OLEH :
D1C1 14 131
KENDARI
2017
I. ANALISIS SITUASI
Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada
gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan
pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan
1999. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran
tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun
(anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada tahun
1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga prevalensi
pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki-laki
maupun perempuan.
2. Gizi Buruk
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan
kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar
rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk
merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein
(KEP) dalam makanan sehari-hari. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah
salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah
berupa kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejalaklinis KEP berat/gizi buruk
secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-
kwashiorkor.
Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status
gizi masyarkat, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh,
penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka
konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah
gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995,
2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI.
1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
2. Morbiditas
3. Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat
4. Pola Asuh
5. Pendidikan
6. Kemiskinan
Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi anak
anak serta determinan yang mempengaruhi masalah ini.
V. IMPLEMENTASI PROGRAM
Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik
dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur
pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994
ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah
keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak
dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali
peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang
dikategorikan sangat pendek.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro
dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi makro adalah
masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan
energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat
gizi mikro.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5 %
(1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan
prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.