Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Atonia Uteri

1. Definisi

Antonia Uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus
tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir (Sarwono, 2010)

2. Etiologi

Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi
(penunjang ) seperti :

a) Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau bayi besar


b) Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
c) Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d) Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
e) Malnutrisi.
f) Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun
g) Infeksi Intrauterin
h) Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

3. Tanda dan Gejala

a) Perdarahan pervaginam

Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes.
Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena
tromboplastin sudah tidak lagi sebagai anti pembeku darah.

b) Konsistensi rahim lunak


c) Fundus uteri naik

Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal

d) Terdapat tanda-tanda syok

Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ektremitas dingin, gelisah, mual dan lain-
lain.

4. Diagnosis

a) Data Subjektif
Ibu mengatakan merasa mules pada perut bagian bawah.

b) Data Objektif

Pemeriksaan fisik : Uterus tidak berkontraksi dan lunak serta terjadi perdarahan segera
setelah plasenta dan janin lahir > 500 cc

5. Pencegahan atonia uteri

Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin
segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-
20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam. Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat
mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi
kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah
perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai
onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani
seperti preparat ergometrin. Masa paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15
menit. Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan
postpartum.

6. Penanganan Atonia Uteri

a. Penanganan Umum
1) Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan
gawat darurat.
2) Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital.
3) Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok tidak
terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu tersebut dapat
memburuk dengan cepat.
4) Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian cairan
cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan
transfusi darah.
5) Pastikan bahwa kontraksi uterus baik.
6) Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah yang
terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif. berikan 10
unit oksitosin IM
7) Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
8) Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina, dan
perineum.
9) Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
10) Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadar
Hemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia berat):berilah
sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg
per oral sekali sehari selama 6 bulan.
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.

b. Penanganan Khusus

1) Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.


2) Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi uterus yang
menghentikan perdarahan.
3) Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
4) Jika uterus berkontraksi. Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus
berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan
jahit atau rujuk segera.
5) Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban
dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah
kosong. Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai
kebutuhan.
6) Jika perdarahan terus berlangsung:
Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap;Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak
adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran dengan pembuluh
darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut. Lakukan uji pembekuan darah sederhana.
Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang
dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.
7) Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan di atas telah dilakukan,
lakukan:
a. Kompresi bimanual internal atau Kompresi aorta abdominalis Lakukan kompresi
bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
b. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-
lahan dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus tidak berkontraksi, maka :
Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal;
Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan
diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18
dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat
mungkin. Ulangi KBI, jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama
selama kala empat.
c. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.

B. Retensio Plasenta

1. Definisi
Retensio plasenta adalah plasenta masih berada didalam uterus selama lebih dari
setengahjam bayi lahir (Sarwono, 2010)

2. Sebab sebab :

a. Sebab sebab fungsioniil

1) his kurang kuat (sebab terpenting)


2) plasenta sukar terlepas karena :
a. Tempatnya : insersi di sudut tuba
b. Bentuknya : plasenta membranacea, plasenta anularis.
c. Ukurannya : plasenta yang sangat kecil

Plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut di atas disebut plasenta
adhaesiva.

b. Sebab patologi-anatomis:

1) placenta accrete
2) placenta increta
3) placenta percreta

3. Etiologi

a. Plasenta belum lepas dari didnding uterus


b. Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan (disebabkan karena tidak adanya usaha
untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III)
c. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
d. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korealis menembus desidua
sampai miometrium-sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).

4. Penatalaksanaan

a. Jika plasenta terliahat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengejan. Jika anda dapat
merasakan adanya plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta tersebut.
b. Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika diperlukan, lakukan katerisasi kandung
kemih
c. Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 Unit IM, jika belum dilakukan dalam
penanganan aktif kala III
d. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa
berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali
e. Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobalan untukmengeluarkan plasenta
secara manual. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah
sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan
lunak yang dapat pecah dengan mudam menunjukan koagulapati
f. Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, secret vagina yang berbau), berikan
antibiotik untuk metritis.
C. Emboli air ketuban

1. Definisi

Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan ketuban
memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan
shock. Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan ini meninggal dalam waktu 1
jam. Emboli cairan ketuban jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak terdiagnosis
yang dibuat adalah shock obastetrik, perdarahan post partum atau edema pulmoner akut.

2. Etiologi

a. Multiparitas
b. Usia lebih dari 30 tahun
c. Janin besar intrauteri
d. Kematian janin intrauteri
e. Menconium dalam cairan ketuban
f. Kontraksi uterus yang kuat
g. Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi

3. Patofisiologi

Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi pada
vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen
uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh
darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas
yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi
darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah
tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang
sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat
menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama
kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan
sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru.

4. Manifestasi Klinis

a. Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat pengukuran
( Hipotensi )
b. Dyspnea
c. Batuk
d. Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia.
e. Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin dapat turun
hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika penurunan ini berlangsung selama
10 menit atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau kurang lebih
3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia terminal.

f. Pulmonary edema.

g. Cardiac arrest.

h. Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang berlebihan setelah
melahirkan.Kegagalan rahim untuk menjadi perusahaan dengan pijat bimanual
diagnostik.

i. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC terjadi di
83% pasien.)

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Gas darah arteri : pO2 biasanya menurun.


b. Tekanan vena sentralis dapat meningkat, normal, atau subnormal tergantung pada
kuantitas hilangnya darah. Darah vena sentralis dapat mengandung debris selular
cairan amninon.
c. Gambaran koagulasi ( fibrinogen, hitung jumlah trombosit, massa protrombin, produk
pecahan fibrin. Dan massa trombo[lastin parsial ) biasanya abnormal , menunjukkan
DIC.
d. EKG dapat memperlihatkan regangan jantung kanan akut.
e. Keluaran urin dapat menurun, menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
f. Foto toraks biasanya tidak diagnostic tapi dapat menunjukkan infiltrate. Scan paru
dapat memperlihatkan defek perfusi yang sesuai dengan proses emboli paru.

6. Penatalaksanaan

a. Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi defek yang
khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
b. Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia &
perdarahan .
c. Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia uteri.
d. Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
e. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan menghambat
proses perbekuan.
f. Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada bronkospasme
g. Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos bronkus, dan
peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat ini di berikan perlahan – lahan
melalui Iv untuk menyokong tekanan darah sistolik kira – kira 100 mmHg.
h. Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
i. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler dengan menghambat
proses pembekuan.
j. Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
k. Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan sedian
trombosit.
l. Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin / fibrinogen.
m. Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu diperhatikan agar
tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam sirkulasi darah.
n. Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.

7. Komplikasi

a. Edema paru yang luas dan akhirnya mengakibatkan kegagalan dan payah jantung
kanan.
b. Ganguan pembekuan darah.

D. Robekan Jalan Lahir

1. Definisi

Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik,
dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.

2. Etiologi

a. Faktor Maternal

1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong


2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan
3) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan.
4) Edema dan kerapuhan pada perineum
5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan
kepala bayi ke arah posterior.
7) Peluasan episiotomi

b. Faktor-faktor janin :

1) Bayi yang besar


2) Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan occipitoposterior
3) Kelahiran bokong
4) Ekstrasksi forceps yang sukar
5) Dystocia bahu
6) Anomali congenital, seperti hydrocephalus.

3. Klasifikasi

a. Robekan Perinium

1) Pengertian

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.

2) Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :


a. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum
b. Tingkat II : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinea
transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c. Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
d. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum

3) Penatalaksanaan
a. Robekan perineum yang melebihi tingkat satu harus dijahit. Hal ini dapat dilakukan
sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus dilakukan
secara manual, tetapi lebih baik tindakan itu ditunda sampai plasenta lahir. Pasien
dianjurkan untuk berbaring dalam posisi litotomi dilakukan pembersihan luka
dengan cairan antiseptic dan luas robekan ditentukan dengan seksama.
b. Pada robekan perineum tingkat dua, setelah di beri anestesi local otot-otot
diafragma urogenetalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian
luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan-
jaringan di bawahnya.
c. Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding
depan rectum yang robek dijahit, kemudian vasia prarektal ditutup dan muskulus
sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan
perineum tingkat dua

b. Vagina
1) Faktor resiko:
a. Melahirkan janin dengan cunam.
b. Ekstraksi bokong
c. Ekstraksi vakum
d. Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto posterior.
e. Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis) bentuk robekan vagina
bisa memanjang atau melintang.

2) Komplikasi robekan vagina antara lain :

a. Perdarahan pada umumnya pada luka robek yang kecil dan superfisial terjadi
perdarahan yang banyak, akan tetapi jika robekan lebar dan dalam, lebih-lebih
jika mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan yang hebat.
b. Infeksi jika robekan tidak ditangani dengan semestinya dapat terjadi infeksi
bahkan dapat timbul septikami.
c. Robekan Serviks

Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan saat
persalinan karena perlukaan itu portio vaginalis uteri pada seorang multipara terbagi
menjadi bibir depan dan belakang. Robekan serviks dapat menimbulkan perdarahan
banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab di tempat terdapat ramus desenden dari
arateria uterina. Perlukaan ini dapat terjadi pada persalinan normal tapi lebih sering
terjadi pada persalinan dengan tindakan – tindakan pada pembukaan persalinan belum
lengkap. Selain itu penyebab lain robekan serviks adalah persalinan presipitatus. Pada
partus ini kontraksi rahim kuat dan sering didorong keluar dan pembukaan belum
lengkap. Diagnose perlukaan serviks dilakukan dengan speculum bibir serviks dapat
di jepit dengan cunam atromatik. Kemudian diperiksa secara cermat sifat- sifat
robekan tersebut. Bila ditemukan robekan serviks yang memanjang, maka luka dijahit
dari ujung yang paling atas, terus ke bawah. Pada perlukaan serviks yang berbentuk
melingkar, diperiksa dahulu apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau tidak.
Jika belum lepas, bagian yang belum lepas itu dipotong dari serviks, jika yang lepas
hanya sebagian kecil saja itu dijahit lagi pada serviks. Perlukaan dirawat untuk
menghentikan perdarahan.

Penjahitan robekan serviks :

1) Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina
dan serviks
2) Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan pada
sebagian besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara
perlahan (jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan
ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar
3) Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu
mendorong serviks jadi terlihat
4) Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
5) Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati.
Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara
perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
6) Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik
atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali
menjadi sumber pendarahan.
7) Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan
benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
8) Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau
forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus
berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat
pendarahan. Selanjutnya :
9) Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
10) Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep

E. Inversio Uteri

1. Definisi

Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam cavum uteri, dapat
secara mendadak atau perlahan. Kejadian ini biasany disebabkan pada saat melakukan
persalinan plasenta secara Crede, dengan otot rahim belum berkontraksi dengan baik.
Inversio uteri memberikan rasa sakit yang dapat menimbulkan keadaan syok.

2. Klasifikasi

a. Inversio uteri complet.


Pada inversio uteri, uterus terputar balik, sehingga fundus uteri terdapat dalam vagina
dengan selaput lendirnya sebelah luar
b. Inversio uteri incomplete
Fundus menekuk ke dalam dan tidak keluar ostuim uteri.
c. inversio prolaps.
Kalau uterus yang berputar balik itu keluar dari vuva

3. Etiologi

a. Tonus otot rahim yang lemah


b. Adanya atonia uteri
c. Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intra abdominal, tekanan dengan tangan,
dan tarikan pada tali pusat)
d. Kanalis servikalis yang longgar.
e. Tekanan intra abdominalyang keras dan tiba-tiba, misalnya batuk keras atau bersin-
bersin.
4. Tanda dan gejala

a. Syok karena kesakitan


b. Fundus uteri sama sekali tidak teraba tekukan pada fundus
c. Perdarahan banyak bergumpal
d. Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat
e. Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bla kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia,
nekrosis dan infeksi.

5. Penatalaksanaan

a. Atasi syok dengan pemberian infus RL dan bila perlu transfusi darah
b. Reposisi manual dalam anestesi umur sesudah syok teratasi (secara Johnson). Jika
plasenta belum lepas, baiknya plasenta jangan dilepaskan dulu sebelum uteri di
reposisi berhasil, diberi drip oksitosin dan dapat juga dilakukan kompresi bimanual.
Pemasangan tampon rahim dilakukan supaya tidak terjadi lagi insersio.
c. Jika reposisi manual tidak berhasil, dilakukan reposisi operatif.
Uterus dikatakan inversi jika uterus terbalik selama pelahiran plasenta. Reposisi
uterus harus dilakukan segera. Semakin lama cincin konstriksi di sekitar uterus yang
inversi semakin kaku dan uterus lebih membengkak karena terisi darah.
d. Jika ibu mengalami nyeri hebat, berikan petidin 1mg/kg berat badan (tetapi tidak lebih
dari 100mg) melalui IM atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1mg/kg berat
badan melalui IM.
e. Jika perdarahan berlanjut, kaji status pembekuan darah dengan menggunakan uji
pembekuan darah di sisi tempat tidur. Kegagalan darah untuk membeku setelah tujuh
menit atau terbentuk bekuan darah lunak yang mudah pecah menunjukan koagulopati.
f. Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksi setelah memperbaiki inversi uterus.
g. Ampisilin 2g melalui IV DITAMBAH metronidazol 500mg melalui IV
h. Atau sefazolin 1g melalui IV DITAMBAH metrinidazol 500mg melalui IV
i. Jika terdapat tanda tanda infeksi (demam,rabas vagina berbau busuk),berikan
antibiotik sebagaimana untuk mengobati metritis
j. Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi per vagina. Histerektomi per
vagina dapat memerlukan rujukan ke pusat perawatan tersier.

Anda mungkin juga menyukai