Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebersihan mulut yang baik dan terpelihara dapat mencegah penumpukan

plak pada permukaan gigi, sehingga dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya gingivitis dan penyakit rongga mulut lainnya. Penyakit gingivitis

yang semakin parah akan terus berlanjut jika terjadi penumpukan plak, pada

rongga mulut yang kebersihannya tidak terjaga dengan baik. Selain itu,

penyakit rongga mulut lainnya yang sering terjadi utamanya pada gigi yaitu

karies gigi (Chand B, 2013).

Karies merupakan suatu penyakit infeksi yang dapat meluas dan terutama

mengenai jaringan keras gigi, sehingga terjadi kerusakan jaringan keras pada

rongga mulut pasien. Karies adalah penyakit infeksi lokal dan bersifat

progressif yang terjadi akibat adanya interaksi faktor-faktor yaitu agen,

substrat, host, dan waktu. Penyakit ini ditandai dengan terjadinya

demineralisasi pada email akibat perubahan pH dalam rongga mulut. Asam

yang dihasilkan oleh bakteri yang bersifat asidogenik merupakan penyebab

berubahnya pH dalam rongga mulut. Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut

akan mempengaruhi intake gizi yang dapat mengakibatkan gangguan-

gangguan pertumbuhan dan akan mempengaruhi status gizi manusia,

sehingga dapat menyebabkan penurunan fungsi biologis tubuh atau malnutrisi

(Chand B, 2013).

1
2

Di Indonesia, penderita gigi berlubang memiliki prevalensi yang tinggi.

Prevalensi karies di Indonesia berkisar 60 % berdasarkan Hasil Survei

Kesehatan Nasional 2002, yang berarti dari setiap 10 orang Indonesia,

terdapat enam orang diantaranya menderita gigi berlubang. Karies merupakan

penyakit rongga mulut yang paling sering terjadi dengan prevalensi tertinggi

di bandingkan penyakit-penyakit mulut lainnya yaitu 90,05 % (Mulyani dkk,

2013).

Prevalensi karies yang cukup tinggi memiliki dampak yang besar terhadap

kesehatan tubuh, sehingga perlu segera dipikirkan usaha-usaha pencegahan

karies. Salah satu cara pencegahan adalah dengan mengenali tipe bakteri dan

mengetahui aktivitas bakteri penyebab karies sedini mungkin (Mulyani dkk,

2013).

Faktor yang sangat berperan pada proses terjadinya karies adalah bakteri

terutama bakteri Streptococcus. Golongan Streptococcus mempunyai beberpa

strain, tetapi yang dominan dan banyak ditemukan dalam rongga mulut

manusia adalah jenis Streptococcus mutans, serta Streptococcus sobrinus.

Menurut TW Macfarlane dan Samaranayake dalam Clinical Oral

Microbiology menyatakan bahwa S.mutans merupakan bakteri penyebab

karies gigi paling dominan pada manusia (Mulyani dkk, 2013).

Seperti yang telah kita ketahui bahwa salah satu spesies bakteri yang

dominan dalam mulut yaitu Streptococcus mutans. Bakteri ini normalnya ada

dalam rongga mulut, namun bila terjadi perubahan pada habitat flora normal
3

ini, populasinya dapat meningkat dan menyebabkan proses terjadinya karies

gigi berlangsung lebih cepat (Yuliana dkk, 2008).

Telah banyak penelitian yang membuktikan adanya korelasi positif antara

jumlah bakteri Streptococcus mutansyang mampu mensintesis polisakarida

ekstraseluler glukan ikatan α (1-3) yang tidak larut dari sukrosa, dapat

memproduksi asam laktat melalui proses homofermentasi, membentuk koloni

yang melekat erat pada permukaan gigi, dan lebih bersifat asidogenik

dibanding spesies Streptococcus lainnya. Oleh karena itu bakteri

Streptococcus mutans telah menjadi target utama dalam upaya mencegah

terjadinya karies (Mukhtar Sana dan Ghori Ifra, 2012).

Dewasa ini pemerintah sedang menggalakkan pemanfaatan bahan-bahan

alam sebagai obat alternatif dalam pelayanan kesehatan. Bahan alam seperti

tumbuhan umbi maupun dedaunan sejak lama digunakan di bidang kesehatan

sebagai obat herbal untuk keperluan preventif, kuratif, dan rehabilitative.

Pengobatan atau perawatan alternatif dengan menggunakan tanaman obat di

Indonesia saat ini lebih digalakkan, baik dibidang kedokteran, maupun

kedokteran gigi (Mukhtar Sana dan Ghori Ifra, 2012).

Penggunaan tanaman untuk pengobatan perlu dikaji lebih mendalam,

khususnya sumber daya nabati Indonesia, yang dikenal kaya dengan

keanekaragaman hayati. Upaya itu dilakukan seiring dengan anjuran

pemerintah untuk mengelola dan memberdayakan segala sumber daya alam

secara lestari dan berkelanjutan. Namun, pengobatan atau perawatan


4

alternatif, harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik dari segi

manfaat maupun keamanannya (Andika, 2011).

Beberapa penelitian telah dilakukan dengan memanfaatkan tumbuh-

tumbuhan sebagai tanaman obat karena hal ini dianggap sangat bermanfaat

dimana sejak dahulu kala masyarakat kita telah percaya bahwa bahan alam

mampu mengobati berbagai macam penyakit dan jarang menimbulkan efek

samping yang merugikan dibandingkan obat yang terbuat dari bahan sintetis.

Misalnya, tanaman sirih yang daunnya digunakan untuk mengobati sariawan

serta tanaman jarak yang memiliki khasiat untuk mengobati luka. Saat ini,

bidang kedokteran gigi telah memanfaatkan bahan alam seperti tumbuhan

sebagai material klinis (Andika, 2011).

Masyarakat Indonesia pada umumnya telah mengenal tanaman bawang

putih. Bawang putih ini merupakan salah satu tumbuhan umbi yang memiliki

khasiat membantu menjaga kadar kolesterol normal, mempunyai zat anti

bakteri yang ampuh dan dapat membunuh beberapa jenis bakteri. Bawang

putih (Allium sativum,L) yang semula hanya dikenal sebagai bumbu dapur,

kini telah diketahui memiliki beragam kegunaan dalam menunjang kehidupan

manusia. Selain manfaat utamanya untuk bahan baku keperluan dapur, umbi

bawang putih juga dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku untuk

pembuatan obat-obatan (Chen at al, 2009).

Zat yang diduga berperan memberi aroma bawang putih yang khas adalah

alisin karena alisin mengandung sulfur dengan struktur tidak jenuh dan dalam

beberapa saat terurai menjadi senyawa dialil-disulfida. Di dalam tubuh, alisin


5

dapat merusak protein bakteri, sehingga bakteri penyebab penyakit tersebut

mati. Alisin merupakan zat aktif yang mempunyai daya antibiotika cukup

ampuh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh MM Fani,J Kohanteb, dan M

Dayaghi menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat menghambat

pertumbuhan Streptococus mutans. Oleh karena itu, adanya indikasi bahwa

bawang putih mempunyai daya hambat pertumbuhan bakteri, maka penulis

ingin melakukan penelitian tentang daya hambat bawang putih terhadap

bakteri Streptococcus mutans penyebab karies.(Chen at al, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan

Streptococcus mutans secara invitro.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dari penelitian ini

adalah “Apakah ekstrak bawang putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap

pertumbuhan streptococcus mutans secara in vitro ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak

Bawang Putih (Alliumsativum) terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans.


6

Tujuan Khusus

1. Menganalisis pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans

2. Menganalisis daya hambat ekstrak Bawang Putih (Alliumsativum)

terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat untuk ilmu pengetahuan

Memberikan informasi khususnya di bidang Kedokteran mengenai

daya hambat ekstrak bawang putih terhadap koloni S.mutans sehingga

dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan penelitian

selanjutnya.

2. Manfaat untuk masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kandungan bawang

putih dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk pencegahan

pertumbuhan S.mutans sehingga diharapkan pencegahan pertumbuhan

S.mutans menjadi lebih efektif dan terjadinya penurunan prevalensi

pertumbuhan S.mutans di Indonesia.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BAWANG PUTIH

1. Sejarah dan Taksonomi

Nama Bawang Putih berasal dari Anglo-Saxon, yaitu gar (tombak)

dan lac (tanaman), berdasarkan pada bentuk daunnya. Bawang putih ini

termasuk dalam famili Liliaceae dan genus Allium, yang memiliki lebih

dari enam ratus (600) spesies. Bawang putih diyakini berasal dari Cina

Barat yaitu di sekitar Tien Shan Mountains ke Kazakhstan dan

Kirgistan. Vedensky mengemukakan bahwa bawang putih berevolusi

dari spesies liar Alliumlongicuspus dimana tanaman bawang putih dapat

ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh tegak, dan bisa

mencapai ketinggian 30-60 cm (Imelda dan Steffi, 2013).

Bawang putih ini menjadi salah satu jenis rempah yang kontroversi

sebab ada yang senang keberadaanya maupun sebaliknya. Beberapa

perusahaan menyenangi keberadaan bawang putih sebab dapat

bermanfaat sebagai kesehatan potensial dan kurang disenangi karena

aroma baunya. Bawang putih telah lama digunakan oleh masyarakat

sebagai bahan makanan, sehingga sulit untuk menentukan asal

muasalnya. Hal ini diketahui bawang putih tumbuh liar di Siberia

bagian baratdaya dan menyebar melalui Eropa Selatan ke Sisilia

(Imelda dan Steffi, 2013).


8

Bawang putih dapat tumbuh pada berbagai ketinggian bergantung

kepada varietas yang digunakan. Beberapa daerah penyebaran bawang

putih di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Bali, Lombok dan Nusa Tenggara Timur. Menurut

Ditjentan ,daerah-daerah tersebut mempunyai agroklimat yang sesuai

untuk bawang putih sehingga daerah-daerah tersebut sampai saat ini

merupakan daerah penghasil utama bawang putih . Penanaman yang

paling luas berada pada ketinggian di atas 700 meter. Produksi per

satuan luas di dataran tinggi lebih besar dari pada di dataran rendah.

Beberapa varietas cocok ditanam di dataran rendah, sedangkan pada

dataran medium dapat ditanam pada ketinggian 600 m di atas pemukaan

laut. Perlu diketahui bahwa varietas bawang putih pada dataran tinggi

kurang baik apabila ditanam di dataran rendah begitu pula sebaliknya

(Ried and Stock, 2010).

Selain varietas (kultivar), syarat-syarat lain yang penting adalah

udara sejuk dan kering tanaman pada fase pembentukan umbi. Derajat

kemasaman tanah (pH) yang paling baik untuk penanaman bawang

putih adalah 6,5-7,5, sedangkan apabila pH>6,5 maka tanah harus

dialakukan pengapuran (Ried and Stock, 2010).

Tanaman bawang putih dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah.

Pada tanah yang ringan, gembur (bertekstur pasir atau lempung) dan

mudah meneteskan air (porous) dapat menghasilkan umbi bawang putih

yang lebih baik dari pada tanah yang berat seperti liat atau lempung.
9

Kondisi tanah yang porousmenstimulir perkembangan akar dan bulu-

bulu akar sehingga serapan unsur hara akan berjalan dengan baik.

Bawang putih yang akan dipanen harus mencapai cukup umur (Imelda

dan Steffi, 2013).

Tergantung pada varietas dan daerah, umur panen yang biasa

dijadikan pedoman adalah antara 90 sampai dengan 120 hari. Ciri

bawang putih yang siap panen adalah sekitar 50% daun telah

menguning atau kering dan tangkai batang keras. Adakalanya sebelum

panen tanah diairi dahulu agar umbi bawang putih mudah dicabut.

Klasifikasi bawang putih (Alllium sativum) sebagai berikut (Matthew,

2009) :

Kingdom : Plantae

Devisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledone

Ordo : Liliales

Famili : Liliceae

Genus : Allium

Spesies :Alllium sativum


10

2. Kandungan Kimia

Bawang putih mengandung minyak atsiri yang sangat mudah

menguap di udara bebas. Minyak atsiri dari bawang putih mempunyai

kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptic. Sementara itu, zat yang

diduga berperan memberi aroma bawang putih yang khas adalah allisin

.(Sabir, 2010).

Allisin merupakan zat aktif yang mempunyai daya antibiotika yang

cukup ampuh. Banyak yang membandingkan zat ini dengan zat

antibiotika lain yaitu penisilin. Bahkan, banyak yang menduga

kemampuan allisin 15 kali lebih kuat daripada penisilin (Sabir, 2010).

Scordinin berperan sebagai enzim pertumbuhan dalam proses

germinasi (pembentukan tunas) dan pemngeluaran akar bawang putih.

Scordinin diyakini dapat memberikan atau meningkatkan stamina

tubuh. Hal ini disebabkan kemampuan bawang putih dalam bergabung

dengan protein dan menguraikannya, sehingga protein tersebut mudah

dicerna oleh tubuh (Sabir, 2010).

3. Aktivitas Antibakteri

Sifat antibakteri dari bawang putih telah cukup lama diketahui.

Berbagai persiapan bawang putih telah terbukti menunjukkan

spektrum yang luas dari aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-

negatif dan Gram-positif termasuk jenis Escherichia, Salmonella,

Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella,Proteus, Bacillus, dan


11

Clostridium. Bahkan bakteri asam seperti Mycobacterium TB yang

sensitif terhadap bawang putih. Ekstrak bawang putih juga efektif

terhadap Helicobacter pylori penyebab tukak lambung. Ekstrak

bawang putih dapat pula mencegah pembentukan enterotoksin A,B,

dan C1 dari Staphylococcus (Santi, 2011).

Hasil penelitian Cavalito dan Bailey (1999) yang pertama kali

dilakukan menunjukkan bahwa adanya aktivitas antibakteri bawang

putih terutama karena senyawa allicin. Sensitivitas berbagai bakteri

dan isolate klinis pada persiapan allicin murni sangat signifikan. Hasil

penelitian menunjukkan 50% mematikan dosis yang konsentrasinya

agak lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk beberapa antibiotik.

Menariknya, berbagai strain bakteri resisten terhadap antibiotic

S.aureus yang resisten terhadap methicilin dan juga strain

enterotoxicogenik yang resisten terhadap berbagai jenis obat sel

Escherichia coli, Enterococcus, Shigella dysenteriae, S. flexneri, dan

S. sonnei yang ditemukan sensitif akan allicin. Disisi lain, strain

bakteri lain sperti strain mucoid dari Pseudomonas aeruginosa,

Streptococcus _ hemolyticus and Enterococcus faecium ditemukan

resisten terhadap aktivitas dari allicin. Alas an dari efek resisten ini

tidak jelas. Diasumsikan bahwa kapsul hidropilik atau lapisan mukosa

mencegah penetrasi dari allicin ke bakteri, tapi hal ini perlu studi

lebih lanjut (Santi, 2011).


12

Baru-baru ini Universitas East London menemukan bahwa ektrak

encer dari allicin ketika diformulasikan menjadi krim simple dapat

membunuh sangat banyak balutan yang dinamakan “superbug”

MRSA (methicillin resistant Staphylococcus aureus). Bakteri jahat

ini selalu mengubah strukturnya dan membentuk resistensi trhdap

berbagai antibiotic faramasi. Hal ini dapat menyebabkan efek

signifikan pada orang yang menderita penyakit kulit sperti eczema

dan jerawat karena bakteri ini memiliki kemungkinan 6 – 7x lebih

besar untuk berkolonisasi pada pasien (Ried, 2009).

Allicin adalah komponen sulfur teroksigenasi, terbentuk ketika

siung bawang putih dihancurkan. Alliin adalah prekursor stabil dari

allicin dan tersimpan dalam ruangan pada tanaman yang

memisahkannya dari enzim alliinase (juga dinamakan alliin lyase).

Ketika dihancurkan, mereka bercampur dan alliin diubah degan cepat

menjadi allicin oelh aktivitas dari enzim ini. Aktivitas antibakteri

dari allicin telah dikemukakan oleh Ankri dan Mirelman pada 1999

(Devi Ayu, 2010).

Allisin dipandang sebagai agen antibakteri yang ditemukan

pada kandungan senyawa ekstrak bawang putih, namun dapat

menjadi tidak stabil, rusak dalam 16 jam di suhu 23̊C. Tetapi,

penggunaan ekstrak berbasis air dari allicin menstabilkan molekul

allicin. Hal ini dapat terjadi karena 2 faktor : Ikatan hydrogen dari

air ke atom oksigen reaktif di allicin dapat menurunkan


13

ketidakstabilannya, dan atau terdapat komponen yang dapat larut di

bawang putih yg dihancurkan yg dapat menstabilkan molekul (Devi

Ayu, 2010).

4. Manfaat Bawang Putih

Selain sebagai penyedap makanan, bawang putih memiliki

beberapa manfaat :

a. Potensi Antidiabetes

Bawang putih dapat digunakan untuk membantu pengobatan

hiperglikemia. Menurut sebuah laporan oleh Ryan l, sepertiga pasien

diabetes mengambil obat alternatif yang mereka anggap berkhasiat,

yaitu bawang putih yang paling umum digunakan. Bawang putih

konstituen yang disiapkan oleh berbagai cara telah terbukti memiliki

aktivitas antidiabetes. Pada pasien diabetes, dilaporkan bahwa minyak

bawang putih dapat memperbaiki hiperglikemia. Selain itu, berbagai

prekursor konstituen dialil sulfyda bawang putih, S-allyl- sistein

sulfoksida (allin), telah terbukti memiliki efek hipoglikemik (WHO,

2010).

b. Potensi Antimikroba

Sifat antibakteri yang dimiliki bawang putih telah dikenal sejak

lama. Berbagai persiapan bawang putih telah ditunjukkan untuk

spektrum luas dari aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-negatif

dan bakteri Gram positif termasuk spesies Escherichia, Salmonella,


14

Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Proteus, Bacillus, dan

Clostridium. Bahkan bakteri seperti Mycobacterium tuberculosis

sensitif terhadap bawang putih. (Devi Ayu, 2010)

c. Potensi Anti jamur

Pengenceran tinggi ekstrak Allium sativum, atau bawang putih, telah

terbukti memiliki fungistatic dan aktivitas fungisida in vitro dan in vivo.

Pada spesies ekstrak A. sativum yang banyak digunakan untuk

mengobati pasien dengan infeksi jamur sistemik. (Devi Ayu, 2010)

d. Potensi Imunomodulator

Allium sativum merupakan tanaman obat yang penting memiliki

efek imunomodulator. (Devi Ayu, 2010)

e. Potensi Anti inflamasi

Kehadiran berbagai konsentrasi ekstrak bawang putih dan efek

pada produksi sitokin leukosit yang diteliti secara in vitro dengan

menggunakan aliran multiparameter cytometry. Dengan menghambat

Th1 dan sitokin inflamasi sementara produksi IL-10, pengobatan

dengan ekstrak bawang putih dapat membantu untuk mengatasi

peradangan yang terkait dengan IBD. (Devi Ayu, 2010)

5. Kontraindikasi, Efek Samping, dan Interaksi

Efek yang tidak diinginkan bawang putih adalah adanya bau napas

dan bau badan. Konsumsi bawang putih mentah berlebihan, terutama saat

perut kosong dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, flatulensi, dan


15

perubahan flora usus. Selain itu, dilaporkan juga dermatitis alergi, terbakar

dan melepuh setelah penggunaan topikal bawangputih mentah. Pengguna

antikoagulan harus berhati-hati karena bawang putih mempunyai efek

antitrombotik. Pada pasien yang akan menjalani operasi, dianjurkan tidak

memakan bawang putih dosis tinggi 7 sampai 10 hari sebelum operasi

karena dapat menyebabkan perpanjangan masa perdarahan dan

berhubungan dengan hematoma epidural/spinal (Houshmand, 2013).

B. STREPTOCOCCUS MUTANS

1. Pengertian dan Taksonomi

Streptococcus mutans merupakan bakteri anaerob fakultativ, bakteri

Gram-positif berbentuk kokus yang biasa ditemukan dalam rongga mulut

manusia dan merupakan kontributor signifikan untuk kerusakan gigi.

Mikroba ini pertama kali diperkenalkan oleh J Kilian Clarke pada tahun

1924. Mikroorganisme fakultatif anaerob ini dapat memetabolisme

karbohidrat dan dianggap sebagai agen etiologi terjadinya karies. Sifat

kariogenik bakteri ini terkait dengan berbagai faktor termasuk dekstran,

produksi konsentrasi tinggi asam dalam pembentukan plak dan transferase

glocosyl.

Taksonomi Streptococcus mutans sebagai berikut (Matthew, 2009):

Kingdom : Monera

Divisi : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Lactobacilalles
16

Famili : Streptococcaceae

Genus : Streptococcus

Spesies :Streptococcus mutans

2. Ekologi

Pada rongga mulut terdapat dua puluh lima spesies Streptococcus

yang hidup. Setiap spesies telah mengembangkan sifat khusus yang

spesifik untuk mengisi bagian yang berbeda dan terus berubah kondisi

untuk melawan bakteri dan bersaing untuk menghadapi tantangan dari

luar (Peter, 2014).

Penyakit mulut terjadi karena adanya ketidakseimbangan biota

dalam mulut. Dalam kondisi khusus, streptokokus komensal dapat

beralih ke patogen oportunistik, memulai penyakit dan merusak host.

Streptococcus mutans adalah bakteri yang paling penting karena

menjadi penyebab kerusakan gigi. S. mutans,spesies mikroba yang

sangat berhubungan dengan lesi karies, secara alami ada dalam

mikrobiota mulut manusia (Peter, 2014).

Taksonomi bakteri ini kompleks tetap tentatif. Sebuah penelitian

pada tahun 1970 menemukan bahwa S. mutans lebih prevalen pada pit

dan fisura , yang merupakan 39% dari total streptococcus dalam rongga

mulut. Bakteri S. mutans ditemukan sedikitnya pada permukaan bukal

(2-9%) (Ried, 2011).


17

3. Faktor virulensi

Streptococcus mutans yang diperoleh dalam bakteri mulut yang

lain umumnya juga berperan pada prevalensi dalam ekologi rongga

mulut. Beberapa spesies, seperti Streptococcus oralis dan Streptococcus

mitis yang terdeteksi pada bayi yang masih berumur beberapa hari.

Setiap perubahan dalam perkembangan ini, kolonisasi dapat

menyebabkan peningkatan risiko karies gigi. Misalnya, penelitian yang

dilakukan oleh Li yang menemukan bahwa bayi yang dilahirkan

melalui operasi sesar memiliki tingkat terdeteksi S. mutans sekitar

setahun lebih awal daripada yang dilahirkan secara normal, mungkin

karena mereka tidak terkontaminasi oleh bakteri perintis yang

ditemukan pada perineum ibu mereka sedangkan pada bayi yang lahir

normal terkontaminasi (Matthew, 2009).

Namun, faktor virulensi terbesar dan penentu terbesar dari

kerentanan karies adalah bakteri: konsumsi karbohidrat yang kaya akan

gula. Setiap masuknya karbohidrat ke dalam mulut maka terjadi

penurunan pH yang sangat pesat,sehingga kondisi ini mendukung

terjadinya demineralisasi gigi serta meningkatnya aktivitas S. mutans.

Dalam kondisi di mana manusia secara tidak langsung terjadi

perkembangan bakteri dalam mulutnya tanpa ia sadari .Pada studi

pemeriksaan pH dan kebiasaan makan dari waktu ke waktu, orang-

orang yang makan tiga kali sehari secara teratur mengalami penurunan
18

setelah makan sama dalam pH seperti mereka yang mengunyah terus-

menerus. Sementara peningkatan prevalensi fluoridasi dari pasokan air

telah membuat konsumsi gula kurang dari faktor risiko, masih salah

satu prediktor terbesar karies gigi (Londhe, 2011).

4. Penyakit yang ditimbulkan

Penyakit yang disebabkan adalah karies gigi, beberapa hal yang

menyebabkan karies gigi bertambah parah yaitu seperti gula, air liur,

dan juga bakteri pembusuknya. Setelah memakan sesuatu yang

mengandung gula, terutama adalah sukrosa, dan bahkan setelah

beberapa menit penyikatan gigi dilakukan, glikoprotein yang lengket

( kombinasi molekul protein dan karbohidrat) melekat pada gigi

sehingga menjadi awal pembentukan plak pada gigi (Imelda, 2013).

Pada waktu yang bersamaan, berjuta-juta bakteri yang dikenal

sebagai Streptococcus mutans juga melekat pada glycoprotein itu.

Walaupun, banyak bakteri lain yang juga melekat, hanya Streptococcus

mutans yang dapat menyebabkan rongga atau lubang pada gigi (Imelda,

2013).

Pada langkah selanjutnya, bakteri menggunakan fruktosa dalam

suatu metabolisme glikolosis untuk memperoleh energi. Hasil akhir dari

glikolisis di bawah kondisi-kondisi anaerobic adalah asam laktat. Asam

laktat ini menghasilkan kadar keasaman yang tinggi untuk menurunkan

pH yang sejumlah tertentu dapat menghancurkan zat kapur fosfat di


19

dalam email gigi sehingga mengakibatkan terbentuknya suatu rongga

atau lubang (Imelda, 2013).

Streptococcus mutans merupakan bakteri yang berkembang dalam

suatu plak, yang virulensinya tergantung koloni dan produk-produk

yang dihasilkan bakteri. Streptococcus mutans ini yang memiliki suatu

enzim yang disebut glukosil transferase di atas permukaannya, yang

dapat menyebabkan polimerisasi glukosa pada sukrosa dengan

pelepasan dari fruktosa, sehingga dapat mensintesa molekul glukosa

yang memiliki berat molekul yang tinggi yang terdiri dari ikatan

glukosa alfa (1-6) dan alfa (1-3). Pembentukan alfa (1-3) ini sangat

lengket, sehingga tidak larut dalam air. Hal ini dimanfaatkan oleh

bakteri Streptococcus mutans untuk berkembang dan membentuk plak

pada gigi (Matthew, 2009).

Enzim yang sama melanjutkan untuk menambahkan banyak

molekul glukosa ke satu sama lain untuk membentuk dextran yang

mana memiliki struktur sangat mirip dengan amylose. Dextran bersama

dengan bakteri melekat dengan erat pada gigi enamel dan menuju ke

pembentukan plak pada gigi.Hal ini merupakan tahap dari pembentukan

rongga atau lubang pada gigi (Rieb, 2010).

Tes mikrobiologi dipakai untuk penilaian karies, yaitu sampel air

liur dapat digunakan untuk mengetahui jumlah koloni Streptococcus

mutans dan Lactobacillus di dalam rongga mulut. Selanjutnya

dikuantifikasi dan diekstrapolasi untuk memperoleh jumlah koloni


20

bakteri tersebut dalam hitungan permililiter air liur yang disebut dengan

CFU (colony forming unit) dan ditetapkan sebagai berikut (Mukhtar dan

Ifra, 2012):

a. Aktifitas karies yang tinggi, jumlah koloni Streptococcus mutans>

106/mL, sedangkan jumlah koloni Lactobacillus > 105/mL.

b. Aktifitas karies yang rendah, jumlah koloni Streptococcus

mutans<105 /mL, sedangkan jumlah koloni Lactobacillus <104/mL.

5. Pencegahan karies gigi

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara penyikatan gigi yang

sering dan dengan serat halus seperti sutra. Dilakukan suatu diet yang

kaya akan zat kapur dan fluoride yang di dalam air minum membuat

email gigi menjadi lebih kuat dan mencegah karies (Mukhtar dan Ifra,

2012).

Diet karbohidrat yang lebih kompleks yaitu diet rendah untuk gula

dan tidak terdapat sukrosa dalam makanan ringan merupakan cara

pncegahan yang efektif juga.


21

BAB III

KERANGKA KONSEP dan HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Ekstrak Bawang Putih

Mengandung
Alicin

Bakteri
Streptococcus
mutans

Hambat
Pertumbuhan
Streptococcus
mutans

Gambar III.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti


22

B. Penjelasan Kerangka Konsep

Streptococcus mutans adalah salah satu mikroflora normal yang berada pada

rongga mulut dan merupakan bakteri utama yang berperan pada proses terjadinya

karies. Bawang putih mempunyai kandungan senyawa aktif yang diduga

mempunyai daya bakteriostatik yaitu allicin. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui daya hambat ekstrak Bawang Putih (Alliumsativum) terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans.

C. Hipotesis Penelitian :

Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) berpengaruh terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans secara in vitro.


23

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental laboratorium.

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan post test controlled design.

C. Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2017

D. Populasi dan Sampel/Subyek Penelitian


1. Populasi
Biakan murni bakteri Streptococcus mutan yang tersedia di

laboratorium Mikrobiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Untuk

menentukan populasi bakteri tersebut layak diuji, maka kekeruhan yang

terbentuk pada saat pembiakan bakteri disetarakan dengan standart MC

Farland 1 dengan konsentrasi bakteri 3 x 10 8 / ml, dimana jumlah bakteri


24

yang telah memenuhi syarat untuk diuji yaitu : 105 – 108 / ml (Hermawan,

2007).

2. Sampel
Dalam penelitian ini, penentuan besar sampel menggunakan

rumus Federer yang menentukan pengulangan dari setiap perlakuan.

Kelompok perlakuan berjumlah 5 perlakuan yaitu 4 kelompok perlakuan

dengan konsentari 0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml, 2 ml dan 1 kelompok kontrol

negatif (aquades).

Rumus Federer :

(n-1)(t-1)≥15

Keterangan :

n = banyak pengulangan

t = perlakuan, dalam hal ini ada 5 perlakuan (kelompok kontrol,

perlakuan dengan konsentrasi 0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml, 2 ml)

(n-1)(5-1) ≥ 15
(n-1)(4) ≥ 15
4n – 4≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75  5

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperoleh hasil banyak

pengulangan pada setiap sample n ≥ 5. Jadi untuk tiap perlakuan baik

yang diberi ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) maupun kontrol akan

dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan agar memenuhi standarisasi

penelitian.
25

E. Variabel Penelitian

Variabel Independen : Ekstrak bawang putih

Variabel Dependen : Pertumbuhan Streptococcus mutans

F. Definisi Operasional Variabel

1. Ekstrak bawang putih = Sejumlah sediaan pekat yang diperoleh dengan

mengektraksi zat aktif dari tanaman bawang putih Honan yang berasal

dari Cina menggunakan pelarut etanol .

2. Bawang putih Honan = Umbi dari tanaman bawang putih (Allium

sativum L) yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak dan masih

terbungkus oleh kulit luardan berasal dari China. Bawang putih ini

diperoleh dari salah satu pasar disurabaya.

G. Alat dan Bahan

1. Alat :

1. Autoklaf

2. Toples bertutup

3. Rotaevaporasi

4. Tabung Erlenmeyer

5. Cawan petri

6. Timbangan analitik

7. Waterbath

8. Gelas ukur
26

9. Botol

10. Beaker glass

11. Alcoholmeter

12. Shaker digital

13. Jangka sorong

2. Bahan

1. Umbi bawang putih

2. Etanol 96%

3. Kertas saring

4. Aquades

5. Streptococcus mutans

6. Muller Hinton Agar (MHA)

H. Prosedur Penelitian

1. Sterilisasi Alat

Semua alat yang digunakan dalam penelitian disterilkan dalam

autoklaf pada suhu 121o C selama 15 menit dengan cara cawan petri

dibungkus dengan aluminium foil, labu ukur ditutup dengan kertas

perkamen lalu diikat dengan tali, dan labu erlemeyer diisi dengan akuades

sebanyak 250 ml lalu ditutup dengan kapas yang sudah dipadatkan.

2. Pembuatan ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum)


27

a. Timbang umbi bawang putih segar sebanyak 500 gram. Kemudian

dihaluskan dengan menggunakan blender.

b. Masukan bawang putih yang telah dihaluskan ke dalam toples,

diratakan dan sambil ditambahkan pelarut etanol 96% sampai

bahan terendam, total yang ditambahkan sebanyak 2,5 L. Tutup

toples dengan rapat selama 72 jam. Dan dishaker diatas digital 50

rpm.

c. Saring ekstrak cair dengan penyaring kain. Tampung ekstrak dalam

Erlenmeyer.

d. Hasil ekstrak cair diupkan dengan menggunakan rotary evaporator.

Diperlukan waktu 4 jam untuk evaporasi.

e. Ekstrak cair yang dihasilkan kemudian dievaporasi / diuapkan

diatas water bath selama 2 jam.

3. Pembuatan medium

` Muller Hinton Agar (MHA) sebanyak 38 gram dilarutkan dengan 1

liter akuades menggunakan tabung Erlenmeyer, kemudian dihomogenkan

dan dituang ke dalam tabung reaksi steril yang ditutup dengan aluminium

foil. Media tersebut disterilkan di dalam autoclave pada suhu 121oC selama

25 menit. Selanjutnya, tuang ke dalam cawan petri, tiap cawan petri berisi

15-20 ml dan dibiarkan sampai memadat, siap untuk digunakan.

4. Pengenceran
28

Pengenceran bertujuan untuk menghasilkan beberapa

konsentrasi yang akan digunakan dari ekstrak bawang putih yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutan dan zona

penghambatnya.

Saripati bawang putih hasil ekstraksi kemudian dibuat larutan

cair ekstrak bawah putih sesuai konsentrasi yang akan dipakai. Timbang

ekstrak tersebut, kemudian encerkan dengan menggunakan pelarut

aquades steril.

Besar pengenceran :

a. Larutan ekstrak 0,5 ml ekstrak diencerkan sampai dengan volume 10

ml.
b. Larutan ekstrak 1 ml ekstrak diencerkan sampai dengan volume 10

ml.
c. Larutan ekstrak 1,5 ml ekstrak diencerkan sampai dengan volume 10

ml.
d. Larutan ekstrak 2 ml ekstrak diencerkan sampai dengan volume 10

ml.
e. Sedangkan untuk kontrol (-) menggunakan Aquades.

5. Uji Daya Hambat

Setelah itu siapkan 5 cawan petri yang telah berisi medium.

Lalu tambahkan 3 ose suspensi Streptococcus mutans pada masing-masing

cawan petri. Kemudian pada masing-masing konsentrasi larutan yang telah

dibuat, masukkan paper disk. Setelah itu, paper disk tersebut dimasukkan

ke dalam masing-masing cawan petri yang digunakan. Sehingga, setiap


29

cawan petri berisi 5 paper disk. Inkubasikan ke dalam inkubator selama

1x24 jam

6. Zona inhibisi

Daya hambat diketahui berdasarkan pengukuran diameter zona

inhibisi (zona bening atau daerah jernih tanpa pertumbuhan

mikroorganisme) yang terbentuk di sekitar paper disk. Pengukuran

tersebut menggunakan jangka sorong dan dinyatakan dalam milimeter.

I. Cara kerja

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah cara uji daya hambat

(zona inhibisi) dengan cara :

1. Persiapkan 5 buah cawan petri steril


2. Kelima cawan petri tersebut diisi dengan medium NA yang telah

disterilkan. Tunggu medium hingga memadat


3. Ambil isolate murni yang telah dipersiapkan dengan menggunakan ose

bulat. Kemudian dimasukkan kedalam tabung yang berisi aquadest steril.


4. Isolat yang telah bercampur dengan aquadest tersebut kemudian di

goreskan ke medium NA dengan menggunakan cotton buds


5. Lakukan hal yang sama pada cawan petri kedua sampai kelima
6. Ambil beberapa paper disk dan kemudian direndam pada tabung yang

berisi konsentrasi ekstrak buah yang berbeda. Untuk cawan petri pertama

sampai cawan petri ketiga masing – masing diberikan paper disk yang

telah direndam dengan ekstrak bawang putih pada konsentrasi Larutan


30

ekstrak 0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml, 2 ml. Sedangkan untuk Kontrol (-)

menggunakan Aquades.
7. Masukkan kedalam inkubator selama 1x24 jam

Sedangkan pengukuran menggunakan pengamatan kuantitatif.

J. Pengumpulan Data

Data yang di nilai pada setiap cawan petri kelompok perlakuan

dengan konsentrasi dosis ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum)

berbeda adalah pengukuran diameter zona inhibisi (zona bening atau

daerah jernih tanpa pertumbuhan mikroganisme) yang terbentuk di sekitar

paper disk. Pengukuran tersebut menggunakan jangka sorong dan

dinyatakan dalam milimeter.

Tabel IV.1 Pengumpulan data


Pengamatan
Kelompok
1 2 3 4 5 6 7
Kontrol :
Pemberian Aquades
1. Kontrol negatif : Pengamata
+ Inkubator
memberikan n zona
tambahkan 3 ose suspensi 1x24 jam
Aquades pada inhibisi
Streptococcus mutans
permukaan media
Mueller Hinton
31

Perlakuan:
1. Larutan ekstrak
0,5 ml ekstrak
diencerkan sampai
dengan volume 10
ml.
2. Larutan ekstrak 1
ml ekstrak Pemberian ekstrak Bawang
diencerkan sampai Putih (Allium Sativum)
dengan volume 10 dengan konsentrasi ekstrak Pengamata
ml. Inkubator
tersebut masing – masing. n zona
3. Larutan ekstrak 1x24 jam
+ inhibisi
1,5 ml ekstrak tambahkan 3 ose suspensi
diencerkan sampai Streptococcus mutans
dengan volume 10
ml.
4. Larutan ekstrak 2
ml ekstrak
diencerkan sampai
dengan volume 10
ml.

K. Analisis Data

Untuk mengetahui apakah data yang didapat berdistribusi normal,

maka dari keenam kelompok data dianalisis secara statistik dengan

menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Selanjutnya dilakukan uji Levene’s

Test dengan tujuan untuk mengetahui homogenitas data. Apabila data tersebut

hasilnya berdistribusi normal dan homogen maka dilanjutkan dengan uji One
32

Way ANOVA untuk membandingkan mean lebih dari dua kelompok dengan

syarat skala variabel dependen berupa skala numeric (p > 0,05). Namun jika

didapatkan perbedaan yang bermakna, dilanjutkan dengan menggunakan uji

LSD (Least Significant Difference) dengan derajat kemaknaan =

0,05tujuannya mengetahui apakah Terdapat perbedaan mean di antara keenam

kelompok. Apabila hasil dari data yang diperoleh berdistribusi tidak normal

atau homogeny, maka analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji

Kruskall-Wallis yang merupakan metode uji nonparametrik.

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas

Kedokteran, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.


33

B. Hasil Penelitian
Pengaruh pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.)

terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans ditunjukkan oleh diameter zona

hambat. Setelah dilakukan penelitian pada Maret 2017 didapatkan data

besarnya zona hambat yang dapat dilihat dalam Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel V.1 Diameter Zona Hambat Perkelompok

Perlakuan (mm)
Pengulangan
K P1 P2 P3 P4
1 0 8 11 12 13
2 0 8 12 11 16
3 0 6 11 13 13
4 0 8 15 12 19
5 0 8 10 16 15
Rata-rata 0 7,60 11,80 12,80 15,20
Sumber: Data Hasil Penelitian, 2017

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata diameter

zona hambat tertinggi ada pada kelompok P4 yaitu sebesar 15,20 mm dan

nilai rata-rata diameter zona hambat terendah ada pada kelompok kontrol

yang diberi aquades yaitu sebesar 0,00 mm. Hal ini juga bisa dilihat pada

gambar grafik di bawah ini:


34

Sumber: Hasil penelitian, 2017

C. Analisis data

Hasil penelitian yang diperoleh kemudian di analisis secara statistik

dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah data

penelitian tersebut berdistribusi normal atau tidak. Kemudian di lanjutkan dengan

uji levene’s test untuk mengetahui homogenitas data tersebut. Apabila data hasil

penelitian berdistribusi normal dan homogen maka di lanjutkan dengan

menggunakan uji one way ANOVA. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan,

maka dilanjutkan dengan uji LSD (least significant difference) dengan derajat

signifikan α = 0,05 yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

mean diantara ketiga kelompok. Apabila diperoleh data distribusi tidak normal

atau homogen, maka analisis data di lanjutkan dengan menggunakan uji

nonparametik, yaitu uji Kruskall-Wallis.


35

1. Uji normalitas Data dan Homogenitas Antar Kelompok

a. Uji Normalitas

Uji statistik ini diperlukan untuk membandingkan distribusi data

pengukuran diameter zona hambat (DZH) dengan distribusi normal baku.

Untuk keperluan tersebut maka dilakukan uji normalitas Kolmogorov-

Smirnov dengan jumlah sampel sebanyak 25. Data diameter zona hambat

(DZH) dikatakan mempunyai distribusi normal jika nilai p > α, maka Ho

diterima. Sebaliknya, jika nilai p < α maka data mempunyai distribusi

tidak normal.

Tabel V.2 Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

DZH
N 25
Normal Parametersa Mean 9.48
Std. Deviation 5.665
Most Extreme Differences Absolute .166
Positive .153
Negative -.166
Kolmogorov-Smirnov Z .829
Asymp. Sig. (2-tailed) .498
a. Test distribution is Normal.

Sumber: Hasil penelitian, 2017

Hasil pengujian menunjukkan data pengukuran diameter zona

hambat mempunyai nilai p = 0,498 > 0,05. Hal ini berarti data

pengukuran diameter zona hambat mempunyai distribusi normal.


36

b. Uji homogenitas

Data pengukuran diameter zona hambat mempunyai distribusi

yang normal maka dilanjutkan dengan melakukan uji homogenitas

varians (uji Levene’s Test) yang bertujuan untuk mengetahui kelompok

data (K, P1, P2, P3 dan P4) mempunyai varians homogen atau tidak.

Data pengukuran diameter zona hambat dikatakan homogen jika nilai p >

α. Sebaliknya, jika nilai p < α maka data tidak homogen.

Tabel V.3 Hasil Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

DZH

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.591 4 20 .068

Sumber: Hasil penelitian, 2017

Hasil pengujian menunjukkan Levene untuk diameter zona

hambat mempunyai nilai p = 0,068. Hal ini berarti varians data diameter

zona hambat homogen (p > 0,05). Sehingga pengujian ada tidaknya

perbedaan antar kelompok digunakan uji Anova.

2. Hasil uji beda Anova

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar kelompok perlakuan

digunakan uji Anova, hasil pengujian data diameter zona hambat

menunjukkan ada perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan dengan sig.

0,000 (sig. < 0,05) (Tabel V.4).


37

Tabel V.4 Hasil Uji Anova

ANOVA
DZH
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 712.640 4 178.160 61.861 .000
Within Groups 57.600 20 2.880
Total 770.240 24

3. Analisis Post Hoc Test

Perbandingan zona hambat pada masing-masing kelompok dapat

dilihat pada Uji Post Hoc (LSD) yang dapat dilihat pada Tabel V.5.

Tabel V.5 Uji Post-Hoc LSD


(I) Kelompok (J) Kelompok Sig.
K P1 .000*
P2 .000*
P3 .000*
P4 .000*
P1 P2 .001*
P3 .000*
P4 .000*
P2 P3 .363
P4 .005*
P3 P4 .037*
*
= ada perbedaan yang signifikan (P < 0,05)

Tabel V.5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-

rata diameter zona hambat antar kelompok K dengan P1, P2, P3 dan P4, pada P =

0,00 < 0,05. Kelompok P2 tidak berbeda signifikan terhadap P3 dengan tingkat

signifikansi P = 0,363 > 0,05. P1 berbeda signifikan terhadap P2 dan P3 dengan

hasil signifikansi P =0,000 dan 0,001 < 0,05.


38

BAB VI

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunujukkan ekstrak bawang putih (Allium sativum

Linn.) mampu menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans. Dikarenakan

pada bawang putih (Allium sativum Linn) mempunyai kandungan allicin yang

memiliki aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri bawang putih sebagian besar

karena allicin yang muncul ketika sel bawang putih rusak. Allicin dan derivatnya

mempunyai efekmeng hambat secara total sintesis RNA dan menghambat secara

parsial pada sintesis DNA dan protein. Allicin bekerja dengan cara memblok

enzim bakteri yang memiliki gugus thiol yang akhirnya menghambat

pertumbuhan bakteri (Boboye dan Alli, 2008).

Kemampuan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.) dalam

menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans, dibuktikan dengan adanya

Diameter Zona Hambat yang terbentuk baik pada konsentrasi P1, P2, P3 dan P4.

Rata-rata diameter zona hambat tertinggi ada pada kelompok P4 yaitu kelompk

dengan pemberian ekstrak bawang putih 2 ml yaitu sebesar 15,2 mm dan nilai

rata-rata diameter zona hambat terendah ada pada kelompok kontrol yang diberi

aquades yaitu sebesar 0,00 mm. Semakin besar konsentrasi pemberian ekstrak

bawang putih (Allium sativum Linn.) yang diberikan semakin besar diameter zona

hambat yang dihasilkan. Menurut Suria dan Wiria (2001), diameter zona bening

yang ≤5 mm dikatakan respon hambat pertumbuhan lemah, 5-10 mm dikatakan

sedang, 10-20 mm dikatakan kuat, dan lebih dari 20 mm di-katakan sangat kuat.
39

Penelitian Salima (2015) menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat

dengan efektif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, bahkan

yang resisten terhadap metisilin sekalipun. Kemampuan antibakteri bawang putih

ini dikarenakan kandungan organo sulfur yang ada didalamnya. Diataranya allicin

dan ajoene. Bawang putih juga kaya akan kandungan minyak atsiri dan flavonoid

yang juga memiliki sifat antibakteri. Bakteri gram positif dipercaya lebih rentan

terhadap aktivitas antibakteri bawang putih dibanding dengan bakteri gram

negatif.

Daya antibakteri bawang putih dikatakan lebih poten terhadap bakteri

gram positif seperti Staphylococcus aureus dibanding bakteri gram negatif seperti

E.colidan P. aeruginosahal ini kemungkinan disebakan karena bakteri-bakteri

gram negatif memiliki kemampuan untuk untuk memproduksi suatu enzim yang

dapat menonaktifkan fitokonstituen dan komponen bioaktif yang dimiliki ekstrak

bawang putih. Selain itu pula, selubung bakteri gram negatif yang secara alami

memang lebih kompleks disbanding struktur selubung bakteri gram positif

mempersulit proses penetrasi agen antimikroba ke dalam dinding sel bakteri gram

negatif.

Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian

Mardiana (2011) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri, bawang putih

juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari zat kimia yang

terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut ada-lah Allicin. Allicin

berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan bakteri.

Alkaloid dari perasan bawang putih mengandung racun yang mampu menghambat
40

pertumbuhan bakteri atau dapat menyebabkan sel bakteri menjadi lisis bila terpapar

oleh zat tersebut. Tanin yang terkandung dalam perasan bawang putih akan

mengganggu sel bakteri dalam penyerapan protein oleh cairan sel. Hal tersebut terjadi

karena tannin menghambat protelitik yang berperan menguraikan protein menjadi

asam amino (Mardiana, 2011).


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan

bahwa:

1. Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) berpengaruh terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans ditunjukkan oleh diameter zona hambat

yang terbentuk.

2. Pada kelompok yang diberi ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) P1

sudah menunjukkan diameter zona hambat, sehingga pada dosis ini ekstrak

bawang putih sudah mampu menghambat pertumbuhan bakteri.

3. Pada kelompok yang diberi ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) P4

ditemukan diameter zona hambat yang paling tinggi bila dibandingkan

dengan kelompok perlakuan yang lain

5.2 Saran

1. Pengembangan penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan

efektifitas daya hambat ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dengan

antibakteri yang lain.

2. Penelitian dengan mempertimbangan “dose effect relationship” pada ekstrak

bawang putih (Allium sativum Linn) untuk mendapatkan gambaran pengaruh


pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) pada berbagai variasi

dosis, sekaligus mengkaji toksisitasnya.

3. Melanjutkan penelitian lebih jauh


DAFTAR PUSTAKA

Andika Danar Dwi. 2011. Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Menurunkan
Jumlah Leukosit pada Mencit Model Sepsis Akibat Paparan
Staphylococcus aureus. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, Indonesia.

Boboye B. E., Alli A. J. 2008. Cellular Effects of Garlic (Allium sativum) Extract
on Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus. Research
Journal of
Medicinal Plant, 2 (2): 79-85.
Http://docsdrive.com/pdfs/academicjournals/rjmp/2008/79-85.pdf.
Downloaded on Mey 27th, 2017

Chand Badna. 2013. Antibacterial Effect of Garlic and Ginger Against


Staphylococcus Aureus,Salminella Typhi, Escherichia Coli and Bacillus
Cereus. Journal of Microbiology,Biotechnology and Food Science. Fiji.

Chen Yu-Ying, Chiu Hsien-Chung, Wang Yi-Bing. 2009. Effect of Garlic Extract
on Acid Production and Growth of Streptococcus mutans. J Of Food and
Drug Analysis. Taiwan.

Chismirina Santi, . 2011. Efek Ekstrak Buah Jamblang Terhadap Pertumbuhan


Streptococcus Mutans Sebagai Penyebab Utama Karies. Jurnal Dentika
Dental. Aceh:FK UNISSULA.

Devi Ayu, . 2010. Konsentrasi Ekstrak Biji Kakao Sebagai Material Alam Dalam
Menghambat Pertumbuhan Streptococcus Mutans. Jurnal PDGI No.
Surabaya.

Hermawan, A. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap
pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherechia coli dengan Metode
Difusi Disk. Universitas Airlangga, Surabaya. Hal 5-6

Houshmand , Behzad, . 2013. Antibacterial Effect Of Different Concentrations Of


Garlic (Allium Sativum) Extract On Dental Plaque Bacteria. Indian
Journal Of Dental Research Vol 24.

Imelda Meilina,Kurniawan Steffi. 2013. Peranan Garlic (Bawang Putih) pada


Pengelolaan Hipertensi. Kalimantan Barat. CDK-209/ Vol. 40 No. 10

Joslin, Peter. 2014. From Fresh Garlic, Nature’s Original Microbial. Available
from: http://Allicincentre.com
Jeanna Salima, 1118011062 (2015) Uji Daya Hambat dan Daya Bunuh Ekstrak
Ethanol Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus Secara IN VITRO. Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung.

Londhe, . 2011. Role Of Garlic (Allium Sativum) In Various Diseases: An


Overview. J Of Pharmaceutical Research And Opinion. India.

Matthew, Titus. 2009. Efficacy of Allium sativum (Garlic) Bulbs Extracts on


Some Enteric (Pathogenic) Bacteria. New York Science Journal.New York.

Mardiana. 2011. Sensitivitas Salmonella typhi Terhadap Bawang Putih (Allium


sativum). Akademi Analis Kesehatan Harapan Bangsa Bengkulu, Bengkulu.

Mukhtar Sana dan Ghori Ifra. 2012. Antibacterial Activity Of Aqueous And
Ethanolic Extracts Of Garlic, Cinnamon And Turmeric Against
Escherichia Coli Atcc 25922 And Bacillus Subtilis Dsm 3256.
International journal of applied biology and pharmaceutical technology.

Mulyani Y, Bachtiar E, dan A Untung. 2013. Peranan Senyawa Metabolit


Sekunder Tumbuhan Mangrove Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas
hydrophila Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal Akuatika.

Ried K, Frank, and Stocks NP. 2010. Aged Garlic Extract Lowers Blood Pressure
in Patients with Treated but Uncontrolled Trial.

Sabir Ardo. 2010. Aktivitas Antibakteri Non-Flavonoid Propolis Trigona SP


Terhadap Pertumbuhan Streptococcus Mutans (In Vitro). Jurnal Ilmiah
Kedokteran Gigi. Jakarta:Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Professor
Doktor Mustopo.

Santi, S. R. 2011. Aktivitas Antibakteri Senyawa Golongan Triterpenoid Dari Biji


Pepaya (Carica papaya L.), Jurnal Kimia, 2 (1), 15-18.

Simon, Lisa. 2007. The Role of Streptococcus mutans and Oral Ecology in the
Formation of Dental Caries.Lethbridge Undergraduate Research Journal,
Volume 2 No. 2

WHO, 2010, Guidelines for the control of shigellosis including epidemics due to
Shigella dysenteriae 1, 1-2, Geneva, World Health Organization.

Yuliana M, Normalina I, dan Suhenda. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Bawang Putih


untuk Pencegahan dan Pengobatanpada Ikan Patin Pangasino dan
Hypophthalamus yang di Infeksi Aeromonas Hydrophila. Jurnal
Akuakultur Indonesia. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai