Anda di halaman 1dari 20

Apakah Intoleransi Laktosa itu?

Oleh Asri Subarjati

Pendahuluan

Susu merupakan sumber nutrient yang penting untuk pertumbuhan bayi


mamalia, termasuk manusia, yang di dalamnya mengansung karbohidrat,
[1]
protein, lemak, vitamin, dan mineral. Di dalam susu dan produk susu lainnya
terkandung komponen gula atau karbohidrat yang dikenal dengan laktosa (gula
susu).[2] Laktosa adalah salah satu bentuk karbohidrat yang tersusun dari dua
ikatan monosakarida atau disebut disakarida yang terdiri atas glukosa dan
galaktosa. Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa
menyusui yang terjadi bila glukosa dan galaktosa uridin difosfat bereaksi
dengan bantuan lactose synthetase.[1]
Pada keadaan normal, tubuh dapat memecah laktosa dengan bantuan
enzim laktase. Berbeda dengan sebagian besar mamalia yang tidak lagi
memproduksi laktase sejak masa penyapihan, pada manusia, laktase terus
diproduksi sepanjang hidupnya. Tanpa laktase yang cukup manusia tidak
dapat/mampu mencerna laktosa sehingga akan mengalami gangguan
pencernaan seperti sakit perut dan diare yang dikenal sebagai intoleransi
laktosa atau defisiensi laktase.[2] Seseorang yang mengalami gangguan
pencernakan (maldigestion) laktosa, beberapa laktosa yang tidak dicerna
secara sempurna dalam usus halus terus masuk ke usus besar untuk
difermentasikan oleh mikroflora kolon yang dapat menghasilkan gas. [3] Hampir
95% bangsa Asia, 10-15 % ras Kaukasia, 50% bangsa Mediterania dan 75%
ras kulit hitam menderita hal yang sama, yaitu intoleransi laktosa. [4]

Sejak dari masa bayi hingga dewasa dan usia lanjut, orang terbiasa
mengkonsumsi susu atau produk susu. Saat usia bayi sampai usia balita
adalah saat dimana konsumsi susu biasanya sangat diperlukan karena nilai gizi
yang dikandung susu.[2]Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Intoleransi
Laktosa, alangkah baiknya jika kita memahami dulu komposisi susu dengan
cermat.

1
Komposisi Susu

Komposisi susu bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Faktor-


faktor yang mempengaruhi komposisi susu terutama spesies, variasi genetik
dalam spesies, kesehatan, lingkungan, manajemen, stadium laktasi, pakan dan
umur.[5] Komposisi secara normal, rata-rata susu mengandung lemak 3,9%;
protein 3,4%; laktosa 4,8%; abu 0,72%; air 87,10%; sitrat; vitamin A, B, C dan
enzim.[5]

1. Air
Susu mengandung air sebesar 87.90 %. Fungsinya sebagai pelarut
bahan kering.
2. Lemak
Besar kecilnya butiran lemak ditentukan oleh kadar air di dalamnya.
Makin banyak air makin besar globuler (butiran lemak dalam susu)
dan keadaan ini dikhawatirkan akan menjadi pecah. Bila globuler
pecah maka susu juga akan pecah. Dan susu yang pecah tidak dapat
dipisahkan lagi oleh krimnya, tidak dapat lagi dijadikan sebagai bahan
makanan. Dan akibatnya, susu akan menyerap bau di sekitar.Kadar
lemak dalam susu sangatlah berarti dalam penentuan nilai gizi susu
itu sendiri. Buckle et al., (1987) menyatakan kerusakan pada lemak
dapat terjadi merupakan sebab dari perkembangan cita rasa yang
menyimpang dalam produk-produk susu, seperti.[6]
a. Ketengikan, disebabkan karena hidrolisa dari gliserida dan
pelepasan asam lemak seperti butirat dan kaproat, yang punya bau
keras, khas dan tidak menyenangkan.
b. Tallowness yang disebabkan karena oksidasi asam lemak tak
jenuh.
c. Flavor teroksidasi yang disebabkan karena oksidasi fosfolipid.
d. Amis/bau seperti ikan yang disebabkan karena oksidasi dan
reaksi hidrolisa.
3. Protein
Protein rata-rata dalam susu sebesar 3.20%, terdiri dari 2.70% casein
(bahan keju), dan 0.50% albumen. Beberapa hari setelah induk sapi
melahirkan, kandungan albumin sangat tinggi pada susu dan akan
normal kembali setelah 7 hari.[5]
4. Laktosa

2
Kadar laktosa dalam susu dapat dirusak oleh beberapa jenis kuman
pembentuk asam susu. Pemberian laktosa pada susu dapat
menyebabkan mencret atau gangguan perut bagi orang yang tidak
tahan terhadap laktosa.[5]
5. Vitamin dan enzim
Bila susu dipanaskan, dipasteurisasi atau disterilisasi maka 10-30%
vitamin B1 akan hilang, dan vitamin C akan hilang sebesar 20-60%. [5]
Dalam komposisi susu dapat kita lihat adanya laktosa. Laktosa
merupakan karbohidrat jenis disakarida yang hanya dapat ditemukan dalam
susu.[6]

Manfaat Laktosa

Laktosa merupakan sumber energi yang memasok hampir setengah dari


keseluruhan energi yang dikandung susu (35-45%). Di samping itu laktosa juga
penting untuk absorbsi kalsium. Namun studi klinis menunjukkan, mineralisasi
tulang bayi yang mendapat formula susu sapi (mengandung laktosa) maupun
formula susu kedelai (karbohidratnya terdiri dari polimer glukosa) tidak ada
perbedaan. [1]

Galaktosa yang merupakan hasil hidrolisa laktosa, merupakan senyawa


yang penting untuk pembentukkan serebrosida. Serebrosida ini penting untuk
perkembangan dan fungsi otak. Galaktosa ini juga dibentuk oleh tubuh ( di hati)
dari bahan lain (glukosa). [1]

Karena itu keberadaan laktosa sebagai karbohidrat utama yang terdapat


dalam susu mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang unik. Proses evolusi
terpilihnya laktosa menjadi satu-satunya karbohidrat yang ada pada susu
mammalia, mungkin merupakan cerminan dari adanya fungsi laktosa yang
penting pada bayi mammalia belum diketahui secara pasti. Apakah sehubungan
dengan pencernakan/pertahanan, masih merupakan kemungkinan. [1]

Intoleransi Laktosa

Intoleransi Laktosa adalah kondisi di mana seseorang tidak mampu


mencerna laktosa, yaitu bentuk gula yang berasal dari susu. Ketidakmampuan

3
ini bisa disebabkan oleh kurangnya atau tidak mampunya tubuh memproduksi
laktase, yaitu salah satu enzim pencernaan yang diproduksi oleh sel-sel di usus
kecil yang bertugas memecah gula susu menjadi bentuk yang lebih mudah
untuk diserap ke dalam tubuh. Kondisi ini disebut juga Defisiensi Laktase
(Lactase Deficiency).[4]

Enzim laktase yang berfungsi memecah gula susu (laktosa) terdapat di


mukosa usus halus. Enzim tersebut bekerja memecah laktosa menjadi
monosakarida yang siap untuk diserap oleh tubuh yaitu glukosa dan galaktosa.
Apabila ketersediaan laktase tidak mencukupi, laktosa yang terkandung dalam
susu tidak akan mengalami proses pencernaan dan akan dipecah oleh bakteri
di dalam usus halus. Proses fermentasi yang terjadi dapat menimbulkan gas
yang menyebabkan kembung dan rasa sakit di perut. Sedangkan sebagian
laktosa yang tidak dicerna akan tetap berada dalam saluran cerna dan tidak
terjadi penyerapan air dari faeses sehingga penderita akan mengalami diare.
Menurut the World Allergy Organization, reaksi sampingan non toksik terhadap
makanan disebut hipersensitivitas, bukan alergi. Disebut alergi makanan jika
mekanismenya melibatkan reaksi imunologi, yang dapat diketahui dengan
pemeriksaan IgE. Adapun intoleransi makanan, merupakan hipersensitivitas
non alergi terhadap makanan.Frekuensi kejadian intoleransi laktosa pada ras
Kaukasia lebih sedikit/jarang dibandingkan pada orang Asia, Afrika, Timur
Tengah, dan beberapa negara Mediterania, dan juga pada ras Aborigin
Australia. Lima persen dari ras Kaukasia dan 75% dari yang bukan ras
Kaukasia yang tinggal di Australia mengalami intoleransi laktosa. [2]

Defisiensi Laktase

Defisiensi Laktase adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak mampu


memproduksi enzim lactase yang digunakan untuk mencerna laktosa, suatu
bentuk karbohidrat yang hanya ada pada susu, yang memecahnya menjadi dua
unit monosakarida, yaitu glukosa dan galaktosa yang siap diserap tubuh.
Defisiensi Laktase terdiri atas dua jenis, yaitu Defisiensi Laktase Primer dan
Defisiensi Laktase Sekunder.

4
Defisiensi Laktase Primer, merupakan kelainan kronis dan dapat
berkembang setelah masa penyapihan. Derajad intoleransi laktosa bergantung
pada beberapa faktor, antara lain keseimbangan dari level aktivitas laktosa
yang tersisa, jumlah laktosa yang dikonsumsi, adaptasi dari flora usus halus,
dan iritasi yang terjadi pada kolon.[6]

Defisiensi Laktase Sekunder, bersifat sementara. Hal ini terjadi sebagai


respon atas faktor gastrointestinal (contohnya pada keadaan medis tertentu,
beberapa pengobatan, dsb.) yang melukai mukosa usus halus. Ini dapat terjadi
pada segala usia dan dapat kembali lagi jika sebabnya sudah diperbaiki atau
disembuhkan.[6,7]Tes untuk beberapa sebab tertentu yang mendasari adanya
intoleransi laktosa kemungkinan diperlukan, seperti penyakit Crohn, penyakit
infeksi diare (infectious diarrheal disease), dan penyakit celiac.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh dr. Wisnu Berlianto,


pemberian terapi sinbiotik pada bayi yang mengidap intoleransi sekunder
laktosa yang akut terbukti dapat mengurangi lamanya diare. [8]
Subyek sebanyak 40 anak usia 1-24 bulan. Semua penderita
mendapatkan susu rendah laktosa dan terapi sesuai prosedur pengelolaan
diare akut dengan intoleransi laktosa sekunder. Kelompok perlakuan
mendapatkan sinbiotik 1 kapsul (campuran Lactobacillus acidophilus,
Lactobacillus casei, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus bulgaricus,
Bifidobacterium breve, Bifidobacterium longum,Streptococcus thermophilus,
dan Fructo-oligosaccharide) sehari selama 5 hari. Feses ditimbang setiap hari
dengan timbangan roti. Berat badan diukur tiap hari dengan timbangan digital.
Pemeriksaan substansi reduksi dilakukan selama feses cair dengan uji
Bennedict. Data dianalisis dengan uji t dan Mann Whitney U. [8]
Hasil menunjukkan terdapat penurunan lama diare pada kelompok yang
mendapatkan sinbiotik dibandingkan kontrol, dimana rerata lama diare pada
kelompok perlakuan 32 jam (±20,7) dibanding 59,4 jam (± 28,2) pada kelompok
kontrol (p=0,001). Jumlah kasus yang mengalami konversi tes reduksi pada
hari kedua lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibanding kontrol (p=0,011).[8]

5
Manifestasi Klinis[1]

Karbohidrat yang dimakan diserap dalam bentuk monosakarida (glukosa,


galaktosa, dan fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa menjadi glukosa
dan galaktosa agar proses absorbs dapat berlangsung. Hidrolisa ini dilakukan
oleh lactase (β-galactosidase), suatu enzim yang terdapat dalam brush border
mukosa usus halus.

Enzim lain yang terdapat dalam brush border adalah sukrase, maltase,
dan glukoamilase. Laktase dijumpai pada bagian luar brush border dan di
antara semua disakaridase, lactase yang paling sedikit. Bila ada kerusakan
mukosa (serangan gastroenteritis), enzim lactase yang selalu mendapat
gangguan (defisiensi lactase sekunder) dan hal ini yang paling sering dijumpai.
Laktase akan kembali normal kalau mukosa usus mengalami penyembuhan,
tetapi memerlukan waktu lama.

Pada janin manusia, aktivitas lactase telah kelihatan pada usia


kehamilan 3 bulan dan aktivitas lactase pada minggu 35-38 meningkat sampai
70% dari bayi yang lahir tapat pada waktunya. Karena itu, defisiensi lactase
primer dijumpai pada bayi premature sehubungan dengan perkembangan usus
yang immature (developmental lactase deficiency). Congenital lactase
deficiency pada bayi baru lahir, merupakan keadaan yang jarang dijumpai.
Penyakit ini diturunkan secara autosomal recessive.

Aktivitas lactase ini menurun secara nyata sejak umu 2-5 tahun (late
onset lactase deficiency) walau laktosa terus diberikan.Ini menandakan lactase
bukan enzim adaptif. Pada beberapa ras, terutama orang kulit putih di Eropa
Utara, beberapa suku nomaden di Afrika, aktivitas lactase pada manusia
dewasa tetap tinggi (persistence of lactase activity).

Bila ada defisiensi lactase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak
ada penyerapan oleh mukosa usus halus. Disakarida ini merupakan bahan
osmotic yang akan menarik air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding
dengan jumlah laktosa yang tinggal di lumen usus. Penambahan volume lumen
usus akan menyebabkan rasa mual, muntah, dan peningkatan peristaltic.

6
Peristaltik usus yang meninggi menyebabkan waktu transit usus makin pendek
sehingga mengurangi kesempatan untuk digesti dan absorbsi. Laktosa dan
air/elektrolit yang tidak diserap meninggalkan usus halus sampai di kolon. Di
kolon laktosa ini akan difermentasi oleh flora normal menjadi gas (CO 2, H2, dan
CH4), asam lemak rantai pendek (butirat, propional, dan asetat) dan asam
laktat.

Pembentukkan gas menyebabkan perut kembung dan sakit perut.


Pembentukkan gas hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di udara
pernafasan. Ini yang menjadi dasar uji udara pernafasan. Pembentukkan asam
lemak rantai pendek tadi diperlukan oleh tubuh karena asam lemak ini dapat
digunakan sebagai sumber energi. Di samping itu, pembentukkan asam lemak
rantai pendek ini berguna untuk nutrisi kolon, membantu absorbsi air/elektrolit
dan motilitas kolon.

Lebih kurang 70% dari nutrisi kolon berasal dari intraluminal. Karena itu
secara fisiologis, dalam keadaan normal dijumpai malabsorbsi
laktosa/karbohidrat. Sedangkan penyerapan asam laktat oleh kolonosit
menyebabkan asidosis metabolic.

Air/eletrolit yang sampai di kolon dan hasil fermentasi tadi diserap oleh
kolonosit (colonic salvage). Bila colonic salvage dilewati, maka asam laktat
banyak dijumpai di tinja. Demikian juga bila air/elektrolit dan laktosa yang
sampai ke kolon melewati colonic salvage, maka akan menyebabkan kadar air
tinja meningkat (diare osmotik) dan bahan-bahan reduksi (laktosa) dijumpai
dalam tinja. Hal ini ditunjukkan pada gambar di bawah.

7
Gambar 1. Patogenesa Intoleransi Laktosa

Ada beberapa terminologi yang perlu dipahami sehubungan dengan


gangguan absorbs laktosa yaitu :

 Defisiensi lactase  rendah (atau tidak ada) aktivitas lactase pada


pemeriksaan hasil biopsy mukosa usus halus.

 Malabsorbsi laktosa  ketidakmampuan usus halus mengabsorbsi


laktosa yang dibuktikan dengan pemeriksaan yang sesuai (uji beban
laktosa, uji hidrogen pernafasan).

 Intoleransi laktosa  munculnya gejala-gejala klinis setelah


makan/minum bahan yang mengandung laktosa ( mencret, mual,
muntah, perut kembung, dan sakit perut).

Hal ini perlu diperhatikan karena seorang dengan defisiensi lactase


belum tentu mengalami absorbsi mengalami malabsorbsi laktosa. Malabsorbsi
laktosa juga bisa disebabkan kerusakan mukosa usus halus. Juga penderita
malabsorbsi laktosa belum tentu mengalami intoleransi laktosa.

Disamping aktivitas lactase di mukosa usus halus, laktosa yang didigesti


dan ditoleransi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

8
 Jumlah laktosa yang dimakan (dose dependent).

 Waktu pengosongan lambung dan waktu transit usus.

 Pelarut yang digunakan untuk memberi laktosa.

 Flora normal yang terdapat di kolon.

Hal ini mempengaruhi gejala-gejala intoleransi laktosa pada satu individu


dengan individu lain sehingga menimbulkan permasalahan diagnose dan angka
kejadian.

Gejala

Laktosa yang tidak tercerna akan


menumpuk di usus besar dan
terfermentasi, menyebabkan gangguan
pada usus seperti nyeri perut, keram,
kembung dan bergas, serta diare, sekitar
setengah jam sampai dua jam setelah
mengkonsumsi produk laktosa.Tingkat
Gambar 2. Gejala Intoleransi Laktosa
keparahan gejala-gejala tersebut
bergantung pada seberapa banyak laktosa yang dapat ditoleransi oleh masing-
masing tubuh. Gejala-gejala ini mirip dengan reaksi alergi susu, namun pada
kasus alergi, gejala-gejala ini timbul lebih cepat, kadangkala hanya dalam
hitungan menit.[4]

Jika seseorang yang menderita defisiensi lactase tidak menghindari


produk-produk yang mengandung laktosa, lama kelamaan orang tersebut dapat
kehilangan berat badan dan menderita malnutrisi. [4]

Orang yang mengalami intoleransi laktosa biasanya mempunyai batas


toleransi untuk mengkonsumsi laktosa, yang jika mereka mengkonsumsi dalam
batas ini maka mereka akan mengalami gejala yang minimal. Kadang-kadang
gejala intoleransi laktosa sering disalahartikan sebagai gejala dari irritable
bowel syndrome (IBS), padahal penderita IBS bukanlah penderita intoleransi

9
laktosa. Penderita IBS cenderung mengalami kesulitan dalam mentoleransi
lemak. [2]

Penyebab Intoleransi Laktosa

Intoleransi laktosa sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik,


dimana penderita mempunyai laktase lebih sedikit dibanding orang normal.
Beberapa faktor lain penyebab intoleransi laktosa antara lain sebagai berikut. [2]
1. Gastroenteritis, dapat menyebabkan terjadinya penguraian enzim
[2]
lactase yang dapat berlangsung sampai beberapa minggu. Setelah
terjadi serangan gastritis akut, umumnya terjadi intoleransi laktosa
temporer yang dapat berlangsung hingga 4 bulan. [1]
2. Infeksi parasit, dapat menyebabkan pengurangan jumlah laktase
sementara waktu. [2]
3. Defisiensi besi, rendahnya asupan besi dapat mengganggu pencernaan
dan penyerapan laktosa. [2]

Intoleransi Laktosa Pada Bayi

Sekitar dua pertiga bayi yang diberi air susu ibu (ASI) maupun susu
formula bayi, akan mengalami defisiensi lactase pada bulan-bulan awal
kelahirannya, tetapi hal ini tidak berbahaya. ASI mengandung sekitar 7%
laktosa. Jumlah laktosa dalam ASI tidak dipengaruhi oleh asupan makanan ibu
menyusui, artinya ibu menyusui tidak dapat mempengaruhi jumlah laktosa
dalam air susunya dengan mengurangi atau meniadakan makanan produk
olahan susu. Kelainan seperti gastroenteritis dapat menguraikan enzim lactase
pada usus halus sehingga bayi membutuhkan susu formula yang bebas laktosa
selama beberapa minggu sampai kadar enzim laktase mereka mengalami
pemulihan kembali. Sediaan enzim laktase dalam bentuk drop (obat tetes)
merupakan salah satu pilihan untuk mengatasi masalah ini, walaupun hal ini
tidak selalu dapat menolong. Pada sejumlah bayi yang dilahirkan tanpa enzim
lactase sama sekali, formula susu bayi bebas laktosa merupakan pilihan utama
untuk mengatasi keadaan yang terjadi. Intoleransi laktosa tidak atau jarang

10
sekali menyebabkan muntah pada bayi, kalaupun terjadi muntah, maka
kemungkinan lebih merupakan gejala alergi terhadap susu sapi. [2]

Metode Diagnosis

Sindrom - sindrom gastrointestinal sering disalahdiagnosakan menjadi


intoleransi laktosa. Diagnosis dapat dikonfirmasikan dengan analisis hidrogen
pernapasan (breath hydrogen analysist), sebuah tes yang objektif, non-infasif,
murah, dan mudah untuk dilakukan. [6] Breath Hydrogen Analysist merupakan
pengujian terhadap jumlah gas hidrogen yang ditiupkan keluar melalui
pernafasan. Laktosa, yang seharusnya dicerna oleh laktase, mengalami
fermentasi oleh bakteri di saluran pencernaan, sehingga akan menyebabkan
produksi gas hidrogen lebih banyak dari keadaan normal. [2]
Selain dengan Breath Hydrogen Analysist, diagnosis intoleransi laktosa
dapat dilakukan dengan Elimination diet . Elimination diet merupakan diagnosis
dengan cara meniadakan konsumsi makanan yang mengandung laktosa untuk
melihat perbaikan gejala. Jika gejala muncul kembali ketika makanan yang
mengandung laktosa diberikan lagi, hampir bisa dipastikan penyebabnya
adalah intoleransi terhadap laktosa. [2]
Sindrom intoleransi laktosa sangat subjektif dan dapat atau tidak dapat
diikuti dengan lactose maldigestion (gangguan pencernakan laktosa).[6] Selain
itu, ada beberapa tipe reaksi intoleransi laktosa yang berbeda, yang masing-
masing tergantung dari derajad intolerannya.

Adaptasi Kolonik (Usus Besar)

Menurut hasil tes dari Breath Hydrogen Analysist, bayi yang baru lahir
tidak dapat sepenuhnya menghidrolisis laktosa dalam ASI. Namun demikian,
perkembangan bayi tergantung pada ASI dan susu formula, yang keduanya
mengandung lactose.[6]

Penelitian dengan metode double-blind crossover telah dilakukan pada


orang dewasa yang sulit mencerna laktosa untuk menentukan apakah paparan
laktosa terus menerus dapat menyebabkan bakteri-bakteri usus

11
memetabolisme laktosa dan mengurangi keparahan gejala. Secara bertahap
meningkatkan asupan laktosa secara signifikan meningkatkan kemampuan
bakteri usus untuk mencerna laktosa. [9] Jelas terbukti bahwa usus besar (kolon)
manusia beradaptasi dengan paparan laktosa terus menerus, yang akhirnya
dapat mengurangi gejala.[6,9-12]

Subjek mengalami penurunan nilai hidrogen napas (menunjukkan


bahwa laktosa sedang dicerna) dan, secara bersamaan, penurunan yang
[7]
signifikan pada perut kembung, salah satu gejala utama dari intoleransi
laktosa. Meskipun ketidakmampuan mencerna laktosa berkelanjutan
(dikonfirmasi oleh pengujian napas hidrogen), subjek sering dapat mentoleransi
konsumsi laktosa dengan jumlah yang sangat banyak disertai gejala yang
minimal.[11,12]

Sebuah penelitian intervensi 21 hari yang dilakukan pada tahun 2000


menilai efek dari diet kaya produk susu pada 14 gadis Amerika-Afrika berusia
11 sampai 15 tahun, yang semuanya menyatakan bahwa mereka tidak minum
susu. Diet pada penelitian ini berisi 4 porsi produk susu yang menyediakan
sekitar 33 g laktosa dan 1.200 mg kalsium sepanjang hari. Selain penurunan
yang signifikan pada nilai hidrogen napas, gejala gastrointestinal yang
diabaikan selama tantangan susu dan selama periode penelitian, tidak
diragukan lagi karena adaptasi kolon. [3] Pesan ini sangat jelas: Bahkan individu-
individu yang tidak toleran laktosa dapat mengkonsumsi susu dan produk susu.
Konsumsi produk susu tetap menjadi pertahanan terbaik kita melawan dalam
intoleransi laktosa.

Penanganan Intoleransi Laktosa[2]

Banyak orang yang mengalami intoleransi laktosa mengatasinya dengan


pembatasan konsumsi laktosa, seperti hanya minum segelas susu. Bagi
mereka yang mengalami intoleransi laktosa, beberapa anjuran berikut ini
mungkin dapat membantu:
a. Baca label pangan dengan seksama

12
Bagi penderita intoleransi laktosa agar terhindar dari hal – hal yang tidak
diinginkan, penting untuk membaca label pangan dengan seksama pada
bagian daftar bahan pangan (ingredient) . Produk pangan perlu
dihindari / dibatasi jumlah yang dikonsumsi, jika mengandung bahan-
bahan seperti berikut ini misalnya padatan susu, padatan susu bebas
lemak, whey, gula susu.
b. Mengkonsumsi produk susu fermentasi
Seperti keju matang (mature atau ripened cheeses), mentega atau
yoghurt, karena umumnya jenis makanan ini ditoleransi lebih baik
dibanding susu.
c. Minum susu yang mengandung banyak lemak susu
Karena lemak dapat memperlambat transportasi susu dalam saluran
perncernakan sehingga dapat menyediakan waktu yang cukup untuk
enzim lactase memecah gula susu.
d. Hindari mengkonsumi susu rendah atau bebas lemak
Oleh karena akan susu lebih cepat ditransportasi dalam usus besar dan
cenderung menimbulkan gejala pada penderita intoleransi laktosa.
Disamping itu, beberapa produk susu rendah lemak juga mengandung
serbuk susu skim yang mengandung laktosa dalam dosis tinggi.
e. Jangan menghindari semua produk susu
Oleh karena nilai gizi susu pada dasarnya sangat dibutuhkan tubuh.
f. Mengkonsumsi susu dengan laktosa yang telah diuraikan (susu
bebas laktosa).
g. Minum susu dalam jumlah yang tidak terlalu banyak
Banyak penderita intoleransi laktosa dapat meminum 240 ml susu per
hari, tetapi perlu untuk mengamati/ seberapa besar tingkatan toleransi
tubuh sendiri terhadap laktosa. Banyak penderita toleran terhadap
sejumlah laktosa yang terdapat dalam setengah cangkir susu full cream,
tiga perempat cangkir es krim, tiga perempat cangkir yoghurt, dan tiga
perempat cangkir keju mentah (unripened cheeses).
h. Konsumsi produk susu yang diolah dengan proses pemanasan
(seperti susu bubuk)

13
Karena pada pemanasan, laktosa akan dipecah menjadi glukosa dan
galaktosa, sehingga produk seperti ini akan ditoleransi lebih baik.
i. Konsumsi produk kedelai
Karena produk kedelai bebas laktosa dan merupakan sumber kalsium
yang bagus dan baik untuk menggantikan susu dan produk susu lainnya.

Produk-produk yang Mengandung Laktosa

Selain dari susu dan olahannya (seperti keju dan mentega), laktosa juga
sering ditambahkan ke dalam berbagai produk jadi. Penderita intoleransi
laktosa sebaiknya mengetahui produk-produk makanan apa saja yang mungkin
mengandung laktosa, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. [4] Sebaiknya
penderita menghindari makanan-makanan yang mengandung laktosa
tersembunyi (hidden lactose) antara lain biskuit dan kue (yang mengandung
susu atau padatan susu), sereal olahan, saus keju, sop krim, puding, coklat
susu, pancakes dan pikelets, scrambled eggs, roti dan margarine (mengandung
susu).[2] Sup instant, minuman sarapan, dressing salad, permen, sediaan
suplemen, creamer untuk kopi dan whipped cream, dan bahan olahan instant
(mix), juga merupakan bahan makanan yang mengandung susu. [4]
Pembeli yang cermat hendaknya memperhatikan label makanan yang
dibeli dengan seksama, bukan hanya untuk kandungan 'susu' dan 'laktosa', tapi
juga untuk kandungan turunan susu seperti 'whey', 'curds', 'hasil sampingan
susu', 'serbuk susu', dan 'serbuk susu nonfat'. Jika di dalam label tercantum
kandungan-kandungan di atas, bisa dipastikan produk tersebut mengandung
laktosa. Sebagai informasi tambahan, saat ini laktosa juga masih digunakan
sebagai bahan pengisi obat.[4]

Jumlah kalsium dan laktosa dalam produk susu umum adalah sebagai
berikut.[13]

Produk susu Jumlah kalsium Jumlah laktosa (g)


(mg)

14
Seluruh susu (whole milk), 1 291 13,56
cangkir

Susu semi-skim, M.F. 2%, 1 302 12,92


cangkir

Susu semi-skim, M.F. 1%, 1 307 13,41


cangkir

Susu skim, 1 cangkir 324 13.18

Keju cheddar, 50 g 360 0,12

Keju Emmenthal Swiss, 50 g 396 0,03

Keju Mozzarella, 50 g 269 0,04

Keju Parmesan, 50 g 554 0,08

Pengobatan Intoleransi Laktosa[1]

Pengobatan intoleransi laktosa yang disebabkan defisiensi lactase


primer dapat diberikan susu rendah/bebas laktosa tergantung toleransi.
Ataupun penambahan lactase (Lactaid®) / Yogurt ke dalam susu. Pemberian
susu yang diencerkan tidak disukai karena menimbulkan pengaruh buruk pada
gizi bayi, apalagi kalau diberikan pada waktu yang lama. Pada bayi premature
(dengan developmental lactase deficiency), pemberian ASI dapat diteruskan
karena defisiensi lactase hanya transient. Bila digunakan susu sebaiknya
kandungan karbohidratnya merupakan gabungan laktosa yang direndahkan
dan polimer glukosa. Pemberian polimer glukosa memberikan keuntungan
berupa penurunan osmolalitas dan mempercepat waktu pengosongan lambung.

Hal ini akan berbeda, bila intoleransi laktosa yang disebabkan oleh
defisiensi lactase sekunder (kerusakan mukosa misalnya oleh karena
gastroenteritis). Pada keadaan ini ASI tetap diberikan walau kadar laktosanya
lebih tinggi dari susu sapi. Sebab pastinya kenapa dapat ditoleransi belum

15
diketahui, walau banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjelaskan. Karena
itu, ASI harus tetap diteruskan pada anak/bayi dengan diare.

Intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, umumnya


temporer tetapi dapat berlangsung samapi 4 bulan. Karena itu wajar bila
intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, diberikan susu yang
diancerkan dan susu rendah/bebas laktosa. Namun adanya intoleransi laktosa
(setelah serangan gastroenteritis akut), tidak menyingkirkan kemungkinan
adanya cow`s milk protein sensitive enteropathy dan intoleransi lemak.
Hubungan ini dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 3. Hubungan Gastroenteritis, Intoleransi Laktosa, dan CMPSE

Dengan demikian pemberian susu yang diencerkan dan susu


rendah/bebas laktosa dapat menemui kegagalan yang bervariasi antara 7,7-
47%.

Pemberian susu bebas laktosa, kelihatan hanya sedikit manfaatnya pada


pengobatan anak dengan diare. Iacono, mendapatkan bila didapati nilai
steatokrit patologis pada masa serangan gastroenteritis akut,-terlebih bila bayi
16
usia di bawah 2 bulan-, sangat besar resiko untuk timbulnya cow`s milk protein
sensitive enteropathy.[14]

Fayad membandingkan manfaat pemberian susu kacang kedelai yang


mengandung sukrosa dengan susu kacang kedelai yang mengandung laktosa
pada masing-masing 100 bayi umur 3-18 bulan dengan diare. Angka kegagalan
pemberian susu yang mengandung laktosa sebesar 6% dan yang mengandung
sukrosa 2%.[15]Walaupun kegagalan pemberian susu yang mengandung
sukrosa lebih kecil, kegagalan ini dapat berakibat fatal kalau tidak dibawah
pengawasan klinisi.[1]

Karena itu bila mencret berlangsung terus/makin hebat setelah


pemberian susu, sebaiknya susu distop dan diberikan kembali setelah ada
perbaikan.

Beda Intoleransi Laktosa dan Alergi Susu Sapi [16]

Apa bedanya alergi susu sapi dan intoleransi laktosa, mengingat ciri
keduanya hampir sama, yakni diare bila mengonsumsi susu sapi. Menurut
penjelasan Prof.Dr.dr. Hananto W.Dipohadiningrat, Sp.A (k), penyebab alergi
susu sapi adalah protein dari susu sapi, sementara intoleransi laktosa karena
masalah enzim laktase manusianya.

Kejadian alergi susu sapi tidak langsung tampak setelah anak minum
susu. Setelah berkali-kali mengonsumsi susu sapi tak ada masalah, hingga
pada suatu waktu susu sapi membuat anak mengalami diare. Ciri lain alergi
susu muncul kemerahan atau rasa gatal di tubuh setelah minum susu sapi.

Sedangkan pada kasus intoleransi laktosa, diare terjadi langsung setelah


anak mengonsumsi susu. Karena memang pada tubuh anak tidak
ada/kekurangan enzim laktase yang mencerna laktosanya. Pada kasus alergi
susu sapi, tubuh bereaksi membuat zat inti yang dinamakan immunoglobulin.
Jadi, ketika anak mengonsumsi susu sapi, tubuhnya akan membentuk antibodi,
semakin lama ia mengonsumsi, semakin bertambah tinggi antibodinya. Ketika
sudah melewati ambang batas antibodi, maka muncullah alergi. Kejadian alergi

17
paling sering dialami balita terutama anak-anak di bawah usia satu tahun. Pada
dewasa juga ada ditemui namun sangat jarang karena alergi susu sapi
biasanya akan hilang sendiri seiring bertambahnya usia.

Anak-anak yang menderita alergi susu sapi umumnya akan diberikan


susu pengganti dimana protein dari susu sapi tersebut sudah dihidrolisa
(protein susu sapi tersebut sudah dipecah menjadi partikel-partikel kecil atau
partial hydrolize). Susunya dikenal dengan istilah susu yang hypollergenic atau
biasa dituils pada kemasannya yaitu HA.

Bila pemberian susu yang sudah dihidrolisa ini tetap memicu alergi anak,
alternatifnya adalah susu extensive hydrolyzed (susu dimana proteinnya
dipecah lagi menjadi partikel yang lebih kecil lagi).

Jika masih alergi, mau tak mau anak harus mengonsumsi susu asam
amino (protein dibuat menjadi bagian yang paling kecil yang disebut asam
amino) yang harganya relatif mahal. Biasanya setelah anak diberi konsumsi
susu amino lama-lama dia bisa tahan terhadap susu sapi dan bisa
mengonsumsinya. Nah, untuk mengetahui lebih pasti apakah anak memang
benar-benar alergi susu sapi tentu saja harus dilakukan tes alergi.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.

 Laktosa adalah gula susu yang dipecah oleh enzim laktase, suatu enzim
pencernaan yang terdapat dalam usus halus. [2]

 Intoleransi laktosa adalah berkurangnya kemampuan untuk mencerna


laktosa, yang disebabkan oleh kekurangan enzim laktase. [2]

 Gejala-gejala intoleransi laktosa meliputi antara lain: [2]


perut kembung (banyak gas), sakit perut dan diare.
 Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akibat
intoleransi laktosa, dapat dilakukan berbagai hal seperti membaca label

18
pangan dengan seksama, pembatasan jumlah susu yang dikonsumsi
dan pemilihan produk-produk susu. [2]
 Diare dapat disebabkan intoleransi laktosa, tetapi diare ( dalam hal ini
gastroenteritis) juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa. Karena itu,
pada penderita gastroenteritis disamping intoleransi laktosa harus
dipikirkan intoleransi terhadap bahan-bahan lain yang terdapat dalam
susu agar dapat diberikan diet yang sesuai.[1]

 Walaupun kadar laktosa di ASI tinggi, ASI tetap diberikan pada penderita
gastroenteritis dengan intoleransi laktosa. [1]

Referensi

1
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15641/1/mkn-des2006-
%20(8).pdf (diunduh pada tanggal 21 Desember 2011)

2
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info
%20POM/0108.pdf (diunduh pada tanggal 21 Desember 2011)

3
Pribila BA et al. Improved lactose digestion and intolerance among African-
American adolescent girls fed a dairy-rich diet. Am J Diet Assoc 2000;100:524-
528.

4
http://mediasehat.com/serba03.php (diunduh pada tanggal 21 Desember 2011)

5
http://library.usu.ac.id/download/fp/ternak-eniza2.pdf (diunduh pada tanggal 12
November 2011)

6
Miller GD et al. Lactose Intolerance. In: Handbook of Dairy Foods and
Nutrition. 2nd ed. Ch. 8:311-354. Boca Raton, Florida: CRC Press, Inc., 2000.

7
Suarez FL and Savaiano DA. Lactose digestion and tolerance in adult and
elderly Asian-Americans. Am J Clin Nutr 1994;59:1021-1024.

8
http://eprints.undip.ac.id/17773/1/Wisnu_Barlianto.pdf (diunduh pada tanggal 9
Desember 2011)

19
9
Hertzler SR and Savaiano DA. Colonic adaptation to the daily lactose feeding
in lactose maldigesters reduces lactose intolerance. Am J Clin Nutr
1996;64:1232-1236.

10
Hertzler SR et al. Fecal hydrogen production and consumption
measurements. Response to daily lactose ingestion by lactose maldigesters.
Dig Dis Sci 1997;42:348-353.

11
Johnson AO et al. Adaptation of lactose maldigesters to continued milk
intakes. Am J Clin Nutr 1993;58:879-881.

12
Briet R et al. Improved clinical tolerance to chronic lactose ingestion in
subjects with lactose intolerance: a placebo effect? Gut 1997;41:632-635.

13
http://www.dairynutrition.ca/scientific-evidence/lactose-intolerance-and-milk-
allergy/how-to-reduce-the-symptoms-of-lactose-intolerance.html (diunduh pada
tanggal 29 September 2011)

14
Iacono G, Carrocio A, Alongi A, et al. The steatocrit test a guide in the
prevention of cow`s milk protein enteropathy following acute infection enteritis. J
Pediatr Gastroenterol Nutr 1990; 11:48-52.

15
Fayad IM, Hashem M. Hussein A, Abouzikri M, Abuzikri M, Santosham M.
Comparison soy based formula with lactose and with sucrose in the treatment
of acute diarrhea in infant. Arch Pediatr Adolesc Med 1999; 153:675-80.

16
http://www.susukolostrum.com/berita-kesehatan/berita-kesehatan/beda-
intoleransi-laktosa-dan-alergi-susu-sapi.html (diunduh pada tanggal 21
Desember 2011)

20

Anda mungkin juga menyukai