Pengertian Identitas Nasional ialah suatu ciri yang dimiliki sebuah bangsa, secara fisiologi yang
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lainnya.
Hakikat Identitas Nasional kita sebagai bangsa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
ialah pancasila
Dengan demikian nilai-nilai budaya yang tercermin di dalam Identitas Nasional tersebut
bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan domatis, melainkan
sesuatu yang terbuka yang cenderung terus-menerus bersemi karena adanya hasrat menuju
kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 35-36C, Identitas Nasional yang menunjukkan jati
diri Indonesia antara lain ialah sebagai berikut:
1. Suku Bangsa
2. Agama.
3. Kebudayaan.
4. Bahasa.
Dari 4 unsur identitas nasional di atas, dapat kita dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian
antara lain :
1. Identitas Fundamental, pancasila ialah sebagai falsafat bangsa, dasar negara serta ideologi
negara.
2. Identitas Instrumental, adalah isi UUD 1945 serta tata perundang-undangannya. Dalam
Identitas instrumental ini, bahasa yang digunakan ialah bahasa Indonesia, bendera
negara Indonesia adalah merah putih, lambang negara Indonesia adalah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika., lagu kebangsaan Indonesia yakni
Indonesia Raya.
3. Identitas Alamiah, meliputi negara kepulauan serta pluralisme didalam suku, budaya,
bahasa serta agama dan juga kepercayaan.
Pengertian kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk
menguasai wilayah pemerintahannya dan masyarakat. Kekuasaan tersebut bersifat asli
pemamen tungal dan tidak terbatas.
Pengertian Konstitusi ~ yaitu keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur secara mengikat mengenai cara penyelenggaraan suatu pemerintahan.
C. Jenis-jenis Konstitusi
E. Sifat Konstitusi
Sifat dari konstitusi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Konstitusi yang bersifat kaku (rigid), hanya dapat diubah melalui prosedur yang
berbeda dengan prosedur membuat undang-undang pada negara yang bersangkutan;
2. Konstitusi yang bersifat supel (flexible), sifat supel disini diartikan bahwa konstitusi
dapat diubah melalui prosedur yang sama dengan prosedur membuat undang-undang pada
negara yang bersangkutan.
F. Tujuan Konstitusi
untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara agar tidak dapat berbuat sewenang-wenang
serta dapat menjamin hak-hak warga negara.
G. Fungsi Konstitusi
Fungsi konstitusi bagi suatu negara sebagai berikut.
1. Membatasi atau mengendalikan kekuasaan penguasa agar dalam menjalankan
kekuasaannya tidak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
2. Memberi suatu rangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-
citakan dalam tahap berikutnya.
3. Sebagai landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem ketatanegaraan
tertentu yang dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya, baik penguasa maupun rakyat
(sebagai landasan struktural).
Ketiga jenis kekuasaan itu adalah :
1. Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)
2. Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
3. Kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas
enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lembaga tersendiri yaitu:
1. Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif)
2. Kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)
3. Kekuasaan kehakiman (yudikatif)
4. Kekuasaan kepolisian
5. Kekuasaan kejaksaan
6. Kekuasaan memeriksa keuangan negara
c. Masalah Kewarganegaraan
1) Apatride
Apatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas Ius Soli lahir
di Negara yang menganut Ius Sanguinis.[3] Contoh : Seorang keturunan bangsa A (Ius Soli)
lahir di negara B (Ius Sanguinis) Maka orang tsb bukan warga negara A maupun warga
negara B.
2) Bipatride
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut Ius Sanguinis
lahir di Negara lain ynag menganut Ius Soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa
anak tersebut warga Negaranya.[4] Contoh : Seorang keturunan bangsa C (Ius Sanguinis)
lahir di negara D (Ius Soli). Sehingga karena ia keturunan negara C, maka dianggap warga
negara C, tetapi negara D juga menganggapnya sebagai warga negara,karena ia lahir di
negara D.
3) Multipatride
Seseorang yang memiliki 2 atau lebih kewarganegaraan Contoh : Seorang yang bipatride juga
menerima pemberian status kewarganegaraan lain ketika dia telah dewasa, dimana saat
menerima kewarganegaraan yang baru ia tidak melepaskan status bipatride-nya.
C. Sejarah Kewarganegaraan
Mengetahui tentang masalah kewarganegaraan juga melibatkan sejarah dari sistem
kewarganegaraan, yang berkembang dari masa ke masa. Diawali dengan:
1. Zaman penjajahan Belanda
Hindia Belanda bukanlah suatu negara, maka tanah air pada masa penjajahan Belanda tidak
mempunyai warga negara, dengan aturan sebagai berikut:
1) kawula negara belanda orang Belanda,
2) (2) kawula negara belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumiputera,
3) (3) kawula negara belanda bukan orang Belanda, juga bukan orang Bumiputera, misalnya:
orang – orang Timur Asing (Cina, India, Arab, dan lain-lain).[5]
2. Masa kemerdekaan
pada masa ini, Indonesia belum mempunyai UUD. Sehari setelah kemerdekaan, yakni tanggal
18 agustus 1945, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945.
Mengenai kewarganegaraan UUD 1945 dalam pasal 26 ayat(1) menentukan bahwa “Yang
menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia aseli dan orang – orang bangsa
lain yang di sahkan dengan undang – undang sebagai warga negara,” sedang ayat 2
menyebutkan bahwa syarat – syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapan dengan
undang – undang.[6]Sebagai pelaksanaan dari pasal 26, tanggal 10 april 1946, diundangkan
UU No. 3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut UU
No. 3 Tahun 1946 adalah:
(1) Orang yang asli dalam daerah Indonesia,
(2) Orang yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di dalam wilayah negara
Indonesia,
(3) Anak yang lahir di dalam wilayah Indonesia.[7]
3. Persetujuan Kewarganegaraan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
Persetujuan perihal pembagian warga negara hasil dari konferensi meja bundar (KMB)
tanggal 27 desember 1949 antara Belanda dengan Indonesia Serikat ada tiga hal yang penting
dalam persetujuan tersebut antara lain:
(1) Orang Belanda yang tetap berkewargaan Belanda, tetapi terhadap keturunannya yang lain
dan bertempat tinggal di Indonesia kurang lebih 6 bulan sebelum 27 desember 1949 setelah
penyerahan keddaulatan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia yang disebut juga “Hak
Opsi” atau hak untuk memilih kewarganegaraan.
(2) Orang – orang yag tergolong kawula Belanda (orang Indonesia asli) berada di Indonesia
memperoleh kewarganegaraan Indonesia kecuali tidak tinggal di Suriname / Antiland
Belanda dan dilahirkan di wilayah Belanda dan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia,
(3) Orang – orang Eropa dan Timur Asing, maka terhadap mereka dua kemungkinan yaitu:
jika bertempat tinggal di Belanda, maka dtetapkan kewarganegaraan Belanda, maka yang
dinyatakan sebagai WNI dapat menyatakan menolak dalam kurun waktu 2 tahun.[8]
4. Berdasarkan undang – undang nomor 62 tahun 1958
Undang – undang tentang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku sampai sekarang adalah
UU No. 62 tahun 1958, yang mutlak berlaku sejak diundangkan tanggal 1agustus 1958.
Beberapa bagian dari undang – undang itu, yaitu mengenai ketentuan – ketentuan siapa warga
negara Indonesia, status anak – anak an cara – cara kehilangan kewarganegaraan, ditetapkan
berlaku surut hingga tanggal 27 desember 1949.
Hal – hal selengkapnya yang diatur dalam UU No. 62 tahun 1958 antara lain: (1) siapa yang
dinyatakan berstatus warga negara Indonesia (WNI), (2) naturalisasi atau pewarganegaraan
biasa,(3) akibat pewarganegaraan, (4) pewarganegaraan istimewa, (5) kehilangan
kewarganegaraan Indonesia, dan (6) Siapa yang dinyatakan berstatus asing.
Menurut undang – undang :
1) Mereka berdasarkan UU/ peraturan/perjanjian, yang terlebih dahulu (berlaku surut)
2) Mereka yang memenuhi syarat – syarat tertentu yang ditentukan dalam undang – undang
itu.
Selain itu, mungkin juga seorang Indonesia menjadi orang asing karena :
1) Dengan sengaja, insyaf, dan sadar menolak kewarganegaraan RI,
2) Menolak kewarganegaraan karena khilaf atau ikut – ikutan saja,
3) Di tolak oleh orang lain, misalnya seorang anak yang ikut status orang tuanya yang
menolak kewarganegaraan RI.[9]
D. Masalah Kedudukan Hukum Bagi Orang Asing
Sesuai dengan pasal 38 UU No. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian, menyatakan pengawasan
terhadap orang asing di Indonesia meliputi: pertama, masuk dan keluarnya ke dan dari
wilayah Indonesia, kedua, keberadaan serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.
Adapun tugas pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia dilakukan oleh
menteri kehakiman dengan koordinasi dengan badan atau instansi pemerintah yang terkait.
Masalah lain yang berkaitan dengan orang asing adalah tentang perkawinan campuran, yaitu
perkawinan antar a dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Dan yang paling menimbulkan
persoalan serius adalah perkawinan campuran antar-agama.
1. Perkawinan campuran antar-golongan (intergentiel)
Bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara dua
orang, yang masing – masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk pada
peraturan hukum yang berlainan. Misalnya, WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia
asli.
2. Perkawinan campuran antar-tempat (interlocal)
Yakni perkawinan antara orang – orang Indonesia asli dari lingkungan adat. Misal , orang
Minang kawin dengan orang jawa.
3. Perkawinan campuran antar-agama (interriligius)
Mengatur hubungan (perkawinan) antara dua orang yang masing – masing tunduk pada
peraturan agama yang berlainan.
Dalam tataran praksis perkawinan campuran antar-agama tidak dikenal di Indonesia. UU No.
1 tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas tidak menganut perkawinan campuran antar-
agama.
Berkaitan dengan status istri dalam perkawinan campuran, maka terdapat dua asas:
a) Asas mengikuti, maka suami/istri mengikuti suami/istri baik pada waktu perkawinan
berlangsung, kemudian setelah perkawinan berjalan.
Pasal 26 UU Kewarganegaraan menyatakan :
Ayat (1) perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki warga negara
asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Ayat (2) Laki – laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara
asing kehilangan kewarganegaraanya RI jika menurut hukum asal istrinya, kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
b) Asas persamamerataan
Menurut asas ini, bahwasanya perkawinan tidak mempengaruhi sama sekali kewarganegaraan
seseorang, dalam arti mereka (suami atau istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan
kewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri.
Ketentuan ini di atur dalam pasal 26 ayat (3) UU kewarganegaraan , bahwa perempuan atau
laki – laki WNI yang menikah dengan WNA tetap menjadi WNI jika yang bersangkutan
memiliki keinginan untuk tetap menjadi WNI. Adapun mekanismenya dengan, yaitu dengan
jalan mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan
republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki
tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.[10]
Pada masa awal pemerintahan Indonesia, yaitu pada periode 1950 hingga 1959, pemerintah
Indonesia menggunakan UUD Sementara sebagai landasan hukum konstitusi negara. Pada
masa ini bisa dibilang demokrasi mengalami kejayaan, karena hampir semua aspek
pemerintahan dan politik dijalankan dengan sistem demokrasi.
Kemudian pada 1959 terjadi perubahan sistem dari demokrasi parlementer menjadi sistem
demokrasi terpimpin. Hal ini didasarkan oleh ketidaksukaan presiden Soekarno terhadap
sikap dari partai-partai politik. Beberapa partai politikcenderung lebih berpihak kepada
kepentingan internalnya sendiri, dibanding memihak kepada kepentingan nasional. Presiden
Soekarno menganggap sistem demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia yang cenderung diperngaruhi oleh semangat kekeluargaan dan gotong royong.
(Baca : Ciri-Ciri Masyarakat Madani dan Pengertiannya)
Berlanjut ke masa pada saat transisi dari order lama ke orde baru atau lebih tepatnya pada
masa pemerintahan presiden Soeharto, sistem demokrasi Indonesia bisa dibilang berantakan.
Hak rakyat tidak tersampaikan secara penuh dalam jalannya pemerintahan. Pemerintah kala
itu membatasi hak dan kewajiban warna negara, terbukti dengan proses rotasi jabatan
kekuasaan yang hampir tidak pernah terjadi. Rotasi perpindahan kekuasaan hanya berlaku
untuk sebagian kecil pejabat-pejabat rendah seperti kepala desa, dan camat. Kalaupun ada
pejabat tinggi yang diganti hanya pada pergantian jabatan wakil presiden. Pergantian rotasi
kekuasaan tidak berlaku untuk presiden pada masa itu, hal ini sangat tidak
mencerminkan ciri-ciri demokrasi.
Gejolak dan amarah rakyat akhirnya meledak dengan melakukan protes besar-besaran
terhadap sistem pemerintahan order baru. Tepatnya pada tahun 1998, rakyat serentak
menuntuk presiden Soeharto untuk mundur dari kursi kekuasaannya. Presiden Soeharto
dianggap sudah terlalu jauh memonopoli kekuasaan dan mencemari semangat demokrasi
yang berlaku di Indonesia.
Peristiwa 1998 tersebut bisa dijadikan sebagai awal menuju kedewasaan demokrasi bagi
rakyat Indonesia. Dimulai dengan proses amandemen UUD 1945 yang diarahkan untuk
memperbaiki aspek-aspek kehidupan berbangsa. Lebih khsusnya terkait dengan
permasalahan pembagian kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintahan. ( Baca : Fungsi
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) )
Setelah pemerintahan presiden Soeharto runtuh dan berganti dengan pemerintahan presiden
Habibie, Indonesia benar-benar mengalami perubahan sistem demokrasi yang sangat
signifikan, diantaranya dengan diberlakukannya kebebasan pers sebagai sarana atau ruang
publik sebagai alat untuk memudahkan hubungan negara dengan warga negara. Selain itu
warga negara mendapat kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selain itu juga diberlakukan sistem pemilu multi partai. (Baca : Jenis-Jenis Pemilu
di Indonesia)
Bentuk-bentuk demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi
perwakilan (tak langsung). Berikut penjelasan tentang dua hal tersebut :
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat
mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memilih
pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi.
Demokrasi perwakilan (tidak langsung) merupakan demokrasi yang dilakukan oleh
masyarakat dalam setiap pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan
mengambil keputusan bagi mereka.
Prinsip-prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam
konstitusi Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi dapat ditinjau dari
pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan “soko guru demokrasi”. Menurut
Almadudi, prinsip demokrasi adalah :
1. Kedaulatan rakyat.
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
3. Kekuasaan Mayoritas.
4. Hak-hak minoritas.
5. Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).
6. Pemilihan yang adil, bebas, dan jujur.
7. Persamaan di depan hukum.
8. Proses hukum yang wajar.
9. Pembatasan pemerintah secara kontitusional.
10. Pluralisme ekonomi, politik, dan sosial.
11. Nilai-nilai toleransi, pragtisme, kerja sama, dan mufakat.
Menurut John Locke, kekuasaan pemerintahan negara dipisahkan menjadi tiga, yaitu :
Kemudian menurut Montesque (Trias Politica) menyatakan bahwa kekuasaan negara harus
dibagi dan dilaksanakan oleh tiga orang atau badan yang berbeda-bedadan terpisah satu sama
lainnya (independent/berdiri sendiri) yaitu :
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan yang demokratis dalam suatu negara, adalah :
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik
secara langsung atau perwakilan.
2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat.