Anda di halaman 1dari 6

TANDA-TANDA KEMARAHAN DAN HAKIKATNYA DALAM ISLAM

A. Tanda-Tanda Kemarahan yang Nampak


Marah memiliki tanda-tanda zhahir yang menunjukkannya, dan tanda-tanda yang
dapat diketahui dengannya di antaranya:

1. Mengejangnya urat dan otot disertai memerahnya wajah dan kedua mata.
2. Wajah yang cemberut (muram) dan dahi yang mengerut.
3. Permusuhan dengan orang lain melalui lisan, tangan, kaki, atau yang semisalnya.
4. Membalas musuh dengan balasan yang setimpal dengannya atau lebih parah
darinya, tanpa memikirkan akibat-akibatnya yang fatal dan seterusnya.

B. Hakikat Marah
Dalam Islam, marah terbagi dua, marah yang terpuji dan marah yang tercela.

1. Marah yang terpuji, yaitu bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan,
harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang dizhalimi.

Hal ini dikuatkan dengan dalil yang banyak, di antaranya:


a. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk menjadi
khalifah di muka bumi, seperti dalam firman-Nya:

‫ك للرلفمفلئلفكلة إلننيِ فجاَلعلِل لفيِ ارلفرر ل‬


‫ض فخلليِففةة‬ ‫فوإلرذ فقاَفل فربَب ف‬

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” [Al-Baqarah/2: 30]

Agar dapat melaksanakan tugas ini, manusia diciptakan meliputi tiga unsur; ruh, akal
dan jasad. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan bahwa Dia menjadikan jasad
manusia untuk melayani ruh, dan menjadikannya dalam keadaan baik untuk melayani
ruh tersebut selama manusia hidup di atas muka bumi, maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala menciptakan padanya dua kekuatan:

Pertama, kekuatan syahwat, tugasnya adalah mendatangkan setiap apa yang berguna
bagi jasad dan memberikan makanan padanya.

Kedua, kekuatan amarah, tugasnya adalah menolak setiap apa yang membahayakan
jasad dan menghancurkannya.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan baginya anggota tubuh dan
bagian-bagiannya untuk melayani setiap kekuatan syahwat dan amarah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga menciptakan baginya akal yang menjadi penasihat dan
pemberi arahan bagi ruh, dan bila kedua kekuatan syahwat dan amarah condong dari
batas kewajaran, maka akal akan menasihati dan mengarahkan ruh pada pentingnya
mengambil posisi yang jelas dan tegas dengan kekuatan yang condong tersebut agar
keseimbangan dan kesempurnaan akan kembali kepada jasad. Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengetahui bahwasanya akal terkadang dapat terkena apa yang
menghalanginya untuk menerima nasihat karena suatu sebab atau yang lainnya, lalu
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan baginya sebuah sistem yang tergambar
dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan
menerangi jalannya, menunjukkannya kepada kebenaran, menjaga keseimbangan dan
kesempurnaan antara seluruh aspek yang mana manusia disusun dengannya agar ia
tetap menjadi pribadi yang normal, lurus yang tidak ada kekurangan atau
penyimpangan padanya. Dikutip dari kitab Jaami’ul Bayaan.

Dengan demikian, marah diciptakan dalam diri manusia untuk melawan setiap sesuatu
yang menghadangnya, serta menjaga kehormatan dan kesucian.

b. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memuji para Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasanya mereka adalah orang-orang yang keras dan tegas
kepada kaum kafir, dengan firman-Nya:

‫ال ِهَّلل فوالفلذيِفن فمفعهك أفلشفداكء فعفلىَ ارلككففاَلر‬


‫كمفحفملِد فركسوُكل ف‬

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras
terhadap orang-orang kafir.” [Al-Fat-h/48: 29]

Keras terhadap kaum kafir tidak terjadi melainkan karena kecemburuan dan amarah,
mereka tidak marah terhadap apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan tentang
mereka, tetapi mereka marah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana
firman-Nya:

‫صكروفن ف‬
‫اف فوفركسوُلفهك ِهَّلل‬ ‫ضفوُاةناَ فويِفرن ك‬
‫ال فولر ر‬ ‫ضةل لمفن ف‬ ‫للرلفكقففرالء ارلكمفهاَلجلريِفن الفلذيِفن أكرخلركجوُا لمرن لدفيِاَلرلهرم فوأفرمفوُالللهرم يِفربتفكغوُفن فف ر‬
‫صكدولرلهرم‬ ‫﴾فوالفلذيِفن تفبففوُكءوا الفدافر فوا ر لليِفماَفن لمرن قفربلللهرم يِكلحبَبوُفن فمرن فهاَفجفر إللفريِلهرم فوفل يِفلجكدوفن لفيِ ك‬٨َ﴿‫صاَلدكقوُفن‬ ‫ك هككم ال ف‬ ‫كأو للفئل ف‬
‫ك هككم ارلكمرفللكحوُفن‬ ‫ق كشفح نفرفلسله ففكأو للفئل ف‬ ‫صةلِ ِهَّلل فوفمرن كيِوُ ف‬ ‫فحاَفجةة لمفماَ كأوكتوُا فويِكرؤثلكروفن فعلفلىَ أفرنفكلسلهرم فولفروُ فكاَفن بللهرم فخ ف‬
‫صاَ ف‬

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari
harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan
mereka menolong Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tidak menyimpan keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-
orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”[Al-Hasyr/59: 8-9]

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Maksud ayat:


‫ كمفحفملِد فركسروُكل ال فوالفلذريِفن فمفعهك أفلشفداكء فعفلىَ ارلككففاَلر كرفحفماَكء بفريِنفهكرم‬bahwa Muhammad Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya dari Sahabat yang hidup bersama
beliau dalam agama ini, mereka keras terhadap orang-orang kafir, hati mereka tegas
kepada mereka, dan rahmat mereka terhadap orang-orang kafir sangatlah sedikit.”

c. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan bahwasanya di antara sifat kelompok orang
yang dipilih untuk melindungi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mengukuhkannya di dunia ini setelah dihadang oleh orang yang menghadangnya
adalah kemuliaan mereka terhadap kaum kafir, sebagaimana firman-Nya:

‫ف يِفأرلتيِ ف‬
َ‫اك بلقفروُةم يِكلحبَبهكرم فويِكلحبَبوُنفهك أفلذلفةة فعفلىَ ارلكمرؤلملنيِفن أفلعفزةة فعفلى‬ ‫فيِاَ أفبَيِفهاَ الفلذيِفن آفمكنوُا فمرن يِفررتففد لمرنككرم فعرن لديِنلله فففسروُ ف‬
‫ارلفكاَفللريِفن‬
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-
orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” [Al-Maaidah/5: 54]

Ibnu Jarir rahimahullah berkata: “Makna ayat ‫ أفلعفزةة فعفلىَ ارلفكاَفللرريِفن‬yaitu keras dan tegas
terhadap mereka. Dari perkataan seseorang, sesungguhnya orang itu telah
memuliakanku, jika ia menampakkan kemuliaan itu dari dirinya untuknya, dan
memperlihatkan ketidakramahan dan ketegasan.”

d. Allah Ta’ala berfirman:

‫ظ فعلفريِلهرم ِهَّلل فوفمأرفواهكرم فجهفنفكم ُ فوبلرئ ف‬


‫س ارلفم ل‬
‫صيِكر‬ ‫فيِاَ أفبَيِفهاَ النفبلبَيِ فجاَلهلد ارلككففاَفر فوارلكمفناَفللقيِفن فوارغلك ر‬

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam. Dan
itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah/9: 73]

Adalah hal yang diketahui bahwasanya ketegasan terhadap mereka timbul dari amarah
kepada mereka yang disebabkan oleh kekufuran dan kemunafikan mereka yang
mengakibatkan rintangan bagi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan
agama tersebut menjadi menyimpang.

e. Dalam sifat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diterangkan:

(( ‫س‬ ‫ ففإ لرن فكاَفن إلرثةماَ فكاَفن أفربفعفد الفناَ ل‬،َ‫صفلىَ اك فعلفريِله فوفسلففم بفريِفن أفرمفرريِلن إللف أففخفذ أفريِفسفرهكفماَ فماَ لفرم يِفككرن إلرثةما‬
‫فماَ كخيِنفر فركسروُكل ال ف‬
َ‫ك كحررفمةك ال ففيِفرنتفقلفم للل بلفها‬ ‫صفلىَ اك فعلفريِله فوفسلففم للنفرفلسله إللف أفرن تكرنتفهف ف‬ ‫ل ف‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ُ‫و‬
‫ر‬ ‫س‬
‫ك‬ ‫ر‬
‫ف ف‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ق‬‫ف‬ ‫ت‬‫ن‬‫ر‬ ‫ا‬ َ‫ما‬ ‫و‬
‫ف ف‬ ،‫ه‬
‫ك‬ ‫ر‬
‫ن‬ ‫م‬
‫ل‬ ))

“Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan kepada dua pilihan


melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak
merupakan suatu dosa, namun bila sesuatu itu dosa beliau adalah orang yang paling
menjauh darinya, dan tidaklah beliau membalas karena dirinya kecuali kehormatan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dilanggar, maka beliau marah karenanya.”[3]

2. Marah yang tercela adalah marah sebagai tindakan balas dendam demi dirinya
sendiri, demikianlah yang dimaksud di sini. Terhadap pencelaan marah seperti ini
banyak sekali kabar dan riwayat yang datang tentangnya, yaitu:

a. Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

(( ‫ب‬ ‫ك نفرففسهك لعرنفد ارلفغ ف‬


‫ض ل‬ ‫ إلنففماَ الفشلدريِكد الفلذ ر‬،‫صفرفعلة‬
‫ي يِفرملل ك‬ َ‫س الفشلدريِكد لباَل ب‬
‫)) لفريِ ف‬

“Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang
yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”[4]

b. Hadits dari ‘Adi bin Tsabit Radhiyallahu anhu.

،‫س‬ِ‫صفلىَ اك فعلفريِله فوفسلففم فونفرحكن لعرنفدهك كجلكروُ ل‬ ‫ب فركجلفلن لعرنفد النفبلنيِ ف‬ ‫ ارستف ف‬:‫صفرةد فقاَفل‬ ‫ فحفدثففناَ كسلفريِفماَكن ربكن ك‬،‫ت‬
‫ي ربلن فثاَبل ة‬ ‫فعرن فعلد ن‬
‫ف‬ ‫ف‬ ‫ف‬
‫ )) إلننيِ فلرعلفكم فكللفمةة لفروُ فقاَلففهاَ لففذهف ف‬: ‫صلىَ اك فعلفريِله فوفسلفم‬
‫ب‬ ‫صاَلحبفهك كمرغ ف‬
‫ فففقاَفل النفبلبَيِ ف‬،‫ضةباَ قفلد ارحفمفر فورجهككه‬ ‫ب ف‬ َ‫فوأففحكدهكفماَ يِفكس ب‬
‫ أفلف تفرسفمكع فماَ يِفكقوُكل النفبلبَيِ ف‬:‫طاَلن الفرلجريِلم (( فففقاَكلوُا لللفركجلل‬
‫صفلىَ اك فعلفريِله‬ ‫ أفكعروُكذ لباَلل لمفن الفشريِ ف‬:‫فعرنهك فماَ يِفلجكد!ُ لفروُ فقاَفل‬
‫ك‬ ‫ك‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫ف‬
‫ إلنيِ لرست بلفمرجنروُةن‬:‫)) فوفسلفم ؟ فقاَفل‬

“Dari ‘Adi bin Tsabit, telah meriwayatkan kepada kami Sulaiman bin Shurad, ia
berkata, ‘Ada dua orang yang saling mencaci di hadapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sedangkan kami duduk di sekeliling beliau, salah seorang dari
keduanya mencaci yang lainnya seraya marah-marah dengan wajah memerah.’ Lalu
Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat, apabila ia
mengucapkannya maka apa yang didapatinya (kemarahan) itu akan hilang, yaitu
‫( أفكعروُكذ لباَلل لمفن الفشريِ ف‬Aku berlindung kepada Allah dari godaan
apabila ia berkata: “‫طاَلن الفرلجريِلم‬
syaitan yang terkutuk).” Mereka berkata kepada orang tersebut: ‘Apakah engkau tidak
mendengarkan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ia berkata:
‘Sesungguhnya aku bukan orang yang gila.’”[5]

c. Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

‫ لف‬:‫ فقاَفل‬،‫ب (( فففرفدفد لمفراةرا‬ ‫صفلىَ اك فعلفريِله فوفسلففم أفرو ل‬


‫ فقاَفل )) لف تفرغ ف‬.ِ‫صنلري‬
‫ض ر‬ ‫فعرن أفلبيِ هكفرريِفرةف أففن فركجلة فقاَفل لللنفبلنيِ ف‬
‫ض ر‬
‫ب‬ ‫تفرغ ف‬

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang berkata kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Berikanlah nasihat kepadaku.’ Beliau berkata:
‘Janganlah engkau marah.’ Orang itu mengulangi permintaannya beberapa kali, beliau
tetap berkata: ‘Janganlah engkau marah.’”[6]

Apabila ‘Umar Radhiyallahu anhu berkhutbah, ia berkata dalam khutbahnya:

((‫ب‬ ‫ فوارلفغ ف‬،َ‫ فوارلهففوُى‬،‫ظ لمفن الطففملع‬


‫ض ل‬ ‫)) أفرفلففح لمرنككرم فمرن كحفل ف‬

“Orang yang beruntung di antara kalian adalah orang yang terjaga dari ketamakan,
hawa nafsu dan amarah.”

Dikatakan kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak, “Sebutkanlah kepada kami secara


menyeluruh dalam satu kalimat tentang akhlak yang baik.” Maka ia berkata,
“Meninggalkan amarah,” itulah hakikat marah dalam Islam.

Sesungguhnya Syaikh Mahfuzh telah merangkum hakikat amarah tersebut dengan


cara yang mudah dan gampang difahami dengan menukil riwayat dari Imam al-
Ghazali dalam kitabnya al-Ihyaa’, dia (al-Ghazali) mengatakan bahwa:
Amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:

1. Tingkatan kewajaran, yaitu amarah yang ditujukan untuk membela diri, agama,
kehormatan, harta, membela hak-hak yang umum dan menolong orang yang
dizhalimi. Disebabkan kondisi-kondisi itulah amarah diciptakan, ia diciptakan untuk
suatu kebijaksanaan yang mendasar sebagai konsekuensi dari tabi’at makhluk dan
memenuhi aturan masyarakat. Karena sesungguhnya berlomba-lomba dalam
kehidupan dan persaingan ini dalam memenuhi kebutuhannya mengakibatkan adanya
pembelaan yang kuat akan diri, agama, harta, kehormatan, dan hak-hak umum.
Seandainya bukan karena hal itu, maka bumi ini akan hancur dengan merebaknya
kekacauan dan meruntuhkan sistem-sistem kemasyarakatan. Oleh karena itu
barangsiapa yang tidak marah karena dirinya maka ia akan menghadapi kematian di
muka bumi ini, atau ia akan menghadapi hinaan orang lain dengan berbagai macam
hinaan layaknya hewan yang tidak marah demi dirinya. Dan barangsiapa yang tidak
marah karena agamanya, maka sesungguhnya tujuannya adalah taqlid yang begitu
kuat pada setiap apa yang dilihat dan dianggapnya baik, lalu ia pun akan berpindah
dari satu agama ke agama lain di sebabkan taqlid buta. Dan barangsiapa yang tidak
marah demi kehormatannya, maka ia tidak merasa cemburu terhadap wanita-
wanitanya (isterinya), akan bercampuraduknya keturunan (nasab), menyebarnya
kekejian ditengah-tengah masyarakat, sehingga manusia akan menjadi seperti hewan
yang menyetubuhi betinanya tanpa ada rasa cemburu dan memandang rendah akan
hal itu.

Dan barangsiapa yang tidak marah demi hartanya, maka ia tidak akan selamat dari
rampasan orang lain terhadap hartanya, sehingga ia menjadi miskin dan papa, dan
apabila tindakan merampas harta telah menyebar maka akan lumpuhlah sistem
pekerjaan, bahkan transaksi-transaksi ekonomi akan lumpuh total, pabrik-pabrik akan
tutup, pertanian akan hancur, dan manusia akan bersandar pada harta rampasan orang
lain. Hal itu adalah suatu keburukan dan bencana dalam waktu dekat maupun waktu
yang akan datang.

Dan barangsiapa yang tidak cemburu akan hak-hak umum dan menolong orang yang
dizhalimi maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari tabi’at yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia di atasnya.

Dalam hal yang sama, Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang
dibuat marah namun ia tidak marah, maka ia adalah keledai.” Yaitu mempunyai
tabi’at yang dungu, dan rasa malunya hilang, dalam hal ini Imam asy-Syafi’i
mengisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:

‫ضةل فعفلىَ ارلفعاَلفلميِفن‬ ‫ض فو للفلكفن ف‬


‫اف كذو فف ر‬ ‫ت ارلفرر ك‬
‫ض لففففسفد ل‬
‫ضهكرم بلبفرع ة‬ ‫فولفروُفل فدرفكع ف‬
‫ال الفناَ ف‬
‫س بفرع ف‬

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian


yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan)
atas semesta alam.”[Al-Baqarah/2: 251]

2. Tingkatan melalaikan, yaitu amarah yang berada di bawah batas kewajaran dengan
melemahnya amarah tersebut pada diri manusia, atau hilang sama sekali darinya.
Kondisi seperti ini sangatlah terhina secara akal maupun agama, karena barangsiapa
yang tidak marah demi dirinya, agama, kehormatan, harta, atau kemaslahatan umum,
maka dia adalah pengecut, dia tidak berjalan di atas ketetapan-ketetapan Allah
terhadap makhluk-Nya. Dalam hal seperti ini terdapat bahaya besar yang mengancam
masyarakat, karena akan menyebabkan kekacauan pada semua tatanan kehidupan
seperti yang telah Anda ketahui.

3. Tingkatan yang berlebih-lebihan, yaitu amarah yang melampaui batas kewajaran,


akal dan juga agama. Amarah itu berjalan dengan cepat di atas keburukan yang
akhirnya akan mengakibatkan kehancuran dari arah yang tidak ia ketahui, dan
mungkin saja amarahnya menyeret kepada suatu perkara yang pada akhirnya dia
melakukan dosa besar dan menyebarnya berbagai kehancuran.
Merupakan hal yang sudah diketahui bahwa amarah dalam kondisi-kondisi seperti itu
adalah tercela, baik secara akal maupun agama. Berbedanya tingkatan celaan
terhadapnya sesuai dengan perbedaan kuat atau lemahnya akibat yang
ditimbulkannya, setiap kali bahayanya lebih besar maka amarah tersebut akan lebih
kuat dan celaan padanya pun akan lebih banyak lagi. Dikutip dari kitab Hidaayatul
Mustarsyidiin.

[Disalin dari Kitab Mawaaqif Ghadhiba fiihan Nabiyyu Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Penulis Khumais as-Sa‘id, Judul dalam Bahasa Indonesia Pelajaran Penting Dari
Marahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Penerjemah Beni Sarbeni,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Sya’ban 1426 H – September
2005 M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (II/648-651) dan al-Mu’jamul Wasiith (II/654).
[2]. Al-Ihyaa’ (III/247) karya al-Ghazali dan at-Ta’riifaat (no. 162) karya ar-Jurjani.
[3]. HR. Al-Bukhari kitab al-Manaaqib, bab Shifatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (Fat-hul Baari VI/ 702, no. 3560).
[4]. HR. Al-Bukhari kitab al-Adab, bab al-Hadzru minal Ghadhab (Fat-hul Baari
X/635, no. 6114).
[5]. HR. Al-Bukhari kitab al-Adab, bab al-Hadru minal Ghadab (Fat-hul Baari X/635,
no. 6115).
[6]. HR. Al-Bukhari kitab al-Adab, bab al-Hadru minal Ghadab (no. 6116), dan siapa
yang ingin menambah pengetahuan lebih dalam lagi tentang definisi marah dan
batasan-batasannya, dan juga apa yang dimaksud dalam hadits-hadits ini, maka
silahkan menelaah kitab Fat-hul Baari (X/635-638).

Sumber: https://almanhaj.or.id/4027-marah-dan-hakikatnya-dalam-islam.html

Anda mungkin juga menyukai