Anda di halaman 1dari 32

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Kata tortikolis berasal dari bahasa Latin, tortus dan collum. Tortus berarti

posisi berputar atau condong, sedangkan collum berarti leher. Tortikolis merupakan

gejala pada leher di mana terdapat kontraktur pada satu sisi otot

sternokleidomastoideus. Dengan demikian, tanpa disadari, kepala condong ke

samping lesi otot leher dan sebaliknya, wajah dan dagu pasien berputar ke sisi

normal.

Tortikolis dapat disebabkan trauma, infeksi serta kelainan kongenital.

Sekitar kurang lebih 10%-20% pasien tortikolis termasuk kategori pasca

trauma. Salah satu penyebab trauma paling umum adalah proses persalinan sulit,

seperti persalinan sungsang, persalinan dengan forceps, panggul sempit, dan ukuran

bayi besar, serta proses sebelum persalinan, seperti intrauterine fixed head position.

Semakin muda usia pasien tortikolis, semakin baik prognosisnya. Pada usia

anak dibawah satu tahun, pengobatan secara konservatif menunjukkan hasil yang

memuaskan. Sedangkan, waktu yang optimal untuk operasi adalah antara 1-4 tahun.
2

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. NF

Jenis kelamin : Perempuan

Usia saat rawatan : 19 tahun

Alamat : Syamtalira Aron

Suku Bangsa : Aceh

Agama : Islam

Pekerjaan :-

No. MR : 48.83.35

Tanggal MRS : 19 September 2018

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama : Kepala condong ke kanan sejak 13 tahun lalu

2.2.2 Keluhan Tambahan : Sensasi tertarik pada leher

2.2.3 Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke RSU Cut Meutia dengan keluhan utama kepala condong

ke kanan. Keluhan ditemukan sejak 13 tahun yang lalu yaitu saat pasien mulai

memasuki usia sekolah. Menurut ibu pasien, kepalanya telah lama condong ke

kanan, meskipun baru disadari selama 13 tahun terakhir. Ibu pasien mengaku saat

pasien masih bayi kelainan tersebut sudah mulai tampak tetapi belum terlihat

dengan jelas sehingga ibu pasien mengabaikan hal tersebut.


3

Tidak ada keluhan nyeri maupun benjolan di leher. Tetapi pasien mengaku

terdapat sensasi tertarik pada lehernya. Kepala bergeser otomatis tanpa diperlukan

atau disengaja. Buang air kecil dan buang air besar dalam

batas normal. Pasien merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Lahir perv

aginam dengan letak sungsang tanpa forceps dan menangis secara spotan dengan

bantuan bidan desa. Pasien mengaku selama ini berobat ke dokter saraf namun

belum ada perbaikan. Riwayat menjalani fisioterapi diakui oleh pasien dan ibu

pasien. Pasien juga mengaku sering meminta untuk diurut lehernya oleh tenaga

non medis di kampungya.

2.2.4 Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat alergi, asma, ataupun riwayat operasi disangkal.

2.2.5 Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada keluarga menderita penyakit yang sama.

2.2.6 Riwayat penggunaan obat:

Riwayat penggunaan obat disangkal.

2.2.7 Riwayat kebiasaan sosial:

Pasien baru saja tamat SMA dan saat ini tidak memiliki aktivitas tertentu.

Pasien mengaku sempat bekerja tetapi saat ini telah berhenti

2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Status present

a. Keadaan umum

Kesan sakit : Sakit ringan


4

Kesadaran : Compos mentis

b. Keadaan sirkulasi

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 72x/menit, regular, isi cukup, kuat angkat

c. Keadaan pernapasan

Frekuensi : 20x/menit, reguler

Corak pernapasan: Vesikuler

d. Suhu : 36,2 oC

e. Status gizi : IMT 23,05 kg/m2

2.3.2 Status generalis

a. Kepala

1. Tengkorak : Normochepali, rambut hitam terdistribusi merata

2. Mata : Konjungtiva inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil

isokor, edema palpebra (-/-), refleks cahaya langsung (+/+)

refleks cahaya tidak langsung (+/+)

3. Telinga :Bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-/-),

perdarahan (-/-)

4. Hidung :Pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-)

5. Mulut : Sianosis (-), stomatitis (-)

6. Leher

Inspeksi

Bentuk dan posisi: kepala condong ke kanan dan dagu ke kiri

Kelenjar tiroid : perbesaran (-)


5

Pembesaran vena : (-/-)

Pulsasi vena : (-/-)

Refleks hepatojugular: (-/-)

Massa : (-/-)

Palpasi

KGB : pembesaran (-/-)

Kelenjar tiroid : pembesaran (-/-)

Massa : (-/-)

Nyeri tekan : (-/-)

Lain-lain : tonjolan otot sternokleidomastoideus kanan

7. Thorax

Inspeksi

Bentuk umum : Simetris

Pergerakan : Simetris

Iktus cordis : Tidak terlihat

Tumor : (-)

Pembesaran vena : (-)

Palpasi

Kulit : nyeri tekan (-)

Vokal femitus : sama kuat

Iktus cordis

 Lokalisasi : ICS V linea midclavicularis sinistra

 Intensitas : Kuat angkat


6

 Pelebaran : (-)

 Irama : Reguler

 Thrill : (-)

Perkusi

Paru-paru :

 Kanan : Sonor

 Kiri : Sonor

 Batas paru hati : ICS VI linea midclavicularis dextra

 Peranjakan : +- 1 cm

Jantung :

 Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

 Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra

 Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra

Auskultasi

Paru-paru :

 Suara pernapasan: Vesikuler

 Vokal resonans : Dalam batas normal

 Suara tambahan : Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung :

 Bunyi jantung : BJ I > BJ II

 Murmur : (-)

 Gallop : (-)
7

8. Abdomen

Inspeksi

 Bentuk : Simetris, distensi (-)

 Kulit : striae (-), scar (-)

Auskultasi

 Bising usus : (+)

 Bruit : (-)

Palpasi

 Dinding perut : Soepel

 Nyeri tekan : (-)

 Nyeri lokal : (-)

Hepar

 Pembesaran : (-) Konsistensi : Sulit teraba

 Tepi : Tajam Nyeri tekan : (-)

 Permukaan : Sulit teraba lain-lain :

Lien

 Pembesaran : (-) Nyeri tekan : (-)

Ginjal

 Pembesaran : Tidak teraba Nyeri tekan : (-)

 Pekak pindah : (-)

 Nyeri ketok CVA

Kiri : (-) Kanan : (-)

Perkusi : timpani
8

9. Kaki dan tangan

Inspeksi

 Bentuk : Simetris

 Edema : (-)

 Sianosis : (-)

Palpasi

 Akral dingin: (-)

2.3.3 Status lokalisata

Status lokalisata ar colli dextra:

a. Inspeksi

Tampak kepala condong ke kanan dan dagu ke kiri (+)

b. Palpasi

Pembesaran KGB dan tiroid (-/-), tonjolan otot sternokleidomastoideus

kanan (+), nyeri tekan (-), massa di leher (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Pemeriksaan laboratorium


9

29 Agustus 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12,6 12,0 – 16,0 g/dL
Hematokrit 39,6 37 – 47 %
Eritrosit 4,67 3,8 – 5,8 106/mm3
Leukosit 9,42 4,0 – 11,0 103/mm3
Trombosit 310 150 – 450 103/mm3
MCV 84,8 79 – 99 fL
MCH 27,0 27 – 32 pg
MCHC 31,8 33 – 37 %
RDW-CV 12,8 11,5 – 14,5 %
Golongan darah 0
Faal Hemostasis
Masa perdarahan/BT 2’ 1–3 Menit
Masa pembekuan/CT 7’ 9 – 15 Menit

2.4.2 Pemeriksaan radiologi

29 Agustus 2018

1. Rontgen thorax: PA, erect, inspirasi, dan kondisi cukup

Hasil : Corakan bronkovaskular normal, sinus kostofrenikus

lancip, diafragma licin, cor: CTR<0.5

Kesan : Pulmo dan besar cor normal

Gambar 2.1 Ro Thorax Pasien


10

2. Rontgen cervical: AP/lateral

Hasil : alignment normal, tidak tampak listesis, pedikel tidak

tampak suram, diskus tidak menyempit, soft tissue tidak

tampak swelling.

Kesan : os vertebrae cervical normal

Gambar 2.2 Ro Cervical AP/Lat Pasien

2.5 Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja

a. Diagnosis banding :

1. Torticollis dextra

2. Sindrom Klippel-Feil

3. Atlano-aksial rotator subluksasi

b. Diagnosis kerja : Torticollis dextra


11

2.6 Laporan Operasi

Diagnosa Pra Bedah : Torticollis dextra

Diagnosa Pasca Bedah : Torticollis dextra

Tindakan Operasi :

1. Release torticollis

Teknik Operasi :

1. Pasien dibaringkan dalam posisi supine dengan general anestesi

2. Dilakukan prosedur aseptik dan antiseptik

3. Lapangan operasi dipersempit dengan duk steril

4. Dilakukan insisi di supraclavicula bagian kanan

5. Luka dibuka lapis demi lapis hingga dijumpai otot sternokleidomastoideus

6. Dilakukan reseksi unipolar pada ujung distal otot sternikleidomastoideus

7. Dilakukan reseksi tendon yang fibrotik

8. Kontrol perdarahan

9. Luka dijahit lapis demi lapis

10. Operasi selesai

2.7 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam


12

2.6 Follow Up

Tanggal S O A P
19/9/18 -Kepala VS: Torticollis -IVFD RL 20 gtt/i
condong ke (TD:100/70; Nadi 72x/I; dextra -Release tirticollis
kanan (+) RR:20x/I; T: Afebris) dextra hari
-Sensasi Status lokalis ar colli Kamis/20-9-18
tertarik di dextra:
leher (+) I: Kepala condong ke
kanan (+), dagu
condong ke kiri (+)
P: nyeri tekan (-),
tonjolan otot
sternokleidomastoideus
kanan (+)
P: tidak dilakukan
A: tidak dilakukan
20/9/18 -Kepala VS: Post Instruksi post op:
condong ke (TD:110/70; Nadi:80x/I; release -IVFD RL 20 gtt/i
kanan (+) RR:20x/I; T: Afebris) torticollis -IV Ceftriaxone 1
-Sensasi Status lokalis ar colli dextra gr/12 jam
tertarik di dextra: POD 0 -IV Ketorolac 30
leher (↓) I: Kepala condong ke mg/8 jam
kanan (+), dagu -IV Ranitidine 50
condong ke kiri (+), mg/12 jam
luka post op tertutup -Pantau perdarahan
kasa kesan kering (+) -GV POD III
P: nyeri tekan (+),
tonjolan otot
sternokleidomastoideus
kanan (-)
P: tidak dilakukan
A: tidak dilakukan
21/9/18 -Nyeri post VS: Post -IVFD RL 20 gtt/i
POD I op (+) (TD:110/60; Nadi:80x/I; release -IVFD Paracetamol
-Demam RR:20x/I; T: 38,3˚C) torticollis 500 mg/8 jam
(+) Status lokalis ar colli dextra -IV Ceftriaxone 1
-Kepala dextra: POD I gr/12 jam
condong ke I: Kepala condong ke -IV Ketorolac 30
kanan (+) kanan (+), dagu mg/8 jam
-Sensasi condong ke kiri (+), -IV Ranitidine 50
tertarik di luka post op tertutup mg/12 jam
leher (-) kasa kesan kering (+) -Pantau luka
-Lemas (-) P: nyeri tekan (+), -Mobilisasi
tonjolan otot -GV POD III
sternokleidomastoideus
kanan (-)
P: tidak dilakukan
A: tidak dilakukan
13

22/9/18 -Nyeri post VS: Post -IVFD RL 20 gtt/i


POD II op (↓) (TD:100/60; Nadi:72x/I; release -IV Ceftriaxone 1
-Demam (-) RR:20x/I; T: afebris) torticollis gr/12 jam
-Kepala Status lokalis ar colli dextra -IV Ketorolac 30
condong ke dextra: POD II mg/8 jam
kanan (+) I: Kepala condong ke -IV Ranitidine 50
-Sensasi kanan (+), dagu mg/12 jam
tertarik di condong ke kiri (+), -Oral Ambroxol
leher (-) luka post op tertutup 3x30 mg
-Lemas (+) kasa kesan kering (+) -Observasi
-Batuk (+) P: nyeri tekan (↓), pergerakan leher
tonjolan otot -Mobilisasi
sternokleidomastoideus
kanan (-)
P: tidak dilakukan
A: tidak dilakukan
23/9/18 -Nyeri post VS: Post -IVFD RL 20 gtt/i
POD III op (↓) (TD:100/70; Nadi:72x/I; release -IV Ceftriaxone 1
-Demam (-) RR:20x/I; T: afebris) torticollis gr/12 jam
-Kepala Status lokalis ar colli dextra -IV Ketorolac 30
condong ke dextra: POD III mg/8 jam
kanan (+) I: Kepala condong ke -IV Ranitidine 50
-Sensasi kanan (+), dagu mg/12 jam
tertarik di condong ke kiri (+), -Oral Ambroxol
leher (-) luka post op tertutup 3x30 mg
-Lemas (+) kasa kesan kering (+) -Mobilisasi
-Batuk (+) P: nyeri tekan (↓), -GV
-Nyeri tonjolan otot -Besok PBJ
kepala (+) sternokleidomastoideus
kanan (-)
P: tidak dilakukan
A: tidak dilakukan
24/9/18 -Nyeri post VS: Post -PBJ
POD IV op (-) (TD:110/60; Nadi:80x/I; release -Cefixime 2x100
-Demam (-) RR:20x/I; T: afebris) torticollis mg
-Kepala Status lokalis ar colli dextra -Paracetamol 3x500
condong ke dextra: POD IV mg
kanan (+) I: Kepala condong ke -Neurodex 2x1 tab
-Sensasi kanan (+), dagu -Ambroxol 3x30
tertarik di condong ke kiri (+), mg
leher (-) luka post op tertutup
-Lemas (-) kasa kesan kering (+)
-Batuk (↓) P: nyeri tekan (-),
-Nyeri tonjolan otot
kepala (↓) sternokleidomastoideus
kanan (-)
P: tidak dilakukan
A: tidak dilakukan
14

2.9 Dokumentasi

Gambar 2.3 Foto Klinis sebelum Release Torticollis

Gambar 2.4 Prosedur Aseptik dan Antiseptik


15

Gambar 2.5 Insisi di Supraclavicula Kanan dan


Pembukaan Luka Lapis demi Lapis

Gambar 2.6 Dijumpai Otot Sternokleidomastoideus


16

Gambar 2.7 Reseksi Unipolar Ujung Distal Otot Sternokleidomastoideus

Gambar 2.8 Reseksi Tendon yang Fibrotik


17

Gambar 2.9 Penjahitan Luka Lapis demi Lapis


18

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tortikolis merupakan leher yang terputar atau keadaan dimana otot-otot

leher terkontraksi disertai perputaran leher.1 Tortikolis bisa juga diartikan

sebagai istilah umum untuk berbagai kondisi distonia kepala dan leher, yang

menampilkan variasi tertentu dalam gerakan kepala (komponen phasic). Tortikolis

berasal dari Bahasa Latin ‘tortus’ berarti memutar dan collum, berarti leher.2

3.2 Anatomi Otot Leher

Otot leher ada yang melekat pada tulang hyoid dan ada yang tidak melekat

pada tulang hyoid. Otot yang tidak melekat pada tulang hyoid yaitu :

1. Musculus Sternocleidomastoideus, origo di manubrium sterni dan clavicula

(1/3 medial) serta insersio di processus mastoideus os temporalis. Adapun

aksinya yakni bilateral-flexi kepala, rotasi unilateral kepala, memalingkan

wajah ke sisi sebaliknya. Otot ini dipersarafi oleh nervus accessorius (N XI).

2. Musculus scalenus anterior dan scalenus medius, origo di processus

transverses vertebra cervicalis bagian atas dan insersio di costa 1. Aksinya

adalah fleksi leher dan elevasi costa 1. Otot ini dipersarafi oleh ramus

ventralis nervus cervicalis (Gambar 3.1 dan Gambar 3.2).3


19

Gambar 3.1 Otot leher ( Tampak lateral)3

Gambar 3.2 Otot leher ( Tampak anterior)3

Otot leher yang melekat pada hyoid terbagi menjadi dua yaitu suprahyoid

dan infrahyoid. Otot yang berada infrahyoid yaitu:

1. Musculus Omohyoid (otot ini memiliki dua belly yang dihubungkan dengan

tendon intermediet), origo untuk inferior belly dari scapula-medial

ke suprascapular notch (tendon intermediet dihubungkan ke klavikula dan

rib 1. Insersionya pada tulang hyoid. Aksinya yaitu untuk menekan tulang

hyoid. Omohyoid dipersarafi oleh ansa cervicalis.


20

2. Musculus Sternohyoid, origonya berasal dari sternum-manubrium klavikula

dan insersionya di tulang hyoid. Aksinya untuk mendepresi tulang hyoid.

Sternohyoid dipersarafi ansa cervicalis.

3. Musculus Sternothyroid, origonya dari sternum-manubrium dan insersionya

di kartilago tiroidea. Aksinya adalah untuk depresi kartilago tiroidea,

depresi tulang hyoid dan laring secara indirek. Sternothyroid dipersarafi

oleh ansa cervicalis.

4. Musculus Thyrohyoid, origo dari kartilago tiroidea dan insersio di tulang

hyoid. Aksinya untuk depresi tulang hyoid dan elevasi laring. Thyrohyoid

dipersarafi oleh C1 dan Nervus hipoglossus (N XII) (Gambar 3.3 dan

Gambar 3.4).3

Gambar 3.3 Otot Infrahyoid dan Suprahyoid3

Otot leher yang berada suprahyoid yaitu:

1. Musculus Digastricus (memiliki dua belly), origo posterior belly dari tulang

temporal-mastoid notch (medial terhadap processus mastoideus) sedangkan

origo anterior belly dari bagian dalam mandibula. Insersionya pada tulang
21

hyoid melalui tendon intermediet. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan

depresi mandibula. Posterior belly dipersarafi oleh nervus facialis (N VII)

dan anterior belly dipersarafi oleh nervus trigeminus (N V3).

2. Muculus Stylohyoid, origo di tulang temporal-processus styloideus dan

insersio di tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan dipersarafi

oleh nervus facialis (N VII).

3. Musculus mylohyoid, origo dari mandibula-mylohyoid line dan insersio di

tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid serta mengangkat dasar

mulut selama menelan. Otot ini dipersarafi ileh nervus trigeminus (N V3).

4. Musculus Geniohyoid, origonya dari bagian dalam mandibula dan insersio

di tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan membawa hyoid

ke depan. Otot ini dipersarafi oleh C1, nervus hypoglossus ( N XII) (Gambar

3.4).3

Gambar 3.4 Otot Infrahyoid dan Suprahyoid serta Aksinya3


22

3.3 Epidemiologi

Tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang. Perbandingan kejadian tortikolis

sekitar 1,5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Angka

kejadian tortikolis dapat terjadi pada semua umur tetapi paling sering ditemukan

pada usia antara 30-60 tahun.

Berdasarkan data Statistik di Indonesia menunjukkan 1 dari 300 bayi lahir

dengan tortikolis otot bawaan. Kelainan ini lebih sering terjadi pada anak pertama.

Tortikolis terjadi pada 0,4 % dari seluruh kelahiran, untuk torticollis muscular

nonkongenital, rata-rata terjadi pada usia 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena

dengan perbadingan 2:1 dibandingkan laki-laki (Putri, 2010).

3.4 Etiologi2

Etiologi tortikolis terbagi menjadi etiologi lokal, etiologi kompensasi, dan

etiologi sentral. Masing-masing akan dijelaskan dibawah ini.

1. Etiologi lokal

Pada orang dewasa, setiap abnormalitas atau trauma tulang servikal bisa

menyebabkan tortikolis termasuk trauma minor (tegangan atau regangan), fraktur,

dislokasi, dan subluxasi, sering menyebabkan spasme dari otot leher. Penyebab

lainnya yakni infeksi, spondylosis, tumor, jaringan parut. Selain itu, infeksi saluran

nafas bagian atas dan infeksi jaringan lunak di leher bisa menyebabkan tortikolis

sekunder terhadap kontraktur otot atau adenitis.

Pada anak usia 2-4 tahun biasanya tortikolis sering disebabkan oleh abses

retrofaringeal. Tortikolis juga bisa terjadi akibat infeksi yang mengikuti trauma atau
23

infeksi di sekitar jaringan atau struktur leher termasuk faringitis, tonsillitis,

epiglottitis, sinusitis, otitis media, mastoiditis, abses nasofaring, dan pneumonia

lobus atas.

2. Etiologi kompensasi

Tortikolis sering merupakan mekanisme kompensasi dari penyakit atau

symptom lain seperti strabismus dengan parese nervus IV, nistagmus kongenital,

dan tumor fossa posterior.

3. Etiologi sentral

Tortikolis sering juga disebabkan oleh reaksi distonia sekunder terhadap

obat-obatan seperti phenotiazin, metoclopramide, haloperidol, carbamazepine,

phenytoin, and terapi L-dopa. Pada wanita usia 30-60 tahun idiopatik spasmodic

tortikolis meningkat. Sedangkan, pada anak etiologinya torsion dystonia, drug-

induced dystonia, dan cerebral palsy.

3.5 Patofisiologi

3.5.1 Congenital torticollis

Tortikolis kongenital jarang dijumpai (insidensi <2%) dan diyakini

disebabkan oleh trauma lokal pada jaringan lunak leher sebelum atau selama

persalinan. Trauma otot sternokleidomastoideus saat proses persalinan

menyebabkan fibrosis atau malposisi intrauterine yang menyebabkan pemendekan

dari otot sternokleidomastoideus. Bisa juga terjadi hematom yang diikuti dengan

kontraktur otot. Biasanya anak-anak seperti ini lahir dengan persalinan sungsang

atau menggunakan forseps. Penyebab lain yang mungkin yakni herediter dan oklusi
24

arteri atau vena yang menyebabkan fibrosis jaringan didalam otot

sternokleidomastoideus.2,4,5

3.5.2 Acquired Torticollis

Patofisiologi dari torticollis yang didapat adalah tergantung dari penyakit

yang mendasarinya. Spasme dari otot leher yang menyebabkan tortikolis

merupakan hasil dari injury atau inflamasi dari otot cervical atau nervus kranialis

dari proses penyakit yang berbeda.2

Tortikolis akut bisa disebabkan oleh trauma tumpul pada kepala dan leher

atau dari kesalahan posisi saat tidur. Tortikolis akut biasanya akan sembuh dengan

sendirinya dalam beberapa hari dampai minggu atau setelah menghentikan obat

pada tortikolis akut yang disebabkan oleh obat-obatan seperti dopamine reseptor

blocker, metoclopramide, phenytoin, carbamazepin.2

Atlantoaxial rotary subluxation (AARS) C1 pada C2 memiliki gejala klinis

yang sama dengan tortikolis, biasanya terjadi pada anak-anak dan setelah trauma

minor, operasi faring, proses inflamasi, atau infeksi saluran nafas bagian atas. Hal

ini diduga dipicu oleh edema retropharyngeal menyebabkan kelemahan ligamen

dan struktur di tingkat atlantoaxial, memungkinkan deformitas rotasi. Berbeda

dengan tortikolis otot kongenital, kepala miring jauh dari otot

sternokleidomastoideus yang terkena. Dikenal sebagai posisi "cock robin", kepala

rotasi ke sisi yang berlawanan dengan dislokasi dan lateral fleksi ke arah yang

berlawanan. Pasien juga dapat mengeluh sakit oksipital unilateral.2

Idiopatik spasmodik tortikolis (IST) adalah bentuk tortikolis yang dan

progresif , diklasifikasikan sebagai dystonia fokus. Etiologi tidak jelas, meskipun


25

diduga ada lesi thalamus. Hal ini ditandai dengan etiologi nontraumatic terdiri dari

episodik tonik dan/atau kontraksi involunter klonik otot leher. Gejala berlangsung

lebih dari 6 bulan dan menghasilkan cacat somatic dan psikologis.2

Benign paroxysmal tortikolis adalah kondisi pada bayi yang ditandai

dengan episode berulang dari kepala miring dengan muntah, pucat, irritabilitas,

ataksia, atau mengantuk dan biasanya terjadi dalam beberapa bulan pertama

kehidupan dan akan sembuh dengan sendirinya.2

Sebagai penyakit neurodegeneratif, tortikolis, atau cervical dystonia

idiopatik, diyakini muncul dari kelainan sirkuit ganglia basalis yang berasal dari

kerentanan selektif struktur ini untuk proses biokimia abnormal yang mengarah ke

disfungsi neuronal. Beberapa indikasi keterlibatan sirkuit dopamine-

secretingberasal dari temuan rendahnya tingkat metabolit dopamin dalam cairan

serebrospinal (CSF).2

3.6 Diagnosis

Pada tortikolis kongenital, penegakkan diagnosis tortikolis harus

berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan fisik infant (Gambar

3.5) . Didapati riwayat kelahiran sukar atau sungsang serta trauma pada proses

persalinan seperti fraktur klavikula pada tortikolis kongenital. Selain itu, perinatal

asfiksia, jaundice, kejang, penggunaan obat-obatan, gastroesofageal reflux disease

(GERD), atau sindrom Sandifer juga turut menjadi penyebabnya. Manifestasi klinis

yang didapat dari pemeriksaan yaitu kepala miring ke arah yang sakit (setelah

menyingkirkan penyebab lain seperti anomali tulang, diskitis, limfadenitis), leher


26

menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang fibrosis, di sisi yang fibrosis

telinga mendekati bahu, garis mata dan garis bahu membentuk sudut (normalnya

sejajar), perkembangan muka dapat menjadi asimetris, dan terdapat benjolan

berbatas tegas yang melibatkan satu atau kedua caput sternocledomastoideus.

Benjolan ini bersifat firm, tidak nyeri, terdiri dari jaringan fibrotic dengan deposit

kolagen dan migrasi fibroblast disekitar serat sternokleidomastoideus yang atrofi.4,6

Gambar 3.5 Pemeriksaan Klinis Tortikolis4

Selanjutnya, tipe dari deformitas harus diselidiki, sebagaimana kombinasi

dan fleksi dan rotasi, apakah deformitas tersebut rigid atau fleksibel, dan apakah

bisa sembuh dengan sendirinya atau tidak. Kondisi kelainan musculoskeletal

lainnya seperti hip dysplasia harus diperiksa. Selain itu, pemeriksaan optalmologi

perlu dilakukan karena dapat mengetahui ketidakseimbangan dari otot ekstra ocular

yang merupakan faktor penyebab dari tortikolis.4

Pemeriksaan ultrasonografi berguna sebagai alat diagnostik yang penting

dan untuk menentukan prognosis. Hal ini ditandai dengan sensitivitas (95.83%) dan

spesifisitas (83.33%) dan dapat membedakan staging dari tortikolis kongenital.

Pemeriksaan penunjang yang lebih modern dan canggih ialah dengan


27

menggunakan magnetic resonance imaging (MRI). Pada beberapa studi dilaporkan

bahwa hasil temuan dari MRI memiliki korelasi dengan hasil histopatologi.4

BAB 4
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus, pasien perempuan berusia 19 tahun datang ke RS

dengan keluhan kepala condong ke arah kanan sejak 13 tahun yang lalu atau saat

pasien baru memasuki sekolah dasar.

Berdasarkan data epidemiologi, tortikolis terjadi pada 1 dari 10.000 orang.

Perbandingan kejadian tortikolis sekitar 1,5 kali lebih banyak pada wanita

dibandingkan dengan pria. Angka kejadian tortikolis dapat terjadi pada semua umur

tetapi paling sering ditemukan pada usia antara 30-60 tahun. Tortikolis terjadi pada

0,4 % dari seluruh kelahiran, untuk torticollis muscular nonkongenital, rata-rata

terjadi pada usia 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dengan perbadingan 2:1

dibandingkan laki-laki (Putri, 2010).

Menurut ibu pasien, kepalanya telah lama condong ke kanan, meskipun baru

disadari selama 13 tahun terakhir. Ibu pasien mengaku saat pasien masih bayi

kelainan tersebut sudah mulai tampak tetapi belum terlihat dengan jelas sehingga

ibu pasien mengabaikan hal tersebut.

Pasien merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Lahir pervaginam

dengan letak sungsang tanpa forceps dan menangis secara spotan dengan bantuan

bidan desa.
28

Tortikolis merupakan gejala pada leher di mana terdapat kontraktur pada

satu sisi otot sternokleidomastoideus. Dengan demikian, tanpa disadari, kepala

condong ke samping lesi otot leher dan sebaliknya, wajah dan dagu pasien berputar

ke sisi normal Tortikolis muskular dapatan terjadi setelah kelahiran, masa kanak-

kanak, remaja, dewasa,dan setengah tua. Pemeriksaan sebelumnya, pasien

ditemukan dalam kondisi normal selama dan setelah kelahiran.

Berdasarkan data Statistik di Indonesia menunjukkan 1 dari 300 bayi lahir

dengan tortikolis otot bawaan. Kelainan ini lebih sering terjadi pada anak pertama.

Secara umum, tortikolis disebabkan oleh trauma, infeksi, dan infeksi kongenital.

Dalam kasus trauma, kejadian kurang dari 20% -30% yang dilaporkan merupakan

persalinan sungsang. Kondisi lain meliputi persalinan sulit karena pinggul sempit,

ukuran bayi besar, persalinan dengan forceps, intrauterine abnormal fixed fetal

position atau kompartemen sindrom perinatal ditandai dengan gejala tortikolis,

displasia panggul, skoliosis, club foot, talipes, dan hipoplasia paru

Pada pemeriksaan fisik dijumpai kepala condong ke kanan dan dagu ke kiri

(+), pembesaran KGB dan tiroid (-/-), tonjolan otot sternokleidomastoideus kanan

(+), nyeri tekan (-), tremor dan tic (-/-), massa di leher (-) .

Gejala klinis paling sering pada adalah kekakuan dan ketegangan leher.

Pada anak-anak, terdapat gejala yang muncul secara mendadak yaitu rasa sakit

sangat hebat dan kekakuan otot leher di satu sisi. Namun, gejala paling umum hanya

kekakuan leher. Gejala ini dapat berkurang dengan sendirinya 2-3 hari sampai 1-2

minggu.
29

Gejala klinis lain yang mungkin muncul adalah leher menjadi tidak

seimbang dan pendek pada bagian yang fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga

mendekati bahu, garis mata dan garis bahu membentuk sudut (normalnya sejajar),

perkembangan muka dapat menjadi asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas

yang melibatkan satu atau kedua caput sternocledomastoideus. Benjolan ini bersifat

firm, tidak nyeri, terdiri dari jaringan fibrotic dengan deposit kolagen dan migrasi

fibroblast disekitar serat sternokleidomastoideus yang atrofi.

Pada tortikolis kongenital, penegakkan diagnosis tortikolis harus

berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan fisik infant (Gambar

3.5) . Didapati riwayat kelahiran sukar atau sungsang serta trauma pada proses

persalinan seperti fraktur klavikula pada tortikolis kongenital. Selain itu, perinatal

asfiksia, jaundice, kejang, penggunaan obat-obatan, gastroesofageal reflux disease

(GERD), atau sindrom Sandifer juga turut menjadi penyebabnya.

Manifestasi klinis yang didapat dari pemeriksaan yaitu kepala miring ke

arah yang sakit (setelah menyingkirkan penyebab lain seperti anomali tulang,

diskitis, limfadenitis), leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang

fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan garis bahu

membentuk sudut (normalnya sejajar), perkembangan muka dapat menjadi

asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan satu atau kedua

caput sternocledomastoideus. Benjolan ini bersifat firm, tidak nyeri, terdiri dari

jaringan fibrotic dengan deposit kolagen dan migrasi fibroblast disekitar serat

sternokleidomastoideus yang atrofi


30

Terapi pasien dilakukan secara pembedahan yaitu release torticollis.

Menurut Ling et al, waktu yang optimal untuk operasi adalah antara 1-4 tahun. Hal

ini didasari pada kebanyakan anak-anak dibawah usia 1 tahun respon terhadap

terapi konservatif. Namun demikian, untuk kasus pada dewasa dengan tortikolis

kongenital yang terabaikan, dapat dilakukan reseksi unipolar pada ujung distal dari

otot sternikleidomastoideus. Hasilnya didapati jarak dari gerakan leher

dan kemiringan kepala meningkat dan secara kosmetik tampilannya membaik.

Penatalaksanaan operatif dianjurkan untuk anak dengan usia diatas 12-18

bulan yang tidak berhasil dengan penatalaksanaan secara konservatif atau dijumpai

wajah yang asimetris dan plagiocephaly. Operasi untuk memanjangkan otot

sternokleidomastoideus yang kontraktur dijumpai pada 3% kasus. Operasi sangat

direkomendasikan jika didapati keterbatasan gerakan sampai 30 derajat serta pada

kasus deformitas tulang wajah yang kompleks


31

BAB 5
KESIMPULAN

Kata tortikolis berasal dari bahasa Latin, tortus dan collum. Tortus berarti

posisi berputar atau condong, sedangkan collum berarti leher. Tortikolis merupakan

gejala pada leher di mana terdapat kontraktur pada satu sisi otot

sternokleidomastoideus. Dengan demikian, tanpa disadari, kepala condong ke

samping lesi otot leher dan sebaliknya, wajah dan dagu pasien berputar ke sisi

normal.

Pasien perempuan berusia 19 tahun datang dengan keluhan kepala condong

ke sebelah kanan dan terdapat sensasi tertarik pada leher yang telah dirasakan sejak

13 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dalam batas

normal, dan pada pemeriksaan status lokalis pada daerah leher kanan secara

inspeksi didapatkan tampak kepala condong ke kanan dan dagu ke kiri serta dari

palpasi didapatkan terabanya tonjolan otot sternokleidomastoideus kanan tanpa

nyeri tekan. Dari pemeriksaan darah rutin, rontgen thorax PA, serta rontgen cervical
32

AP/lateral tidak didapatkan adanya kelainan. Pasien didiagnosis dengan torticollis

coli dextra. Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi release torticollis. Terapi

yang didapatkan pasien selama di RS ialah IVFD RL 20 gtt/I, IV Ceftriaxone 1

gr/12 jam, IV Ketorolac 30 mg/8 jam, IV Ranitidine 50 mg/12 jam, dan oral

Ambroxol 3x30 mg. Pasien dipulangkan pada hari keempat setelah operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC. p
1104.
2. Kruer, M.C., et al. Torticollis. Available athttp://emedicine.medscape.com/
[Accesed 20th September 2018].
3. Netter. Interactive Atlas of Human Anatomy. Elsevier. p 91-96.
4. Angoules, et al. 2013. Congenital Muscular Torticollis: An Overview.
Available at http://dx.doi.org/ [Accesed 20th September 2018].
5. The Pediatric Orthopaedic Society of North America. 2015. Torticollis.
Available at http://www.posna.org/ [Accesed 20th September 2018]
6. Apley, A. Graham dkk. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur. Jakarta :
Widya Medika
7. Chang et al. 2013. Case report: A Surgical Treatment for Adult Muscular
Torticollis. Hindawi. Available athttp://www.hindawi.com/ [Accesed
20th September 2018]

Anda mungkin juga menyukai