Anda di halaman 1dari 7

Dasar Hukum PTKP 2018

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi
yang dibebaskan dari PPh Pasal 21. Pembebasan tersebut didasarkan pada ambang batas
tarif PTKP. Jika penghasilan tahunan melebihi ambang batas, wajib pajak harus membayar
PPh.

Penetapan tarif PTKP 2018 didasarkan pada PMK No. 101/PMK.010/2016 yang dikeluarkan
oleh menteri keuangan. Sementara cara perhitungannya diuraikan secara detail melalui
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016.

Untuk penetapan penghasilan pegawai penerima upah mingguan, harian, atau berstatus
tidak tetap, diatur dalam PMK No. 102/PMK.010/2016.

Tarif PTKP 2018

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, berikut tarif PTKP


yang ditetapkan untuk tahun 2016.

o Besar PTKP wajib pajak orang pribadi sejumlah Rp54.000.000.


o Tambahan wajib pajak yang sudah menikah sebesar Rp4.500.000.
o PTKP istri yang pendapatannya digabung dengan suami sebanyak Rp54.000.000.
o Tambahan maksimal 3 orang untuk tanggungan keluarga sedarah dalam satu garis
keturunan, semenda, atau anak angkat, sejumlah Rp4.500.000.
Keluarga sedarah yang dimaksud dalam ketentuan keempat, yakni orang tua kandung dan
anak. Sementara saudara kandung termasuk kategori keluarga sedarah dalam satu garis
keturunan. Untuk keluarga semenda, terdiri dari mertua, anak tiri, dan ipar.

Kesimpulannya, maksimal tiga orang dalam aturan keempat bisa dibebaskan dari pajak atau
berhak memperoleh PTKP. Biaya hidup anggota keluarga yang disebutkan menjadi
tanggungan wajib pajak seutuhnya apabila:

o Menempati rumah tinggal yang sama dengan wajib pajak.


o Tidak memiliki penghasilan sendiri.
o Tidak mendapatkan bantuan dari anggota keluarga lain, orang tua, ataupun kerabat
terdekatnya.
Sebagai acuan, berikut tabel PTKP 2018 yang disesuaikan dengan PMK
No.101/PMK.010/2016.
Status Besaran PTKP

Tidak kawin/0 54.000.000

Tidak kawin /1 58.500.000

Tidak kawin /2 63.000.000

Tidak kawin /3 67.500.000

Kawin/0 58.500.000

Kawin/1 63.000.000

Kawin/2 67.500.000

Kawin/3 72.000.000

Kawin/I/0 108.000.000

Kawin/I/1 112.500.000

Kawin/I/2 117.000.000

Kawin/I/3 121.500.000

Supaya mengetahui cara penerapan tarif PTKP berdasarkan PMK No. 101/PMK.010/2016

PTKP Wajib Pajak Tidak Kawin

Raka bekerja di perusahaan swasta dengan pendapatan Rp8.000.000 per bulan. Status Raka
saat ini belum menikah. Sesuai tabel di atas, maka tarif PTKP Raka adalah Rp54.000.000.
Maka perhitungannya sebagai berikut.

Penghasilan kotor per bulan:


o Gaji : Rp8.000.000
o Biaya jabatan : 5% x Rp8.000.000 = Rp400.000
o Biaya pensiun : Rp200.000

Penghasilan bersih per tahun:

o Gaji bersih per bulan : Rp8.000.000–(Rp400.000 + Rp200.000) = Rp7.400.000


o Gaji bersih per tahun : Rp7.400.000 x 12 = Rp88.800.000

Perhitungan PTKP tidak kawin (TK/0): Rp88.800.000 – Rp54.000.000 = Rp 34.800.000

Perhitungan PPh Pasal 21:

o Per tahun : 5% x Rp34.800.000 = Rp1.740.000


o Per bulan : Rp.1740.000/12 bulan = Rp145.000
Kesimpulannya, Raka harus membayar pajak sejumlah Rp145.000 setiap bulan. Pajak bisa
dibayarkan sendiri ke KPP atau dipotong langsung dari perusahaan.

PTKP Wajib Pajak yang Kawin Istri Tidak Bekerja

Di tahun berikutnya, Raka menikah dan memiliki satu orang anak. Istri Raka tidak bekerja
dan berpenghasilan. Sementara pendapatan Raka mengalami kenaikan menjadi
Rp8.800.000.

Berarti sekarang status Raka adalah K/1 (kawin: memiliki 1 tanggungan). Maka tarif PTKP
Raka menjadi Rp63.000.000 per tahun dengan simulasi perhitungan berikut ini.

Penghasilan kotor per bulan:

o Gaji per bulan : Rp8.800.000


o Biaya jabatan : 5% x Rp8.800.000 = Rp440.000
o Biaya pensiun : Rp 200.000

Penghasilan kotor per tahun:

o Gaji bersih per bulan : Rp8.800.000–(Rp440.000 + Rp200.000) = Rp 8.160.000


o Gaji bersih per tahun : Rp8.160.000 x 12 = Rp97.920.000

Perhitungan PTKP K/2 : Rp97.920.000 – Rp63.000.000 = Rp34.920.000

Perhitungan PPh Pasal 21:

o Per tahun : 5% x Rp 30.420.000 = Rp1.746.000


o Per bulan : Rp1.746.000 / 12 = Rp145.500
Jadi, setelah Raka menikah dan memiliki satu tanggungan, ia harus membayar pajak sebesar
Rp145.500 setiap bulan.

SANKSI HUKUM JIKA TIDAK MELAKUKAN PEMBAYARAN PAJAK

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum


Perpajakan (KUP), sanksi perpajakan terdiri dari sanksi administrasi dan sanksi
pidana.

Untuk sanksi administrasi terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga, dan sanksi
kenaikan. Sekian sanksi tersebut dikenakan untuk berbagai jenis pelanggaran
aturan.

Namun, khusus untuk wajib pajak yang tidak membayar atau telat bayar pajak,
sanksi yang dikenakan adalah:

Bunga yang Dibayar jika Lupa Membayar Pajak

Dalam Undang-Undang KUP, terdapat pasal yang mengatur sanksi bagi wajib pajak yang
telat atau tidak membayar pajak, yakni Pasal 9 ayat 2a dan 2b.

Dalam pasal 2a dikatakan, wajib pajak yang membayar pajaknya setelah jatuh tempo akan
dikenakan denda sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga
tanggal pembayaran.

Sementara, pada pasal 2b disebut, wajib pajak yang baru membayar pajak setelah jatuh
tempo penyampaian SPT tahunan akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan, yang
dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian SPT sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
Sebagai contoh, berdasarkan undang-undang, batas akhir pembayaran dan pelaporan
PPh adalah masing-masing tanggal 10 (PPh pada umumnya) dan tanggal 15 (PPh Final
1%/pajak UMKM, PPh 25) bulan berikutnya.

Jika wajib pajak baru membayar kewajibannya lewat dari tanggal-tanggal tersebut, maka
wajib pajak harus membayar bunga sebesar 2% dari jumlah pajak yang terutang.

Sanksi Pidana bila Tidak Menyetorkan Pajak

Sanksi ini merupakan jenis sanksi terberat dalam dunia perpajakan. Biasanya, sanksi pidana
dikenakan bila wajib pajak melakukan pelanggaran berat yang menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan dilakukan lebih dari satu kali.

Dalam Undang-Undang KUP, terdapat pasal 39 ayat i yang memuat sanksi pidana bagi orang
yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Sanksi tersebut adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun,
serta denda minimal 2 kali pajak terutang dan maksimal 4 kali pajak terutang yang tidak
dibayar atau kurang dibayar.

Contoh kasus untuk sanksi ini adalah pengusaha yang menerbitkan faktur pajak dan
memungut PPN, namun tidak mendaftarkan diri dan melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Sehingga, PPN yang dipungut tidak disetorkan ke kas negara.

INI SANKSINYA JIKA TIDAK LAPOR SPT

Selain tidak melakukan pembayaran pajak, Undang-Undang KUP juga memuat sanksi bagi
wajib pajak yang tidak melaporkan SPT atau terlambat melaporkan SPT.

Jenis sanksi yang dibebankan pada wajib pajak yang melanggar ketentuan tersebut adalah
denda. Besaran denda dibagi menjadi 3, yakni:

o Rp 500.000,- untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN


o Rp 100.000,- untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya
o Rp 1000.000,- untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan
o Rp 100.000,- untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi
Batas akhir pelaporan SPT dibedakan berdasarkan jenis pajak yang akan dilaporkan.
Tujuannya agar administrasi perpajakan di Indonesia jadi semakin rapi. Berikut ini, tiga batas
waktu pelaporan SPT yang sebaiknya diketahui wajib pajak:
1. Surat Pemberitahuan Masa (Paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak)
2. SPT Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi (Paling lama 3 bulan setelah akhir
masa pajak)
3. SPT Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (Paling lama 4 bulan setelah akhir masa
pajak)
Namun, bila wajib pajak tidak melaporkan SPT sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dan tindakan tersebut sudah dilakukan lebih dari sekali, wajib pajak
dapat dikenakan sanksi berupa denda minimal satu kali jumlah pajak terutang yang tidak
dibayar atau kurang bayar.

Denda dikenakan maksimal dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Bahkan, atas tindakan tersebut wajib pajak dapat dipidana kurungan paling singkat tiga
bulan atau paling lama satu tahun.

TIDAK INGIN TERKENA SANKSI PAJAK, INI SOLUSINYA

Alasan utama seorang wajib pajak terkena sanksi pajak adalah lupa membayar pajak dan
melaporkan SPT. Hal ini sering dialami terutama bagi mereka yang mengurus kewajiban
perpajakannya secara swadaya.

Tapi, seperti disinggung di atas, sanksi yang diberikan bagi mereka yang terlambat
melakukan pembayaran cukup banyak.

Bila Anda termasuk wajib pajak badan yang sering terkena sanksi karena lupa membayar
pajak dan lapor SPT, jangan khawatir, 3 solusi ini akan membantu Anda:

 Gunakan Kertas Tempel di Meja Kerja Anda

Jika Anda orang yang jarang mengecek ponsel saat bekerja, gunakan kertas tempel di
meja kerja Anda. Tulis tanggal jatuh tempo pembayaran dan pelaporan SPT Anda.
Pastikan kertas tersebut diletakkan di tempat yang tepat.

 Gunakan Kalender Digital pada Ponsel

Ponsel adalah benda yang paling sering kita genggam. Karena itu, ponsel dapat
dijadikan sebagai alat pengingat untuk membayar pajak dan lapor SPT. Cukup
lakukan pengaturan, kalender digital pun akan mengingatkan kita apabila kewajiban
perpajakan sudah mendekati jatuh tempo.

 Gunakan Aplikasi OnlinePajak


Cara paling canggih menghindari keterlambatan pembayaran pajak dan lapor SPT
adalah menggunakan aplikasi OnlinePajak.

Sebab, OnlinePajak memiliki sejumlah fitur dan layanan yang memungkinkan wajib
pajak melakukan pembayaran dan pelaporan, kapan saja dan di mana saja, disertai
email pengingat pembayaran dan pelaporan pajak.

Sehingga ketika tidak punya waktu untuk datang ke bank karena jam kerja bank yang
terbatas, maupun bila tanggal batas waktu pembayaran dan pelaporan itu jatuh
akhir pekan yang tidak memungkinkan Anda untuk datang ke bank atau kantor
pajak, Anda tetap bisa melakukan pembayaran pajak dan lapor SPT tepat waktu.

Fitur dan layanan tersebut adalah:

PajakPay

Fitur pembayaran pajak online PajakPay memungkinkan pengguna membayar pajak cukup
dari depan layar monitor.

Jadi, meskipun kantor bank persepsi maupun kantor pos persepsi sudah tutup, pengguna
bisa tetap membayar tanpa harus terkena sanksi karena telat bayar pajak.

Menariknya lagi, pengguna juga bisa melakukan perhitungan, buat ID Billing, pembayaran
dan pelaporan cukup dengan satu aplikasi.

Selain itu, fitur PajakPay telah terdaftar di Bank Indonesia melalui surat No.
20/114/DKSP/Srt/B. Artinya, fitur ini wajib menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian,
kerahasiaan data, manajemen risiko dan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Fitur Lapor Pajak Online

Fitur ini memungkinkan wajib pajak melakukan pelaporan pajak secara online. Pelaporan
pajak pun bisa dilakukan di luar hari dan jam kerja.

Layanan e-Mail Pengingat

Pengguna OnlinePajak bisa terhindar dari telat bayar pajak dan lapor SPT. Sebab,
OnlinePajak akan rutin mengirimkan email pada pengguna yang mengingatkan jatuh tempo
pembayaran pajak dan pelaporan SPT.

Anda mungkin juga menyukai