Asma Bronkial
Asma Bronkial
ASMA BRONKIAL
2. Nasofaring
Faring yang sering disebut-sebut adalah bagian dari sistem pencernaan dan juga
bagian dari sistem pernafasan. Hal ini merupakan jalan dari udara dan makanan. Udara
masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke dalam laring.
Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya melalui
nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun melewati dasar dari faring dan
selanjutnya memasuki laring. Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari
esofagus dan membukanya tuba auditiva, semua fase pembuka masuk ke dalam faring
dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu
makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup
sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga
hidung posterior.
3. Laring
Organ ini terletak di antara akar lidah dan trakhea. Laring terdiri dari Sembilan
kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol
pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring membentuk suatu lubang
berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Dalam kaitan ini, maka laring
membentuk trakea dan berbeda dari bangunan berlubang lainnya. Laring masih terbuka
kecuali bila pada saat tertentu seperti adduksi pita suara saat berbicara atau menelan. Pita
suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran suara yang
merupakan jalannya udara antara faring dan laring.
Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk
silinder. Kartilago laring merupakan kartilago yang paling besar dan berbentuk V yaitu
kartilago tiroid. Kartilago ini terdiri dari dua kartilago yang cukup lebar, dimana pada
bagian depan membentuk suatu proyeksi subkutaneus yang dikenal sebagai penonjolan
laringeal. Kartilago ini menempel pada tulang lidah melalui membrana hyotiroidea, suatu
lembaran ligamentum yang luas dan terhadap kartilago krikoid oleh suatu “elastic cone”
suatu ligamentum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastik berwarna kuning.
Kartilago krikoid lebih kecil tapi lebih tebal terdiri dari cincin depan, tetapi meluas ke
dalam suatu struktur menyerupai plat untuk membentuk bagian bawah dan belakang
laring. Kartilago arytenoid berjumlah dua buah terletak pada batas atas dari bagian yang
luas sebelah posterior krikoid. Kartilago ini kecil dan berbentuk piramid. Epiglotis,
kartilago yang berbentuk daun terletak di pangkal lidah dan kartilagotiroid pada linea
mediana anterior. Kartilago ini melebar secara oblik ke belakang dan atas.
Rongga laring, rongga ini dimulai pada pertemuan antara faring dan laring serta
ujung dari bagian bawah kartilago krikoid dimana ruangan ini akan berlanjut dengan
trakhea. Bagian ini dibagi ke dalam dua bagian oleh vokal fold dan ventrikuler fold secara
horizontal. Vokal fold atau pita suara merupakan dua ligementum yang kuat dimana
meluas dari sudut antara bagian depan terhadap dua kartilago aritenoid pada bagian
belakang. Ventrikuler fold sering disebut sebagai pita suara palsu yang terdiri dari lipatan
membrana mukosa dan terselip suatu pita jaringan ikat. Lipatan-lipatan berada di samping
terhadap pita suara yang asli. Ruangan di antara lipatan pita disebut sebagai glottis,
bentuknya bervariasi sesuai dengan ketegangan lipatan pita.
Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya
mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan
mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhea. Kedua fungsi ini sebagian besar
dikontrol oleh muskulus instrinsik laring.
Fungsi lainnya adalah pengaturan suara. Otot-otot laring baik yang memisahkan
vokal fold atau yang membawanya bersama, pada kenyataannya mereka dapat menutup
glotis kedap udara, seperti halnya pada saat seseorang mengangkat beban berat atau
terjadinya regangan pada waktu defekasi dan juga pada waktu seseorang menahan nafas
pada saat minum. Bila otot-otot ini relaksasi, udara yang tertahan di dalam rongga dada
akan dikeluarkan dengan suatu tekanan yang membukanya dengan tiba-tiba yang
menyebabkan timbulnya suara ngorok. Pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir
terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring. Namun akan
menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis berfungsi sebagai
penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis bila makanan melewatinya pada saat
menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi, karena dapat
dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang mengelilingi
lubang.
4. Trakhea
Trakea terletak memanjang di bagian leher dan rongga dada atau (toraks).
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan
sebagian di rongga dada. Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin
tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Berupa pipa yang dindingnya terdiri
atas 3 lapisan, yaitu lapisan luar terdiri atas jaringan ikat, lapisan tengah terdiri atas otot
polos dan cincin tulang rawan, dan lapisan dalam terdiri atas jaringan epitelium besilia.
Terletak di leher bagian depan kerongkongan. Trakea tersusun atas enam belas sampai
dua puluh cincin-cincin tulang rawan yang berbentuk C. Cincin-cincin tulang rawan ini
di bagian belakangnya tidak tersambung yaitu di tempat trakea menempel pada esofagus.
Hal ini berguna untuk mempertahankan agar trakea tetap terbuka.
Dinding bagian dalam trakea berlapis sel-sel epitel berambut getar (silia) dan
selaput lendir Cincin-cincin tulang rawan diikat bersama oleh jaringan fibrosa, selain itu
juga terdapat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang dihasilkan
oleh epitelium bersilia. Silia-silia ini bergerak ke atas ke arah laring sehingga dengan
gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang ikut masuk saat menghirup napas
dapat dikeluarkan. Silia berfungsi menahan dan mengeluarkan kotoran kotoran atau debu-
debu yang masuk bersama udara. Trakea bercabang dua , satu menuju paru-paru kiri , dan
yang lainnya menuju paru-paru kanan. cabang trakea disebut bronkus.
5. Bronkhus
Merupakan percabangan trakea yang menuju paru-paru kanan dan kiri. Struktur
bronkhus sama dengan trakea, hanya dindingnya lebih halus. Kedudukan bronkhus kiri
lebih mendatar dibandingkan bronkhus kanan, sehingga bronkhus kanan lebih mudah
terserang penyakit. Bronkus tersusun atas percabangan, yaitu bronkus kanan dan kiri.
Letak bronkus kanan dan kiri agak berbeda. Bronkus kanan lebih vertikal daripada kiri.
Karena strukturnya ini, sehingga bronkus kanan akan mudah kemasukan benda asing.
Itulah sebabnya paru-paru kanan.
6. Bronkhiolus
Bronkheolus adalah percabangan dari bronkhus, saluran ini lebih halus dan
dindingnya lebih tipis. Bronkheolus kiri berjumlah 2, sedangkan kanan berjumlah 3,
percabangan ini akan membentuk cabang yang lebih halus seperti pembuluh.
7. Alveolus
Alveolus merupakan saluran akhir dari alat pernapasan yang berupa gelembung-
gelembung udara. Gelembung tersebut diselimuti pembuluh kapiler darah . Alveolus
adalah kantung berdinding tipis, lembap didalam paru2 yang mengandung udara dan
berlekat erat dengan kapiler-kapiler darah, melalui seluruh dinding inilah terjadi pertukaran
gas. Alveolus terdiri atas satu lapis sel epitelium pipih dan di sinilah darah hampir langsung
bersentuhan dengan udara. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan darah di dalam
kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga alveolus. Adanya alveolus
memungkinkan terjadinya perluasan daerah permukaan yang berperan penting dalam
pertukaran gas O2 dari udara bebas ke sel-sel darah dan CO2 dari sel-sel darah ke udara.
Jumlah alveolus pada paru-paru kurang lebih 300 juta buah. Adanya alveolus ini
menjadikan permukaan paru-paru lebih luas. Diperkirakan, luas permukaan paruparu
sekitar 160 m2. Dengan kata lain, paru-paru memiliki luas permukaan sekitar 100 kali lebih
luas daripada luas permukaan tubuh.
Dinding alveolus mengandung kapiler darah. Oksigen yang terdapat pada alveolus
berdifusi menembus dinding alveolus, lalu menem bus dinding kapiler darah yang
mengelilingi alveolus. Setelah itu, masuk ke dalam pembuluh darah dan diikat oleh
hemoglobin yang terdapat di dalam sel darah merah sehingga terbentuk oksihemoglobin
(HbO2). Akhirnya, oksigen diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Setelah sampai ke
dalam sel-sel tubuh, oksigen dilepaskan sehingga oksihemoglobin kembali menjadi
hemoglobin. Oksigen ini digunakan untuk oksidasi.
Dalam tubuh, oksigen digunakan untuk proses pembentukan energi. Pada proses
tersebut dihasilkan energi dan gas karbon dioksida (CO2). CO2 tersebut diikat kembali oleh
hemoglobin darah. Setelah itu, darah akan membawa CO2 ke paru-paru. Sesampai di
alveolus, CO2 menembus dinding pembuluh darah dan dinding alveolus. CO2 dari paru-
paru menuju tenggorokan, kemudian ke lubang hidung untuk dikeluarkan dari dalam tubuh.
Jadi proses pertukaran gas sebenarnya berlangsung di alveolus.
2. Mekanisme Pertukaran Oksigen (O2) dan Karbon Dioksida (CO2) dari Alveolus ke
Kapiler Darah dan Sebaliknya
a. Pertukaran O2 dan CO2 Dari Alveolus ke Kapiler Darah
Pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida terjadi di alveolus. Oksigen dari
Alveolus dibawa ke Kapiler darah dan berdifusi dalam darah. Di dalam sel-sel darah
merah, oksigen berikatan dengan Hemoglobin (Hb) membentuk oksihemoglobin
(HbO2) yang selanjutnya akan beredar darah menuju seluruh tubuh. Begitu mencapai
sel-sel tubuh, oksigen dilepaskan sehingga HbO2 kembali menjadi Hb.
Dari sekitar 300 liter oksigen yang masuk ke dalam tubuh selama sehari
semalam, hanya sekitar 2%-3% yang dapat larut dalam plasma darah. Sebagian besar
oksigen akan diangkut oleh Hemoglobin dalam sel darah merah. Hemoglobin
merupakan zat warna merah darah atau zat pigmen respirasi yang tersusun atas
senyaw hemin atau hematin (mengandung unsur Fe) dan globin (suatu protein).
b. Pertukaran O2 dan CO2 Dari Kapiler Darah ke Alveolus
Pada waktu darah mengalir ke paru-paru, hemoglobin mengikat ooksigen
sampai jenuh. Oksihemoglobin akan melepaskan oksigen lebih banyak pada
lingkungan asam. Apabila lebih banyak oksigen yang digunakan, lebih banyak pula
karbon dioksida yang terbetuk dan diambil oleh darah. Karbon dioksida yang diambil
akan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (H2CO2) yang berakibat darah
bersifat asam.
Dalam kondisi normal tubuh menghasilkan sekitar 200 cc karbon dioksida
dan setiap liter darah hanya dapat melarutkan 4,3 cc karbon dioksida. Hal tersebut
menyebabkan terbentuknya asam karbonat dan pH darah menjadi asam (4,5). Dengan
adanya ion Na+ dan K+, keasaman darah dapat dinetralkan.
b. Pernafasan Perut
Pada proses pernapasan ini, fase inspirasi terjadi apabila otot diafragma (sekat
rongga dada) mendatar dan volume rongga dada membesar, sehingga tekanan udara
di dalam rongga dada lebih kecil daripada udara di luar, akibatnya udara masuk.
Adapun fase ekspirasi terjadi apabila otot-otot diafragma mengkerut (berkontraksi)
dan volume rongga dada mengecil, sehingga tekanan udara di dalam rongga dada
lebih besar daripada udara di luar. Akibatnya udara dari dalam terdorong ke luar.
C. DEFINISI ASMA
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas yang mengalami
radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang oleh factor risiko tertentu,
jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan
mukus, dan meningkatnya proses radang (Almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini
bersifat sementara. Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi
umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa
pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).
E. MANIFESTASI KLINIK
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi
pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan
menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala
klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian
penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai
bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak,
antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi dan
pernafasan cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
F. PATOFISIOLOGI
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada
proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena
adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran
udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil
olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T
penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel
plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin
(TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat
menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan.
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi
mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel
sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi
pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-
alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga
epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus,
sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa
keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Baratawidjaja dkk, 2006)
G. PENGKAJIAN PERNAPASAN
1. ANAMNESIS
a. Data demografi
b. Identitas klien
c. Identitas penanggung jawab/keluarga klien
d. riwayat kesehatan
e. keluhan utama
apa yang menjadi alasan klien datang ke tempat pelayanan kesehatan?
Apa yang dikeluhkan klien saat pengkajian?
Keluhan utama pada pasien asma biasanya berupa sesak nafas disertai atau tanpa
batuk
f. riwayat kesehatan sekarang
kapan gejala mulai dirasakan?
lamanya serangan gejala?
faktor presipitasinya?
g. riwayat kesehatan dahulu
apakah ada riwayat sesak nafas, alergi, eksem, urtikaria, demam tinggi dan paparan
zat-zat lingkungan yang menyebabkan bronkhospasme
h. riwayat kesehatan keluarga
apakah ada keluarga yang mempunyai riwayat atau menderita gangguan sistem
pernafasan: asma, pneumonia, kanker paru, bronkhitis, alergi, eksem, urtikaria, dll.
i. pola pemeliharaan kesehatan
bagaimana asupan nutrisinya?
Bagaimana sanitasi lingkungannya?
j. PEMERIKSAAN FISIK
k. keadaan umum
l. pemeriksaan head to toe/per sistem
m. temuan/observasi:
n. distress pernafasan tiba-tiba
o. perpanjangan ekspirasi, mengi
p. perpendekan periode inspirasi
q. retraksi interkostal dan strernal
r. penggunaan otot-otot aksesori pernafasan
s. sesak nafas
t. krekels
u. bunyi nafas
v. mengi
w. menurun
x. tidak terdengar
y. duduk dengan posisi tegak; bersandar ke depan
z. diaforesis
aa. distensi vena leher
bb. cyanosis area circumoral dasar kuku
cc. batuk keras, kering, batuk produktif sulit
dd. perubahan tingkat kesadaran
ee. hipoksia
ff. hipotensi
gg. dehidrasi
hh. peningkatan ansietas
ii. takut menderita, takut mati
H. PEMERIKSAAN KLINIS
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien
asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi
toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot
napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi
memanjang.
I. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d. Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat
komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru yaitu:
a. perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation.
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right
bundle branch block).
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
4. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih
dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa
keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi
DAFTAR PUSTAKA
Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar sp, et al.
Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In Shaikh WA. Editor. Principles and
practice of troSpical allergy and asthma. Mumbai: Vikash Medical Publishers;
2006.707-36.
Eni, Yunani & Achmad. (2013). Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan
Dasar. Jakarta : EGC.
Korzier B, ERB Glenora, Berman A, Synder Shirlee J. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan, konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. (2008) .Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika
Price&Wilson. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Jakarta:
EGC
Rengganis, Iris. 2008. Jurnal: Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Volume 58. Jakarta:
Majalah Kedokteran Indonesia departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Riyanto, Sigit Bambang. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI
Saheb, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV medika
Section 2, definition ,pathophysiology and pathogenesis of asthma, and natural history of
asthma [homepage on internet].c2007[updated 2007 Aug 28]. Available from :
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/03_sec_sec2_def.pdf.
Sherwood, Lauralee. (2011). Human physiology: From cells to systems. 6th ed. California:
Brooks/ Cole-Thomson Learning, Inc.
Silverthorn, D.U. (2004). Human physiology: An integrated approach. 3rd ed. San Francisco:
Pearson Education
Suparmi,Yulia.dkk. (2008). Panduan Praktik Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta: PT
Citra Aji Parama.
Tarwoto. Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Uliyah, Musrifaltul & Alimul, Aziz. (2008). Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik
: Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan Jakarta : Salemba Medika.Section