Anda di halaman 1dari 13

SUPPLY CHAIN MANAGEMENT DALAM PENGELOLAAN

AGROINDUSTRI BERBASIS UMBI-UMBIAN DI JAWA BARAT

Oleh

M. Toha Tulus Dharmawan

(16/395519/TP/11568)

Yogyakarta

2017

1. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi di era globalisasi semakin tak terbendung,

dampaknya setiap unsur kehidupan pun kini tak lepas dari teknologi termasuk

industri. Teknologi yang dimaksudkan bukan hanya berupa alat dan mekanisasi,

namun juga metode dan teknik yang diterapkan yang bertujuan untuk membantu

pekerjaan manusia. Penerapan teknologi dalam industri ini diharapkan untuk

membantu mulai dari pengadaan produk, pengolahan, packing dan labelling,

penyimpanan, distribusi, hingga marketing dan sampai ke tangan customer.

Agroindustri sebagai salah satu jenis industri yang mulai muncul dan

berkembang pesat di Indonesia. Demi memperoleh berbagai produk berbagai


produk olahan pertanian yang dibutuhkan customer, maka setiap perusahaan

(agroindustri) berusaha secara optimal untuk menggunakan aset dan kemampuan

yang dimiliki untuk memberikan value terhadap harapan konsumen.

Implementasi upaya ini tentunya menimbulkan konsekuensi biaya yang berbeda

di setiap perusahaan termasuk para pesaingnya. Untuk dapat menawarkan produk

yang menarik dengan tingkat harga yang bersaing, setiap perusahaan agroindustri

perlu berusaha menekan atau mereduksi seluruh biaya tanpa mengurangi kualitas

produk maupun standar yang telah ditetapkan.

Menurut Agus Widyarto (2012), “Salah satu upaya untuk mereduksi biaya

tersebut adalah melalui optimalisasi distribusi material dari pemasok, aliran

material dalam proses produksi sampai dengan distribusi produk ke tangan

konsumen. Distribusi yang optimal dalam hal ini dapat dicapai melalui penerapan

konsep Supply Chain Management. (SCM)”.

Supply Chain Management (SCM) merupakan suatu konsep menyangkut

pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan pola-pola

pendistribusian produk secara optimal. Pola baru ini menyangkut aktivitas

pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik. Dalam beberapa agroindustri

seperti industri pengolahan produk pertanian berbasis umbi-umbian sangat

memerlukan pendekatan ini dalam menjalankan kegiatan produksinya.

Umbi-umbian merupakan salah satu komoditas besar di Indonesia. Di era

sebelum reformasi, umbi menjadi salah satu makanan pokok bagi sebagian

masyarakat di Indonesia. Akan tetapi setelah reformasi, makanan pokok di

Indonesia berubah menjadi beras. Setelah berubahnya makanan pokok


masyarakat Indonesia, umbi tidak lagi mendapat perhatian bahkan belum

mendapatkan peluang pasar karena belum diketahui kegunaannya. Pada saat ini,

bahan pangan pokok di Indonesia setelah beras adalah terigu.

Terigu merupakan salah satu bahan makanan pokok di Indonesia setelah

beras. Bahan pangan terigu sejak sekitar 30 tahun yang lalu telah berkembang

sangat pesat, seiring dengan berkembangnya industri kecil makanan berbahan

baku terigu dan luasnya penyebaran produk olahan terigu hingga jauh ke pelosok

wilayah di Indonesia. Penggunaan terbesar terigu adalah sebagai bahan baku

dalam industri mie, roti dan kue. Ketergantungan masyarakat Indonesia pada

terigu yang keseluruhannya terbuat dari gandum impor dikhawatirkan lambat

laun akan menggeser konsumsi bahan pangan lokal selain beras. Sumber

karbohidrat lokal yang sebenarnya dapat berfungsi strategis sebagai cadangan

pangan sehingga mendukung ketahanan pangan nasional, yaitu umbi-umbian

yang semakin hari dikhawatirkan akan makin terabaikan.

Di Indonesia khususnya Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang kaya

dengan aneka jenis umbi-umbian seperti Singkong, Ubi Jalar, Keladi, Talas, dsb.

Umbi-umbian ini dapat diolah menjadi tepung yang memiliki ketahanan simpan

relatif panjang, dan dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai jenis produk

sehingga dapat menjadi bahan baku bagi industri makanan olahan.


2. PEMBAHASAN
a. Rantai Pasok Umbi Jalar

Petani umbi jalar sebagai pemasok yang paling hulu dapat dikelompokkan

menjadi 2 (dua) jenis yakni petani kecil dan petani besar yang merangkap yang

mempunyai lahan yang terbatas sebagai pedagang pengumpul (bandar). Kedua

jenis petani ini mempunyai karakteristik yang berbeda, Petani yang merangkap

pedagang pengumpul atau pedagang besar mempunyai modal termasuk sarana

angkutan dan akses informasi dalam pemasarkan ubi jalar. Sebaliknya petani

kecil tidak memilki kemampuan tersebut sehingga dalam memasarkan umbi jalar

tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan hanya mampu menjual umbi jalar

kepada pedagang pengumpul tingkat desa atau kecamatan. Selanjutnya dari

pedagang pengumpul, umbi jalar bisa langsung dijual ke pedagang pengecer di

pasar tradisional baik lokal maupun luar daerah atau dijual ke pedagang besar

serta kepada industri sebagai bahan baku.

Dari Gambar 11 tersebut, menunjukkan bahwa ubi jalar dipasarkan langsung ke

konsumen dan sabagai bahan baku industri, Industri yang berbahan baku ubi jalar

terdiri dari:

(1) Industri aneka makanan umbi jalar seperti keripik ubi jalar dan stik,
(2) Industri pengolah pasta, kompos (limbah ubi jalar) dan pakan ternak dan

(3) Industri chips (granul) yang kemudian dijadikan tepung ubi jalar.

Rantai pasok berikutnya dari industri-industri tersebut adalah :

a. Industri aneka produk umbi jalar seperti keripik, stik, dodol campuran umbi

jalar, jenis kue-kue untuk dipasok ke pedagang pengecer baik ke toko-

toko/swalayan di daerah lokal atau luar daerah.


b. Industri pengolahan yang berbahan baku ubi jalar seperti PT Galih Estetika

Kabupaten Kuningan. Perusahaan ini telah memproduksi pasta umbi jalar,

tepung umbi jalar, makanan ringan, kompos dan pakan yang semuanya

dipasarkan untuk ekspor ke Jepang dan Korea. Pasokan umbi jalar di dapat

selain dari kabupaten Kuningan juga berasal dari Kabupaten Majalengka

dan daerah lainnya.


c. Industri chips (granul) yang kemudian diolah menjadi tepung umbi jalar.

Industri chip ini mendapat pasokan dari 6 (enam) kelompok tani. Tepung

umbi jalar dipasarkan ke industri makanan olahan yang berbasis umbi jalar

dan ke industri kecil es krim

Gambar 12. Rantai Pasokan Tepung Ubi Jalar di Kuningan.

Dari gambar 12 menunjukkan bahwa rantai pasokan tepung ubi jalar belum

berkembang atau dikatakan pendek, hal ini terjadi karena tidak adanya peran
distributor yang bertugas menyalurkan dari suplier yaitu kelompok tani ke

industri chips, ke pabrik tepung ubi jalar, dan ke industri makanan.

Selain Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka merupakan daerah

potensial untuk memasok ke Kabupaten Kuningan. Disamping itu, komoditas ubi

jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang diunggulkan. Dalam

pemasaran ubi jalar, dapat digambarkan bahwa rantai pasok ubi jalar terdapat 2

(dua) bentuk yaitu pertama, mulai dari petani dijual ke pedagang pengumpul

skala besar untuk dipasok ke pabrik dan pasar tradisional dan kedua dari petani

dijual ke pengumpul kecil dijual ke pabrik dan pasar tradisional lokal. Rantai

pasokan (bentuk pertama), terdapat petani yang merangkap pedagang pengumpul

besar terdapat 5 orang bergabung dalam usaha (cV Sinar Umbi). Rantai pasoknya

digambarkan pada diagram berikut

b. Rantai Pasok Umbi Kayu.


Rantai pasokan umbi kayu, mempunyai pola yang hampir sama dengan umbi

jalar. Rantai pasokan umbi kayu banyak melibatkan pelaku yaitu mulai dari

petani di jual ke pedagang

pengumpul, pedagang besar kemudian ke beberapa industri pengolah dan

pedagang pengecer/pasar tradisional. Secara umum, rantai pasok umbi kayu di

Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 14.

1. Petani umbi kayu pada umumnya langsung menjual barangnya kepada

para pengumpul yang juga bekerja sebagai petani. Disamping itu,

terdapat petani membentuk kelompok-kelompok tani. Hasil produksi

kelompok tani dijual ke pabrik tepung umbi kayu/singkong (tepung

cassava).
2. Pedagang pengumpul menjual ke rantai berikutnya yakni pedagang

besar juga menjual kepada industri pengolah lain seperti industri

tapioka, industri gaplek dan industri makanan yang berbasis umbi kayu

atau langsung ke pasar-pasar tradisional.


3. Pedagang besar, berperan membeli umbi kayu dari pedagang

pengumpul (biasanya skala kecil) untuk dijual ke pasar tradisional atau

ke industr/ pabrikan.
4. Industri Tapioka, ada dua jenis bentuk tepung Aci dan tepung asia.

Bahan baku selain dari umbi kayu juga dalam bentuk granul. Hasil

industri tapioka ini di pasarkan ke pedagang besar / distributor untuk

kemudian di pasarkan ke pengecer.


5. Industri tepung umbi kayu (cassava), dalam memasarkan hasil

produksinya masih terbatas dengan menggunakan lembaga pemasar

yaitu gabungan kelompok tani (Gapoktan), dari Gapoktan dipasarkan ke

Pabrik roti di Bandung, Pabrik macaroni, Pabrik krupuk mie dan pabrik

krupuk.
6. Industri makanan kecil/ kue-kue umbi kayu, mendapat pasokan

langsung dari petani atau pedagang pengumpul . Jenis- jenis yang

dihasilkan industri yang langsung menggunakan umbi kayu cukup

banyak, seperti kripik singkong, stik, tape singkong (pieyeum) dan

lainnya.
c. Industri Pengolahan Umbi

Industri pengolah yang berbahan baku langsung dari umbi kayu

sudah banyak dijumpai jenis produknya seperti kripik singkong, stik

singkong, peuyeum/ tape singkong, gemblong, singkong goreng dan

lainnya. Sedangkan jenis produk yang berbahan baku langsung dari umbi

jalar antara lain kripik umbi jalar, stik umbi jalar, pasta, dan lainnya.

Tepung umbi kayu, sudah lama dikenal adalah tepung tapioka, tepung

gaplek dan tepung mocca yang banyak kegunaannya. Tepung tapioka

dapat digunakan dalam industri makanan (kerupuk, mei, mihun, kue


kering dan basah, roti, ice krim), industri farmasi, kertas, tekstil, perekat,

caustic soda dan lainnya. Pada saat ini juga terdapat industri tepung umbi

kayu (cassava) yang kegunaannya sudah cukup banyak seperti untuk

industri krupuk (mie glosor), roti, kue bronis, biscuit. Industri tepung

umbi kayu sebagai bahan industri pengguna sepert tersebut diatas

mempunyai pengaruh membantu menaikkan pendapatan petani dan

menunjang pengembangan industri pengguna lain. Khususnya tepung

cassava, teknologi pembuatan tepung ini belum banyak diketahui oleh

masyarakat pedesaan. Teknologi merupakan salah satu faktor untuk

menunjang keberhasilan pengembangan sistem agroindustri dengan

aspek tepat guna, efesiensi dan mudah diterapkan. Pengembangan

tepung cassava yang merupakan bentuk olahan setengah jadi

(intermediate product) baik dalam bentuk granul dan tepung yang dapat

memperpanjang daya simpan, menghemat ruang simpan, meningkatkan

nilai guna, mudah diolah dan diformulasi menjadi tepung komposit.Dari

tepung cassava komposit dari campuran terigu, tapioka akan memilki

nilai gizi yang tinggi dan rasa yang dapat diterima.

3. PENUTUP

Rantai pasok pangan atau yang sering disebut food supply chain adalah

hal yang sangat penting dalam agroindustri. Produk dari produsen menuju ke

konsumen tidak akan sampai jika tanpa adanya rantai pasok ini. Produk-produk

tersebut perlu didistribusikan sehingga konsumen juga dapat terpenuhi

kebutuhannya. Banyak pihak yang berperan pada rantai pasok ubi kayu misalnya,
terdapat petani ubi kayu, pengumpul, industri yang memroses ubi kayu,

distributor dan konsumen yang berperan dalam rantai pasoknya. Mereka yang

sangat menentukan bahwa nantinya bahan pangan dan produk makanan akan

sampai kepada konsumen.

Di dalam rantai pasok, produk agroindustri tidak hanya sekedar sampai

kepada konsumen saja, tetapi juga dibutuhkan ketepatan waktu, ketepatan jumlah

(kuantitasnya), dan tentunya kualitas yang baik (Dani, 2016). Hal ini juga

diharapkan dapat menunjang kebutuhan manusia yang akan terus meningkat

jumlahnya. Maka dalam rantai pasok ini haruslah terdapat jaminan logistik

sehingga tidak amenimbulkan kekurangan atau bahkan kelangkaan. Oleh karena

itu, pendistribusian produk-produk agroindustri ini harus dilakukan dengan cepat

namun, tetap harus mempertahankan kualitasnya. Cara-cara yang dilakukan ialah

dengan melakukan inovasi teknologi sehingga produk tersebut dapat bertahan

selama pendistribusiannya, maupun perbaikan sistem dalam pendistribusiannya.

Umbi-umbian merupakan bahan pangan yang dapat dikembangkan dan

dapat dikenalkan kepada masyarakat, terutama sebagai sumber karbohidrat.

Dengan adanyaa rantai pasok maka akan mempermudah persebaran bahan

pangan ini. Tidak hanya di daerah penghasil umbi-umbian saja namun, juga ke

seluruh wilayah di Indonesia. Berbagai produk makanan dari bahan umbi-umbian

telah banyak beredar di pasaran tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan secara

maksimal. Dari segi kuantitasnya, hasil panen di berbagai daerah cukup tinggi

dan cenderung mengalami peningkatan namun, tidak secara signifikan.


Umbi-umbian misalnya ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku

berbagai produk pangan, misalnya mie, roti, snack, dan biskuit. Permintaan yang

datang dari konsumen pun juga cukup besar. Umbi-umbian dapat dengan mudah

tumbuh subur di Indonesia tetapi ubi kayu itu sendiri pada dasarnya cepat apek

dan busuk ditandai dengan bintik ungu kehitaman jika tidak ditangani dengan

cepat dan tepat. Oleh karena itu, rantai pasok dari pemanenan menuju ke proses

pengolahan sebisa mungkin dengan waktu yang singkat tetapi tetap menjaga

kualitasnya.

Berbagai inovasi teknologi tentu saja perlu dikembangkan agar dapat memenuhi

kebutuhan konsumen akan produk pangan berbahan umbi-umbian tersebut

sehingga mengurangi impor. Teknologi pengolahan, logistik, dan transportasi

penunjang dalam industri ini harus diperbaiki ataupun diganti dengan teknologi

yang lebih efisien, canggih, dan mudah dalam pengoperasiannya. Proses

pendistribusiannya sebisa mungkin harus menjangkau lapisan masyarakat,

sehingga dapat memperbesar peluang untuk lebih mengenalkan produk olahan

dari umbi-umbian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Al Budiono, Yuniarti, Suhardi, Suharjo dan Wigati Istuti. 2004. Kajian

Pengembangan Agroindustri Aneka Tepung di Pedesaan.

Ballou, R. H., S. M. Gilbert, and A.Mukherjee. 2000. New Managerial

Challenges from Supply Chains Opportunities. IEEE Engineering

Management Review. Third Quarter 2000 : 7-19.

Djuwardi, A. 2008. Optimalisasi Potensi Tepung Kasava, Prospek Bisnis dan

Peluangnya. Makalah dalam Pembahasan Diversifikasi Produk

Olahan Umbi-umbian dalam Rangka Mensubtitusi Terigu. Hotel

Nalendra Bandung, 30 April 2008.

Julie Puspa Anggraeni, Faisal Anwar, dan Ali Khomsan. 2005. Mempelajari

Substitusi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas lam) Terhadap Tepung

Gandum dan Tepung Beras dalam Pembuatan Kue Jajan Pasar.

Faperta, Media Gizi dan Keluarga, 1995, XiX (1) : 52-59

Marzempi dan Fauzan Azima. 1996. Pemanfaatan Tepung Ubi Kayu sebagai

Bahan Pensubtitusi Terigu dalam Pembuatan Mie yang difortifikasi

dengan Tepung Jagung. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas, 01 (01) :

hal 56.

M. Syamsul Maarif, Adil Basuki Arza, Meutia Rachamaniah, Suhadi Harjo. 1984.

Studi Pengembangan Proses Pembuatan Tepung Tapioka dari

Singkong. Press, Fak. Teknologi Pertanian IPB.


Ning Ima Arie W, Irma Susanti, Tita Afiana, dan Atih S. Herman. 2008. Potensi

Umbi-umbian dan Serealia dalam Menunjang Diversifikasi Pangan

Berbasis Sumberdaya Lokal. Jurnal Riset Industri.

Tambunan, M. 1999. Pengembangan Jaringan Bisnis UKM Melalui Subkontrak.

Center for Economic and Social Studies (cESS). Tidak dierbitkan

Tejasari & Tim. 2001. Kajian Tepung Umbi-umbian Lokal sebagai Bahan Pangan

Olahan Kerjasama antara Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur

dengan Fak. Teknologi Pertanian Univ. Jember.

Anda mungkin juga menyukai