Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Gambut Indonesia


Gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman, baik yang sudah
lapuk maupun belum. Akumulasi tersebut bertambah tebal karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi kurang oksigen dan/atau kondisi lingkungan
lainnya yang menyebabkan tertekannya biota pengurai. Oleh karena itu, lahan
gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (backswamp) atau daerah
cekungan yang drainasenya buruk. Pembentukan tanah gambut merupakan
proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi
dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang
pada umumnya merupakan proses pedogenic (Hardjowigeno,1986).

Gambar 2.1 Peta Sebaran Gambut Indonesia

2.2 Lahan Gambut


Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh
adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal
dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini
terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju
penimbunan organik di lantai hutan yang basah atau tergenang. Seperti gambut
tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi
tropis yang kaya akan kandungan lignin dan nitrogen (Samosir, 2009).

2.3 Pembentukan Lahan Gambut


Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi.
Gambut tropis, khususnya di Indonesia, mengandung sangat banyak kayu-kayu
dengan tingkat pertumbuhan gambut per tahun relatif tinggi. Salah satu ciri
gambut tropis dalam cekungan di Indonesia adalah bentuk kubah (dome) yang
menipis di pinggiran (edge) dan menebal di pusat cekungan. Ketebalan gambut
pada lahan ini dapat mencapai lebih dari 15 m (Wahyunto et al., 2004).
Menurut Noor (2001), proses pembentukan gambut dimulai dari adanya
pendangkalan danau yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan
vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap
membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman
berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan
secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut, sehingga danau tersebut
menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).

Gambar 2.2 Proses Pembentukan Gambut di Indonesia


2.4 Kondisi Hidrologi Gambut
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100–1.300% dari berat keringnya.
Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air
yang tinggi menyebabkan kerapatan bahan menjadi rendah, gambut menjadi
lembek dan daya menahan bebannya rendah. Kerapatan bahan tanah gambut
lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g/cm3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah
memiliki kerapatan lebih rendah dari 0,1 g/cm 3, tapi gambut pantai dan gambut
di jalur aliran sungai bisa memiliki kerapatan bahan > 0,2 g/cm3 karena adanya
pengaruh tanah mineral.

2.5 Pengolahan Lahan Gambut untuk Pengembangan Budidaya


Pertanian
Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan budidaya pertanian
dilakukan dengan melakukan beberpa tindakan pengelolaan yang bertujuan untuk
mengurangi faktor penghambat dari lahan gambut baik faktor fisik maupun kimia
tanah sehingga lahan tersebut mampu menyediakan kondisi yang optimal bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan dibudidayakan.
Pengembangan pertanian pada lahan gambut ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu faktor kesuburan alami gambut dan tingkat manajemen usaha tani yang
akan diterapkan. Pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan
pengelolaan usaha tani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang
(medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan dengan tingkat
manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo
et al, 1996)
Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyatakan bahwa pada tingkat
manajemen sedang, pengelolaan lahan gambut dilakukan melalui perbaikan sifat
tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh petani seperti pengolahan
tanah, tata air mikro, pemupukan, pengapuran dan pemberantasan hama dan
penyakit. Tindakan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian
dilakukan melalui beberapa tindakan sebagai berikut:
1 Pengolahan Air
a Pengolahan Drainase Lahan
Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap
mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak
mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil.
Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah
hujan. Curah hujan yang tinggi yaitu antara 4000 sampai 5000 mm per
tahun membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh
banjir (Ambak dan Melling, 2000).
b Pengaturan Irigasi
Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk
pertumbuhan tanaman, pengelolan air bukan merupakan suatu masalah
kecuali pada tahap awal pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak
dapat terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya, irigasi
perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk
memasok kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak
balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan layu pada keadaan udara
panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil
tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat
transpirasi yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling,
2000).

2 Pengolahan Tanah
Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk
pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan
dengan pertukaran oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas
memegang air yang tinggi daripada tanah mineral menyebabkan tanaman
bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan keberadaan sifat inheren
yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah
dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah
gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al, 2000).

3 Pemilihan Jenis Tanaman


a Padi Sawah
Budidaya padi sawah selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk
memenuhi kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di
lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut
kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan tanah dan air.
Khususnya gambut tebal (> 1) belum berhasil dimanfaatkan untuk
budidaya padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum
dapat diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan
gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian
air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas,
penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro
(Radjagukguk, 1990).
b Tananman Perkebunan dan Industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak
dikembangkan di lahan gambut terutama oleh perusahaan-perusahaan
swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini kebanyakan dikembangkan di
propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum penanaman,
dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem
drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman
perkebunan di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama
adalah pemberian pupuk makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan
sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
c Tanaman Pangan (Palawija) dan Tanaman Semusim Lainnya
Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut
dangkal dan gambut sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air
tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya
gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996)

Anda mungkin juga menyukai