231, Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah II : 11, no. 1004, Ibnu Hibban, Shahih
Ibnu Hibban V : 576, no. 2199, Nailul Authar III : 224
5|Shalat berjamaah

6. Shalat berjamaah didahului oleh adzan dan iqamat.



Dari Malik bin Al Huwairits dari Nabi saw beliau bersabda : Apabila telah tiba waktu shalat, hendaklah kalian
adzan kemudian iqamah dan hendaklah yang paling tua iantara kamu menjadi imam. H.R. Al-Bukhari, no. 658,
Muslim, no. 674, At Tirmidzi, no 205, Abu Daud, no 589.

7. Semakin banyak jumlah orang yang berjamaah maka akan semakin baik.

Dari Ubay bin Ka'ab ia mengatakan, "Rasulullah saw salat subuh pada suatu hari lalu beliau bertanya, "Apakah
si Fulan menghadiri salat (berjamaah)?" mereka menjawab, "Tidak!" beliau kembali bertanya, "Lalu (bagaimana
dengan) si Fulan?" mereka menjawab, "Tidak!" beliau bersabda, "Sesungguhnya kedua salat ini termasuk salat
yang paling berat atas orang-orang munafik, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang ada pada keduanya
pastilah mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak, dan shaf yang pertama itu seperti shafnya
para malaikat, kalaulah kalian mengetahui keutamaannya pastilah kalian akan memperebutkannya, dan
sesungguhnya shalat seseorang dengan seorang yang lain lebih membersihkan (dirinya) dari pada shalat
sendirian (munfarid), shalat seseorang dengan dua orang yang lainnya lebih membersihkan sirinya daripada
dengan seorang yang lainnya dan semakin banyak (jumlah orang yang berjamaah) itu akan lebih dicintai Allah
Azza wa Jalla." H.R. An-Nasai, Sunnanul kubra I : 295, no. 917, Abu Daud, Sunan Abu Daud I : 151, no. 554, Al
Baihaqi, Sunan al Baihaqi al kubra III : 61, no. 4744. Ahmad, Musnad Ahmad IV : 140, no. 21302

8. Shaf ma’mum harus benar-benar lurus dan rapat.



Dari Anas dari Nabi saw beliau bersabda : "Luruskanlah shaf kalian karena lurusnya shaf itu kedempurnaan
shalat. H.R. Al Bukhari, no. 723

Dari Nu'man bin Basyir ia mengatakan, 'Rasulullah saw meluruskan shaf-shaf kami sampai seolah-olah
meluruskan anak panah sehingga beliau melihat kami telah memahamimya. Pada suatu hari beliau keluar lalu
berdiri sehingga hampir beliau bertakbir lalu beliau melihat seorang laki-laki yang dadanya menonjol dari shaf,
lalu beliau bersabda : "Hai hamba Alloh luruskan shaf kamu atau Alloh akan mengganti wajahmu." H.R. Muslim

Dari Abdulloh bin Mas'ud ia mengatakan, Rasulullah saw bersabda : "Hendaklah mengiriku orang-orang yang
sudah sampai umur dan berakal, kemudian orang yang lebih muda dari mereka dan ingatlah kalian jangan
membuat bising seperti di pasar." H.R. Muslim

9. Imam hendaklah memperhatikan keadaan makmum


Dari Abu Hurairah, sesungguhnya RAsulullah saw bersabda : 'Apabila salah seorang diantara kalian mengimami
orang-orang maka hendaklah meringankan shalatnya karena diantara mereka ada yang lemah, ada yang sakit
dan lanjut usia dan apabila salah seorang diantara kalian shalat sendiri maka panjangkanlah shalatnya sesuka
hatinya. H.R. Al Bukhari, no. 703.

Dari Anas bin Malik dari Nabi saw beliau bersabda, "Sesungguhnya aku sedang salat, dan aku hendak
memanjangkan(bacaan)nya, lalu aku mendengar tangisan seorang anak, maka aku pun mempersingkat salatku,
karena aku tahu akan mengganggu ibunya sebab tangisannya itu. "H.R. Bukhari
6|Shalat berjamaah

10. Kewajiban makmum


a. Mengikuti semua gerakan imam dan tidak boleh mendahului imam.
b. Diam, dan memperhatikan bacaan imam bila bacaannya dikeraskan (jahar).
c. Turut membaca ketika bacaan imam tidak dikeraskan (di-sir-kan)
d. Membaca 'aamiin' ketika imam selesai membaca waladholin.
e. Membaca rabbana walakal hamdu ketika imam selesai mengucapkan sami’allohu liman hamidah.
Hal-hal tersebut berdasarkan beberapa keterangan berikut ini :

Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : "Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jika ia
bertakbir bertakbirlah kalian dan janganlah kalian bertakbir sebelum sempurna takbirnya, apabila ia ruku maka
rukulah, dan janganlah kalian ruku sebelum ia sempurna ruku,,,!' H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud I : 164, 603

Dari Abu Hurairah ia berkata, 'Rasulullah saw mengajar kami, beliau bersabda : "Janganlah kalian mendahului
imam, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, apablila ia membaca 'waladlolin' maka ucapkanlah oleh
kalian 'aamiin' dan apabila ia mengucapkan 'sami'allohuliman hamidah' maka ucapkanlah oleh kalian
'Allohumma rabbana lakal hamdu.'H.R. Muslim, no 315

Apabila imam membaca maka dengarkanlah. H.R. Muslim, no. 404


Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw membaca pada salat subuh hari jum'at alif lam mim tanzil pada rakaat
pertama dan pada rakaat kedua hal ata 'alal insan hinun minad dahri lam yakun syaian madzkura. ' H.R.
Muslim


Dari Ibnu abbas 'bahwasanya Nabi saw membaca pada salat subuh di hari jum'at as-sajdah dan hal ata 'alal
insan dan sesungguhnya Nabi saw membaca pada salat jum'at surat al-jumu'ah dan al-munafiqun.'' H.R.
Muslim
 
Dari Jubair Ibnu Muth'im r.a berkata: Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur dalam sholat
maghrib. Muttafaq Alaihi
 
Dari Al-Bara ia mengatakan, Aku mendengar Nabi saw membaca wat tini waz zaitun pada salat isya dan aku
tidak mendengar seorang pun yang lebih indah suaranya dari padanya. H.R. Al-Bukhari

Dari Jabir bin Abdullah ia mengatakan, 'Kami membaca al-fatihah dan surat pada salat dzuhur dan ashar pada
dua rakaat yang pertama, dan pada dua rakaat berikutnya membaca al-fatihah.' H.R. Ibnu Majah, no. 834

f. Bagi makmum masbuk (yaitu makmum yang terlambat sesudah imam mengerjakan sebagian dari
pekerjaan shalat), diwajibkan melakukan takbiratul ihram lalu mengikuti pekerjaan imam (baik tengah
melakukan ruku’ sujud atau yang lainnya).

Apabila kalian pergi untuk melaknakan shalat maka hendaklah kamu tenang apa yang kamu dapati (bersama
imam) shalatlah dan apa yang ketinggalan maka sempurnakanlah. H.R. Al Bukhari,no 609, Muslim, no. 602, At
Tirmidzi, no. 327, Abu Daud, no.572
7|Shalat berjamaah

g. Bagi makmum yang masbuk diwajibkan untuk menyempurnakan rakaat yang tertinggal. Adapun
tentang ukuran mendapatkan satu rakaat terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama
Kelompok pertama berpendapat bahwa makmum masbuk bila dapat ruku bersama imam, sebelum
imam itu menegakkan tulang punggungnya, maka ia mendapatkan rakaat itu. Ini merupakan pendapat
jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya Abu Hanifah, Malik, as-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
Kelompok kedua berpendapat bahwa makmum masbuk mendapat rakaat bila ia tidak tertinggal al-
Fatihah sejak awal.

Alasan Kelompok Pertama


Di antara dalil-dalil yang dijadikan acuan oleh kelompok pertama adalah sebagai berikut:

Dari al-Hasan, dari Abu Bakrah, sesungguhnya ia sampai kepada Nabi saw. ketika sedang ruku, lalu ia ruku
sebelum sampai ke shaf, kemudian ia menceritakan hal itu kepada Nabi saw. Maka beliau bersabda, “Semoga
Allah menambahkan semangat terhadapmu dan janganlah engkau ulangi” H.r. Al-Bukhari

Pada hadis ini diterangkan dengan jelas bahwa Abu Bakrah menjadi makmum masbuq mendapatkan imam
(Nabi saw.) sedang ruku’, lalu dia ruku’ bersama imam, dan Nabi tidak memerintahkannya menambah rakaat
lagi.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika kamu mendatangi salat, padahal kami sedang
sujud, maka sujudlah dan janganlah kamu menghitungnya satu rakaat (mendapatkan rakaat). Dan barangsiapa
mendapatkan rakaat (ruku), maka dia mendapatkan salat’.” H.r. Abu Daud.

Berdasarkan hadits ini jika makmum masbuq mendapatkan ruku bersama imam, sebelum imam bangkit dari
ruku’nya, dia mendapatkan rakaat tersebut. Makna ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Daud
lainnya dengan lafal

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Barangsiapa menyusul satu rakaat dari salat maka ia telah menyusul rakaat itu
sebelum imam meluruskan punggungnya”
Kemudian diperkuat pula oleh keterangan Zaid bin Wahb: “Aku keluar bersama Abdullah (Ibnu Mas’ud) dari
rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai di tengah masjid, imam ruku’. Lalu Abdullah bertakbir dan ruku’,
dan aku ruku’ bersamanya. Kemudian dalam kedaan ruku’ kami berjalan sehingga sampai shaf, ketika orang-
orang mengangkat kepala mereka. Setelah imam menyelesaikan salatnya, aku berdiri, karena aku menganggap
tidak mendapatkan rakaat. Namun Abdullah memegangi tanganku dan mendudukanku, kemudian berkata,
‘Sesungguhnya engkau telah mendapatkan (rakaat)’.” (Lihat, Juz’ul Qiraah Khalfal Imam, al-Muhalla 2/274-278;
Nailul Authar 2/511-514)
Sedangkan ucapan Abu Hurairah riwayat Al-Bukhari dalam kitab al-Qiraah Khalfal Imam

“Apabila kamu menyusul jama’ah salat sedang ruku, maka rakaat itu jangan dihitung”.
Tidak dapat dijadikan hujjah, karena pada sanadnya terdapat rawi bernama Ma’qil bin Malik yang dinyatakan
matruk (ditinggalkan hadisnya) oleh al-Azdi

Alasan Kelompok Kedua


Pertama yang menjadi tolok ukur makmum mendapatkan satu rakaat bukan ruku’nya imam, melainkan bacaan
surat al-Fatihah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.

“Tidak ada salat bagi yang tidak membaca al-Fatihah.” H.r. Al-Bukhari
Kalimat laa shalata (tidak ada salat) merupakan bentuk nafi (peniadaan) namun bermakna nahyi (larangan).
Jadi hadis itu mengandung pengertian “jangan salat tanpa membaca Al-Fatihah”. Pengertian ini mengacu pada
riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan mukharij lainnya dengan lafal

Tidaklah cukup salat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah. Bahkan di dalam riwayat Ahmad dengan kalimat
yang lebih tegas
8|Shalat berjamaah

Tidak diterima salat apapun yang padanya tidak dibaca al-Fatihah.

Dengan keterangan-keterangan ini jelaslah bahwa makna tidak ada salat bagi yang tidak membaca al-Fatihah
adalah tidak sah setiap rakaat tanpa al-Fatihah. Dan hadis ini bersifat ‘am, yakni meliputi salat munfarid dan
berjamaah, serta berlaku untuk imam maupun makmum. Karena itu, apabila makmum bertakbiratul ihram
tidak dari awal Fatihah pada satu rakaat, maka ia tidak mendapatkan rakaat itu.

Kedua, hadis-hadis yang menyatakan bahwa

”Siapa yang menyusul satu rak’ah dari salat bersama imam sungguh ia telah mendapatkan salat itu” H.r. Al-
Bukhari dan Muslim

“Apabila kamu datang (masbuk) kepada shalat dan kami (imam dan makmum) sedang sujud maka sujudlah dan
janganlah engkau hitung apa-apa (rakaat), dan siapa yang masih menyusul ruku sungguh ia telah mendapatkan
salat itu.” H.r. Abu Daud
Tidak dapat dijadikan dalil bahwa makmum masbuq jika dapat melakukan ruku’ bersama imam, ia telah
mendapatkan rakaat itu walaupun tidak membaca al-Fatihah. Karena kata rak’ah pada riwayat-riwayat di atas
maknanya adalah rakaat secara keseluruhan yang di dalamnya terdapat qiyam (berdiri), qiraah (bacaan Al-
Fatihah), ruku’, i’tidal (berdiri) setelah ruku’, dan sujud, bukan makna ruku’ secara khusus (posisi ruku’).
Adapun makna rak’ah untuk menunjukkan posisi ruku’ di dalam salat itu sudah merupakan makna majazi
(kiasan) dan bukan makna sebenarnya. Oleh karena itu, untuk mengartikan rak’ah dengan arti posisi ruku’
memerlukan qarinah (keterangan lain). Seperti pada hadis riwayat Muslim dari Al-Barra bin Azib berikut ini

Maka aku dapatkan qiyamnya, rukuknya, i’tidalnya, serta sujudnya.


Kata rak’ah pada riwayat ini berarti ruku’ karena disebut secara terperinci tentang posisi-posisi di dalam salat,
dan ruku’ salah satu di antaranya.
Dengan demikian, hadis-hadis ini semakin mengukuhkan keumuman hadis pertama di atas.

Ketiga, pada hadis Abu Bakrah tidak ada keterangan bahwa ia telah mendapatkan rakaat itu sebagaimana ia
tidak diperintah untuk mengulanginya. Dengan demikian, hadis tersebut (sampai kata wala ta’ud) tidak ada
hubungannya dengan masalah makmum masbuq mendapatkan rakaat atau tidak. Karena itu Imam as-Syaukani
berkata, “Pada hadis itu tidak ada keterangan yang dapat dijadikan dalil pendapat mereka, karena sebagaimana
ia tidak diperintah mengulangi salat tidak ada keterangan pula bahwa Nabi menganggap ia mendapatkan
rakaat itu. Sedangkan du’a Nabi ‘semoga Allah menambah semangat” tidak berarti ia mendapatkan rakaat
itu…” (Lihat, ‘Aunul Ma’bud III:103) Namun pada riwayat Al-Bukhari dalam kitabnya al-Qiraah Khalfal Imam,
terdapat perintah dari Nabi kepada Abu Bakrah untuk menambah rakaat yang terlewat itu dengan kalimat

“Lakukanlah apa yang kamu dapati dan sempurnakanlah apa yang terlewat”
Meskipun riwayat ini dinyatakan lemah, namun hadis Abu Bakrah ini sesuai dengan keumumuman perintah
yang senantiasa dikemukakan oleh Nabi kepada orang (makmum) yang masbuq

“Apabila salat telah dilaksanakan, janganlah seseorang berjalan dengan tergesa-gesa mendatangi salat itu,
tetapi hendaklah ia tenang. Lakukanlah apa yang kamu dapati dan sempurnakanlah apa yang terlewat”. H.r.
Muslim, dan pada riwayat Al-Bukhari dengan redaksi

“Apabila kalian mendatangi salat, hendaklah tenang. Apa yang dapat kalian susul maka lakukanlah dan apa
yang tertinggal maka sempurnakanlah”.
Apabila pemaknaan hadis Abu Bakrah itu tidak demikian, maka hadis tersebut akan menyalahi
keumuman perintah tersebut. Karena itu, kita meragukan kesahihan hadis yang menyatakan bahwa Ibnu
Mas’ud mencegah Zaid bin Wahab ketika akan menambah rakaat yang terlewat, sebagaimana disebutkan di
atas, karena tidak mungkin sahabat menyalahi sunnah Rasul.
9|Shalat berjamaah

Keempat, riwayat Abu Hurairah yang menyatakan:

“Apabila kamu menyusul jama’ah salat sedang ruku, maka rakaat itu jangan dihitung”. Semakin mempertegas
sikap sahabat terhadap masalah makmum masbuq mendapati imam sedang ruku’. Sedangkan penilaian matruk
terhadap Ma’qil dari al-Azdi tidak akan mempengaruhi sikap para sahabat tersebut, karena penilaian al-Azdi
itulah yang matruk (ditinggalkan). Ibnu Hajar menyatakan: “Sangkaan al-Azdi bahwa Ma’qil matruk adalah
keliru” (lihat, Taqribut Tahdzib, I:540)

Kelima, hadis Abu Daud sebagaimana disebutkan dalam Majalah As-Sunnah, edisi 03/Tahun VII/2003, dengan
lafal

tidak kami temukan dalam riwayat Abu Daud kecuali menggunakan redaksi

(lihat, Sunan Abu Daud, Beirut:Dar al-Fikr, 1990, I:251, pada kitabus shalah bab man adraka minal jum’ah
rak’atan, hadis No. 1121)

Redaksi seperti itu justru kami temukan pada riwayat Ad-Daraquthni (Lihat, Sunan ad-Daraquthni, Dar al-Fikr,
1994, juz 1, hal. 272, pada kitabus shalah bab man adrakal imam qabla iqamati shulbihi faqad adrakas shalah,
hadis No. 1298) Namun hadisnya dhaif dilihat dari aspek sanad dan matan. Pada sanadnya terdapat rawi
bernama Qurrah bin Abdurrahman. Abu Zur’ah berkata, “Hadis-hadis yang diriwayatkannya munkar” Ad-
Daraquthni berkata, “Tidak kuat dalam periwayatan hadis” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XXIII:583-584). Kemudian
dilihat dari segi matan, hadis ini dikategorikan mudraj fil matn (terdapat tambahan kalimat pada matannya),
yakni qabla an yuqimal imamu shulbahu. Karena pada riwayat Ma’mar, Malik, Yunus, Ibnu Juraij, Sufyan bin
Uyainah, dan al-Auza’i tidak ada kalimat itu. Semuanya hanya meriwayatkan sampai kalimat faqad adrakaha.

Setelah mempelajari alasan-alasan dari kedua belah pihak, kami cenderung kepada pendapat kelompok kedua
yaitu apabila seorang makmum yang menyusul imam dalam posisi apa pun dan ia tertinggal al-Fatihah sejak
awal, maka wajib mengulangi rakaat yang tertinggal itu.
10 | S h a l a t b e r j a m a a h

h. Hukum berjamaah diantara makmum yang masbuk

Salat-salat fardu sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw untuk dilakukan secara berjama'ah karena
keutamaanya bahkan salat berjamaah hampir tidak pernah beliau tinggalkan sepanjang hidup beliau.
Salat berjamaah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan dipimpin oleh satu orang yang
dinamakan imam sedangkan yang mengikutinya dinamakan ma’mum. Beliau bersabda :

Dari Abu Musa Al-Asy'ari ia berkata, Rasulullah saw bersabda : dua orang atau lebih adalah berjamaah. H.R.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I : 312, no. 972

Apabila kalian bertiga maka salatlah secara berjamaah, dan bila kalian lebih dari itu maka hendaklah salah
seorang diantara kalian menjadi imam. H.R. Muslim, no. 830
Adapun mengenai keutamaan salat berjamaah beliau bersabda :
ً
”Shalat berjama’ah itu lebih utama 27 derajat dari pada salat sendirian”. H.R. Bukhari
Dalam riwayat lain beliau bersabda :

Dan sesungguhnya shalat seseorang dengan seorang yang lain lebih membersihkan (dirinya) dari pada shalat
sendirian (munfarid), shalat seseorang dengan dua orang yang lainnya lebih membersihkan sirinya daripada
dengan seorang yang lainnya dan semakin banyak (jumlah orang yang berjamaah) itu akan lebih dicintai Allah.
H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud I : 151, no. 554, An-Nasai, Sunnanul kubra I : 295, no. 917, Al Baihaqi, Sunan al
Baihaqi al kubra III : 61, no. 4744. Ahmad, Musnad Ahmad IV : 140, no. 21302

Rasulullah saw sangat tidak menginginkan ada umatnya yang luput dari keutamaan ini hingga pernah ada orang
yang telah salat berjamaah pun diperintah beliau untuk menemani seseorang yang tertinggal salat berjamaah.
Sebagaimana keterangan berikut :
 

Dari Abu Said Al-Khudri, 'Sesungguhnya seorang laki-laki masuk mesjid sedangkan Rasulullah saw telah salat
bersama para sahabatnya. Maka Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang mau bershadaqah pada orang ini untuk
salat bersamanya?" maka berdirilah seseorang dari kaum itu lalu ia salat bersamanya.'H.R. Ahmad, Musnad
Ahmad juz. 23, hal. 25, no. 10980

Oleh sebab itu melaksanakan salat-salat fardu dengan cara berjamaah merupakan sunnah Rasulullah saw dan
setiap muslim tentunya senantiasa diperintah untuk menghidupkan sunnahnya.
Namun timbul permasalahan bagaimana bila salat berjamaah itu dilakukan diantara makmum yang masbuk,
salah seorang diantara mereka kemudian menjadi imam. Hal ini tidak lepas dari pertanyaan bolehkah makmum
menjadi imam dan pernahkah hal ini terjadi dimasa Rasulullah saw?
Ada yang berpendapat bahwa berjamaah diantara makmum yang masbuk itu bid'ah karena tidak ada
keterangan nabi saw pernah melakukan hal itu.
Namun benarkah berjamaah diantara makmum yang masbuk itu bid'ah?
Sebenarnya terlalu cepat bila menyimpulkan perbuatan ini bid'ah padahal menurut kami terdapat dalil-dalil
menunjukkan hal itu baik yang bersifat umum atau pun yang bersifat khusus.
Pertama, dalil-dalil yang bersifat umum yaitu hadits-hadits yang menyatakan keutamaan salat berjamaah
dalam hal ini tidak ada takhsish (pengecualian) untuk makmum yang masbuk dari mendapatkan keutamaan
berjamaah.
Kedua, dalil-dalil yang bersifat khusus
1. Dalil yang menunjukan bolehnya makmum menjadi imam ketika salat.


 


11 | S h a l a t b e r j a m a a h

Dari Aisyah ia mengatakan, 'Disaat sakit Rasulullah saw semakin berat, Bilal datang memberi tahu beliau untuk
shalat. Beliau bersabda : "Perintah Abu Bakar untuk mengimami orang-orang …, 'Maka mereka memerintahkan
Abu Bakar untuk mengimami orang-orang. Ia (Aisyah) mengatakan : "Ketika Shalat dimulai, Rasulullah merasa
khawatir, maka beliau berdiri dipapah dua orang laki-laki, kedua kakinya menyapu tanah, ia (Aisyah)
mengatakan Ketika Rasulullah saw masuk mesjid, Abu Bakar merasakan kehadirannya dan ia mulai mundur,
lalu Rasulullah saw memberikan isyarat kepadanya untuk tetap ditempatnya. Kemudian Rasulullah saw
mendatanginya dan duduk disebelah kiri Abu Bakar. Ia (Aisyah) mengatakan Rasulullah saw shalat sambil
duduk mengimami orang-orang, sedangkan Abu Bakar shalat sambil berdiri, Abu Bakar mengikuti shalat
Rasulullah saw dan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar. H.R. Muslim,no. 418

2. Dalil yang menunjukkan Rasulullah saw sendiri pernah masbuk bersama seorang sahabat lalu mereka
menyempurnakan kekurangan rakaatnya secara berjamaah.



Dari Mughirah bin Syu'bah ia berkata, Rasulullah saw tertinggal dan aku pun tertinggal bersamanya,…
Kemudian beliau berkendaraan demikian pula aku, lalu kami sampai pada suatu kaum yang sedang
melaksanakan shalat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Ia telah menyelesaikan satu rakaat. Ketika
Abdurrahman bin Auf merasakan keberasaan Nabi, ia berusaha mundur, tetapi Nabi berisyarat kepadanya
supaya ia melanjutkan menjadi imam. Ketika salam, Nabi berdiri dan aku pun berdiri lalu kami menyelesaikan
rakaat kami yang tertinggal.'H.R. Muslim, no. 410
Sedangkan menurut riwayat yang lain terdapat sedikit perbedaan redaksi antara lain

H.R. Ahmad, dalam Musnad Ahmad juz ke-37, hal. 88, CD Al-Maktabah Asy-Syamilah

H.R. Ath-Thabrani, Al-Mu'jam Al-Ausath III : 404,CD Al-Maktabah Asy-Syamilah


 
H.R. Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra III : 31,CD Al-Maktabah Asy-Syamilah

Kalimat atau ini menunjukan bahwa nabi dan Al-Mughirah


menyempurnakan rakaat yang tertinggal secara berjamaah. Maka berjamaah di antara makmum yang masbuk
itu sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Ada yang berpendapat bahwa kalimat diartikan bahwa Nabi saw dan Al-Mughirah itu salat
sendiri-sendiri tanpa membuat jamaah baru. Kalimat kami pada hadits tersebut berarti bersama-sama bila
diartikan sendiri-sendiri mesti menunjukkan qarinah (keterangan pendukung) seperti

Kalimat wuhdanan pada hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah, (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah I : 358) diatas menjadi
qarinah yang memalingkan makna 'kami' pada kalimat yang berarti bersama-sama menjadi sendiri-sendiri.
Dari uraian diatas berjamaah diantara makmum yang masbuk menurut hemat kami termasuk sunnah
Rasulullah saw.
12 | S h a l a t b e r j a m a a h


Dari Ubadah bin Shamit, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak
membaca Al-Fatihah”. H.R. Bukhari no. 723.

Imam Al Bukhari dalah al qiraah khalfal imam, dari Abu Hurairah ia berkata, 'Apabila engkau mendapati
jama'ah tengah ruku maka rakaat itu tidak dihitung satu rakaat. Talkhishul habir II : 41
l. Ma'mum masbuk menyempurnakan rakaat yang tertinggal secara berjamaah.



Dari Mughirah bin Syu'bah ia berkata, '… Kemudian beliau berkendaraan demikian pula aku, lalu kami sampai
pada suatu kaum yang sedang melaksanakan shalat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Ia telah menyelesaikan
satu rakaat. Ketika Abdurrahman bin Auf merasakan keberasaan Nabi, ia berusaha mundur, tetapi Nabi
berisyarat kepadanya supaya ia melanjutkan menjadi imam. Ketika salam, Nabi berdiri dan aku pun berdiri lalu
kami menyelesaikan rakaat kami yang tertinggal. H.R. Muslim, no 274

k. Bila imam melakukan kesalahan dalam melakukan gerakan shalat hendaklah ma'mum mengingatkan
dengan mengucapkan tasbih untuk laki-laki dan tepuk tangan untuk perempuan. Sedangkan apabila imam
keliru dalam membaca al-Qur'an hendaklah ma'mum membentulkan secara langsung ayat yang keliru.

Dai Sahl bin Sa'ad dari Nabi saw beliau bersabda, "Siapa yang terganggu (terlupa) sesuatu dalam salatnya, maka
bacalah subhanalloh, hanyalah tepuk tangan itu untuk perempuan dan tasbih untuk laki-laki." H.R. Ahmad, no.
21736

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi saw salat, lalu beliau membaca (Al-Qur'an) padanya lalu beliau keliru,
maka ketika selesai salat beliau bersabda kepada ayahku, "Apakah kamu salat bersama kami?" ia menjawab,
"Ya." Beliau bersabda, "Lalu apa yang menghalangimu (untuk mengingatkanku)." H.R. Abu Daud, no. 773
 

Dari Al-Musawwar bin Yazid Al-Asdi Al-Maliki bahwasanya Rasulullah saw membaca (Al-Qur'an) dalam
salat lalu beliau meninggalkan sesuatu yang belum dibacanya. Lalu seorang laki-laki berkata kepada
beliau, "Hai Rasulullah, engkau meninggalkan ayat ini dan ini." Maka Rasulullah saw bersabda,
"Mengapa kamu tidak mengingatkan aku!". H.R. Abu Daud, no. 772
13 | S h a l a t b e r j a m a a h

Anda mungkin juga menyukai