Anda di halaman 1dari 50

Referat

MANAGEMENT SEPSIS DAN SYOK SEPTIK

oleh:

Dewi Liputadika 1740312034

Reynaldo Rahima Putra 1740312108

Wahyu Zikra 1810312291

Preseptor:

dr. Beni Indra, Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

PADANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis adalah disfungsi organ akibat kegagalan regulasi respon imun tubuh

terhadap infeksi yang mengancam nyawa.1 Sepsis telah menjadi fokus masalah

kesehatan di seluruh dunia dan berkaitan dengan tingginya angka mortalitas di

berbagai negara. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di 10.069 pasien

intensive care unit (ICU) yang dilakukan oleh The Intensive Care Over Nations

(ICON), sebanyak 2.973 pasien (25,9%) mengalami sepsis saat masuk rumah

sakit atau selama rawatan.2 Data insiden sepsis di Indonesia masih belum lengkap,

tetapi penelitian tentang insiden sepsis di berbagai center pendidikan telah

dilakukan seperti penelitian yang dilakukan Irawan dkk yang mendapatkan hasil

kematian akibat sepsis sebesar 16,7% dengan rerata kejadian sebesar 47,27 kasus

per tahunnya.3 Selain itu, dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa sebanyak

27,0% kasus adalah sepsis berat, 14,58% syok septik dan 53,33% adalah kasus

sepsis. Penelitian yang dilakukan Hidayati di RSUP Dr. M. Djamil menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan kejadian tiap tahunnya sejak 200 hingga 2013 yaitu

351 pasien, 512 pasien, 757 pasien dan 734 pasien.4

Secara klinis, sepsis diklasifikasikan berdasarkan keparahannya menjadi

sepsis dan syok septik. Sepsis dapat berkembang menjadi syok septik yaitu suatu

kondisi lanjut dari sepsis yang ditandai abnormalitas sirkulasi dan metabolik atau

seluler yang dapat meningkatkan risiko kematian.1 Kondisi sirkulasi yang

memenuhi kriteria syok septik adalah hipotensi yang menetap sehingga

membutuhkan vasopressor untuk mencapai MAP ≥65 mmHg dan serum laktat >2
mmol/L (18mg/dL) dengan resusitasi cairan yang adekuat. Syok septik dapat

meningkatkan mortalitas lebih dari 40%. Pasien sepsis harus dapat diidentifikasi

pada awal rawatan karena keterlambatan penilaian derajat sepsis dan pemberian

antibiotik berkaitan dengan peningkatan mortalitas di rumah sakit. Berdasarkan

uraian diatas, dapat disimpulkan perlunya pengetahuan tentang sepsis dan syok

septik serta strategi penatalaksanaan yang tepat untuk mengurangi tingkat

mortalitas akibat kondisi tersebut.

Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang diketahui atau dicurigai

ditambah manifestasi sistemik dari infeksi (misalnya, sindrom respons

inflamasisistemik tradisional kriteria-takikardia, takipnea, perubahan jumlah darah

putih, dan demam/ hipotermia serta gangguan metabolik lainnya atau disfungsi

organ).1Sepsis berat adalah penyebab utama kematian di rumah sakit. Diagnosis

dini, pemberian antibiotik awal, dan resusitasi cairan yang cukup merupakan

kunci dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis.2

Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama seperti

serangan jantung atau stroke karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen

dan nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan penanganan kegawatdaruratan

segera.2Hal tersebut yang menjadikan sepsis sebagai penyebab tersering

perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU). Selain itu, berdasarkan

epidemiologinya sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap

tahunnya dengan insiden diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000


populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Penelitian epidemiologi

sepsis di Amerika Serikat menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi

yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-

anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun).2

1.2 Batasan Masalah

Dalam makalah ini akan disajikan beberapa aspek penting dari sepsis dan

syok septik, diantaranya: definisi, etiologi, patofisiologi, pemeriksaan dan

diagnosa, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

tentang sepsis dan syok septik serta sebagai salah satu syarat dalam menjalani

kepaniteraan klinik di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatu


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan infeksi bersama dengan

manifestasi sistemik dari infeksi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis

ditambah dengan disfungsi organ akibat sepsis atau hipoperfusi jaringan. Syok

septik didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis yang menetap

meskipun resusitasi cairan yang diberikan sudah adekuat. Hipoperfusi jaringan

yang diinduksi infeksi didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi infeksi,

peningkatan laktat, atau oliguria. Hipotensi yang diinduksi oleh sepsis

didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP) <90 mmHg atau tekanan arteri

rata–rata (MAP)<70mmHg atau penurunan SBP>40 mmHg atau kurang dari dua

standar deviasi di bawah normal untuk usia tanpa adanya penyebab lain dari

hipotensi.3

Sepsis bisa disebabkan oleh banyak kelas mikroorganisme. Mikroba yang

masuk ke peredaran darah tidak esensial, sampai terjadi inflamasi lokal dan juga

adanya kerusakan organ yang jauh serta hipotensi. Pada kenyataannya kultur

darah terdapat bakteri atau jamur hanya sekitar 20-40% dari kasus severe sepsis

dan 40-70% pada kasus syok.4

2.2 Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan

presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat

menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.10

Gambar 2.Etiologi Sepsis 7

Tabel 2.Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis.2

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi

dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau

disingkat menjadi PIRO (predisposing factors, insult, response and organ

dysfunction) seperti pada tabel 3.


Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada

sepsis 10

Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ

pada sepsis 3

2.3 Patogenesis

Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang

berat. Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan
berlangsung terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena

proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan

dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari

peradangan biasa.6

Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi pelepasan mediator-mediator

inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan

antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-, interferon γ

yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang

menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor

antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau

represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini

bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi

proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon

proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi

kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat

gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan

konskuensi dari kelebihan respon anti infalmasi adalah alergi dan

immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga

menciptakan kondisi ketidakharmonisan imunologi yang merusak.6


Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika

bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan

endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat

antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida

antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan

perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan

mengekspresikan imunomodulator.6

Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka

dapat berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag

yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan

sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida

spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen

yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit

Th2) dengan perantara T-cell Reseptor. 6

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan

mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai
immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony

Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-

10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β

yang merupakan sebagai imunoregulator utama juga memiliki efek pada sel

endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2)

dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang

menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.3

Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding

endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.

Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas

(nitratoksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga

endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.

Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan

hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.6

Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-

6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi

pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil

metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantinoksidase, dan hasil metabolisme

asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya

bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan,

membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun

bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia

akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan
bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi,

kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.6

Gambar 5.Patogenesis sepsis 13


Gambar 6.Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis 6

Hubungan Inflamasi dengan Koagulasi

Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang

merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu

gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor,

dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNFα dan

memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat menghambat

fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC)

dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif

tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-

activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi

trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak

terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator

inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang


sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini

menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang

dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu

kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa. 6

Gambar. 7. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ 14

Gambar 8. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi4


2.4 Gejala Klinis

Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului

oleh tanda-tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif

seperti lelah, malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang

paling sering adalah paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan

lunak dan sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada

penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering

diikuti dengan syok.7

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentase

60-70% dari kasus, yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat

menstimulasi sel imun. Sel tersebut kemudian dipacu untuk melepaskan mediator

inflamasi. Produk yang berperan penting dalam sepsis adalah lipopolisakarida

(LPS). LPS berfungsi merangsang peradangan pada jaringan, demam dan syok

pada pasien yang terinfeksi. Bakteri gram positif lebih jarang menyebabkan sepsis

jika dibandingkan bakteri gram negatif. Angka kejadiannya hanya berkisar 20-

40% dari keseluruhan kasus.

Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.

Eksotoksin berbagai kuman juga dapat menjadi faktor penyebab karena dapat

merusak integritas membran sel imun secara langsung. Dari semua faktor tersebut

yang terpenting adalah LPS endotoksin gram negatif yang dinyatakan sebagai

penyebab sepsis terbanyak. LPS tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang

pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis.

Makrofag mengeluarkan polipeptida yang disebut tumor necrosis factor

(TNF) dan interleukin (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan
sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise yang

mengalami sepsis.

TABEL 1. KRITERIA DIAGNOSIS SEPSIS

Variabel General

Demam ( > 38,3° C)

Hipotermia (temperatur < 36° C)

Heart Rate > 90/ menit atau lebih besar 2 kali dari nilai normal dalam kategori umur

Takipnea

Status mental yang berubah

Edema yang signifikan atau balans cairan yang positif (> 20 ml/kg dalam 24 jam)

Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa adanya kehadiran

Diabetes

Variabe Inflamatori

Leukositosis (hitungan sel darah putih > 12.000 /μL)

Leukopenia (hitungan sel darah putih < 4.000 /μL)

Hitungan sel darah putih dalam batas normal dengan bentuk imatur> 10%

Protein Plasma-C reaktif 2x lebih besar dari nilai normal

Prokalsitonin plasma 2x lebih besar dari nilai normal

Variabel Hemodinamik

Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik< 90mmHg, tekanan rata-rata arteri < 70 mmHg,

atau tekanan darah sistolik menurun > 40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari dua

kali dibawah nilai normal pada kriteria umur

Variabel Disfungsi Organ

Hipoksemia arterial (PaO2 /Fio2 < 300)


Oliguria akut (pengeluaran urin< 0,5 mL/ kg/ jam selamapaling tidak 2 jam setelah

pemberian resusitasi cairan yang adekuat)

Peningkatan Kreatinin> 0,5 mg/ dL atau 44,2 μmol/ L

Koagulasi yang abnormal ( INR > 1,5 atau aPTT> 60 s)

Ileus ( ketiadaan bunyi bowel)

Trombositopenia (hitungan platelet < 100.000 /μL)

Hiperbilirubinemia (bilirubin total dalam plasma > 4 mg/dL atau 70 μmol/ L)

Variabel Perfusi Jaringan

Hiperlaktatemia ( > 1 mmol/L)

Penurunan pengisian kapiler / mottling

WBC = white blood cell; SBP = systolic blood pressure; MAP = mean arterial

pressure; INR = international normalized ratio; aPTT = activated partial

thromboplastin Time.

Kriteria diagnosis sepsis pada populasi pediatric adalah tanda dan gejala inflamasi

ditambah dengan infeksi dengan hiper atau hipotermia (suhu rektal>38,5 ° atau <

35°C), takikardia (mungkin tidak ada pada pasien dengan hipotermi), dan

setidaknya terdapat satu dari indikasi fungsi organ yang berubah: perubahan status

mental, hipoksemia, peningkatan laktat dalam serum, atau denyut nadi pols yang

bounding.

Diadaptasi dari Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001

SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care

Med 2003; 31: 1250–1256.


TABEL 2. SEPSIS BERAT

Definisi sepsis berat + sepsis yang diinduksi oleh hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ

(atau salah satu dari daftar berikut yang dikarenakan infeksi)

Sepsis yang diinduksi hipotensi

Nilai laktat diatas nilai normal secara laboratorium

Pengeluaran urin < 0,5 mL/kg/jam setelah lebih dari 2 jam pemberian resusitasi cairan

yang adekuat

Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 < 250 dengan ketiadaan pneumonia sebagai sumber

infeksi

Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 < 200 dengan adanya pneumonia sebagai sumber

infeksi

Kreatinin>2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)

Bilirubin > 2mg/dL (34,2 μmol/L)

Platelet < 100.000 Μl

Koagulopati (international normalized ratio > 1,5)

Diadaptasi dari Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001

SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care

Med 2003; 31: 1250–1256

2.5 Pengelolaan Sepsis Berat : Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi

2.5.1. Resusitasi Awal

Dalam menentukan pasien mengalami sepsis atau tidak, klinisi dapat

menggunakan kriteria Quick Sepsis-related Organ Failure Assessment (qSOFA)

untuk skrining pasien-pasien dengan infeksi. Penggunaan skoring ini lebih mudah
dilakukan dibandingkan menggunakan Sepsis-related Organ Failure Assessment

(SOFA) karena tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Sepsis dapat

ditegakkan apabila hasil yang didapatkan dari qSOFA positif pada 2 dari 3 kriteria

antara lain laju pernapasan ≥ 22 kali per menit, perubahan kesadaran (skor

Glasgow Coma Scale ≤13) dan tekanan darah sistolik ≤100 mmHg. Sepsis dapat

berlanjut menjadi syok septik apabila terdapat kondisi klinis sepsis dengan

hipotensi yang menetap dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan

MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L atau 18 mg/dL walaupun

resusitasi sudah memadai.

Gambar. Alur Diagnosis Sepsis dan Syok Septik8

RESUSITASI AWAL PASIEN SEPSIS DAN SYOK SEPTIK

Hal yang sangat perlu diperhatikan pada pasien dengan sepsis dan syok

septik adalah sirkulasi yang terganggu akibat respon imun tubuh terhadap infeksi.
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah dengan resusitasi cairan.

Pemberian cairan yang adekuat diharapkan dapat memperbaiki kondisi pasien

sebelum diberikan terapi definitif yaitu antibiotik untuk mengatasi infeksi

penyebab.

Gambar 1. Algoritma resusitasi cairan pada syok septik

Resusitasi cairan awal pada sepsis dan syok septik sebaiknya segera

dilakukan saat diketahui hipoperfusi diakibatkan oleh sepsis. Pemberian cairan

dimulai dengan memberikan kristaloid 30cc/kgBB intravena dalam 3 jam

pertama. Saat pemberian cairan dilaksanakan, perlu juga dipantau oksigenasi dan

responsivitas cairan untuk melihat apakah terapi yang diberikan berhasil atau

tidak. Penilaian respon resusitasi cairan yang klinisi berikan merupakan evaluasi
dari tindakan yang diberikan dan mendapatkan informasi apakah dapat dilanjutkan

tatalaksana sehingga kondisi pasien menjadi lebih baik. Teknik yang umum

digunakan dalam resusitasi cairan antara lain :

a. Passive Leg Raising Test

Teknik ini dapat diaplikasikan pada pasien yang bernapas spontan maupun

dengan ventilator serta cukup efektif pada pasien aritmia. Evaluasi yang dilakukan

pada teknik ini adalah adanya peningkatan curah jantung sebesar 10-15% dari

nilai awal untuk menilai respon terapi. Apabila monitoring curah jantung tidak

tersedia, maka dapat dilakukan penilaian pulse pressure dengan nilai responsif

apabila pulse pressure bertambah 10% atau lebih dari baseline.

Gambar 3. Algoritma Pressure Leg Raising Test


b. Fluid Challenge Test

Teknik ini digunakan untuk menilai perubahan isi sekuncup (stroke volume)

atau tekanan sistolik atau pulse pressure. Perubahan nilai CVP juga dapat

menjadi indikator apabila monitoring curah jantung tidak memadai.

Gambar 3. Algoritma penilaian CVP sebagai indikator resusitasi cairan

Indikator keberhasilan resusitasi cairan yang paling mudah untuk dinilai

adalah mean arterial pressure (MAP). MAP digunakan sebagai penilaian perfusi

jaringan, terutama pada pasien dengan gangguan sirkulasi termasuk sepsis dan

syok septik. Rekomendasi target MAP pada pasien syok septik adalah 65 mmHg.

Hipotensi arterial yang lama dapat mengakibatkan syok yang ireversibel serta

meningkatkan mortalitas. Norepinefrin direkomendasikan sebagai vasopresor lini


pertama dengan penambahan vasopressin sampai 0,03 µ/ menit atau epinefrin

sampai mencapai MAP yang diinginkan. Penggunaan dopamin sebagai vasopresor

hanya digunakan pada pasien yang berisiko rendah mengalami takiaritmia dan

bradikardi.

Gambar 4. Algoritma penggunaan vasopresor pada syok septik

Indikator lain yang dapat digunakan adalah pemantauan kadar laktat serum.

Peningkatan kadar laktat memiliki korelasi dengan prognosis yang lebih buruk.

Laktat digunakan sebagai indikator yang lebih baku karena pengukuran yang

sudah terstandarisasi dan penanda perfusi jaringan yang lebih objektif. Selain

laktat, dapat digunakan penilaian CO2 gap sebagai gambaran metabolisme


anaerob. Rasio perbedaan tekanan CO2 (Pv-Aco2) dengan perbedaan kandungan

oksigen arteri-vena (Ca-vO2) merupakan prediktor metabolisme anaerob yang

lebih baik dengan baseline ≥1,8 mmHg/mL.

Setelah resusitasi cairan awal telah dilakukan, pemberian cairan tambahan

berdasarkan status hemodinamik dilakukan secara berkala. Penilaian lain yang

dapat dilakukan setelah resusitasi meliputi pemeriksaan klinis dan evaluasi

komponen fisiologis antara lain :

 Tekanan darah

 Saturasi oksigen arteri

 Denyut nadi

 Capilarry refilling time

 Mottling score

 Frekuensi pernapasan

 Suhu

 Produksi urin

 Monitoring cardiac output

Gambar 2. Mottling score


2.5.2. Skrining untuk Sepsis dan Peningkatan Kinerja

1. Disarankan skrining rutin terhadap pasien yang berpotensi terinfeksi serius

untuk sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi awal sepsis dan

memungkinkan pelaksanaan terapi sepsis lebih awal.

2. Upaya perbaikan kinerja pada sepsis berat harus digunakan untuk

meningkatkan hasil akhir terhadap pasien.7

2.6 Diagnosis

Dalam mendiagnosis sepsis, diperlukan anamnesa dan pemeriksaan yang

menyeluruh.7
Tabel 4. Sepsis menurut Society of Critical Care Medicine 7

2.7 Data Laboratorium


Tabel. 5. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis5

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien

langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus

infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ.7

 Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan dimulai dari airway,

breathing dan circulation

3 kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu8 :

o Terapi cairan

 Karena sepsis dapat menyebabkan syok disertai demam, vena

dilatasi dan diffuse capillary leackageinadequate preload

sehingga terapi cairan merupakan tindakan utama8

o Terapi vasopresor

 Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial

pressure dan perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan


vasopresor potensial seperti norepinefrin, dopamine, epinefrin

dan phenylephrine8

o Terapi inotropik

 Bila resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih

mengalami gangguan dimana kebanyakan pasien akan

mengalami cardiac output yang turun sehingga diperlukan

inotropik seperti dobutamin, dopamine dan epinefrin.8

o Antibiotik

Sesuai jenis kuman atau tergantung suspek tempak infeksinya


Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic

Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)7

o Fokus infeksi awal harus diobati

Hilangkan benda asing yang menjadi sumber infeksi. Angkat organ

yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang menjadi gangrene,

bila perlu dikonsultasikan ke bidang terkait seperti spesialis bedah, THT

dll.3

o Terapi suportif, mencangkup9 :

o Pemberian elektrolit dan nutrisi

o Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal

o Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin

o Regulasi ketat gula darah

o Heparin sesuai indikasi

o Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI

o Transfuse komponen darah bila diperlukan

o Kortikosteroid dosis rendah (masih kontroversial)

o Recombinant Human Activted Protein C :

Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis Phase III

menunjukkan drotrecoginalfa yang dapat menurunkan resiko relative


kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut yang terkait

sebesar 19,4% yang dikenal dengan nama zovant. 6

2.9 Komplikasi

o MODS (disfungsi organ multipel)

Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan

perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan

fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam

pathogenesis ini.10

Gambar 9. Sepsis menyebabkan MODS 9


Gambar 10. MODS karena sepsis 11

o KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)

Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata

disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah

dijelaskan pada patogenesis sepsis diatas.

o Disungsi hati dan jantung, neurologi

o ARDS

Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran

darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan

edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi

paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal

akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan

Acute Respiratory Distress Syndrome.


Gambar 11. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS

o Gastrointestinal :

Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang

intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran

pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial

akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat menyebabkan penekanan

pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan bakteri dalam usus

translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran limfe).12

o Gagal ginjal akut

Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal.

vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang

menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal. 9


Gambar 12a dan b. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut11
o Syok septik5

o Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah

dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah

karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi

secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi

hipovelemia relatif.

o Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1, IFN-

γ, dan TNF-α) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi

influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi

dengan kalmodulin membentuk NO dan melepaskan Endothelium Derived

Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang menyebabkan hiperpolarisasi,

relaksasi dan vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi.


ALGORITMA PENATALAKSANAAN RESUSITASI DAN SEPSIS12
2.2 Tatalaksana Sepsis Sesuai SSC 2018

Sejak publikasi pertama dari Surviving Sepsis Campaign mengenai

pedoman tatalaksana sepsis tahun 2004 hingga dibentuknya rekomendasi sepsis

bundle ini dibuat telah banyak dilakukan pembaharuan berdasarkan bukti klinis

dan hasil penelitian terbaru. Pada sepsis bundle edisi sebelumnya dikenal bundle-3

dan bundle-6 yang artinya kumpulan tatalaksana awal pasien sepsis yang harus

dilakukan dalam 3 jam pertama dan 6 jam pertama sejak pasien masuk rumah

sakit. Tahun 2018, sepsis bundle direvisi menjadi bundle-1 dimana semua

rekomendasi pada bundle-3 dan bundle-6 digabungkan dan harus dilaksanakan

pada 1 jam pertama sejak time zero yaitu waktu pasien masuk triase pada instalasi

gawat darurat ataupun masuk ke bagian lain sebagai rujukan dari rumah sakit lain

dengan data-data yang menunjukkan ke arah sepsis.13

Berdasarkan pedoman tatalaksana sepsis dan syok sepsis tahun 2016,

keadaan sepsis dan syok sepsis tergolong kepada kondisi gawat darurat yang

membutuhkan penanganan dan resusitasi segera. Pada pasien sepsis, cenderung

terjadi hipotensi yang mengancam pada kecukupan perfusi jaringan. Resusitasi

pada pasien sepsis dan syok sepsis dapat terjadi melebihi 1 jam, tetapi inisiasi

untuk tatalaksana harus dimulai dalam 1 jam ini. Tindakan resusitasi awal yang

biasanya dilakukan adalah berupa pemberian cairan kristaloid dengan target untuk

menuju kadar laktat normal sebagai indikator hipoksia jaringan, pengambilan

sampel darah untuk pemeriksaan mikrobiologis dan terapi antibiotik tanpa

penundaan serta inisiasi penggunaan vasopressor.13Sepsis bundle-1 dirangkum

pada tabel 1.
Gambar 1.Hour-1 Surviving Sepsis Campaign Bundle of Care

Berikut akan dibahas masing-masing rekomendasi dalam sepsis bundle-1.

2.2.1 Hitung kadarlaktat

Pada pasien sepsis dan syok sepsis akan terjadi gangguan hemodinamik

yang membuat perfusi jaringan wajib dipantau seadekuat mungkin. Pemantauan

perfusi jaringan menjadi langkah yang esensial untuk mencegah kegagalan

sirkulasi akut yang dapat berujung pada kerusakan organ-organ vital, seperti

jantung, ginjal dan otak. Evaluasi terhadap perfusi jaringan dapat dilakukan secara

klinis ataupun dengan menggunakan biomarker. Dalam penggunaan biomarker,

kadar laktat menjadi parameter objektif untuk menilai adekuitas oksigenasi ke

jaringan.14

Pada metabolisme normal dengan kecukupan suplai oksigen ke jaringan

maka proses pembentukan energi di tingkat seluler akan terjadi secara aerobik

dengan reaksi kimia yang terjadi seperti berikut :

Semua metabolisme baik karbohidrat, lemak ataupun protein akan menjadi

suatu produk umum yaitu asetil-KoA yang kemudian akan dioksidasi dalam siklus

asam sitrat untuk membentuk energi. Tetapi pada kasus tidak cukupnya sirkulasi

oksigen ke jaringan maka proses pembentukan energi akan berlangsung secara


anaerob dengan hasil produknya laktat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut

Jumlah ATP yang dihasilkan pada reaksi anaerob pun lebih sedikit

dibandingkan pada metabolisme aerob.Pembentukan laktat terjadi pada hampir

seluruh jairngan, yaitu otot lurik, otak, sel darah merah dan ginjal. Pada kondisi

normal, pembentukan laktat juga terjadi dalam derajat ringan dengan proses

pembersihannya yang juga seimbang yaitu 320 mmol/L/hari. Sehingga kadar

laktat darah pada kondisi normal dipertahankan dalam kadar <1 mmol/L.15

Sedangkan pada kondisi hipoksia, rantai pembentukan energi bergeser ke

anaerobik yang dapat meningkatkan kadar laktat dalam darah sehingga dipakai

sebagai parameter derajat hipoksia jaringan pada kasus syok. 16

Laktat bukanlah indikator langsung terhadap perfusi jaringan. Tetapi

peningkatan kadar laktat darah dapat mengindikasikan terjadinya hipoksia

jaringan, glikolisis aerobik yang meningkat akibat stimulasi beta-adrenergik

ataupun sebab lainnya. Pada lima percobaan terkontrol acak pada 647 pasien

dengan syok septik yang dilakukan resusitasi dengan memperhatikan kadar

laktatnya berhubungan dengan tingkat mortalitas yang secara signifikan lebih

rendah dibandingkan yang tidak dilakukan monitoring laktat.17,21 Laktat juga

berguna sebagai skrining pada pasien yang secara hemodinamis stabil. Pada studi

yang dilakukan oleh Shapiro dkk terhadap 1278 pasien dengan infeksi
memperlihatkan bahwa kadar laktat <2,5mmol/L dihubungkan dengan tingkat

mortalitas sebesar 28,4 %. Kadar laktat ≥4 mmol/L memiliki tingkat sensitifitas

36 % dan spesifisitas 92 % untuk kematian.22

Diagram 1. Hubungan kadarlaktat dan tingkat Mortalitas (Shapiro et al. Ann Emerg
Med. 2005; 45:524-28)

2.2.2 Pengambilan sampel kultur kuman

Pasien sepsis mengalami kondisi bakteremia yang berarti mengalami

infeksi dari sumber manapun yang mungkin, seperti seluruh rongga tubuh pasien,

adanya luka terbuka ataupun hal lainnya. Pengambilan sampel kuman untuk

dilakukan kultur agar dapat diketahui jenis patogen penyebab harus dilakukan

pada pasien sepsis tanpa melakukan penundaan substansial terhadap pemberian

antibiotik. Dalam pedoman tatalaksana Surviving Sepsis Campaign pada tahun

2016, panel merekomendasikan waktu paling lama 45 menit untuk mengambil

seluruh sampel infeksius dari pasien yang diduga kuat menjadi sumber infeksi.23

Pada pasien sepsis dapat dijumpai manifestasi klinis infeksi yang kentara

dari satu sistem organ tertentu, tetapi dapat juga tidak, sehingga membutuhkan

pertimbangan bersama dari tim klinisi penanggung jawab pasien. Berdasarkan

SSC 2016 sangat direkomendasikan pengambilan seluruh sampel tubuh pasien


sepsis yang berdasarkan riwayat penyakit dan gejala yang timbul besar dugaan

menjadi sumber infeksi.Tetapi rekomendasi ini sekali lagi bukan untuk diartikan

sebagai pengambilan pan-cultures yang beresiko terhadap penggunaan antibiotik

yang tidak rasional.

Pemeriksaan kultur mikrobiologis rutin yang baik idealnya terdiri atas dua

set sampel kultur darah yang aerobik dan anaerobik. Pengambilan darah sebisa

mungkin dilakukan pada satu waktu. Belum ditemukannya pengaruh yang

signifikan pada kultur kuman apabila dilakukan pengambilan darah serial ataupun

pada saat pasien sedang demam tinggi. Teknik pengambilan dan transport sampel

untuk kedua pemeriksaan ini berbeda. Sehingga ditakutkan akan menunda

pemberian antibitiotik empiris melebihi waktu yang direkomendasikan oleh SSC

2016. Pengambilan sampel setelah dilakukannya pemberian antibiotik tidak akan

berguna karena sterilisasi kultur dapat terjadi dalam hitungan menit hingga jam

setelah antibiotik diberikan.24

2.2.3 Pemberian antibiotik

Dalam pedoman tatalaksana sepsis dan syok sepsis tahun 2016

direkomendasikan pemberian antibiotik intravena pada pasien sepsis dan syok

sepsis dalam waktu 1 jam sejak ditegakkannya diagnose sepsis. Penelitian

menunjukkan bahwa adanya jeda yang panjang pada pemberian antibiotik dengan
25
saat pasien diketahui sepsis dapat meningkatkan angka mortalitas pasien

begitupun dengan gejala penyerta akibat kerusakan organ target yaitu ginjal26,

paru27 dan organ lainnya berdasarkan penggunaan skor Sepsis-Related Organ

Assessment.28 Patogenesis sepsis berhubungan dengan respon imun tubuh yang

berbeda terhadap infeksi sehingga mengakibatkan perembesan cairan ke


interstisial dan mengganggu keutuhan endotel pembuluh darah. Pemberian satu

antibiotik ataupun lebih yang berspektrum luas direkomendasikan untuk diberikan

kepada pasien sepsis ataupun syok sepsis dimana pilihan antibiotik tersebut

mampu melawan seluruh kemungkinan patogen yang menjadi etiologi.23

Pada pelaksanaan di lapangan, terdapat banyak alasan mengapa pemberian

antibiotik dapat terjadi penundaan. Faktor-faktor tersebut datang dari pasien

sendiri ataupun lingkungan (administrasi, pelayanan, kemampuan klinisi dll).

Contohnya adalah kurangnya perhatian dalam deteksi kondisi sepsis atau syok

sepsis serta kurangnya kepedulian untuk menanyakan riwayat pemakaian

antibiotik pasien sehingga dapat dilakukan praduga adanya resistensi antibiotik

tertentu. Solusi pada masalah-masalah tersebut adalah meningkatkan komunikasi

intra dan interpersonal staf rumah sakit, baik dokter, perawat dan pegawainya.

Pemberian instruksi untuk diberikannya antibiotik kepada pasien sebaiknya dibuat

tanda “CITO/STAT” sehingga seluruh elemen mengetahui bahwa kondisi pasien

sepsis adalah kondisi gawat darurat.23

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah akses

vena yang lancar.Saat resusitasi cairan dilakukan sebaiknya telah dipertimbangkan

juga mengenai akses vena yang cukup baik untuk diberikannya antibiotik.Apabila

pada saat itu, akses vena belum ditemukan maka akses intraoseus dapat menjadi

alternative. Bila hal ini sulit dilakukan maka pemberian dosis inisial antibiotik

melalui intramuscular juga diperbolehkan dan tersedia untuk beberapa golongan

antibiotik lini pertama beta-laktam, seperti imipenem/cilastatin, cefepime,

ceftriakson dan ertapenem.


Pemilihan antibiotik empiris merupakan hal yang paling penting dalam

manajemen efektif infeksi yang dapat membahayakan nyawa. Pertimbangan yang

harus dipikirkan adalah sebagai berikut :

1. Predileksi infeksi dengan melihat profil kuman dan sediaan antibiotik

2. Patogen yang prevalen di masyarakat, rumah sakit atau di kamar bangsal

3. Pola resistensi dari kuman-kuman yang ada di lingkungan tersebut

4. Ada atau tidaknya kondisi yang menyebabkan penurunan imunitas seperti

splenektomi, HIV, defek kongenital immunoglobulin dan masalah

produksi komplemen, limfosit dll.

5. Umur dan penyakit komorbid pada pasien yang tergolong kronis dan

gejala-gejala kegagalan organ target yang muncul.

6. Ada atau tidaknya alat-alat invasif seperti kateter vena sentral atau kateter

urin yang dapat membuat pasien rentan terhadap infeksi.

Dalam pemilihan antibiotik definitif, setelah hasil kultur kuman dan

sensitifitas keluar maka harus diganti ke antibiotik yang jauh lebih sensitif. Tetapi

bila hasil kultur negative dan antibiotik empiris menunjukkan perbaikan maka

bisa dilanjutkan dengan antibiotik tersebut.23

2.2.4. Berikan Cairan IV

Resusitasi cairan awal sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan

sepsis atau syok septik. Mengingat keadaan darurat medis ini, resusitasi cairan

awal harus dimulai segera setelah mengenali pasien dengan sepsis dan / atau

hipotensi dan peningkatan laktat, dan selesai dalam 3 jam dari awal diagnosis.

Pedoman merekomendasikan harus terdiri dari minimal 30mL / kg intravena

cairan kristaloid. Meskipun sedikit literatur dan data untuk mendukung volume
ini, studi intervensi baru-baru ini menggambarkan ini sebagai praktik biasa pada

tahap awal resusitasi, dan didukung bukti observasional. Tidak adanya manfaat

yang jelas setelah pemberian koloid dibandingkan dengan larutan kristaloid pada

subkelompok gabungan sepsis, bersamaan dengan biaya albumin, mendukung

rekomendasi yang kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi awal

pasien dengan sepsis dan septik.syok. Karena beberapa bukti menunjukkan bahwa

keseimbangan cairan positif terus menerus selama tinggal di ICU berbahaya

(33−37), pemberian cairan di luar resusitasi awal memerlukan penilaian yang

cermat dari kemungkinan bahwa pasien tetap responsif cairan.13

2.2.5 Terapkan Vasopressor

Restorasi mendesak tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah

bagian penting dari resusitasi. Ini tidak seharusnya terlambat. Jika tekanan darah

tidak pulih setelah cairan awal resusitasi, maka vasopressor harus dimulai dalam

jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) dari ≥ 65mm Hg.13

Rekomendasi penerapan vasopressor pada SSC 2016 adalah sebagai berikut:

Obat – obatan vasoaktif23

1. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopresor lini pertama

(strong recommendation, moderate quality of evidence).

2. Kami menyarankan penambahan vasopressin (sampai dengan 0,03 U/min)

(weak recommendation, moderate quality of evidence) atau epinefrin

(weak recommendation, low quality of evidence) dengan norepinefrin

untuk meningkatkan MAP (mean arterial pressure) sesuai target, atau

menambahkan vasopressin (sampai dengan 0.03 U/min) (weak


recommendation, moderate quality of evidence) untuk menurunkan dosis

norepinefrin.

3. Kami menyarankan untuk menggunakan dopamine sebagai vasopresor

alternatif pada norepinefrin hanya pada pasien tertentu (misalnya pasien

dengan takiaritmia resiko rendah dan bradikardi absolut atau relatif) (weak

recommendation, low quality of evidence).

4. Kami merekomendasikan untuk menggunakan dopamine dosis rendah

untuk melindungi ginjal (strong recommendation, high quality of

evidence).

5. Kami menyarankan untuk menggunakan dobutamin pada pasien yang

menunjukkan hipoperfusi persisten meskipun sudah diberikan cairan yang

adekuat dan menggunakan vasopresor (weak recommendation, low quality

of evidence). Jika diinisiasi, dosis harus dititrasi hingga titik akhir yang

menggambarkan perfusi, dan agen dikurangi atau dihentikan bila terjadi

perburukan hipotensi atau aritmia.

6. Kami menyarankan semua pasien yang membutuhkan vasopresor

memiliki kateter arteri yang sudah terpasang segera bila tersedia (weak

recommendation, very low quality of evidence).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Seluruh pasien yang ditemukan mengalami sepsis atau syok sepsis harus

dilakukan tatalaksana gawat darurat berupa resusitasi dan inisiasi terapi

lainnya.

2. Pada pedoman penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis yang dibuat oleh

Surviving Sepsis Campaign pada tahun 2018 menggabungkan seluruh

tatalaksana kepada pasien yang termasuk dalam bundle-6 dan bundle-3

menjadi bundle-1 sejak pasien ditemukan dalam konteks pelayanan kesehatan.

3. Terdapat lima langkah yang tercakup dalam bundle-1 yaitu penghitungan kadar

laktat darah, pengambilan sampel kultur sebelum diberikannya antibiotik,

berikan antibiotik intravena secepatnya, pemberian cairan kristaloid 30

ml/kgBB untuk resusitasi cairan dan berikan vasopressor dengan target inisial

MAP ≥65 mmHg.


DAFTAR PUSTAKA

1. R. Phillip Dellinger, MD. Consultant: Volume 54 - Issue 10 - October

2014The Surviving Sepsis Campaign 2014: An Update On The Management

And Performance Improvement For Adults In Severe Sepsis

2. PAPDI, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI, 2006.

3. Michael R Pinsky, MD, CM, FCCP, FCCM. Shock Septic.

http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview#a0156.Diunduh

Oktober 2018.

4. Besten, Andrew D. et al. 2009. Oh’s Intensive Care Manual Sixth Edition.

British Library

5. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine.Surviving Sepsis Campaign:

International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock,

2012. February 2013, Volume 39, Issue 2, pp 165–228. ISSN: 0342-4642

(Print) 1432-1238 (Online)

6. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. 2005. Pathophysiology of sepsis and

multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.

Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co. p: 1249-57

7. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Juang DT, et al. A

randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med

2014; 370(18):1683-1693

8. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi

cairan. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang:

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,2006.


9. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition

and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med. 2002;3:50-9.

10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi

IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43.

11. Sepsis. Available from :

http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/lectures/lecture/sepsis.htm.

diunduh pada Oktober 2018.

12. PB PAPDI. Panduan Tatalaksana Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit

Dalam Edisi I. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010. 123-5.

13. Mitchell ML, Laura EE dan Andrew R. The Surviving Sepsis Campaign

Bundle : 2018 Update. Society of Critical Care Medicine and the European

Society of Intensive Medicine. June 2018 ; 48(6) : 997-9. DOI

:10.1097/cccm.0000000000003119

14. Ahmed H, Ahmed M dan Heba N. Perfusion Indices Revisited. Journal of

Intensive Care. 2017;5(24):1. DOI 10.1186/s40560-017-0220-5

15. Andra LB. Lactate-A Marker for Sepsis and Trauma. 2007. EMCREG-

International.

http://emcreg.org/publications/monographs/acep/2006/alb_acep2006.pdf.

Diakses pada Oktober 2018.

16. Muller BM dan Dellinger RP. Lactate as a hemodynamic marker in the

critically ill. CurrOpinCrit Care. 2012;18(3):267–72.

17. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, et al; LACTATE studygroup.

Early lactate-guided therapy in intensive care unit patients: a multicenter,


open-label, randomized controlled trial. Am J RespirCritCare Med 2010;

182:752–761

18. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S, et al. Emergency Medicine Shock Research

Network (EMShockNet) Investigators: Lactate clearance vs central venous

oxygen saturation as goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial.

JAMA 2010; 303:739–746

19. Lyu X, Xu Q, Cai G, et al. Efficacies of fluid resuscitation as guided by lactate

clearance rate and central venous oxygen saturation inpatients with septic

shock. Zhonghua Yi XueZa Zhi 2015; 95:496– 500

20. Tian HH, Han SS, Lv CJ, et al. The effect of early goal lactate clearance rate

on the outcome of septic shock patients with severe pneumonia.Zhongguo Wei

Zhong Bing JiJiu Yi Xue 2012; 24:42–45

21. Yu B, Tian HY, Hu ZJ, et al. Comparison of the effect of fluid resuscitation

as guided either by lactate clearance rate or by central venous oxygen

saturation in patients with sepsis. Zhonghua Wei Zhong Bing JiJiu Yi Xue

2013; 25:578–58

22. Shapiro NI, Howell MD, Talmor D, et al. Serum lactate as a predictor of

mortality in emergency department patients with infection. Ann Emerg Med.

2005;45(5):524-528

23. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for Management of

Sepsis and Septic Shock : 2016. Society of Critical Care Medicine and

European Society of Intensive Care Medicine. Maret 2017; 53(3):494

24. Baron EJ, Miller JM, Weinstein MP, et al. A guide to utilization of the

microbiology laboratory for diagnosis of infectious diseases: 2013


recommendations by the Infectious Diseases Society of America (IDSA) and

the American Society for Microbiology (ASM). ClinInfect Dis 2013; 57:e22–

e121

25. Ferrer R, Martin-Loeches I, Phillips G, et al. Empiric antibiotic treatment

reduces mortality in severe sepsis and septic shock from the first hour: results

from a guideline-based performance improvement program. Crit Care Med

2014; 42:1749–1755

26. Bagshaw SM, Lapinsky S, Dial S, et al. Cooperative Antimicrobial Therapy of

Septic Shock (CATSS) Database Research Group: Acute kidney injury in

septic shock: clinical outcomes and impact of duration of hypotension prior to

initiation of antimicrobial therapy. IntensiveCare Med 2009; 35:871–881

27. Iscimen R, Cartin-Ceba R, Yilmaz M, et al. Risk factors for the development

of acute lung injury in patients with septic shock: an observational cohort

study. Crit Care Med 2008; 36:1518–1522

28. Garnacho-Montero J, Aldabo-Pallas T, Garnacho-Montero C, et al. Timing of

adequate antibiotic therapy is a greater determinant of outcome than are TNF

and IL-10 polymorphisms in patients with sepsis. Crit Care 2006; 10:R111

Anda mungkin juga menyukai