Anda di halaman 1dari 10

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)

Latar Belakang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak terlepas dari peraturan tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah.

Hal ini disebabkan kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara Negara dewasa ini
dirasa belum memuaskan masyarakat, contohnya,

1. dalam memberikan pelayanan tidak cepat namun terjadi prosedur yang berbelit-belit (kalau bisa
dipersulit mengapa dipermudah?, bukannya kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?);
2. adanya diskriminasi pelayanan, kalau masyarakat yang bersangkutan mempunyai jabatan atau
uang, akan cepat dilayani, akan tetapi kalau masyarakat biasa (miskin) entar dulu;
3. biaya tidak transparan, katanya gratis tetapi kenyataan di lapangan masih harus bayar,
membayarnyapun tidak ada standarnya;
4. adanya budaya kerja aparatur yang belum baik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa kalau
sudah jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), kerja tidak kerja gajinya sama;
5. waktu penyelesaian pemberian pelayanan yang tidak jelas, katanya kalau mengurus KTP dapat
selesai dua hari, kenyatan di lapangan bisa sampai dua minggu;
6. banyaknya praktek pungutan liar, ini yang sampai saat ini masih susah di tanggulangi, alasannya
klasik “ gaji” kurang, yang menjadi pertanyyan apa iya gaji kurang? Apakah bisa dijamin
remunerasinya tinggi pungli tidak ada?

Kondisi tersebut memberikan citra negative terhadap penyelenggara pelayanan di mata masyarakat.
Sehingga akan berdampak pada rendahnya daya saing bangsa dan juga pertumbuhan ekonomi
nasional, kenapa? Karena investor tidak mau lagi menanamkan modalnya di Indonesia, belum-belum
sudah dipalak sehingga mengakibatkan biaya tinggi. Akibatnya banyak yang lari ke Negara lain
seperti Vietnam, Singapura dan lain-lainnya.

Seperti kita ketahui, ada tiga jenis lembaga di pemerintah daerah yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat.

1. Public goods, yaitu pelayanan yang diberikan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
operasionalnya seluruhnya dengan APBD, sifatnya tidak mencari keuntungan (non profit);
2. Quasi Public Goods, yaitu perangkat daerah yang dalam operasionalnya sebagian dari APBD dan
sebagian lagi dari hasil jasa layanan yang diberikan, sifatnya tidak semata-mata mencari
keuntungan (not for profit); dan
3. Private Goods, yaitu lembaga milik pemerintah daerah yang biaya operasionalnya seluruhnya
berasal dari hasil jasa layanan (seperti BUMD, Perusahaan daerah) dan bersifat mencari
keuntungan (profit oriented).

Konsep pendanaan ke depan bagi perangkat daerah yang bersifat quasi public goods, adalah lembaga
tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan keuangannya, khususnya yang berasal dari jasa
layanan, dengan konsekuensi lambat laun pendanaan yang bersumber dari APBD presentasenya
semakin dikurangi. Sehingga diharapkan dikemudian hari bisa mandiri.

Alokasi anggaran berasal dari APBD yang selama ini dipergunakan untuk membiayai perangkat
daerah tersebut dialihkan untuk membiayai perangkat daerah yang bersifat public goods, misal untuk
pembangunan sekolahan, menambah kesejahteraan guru (kaitannya dengan mencerdaskan kehidupan
bangsa), membangun jalan, irigasi (kaitannya dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat).
Sehingga ke depan APBD hanya fokus untuk digunakan pada pelayanan masyarakat yang bersifat
public goods.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada
perangkat daerah yang secara operasional memberikan pelayanan langsung pada masyarakat.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa dengan BLUD?

Esensi dari BLUD adalah peningkatan pelayanan dan efisiensi anggaran. Hal ini dapat dilihat dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas.

Makna dari pengertian ini adalah:

1. BLUD merupakan perangkat daerah, mempunyai pengertian bahwa BLUD asetnya merupakan
aset daerah yang tidak dipisahkan;
2. Perangkat daerah yang dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD adalah SKPD
(sebagai Pengguna Anggaran) atau Unit Kerja pada SKPD (sebagai Kuasa Pengguna Anggaran);
3. Memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan, mempunyai pengertian bahwa SKPD atau Unit Kerja
tersebut memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan tidak semata-mata mencari
keuntungan;
4. Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, mempunyai arti bahwa BLUD
dterapkan dalam rangka efisiensi anggaran dan peningkatan pelayanan pada masyarakat.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BLUD masuk dalam perangkat pemerintah daerah
yang bersifat quasi public goods.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut juga disebutkan bahwa BLUD
merupakan Pola Pengelolaan Keuangan yang diterapkan pada SKPD atau Unit Kerja dengan
diberikan fleksibilitas, yaitu berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan
daerah pada umumnya.

Dari pengertian tersebut, SKPD atau Unit Kerja dapat disebut BLUD kalau SKPD atau Unit Kerja
sudah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD). Hal ini untuk menepis adanya
pemahaman bahwa BLUD merupakan suatu “kelembagaan”, padahal hanya merupakan Pola
Pengelolaan Keuangan saja.

Untuk itu, kalau mau menerapkan PPK-BLUD “lembaganya harus ada terlebih dahulu”. Pengaturan
kelembagaan di daerah dengan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, dengan
mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Penataan Organisasi Perangkat
Daerah.

Persyaratan Menerapkan PPK-BLUD


Dalam Permendagri tersebut juga disebutkan bahwa untuk menerapkan PPK-BLUD harus memenuhi
beberapa persyaratan. Pemerintah Daerah harus selektif dan obyektif dalam menetapkan SKPD atau
Unit Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Sehingga tidak semua SKPD atau Unit Kerja yang
memberikan pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD.
Persyaratan untuk menerapkan PPK-BLUD, meliputi: (1) substantif; (2) teknis; dan (3) administratif.

Persyaratan substantif dipenuhi kalau SKPD atau Unit Kerja tersebut menurut tugas dan fungsinya
memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dalam bentuk (a) penyediaan barang dan jasa,
seperti penyediaan layanan dalam bidang kesehatan (Rumah Sakit Daerah, Puskesmas, dan
Laboratorium), pendidikan (sekolahan, pendidikan dan pelatihan), transportasi (terminal, jasa
penyeberangan, jasa transportasi), pariwisata (pengelolaan wisata daerah), perdagangan (pasar
tradisional), kebersihan (pengelolaan sampah, limbah), penyediaan bibit/pupuk, dan lain-lainnya; (b)
pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau
layanan umum, seperti pengelolaan kawasan ekonomi di suatu wilayah; (c) pengelolaan dana khusus
dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat, seperti pengelolaan
dana bergulir, pengelolaan dana perumahan.

Persyaratan teknis terpenuhi, apabila SKPD atau Unit Kerja tersebut kinerja pelayanan di bidang
tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD, serta kinerja
keuangannya sehat.

Persyaratan administratif, apabila SKPD atau Unit kerja menyampaikan dokumen persyaratan, yang
meliputi (1) surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan
manfaat bagi masyarakat; (2) pola tata kelola; (3) rencana strategis bisnis; (4) standar pelayanan
minimal; (5) laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan (6) laporan
audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

Dari ketiga persyaratan tersebut, persyaratan administratif yang sangat menentukan dapat tidaknya
SKPD atau Unit Kerja menerapkan PPK-BLUD. Hal ini disebabkan dari dokumen administratif
tersebut akan dinilai oleh tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, yang anggotanya paling
sedikit terdiri dari: (1) Sekretaris Daerah, sebagai ketua merangkap anggota; (2) Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD), sebagai sekretaris merangkap anggota; (3) Ketua Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, sebagai anggota; (4) Inspektorat Daerah, sebagai anggota; (5) Tenaga ahli
(kalau diperlukan) sebagai anggota.

Dari tim penilai ini dikeluarkan rekomendasi kepada Kepala Daerah, layak tidaknya usulan SKPD
atau Unit Kerja tersebut untuk menerapkan PPK-BLUD. Untuk itu, tim penilai harus betul-betul
memahami konsepsi BLUD. Kalau tidak paham, penerapan BLUD hanya sekedar ganti nama belaka
dan tidak akan tercapai tujuan BLUD.

Untuk itu, dalam memudahkan tim penilai dalam menilai dokumen administratif, Menteri Dalam
Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 900/2759/SJ tanggal 10 September 2008 perihal
Pedoman Penilaian Penerapan PPK-BLUD. Setelah Kepala Daerah menerima hasil penilaian dari tim
penilai, Kepala Daerah memutuskan menerima atau menolak usulan SKPD atau Unit Kerja untuk
menerapkan PPK-BLUD. Kalau usulan diterima, penetapan penerapkan PPK-BLUD dengan
Keputusan Kepala Daerah (tidak dengan Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah).

Penetapannya dengan Status BLUD Penuh atau BLUD Bertahap, yang membedakan dari status
BLUD tersebut adalah dalam pemberian fleksibilitasnya. Untuk BLUD dengan status penuh,
diberikan seluruh fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Sedangkan BLUD Bertahap, diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan jumlah
dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan
standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan serta tidak diberikan fleksibilitas
dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa.

Fleksibilitas BLUD
SKPD atau Unit Kerja yang menerapkan PPK-BLUD diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan
Keuangannya, antara lain:

1. Pendapatan BLUD yang berasal dari jasa layanan dapat digunakan langsung untuk membiayai
kegiatannya, sehingga tidak masuk kas daerah terlebih dahulu. Hal ini sangat terasa pada Rumah
Sakit Daerah, kalau Rumah Sakit Daerah tidak menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD,
pendapatan harus disetor ke Kas Daerah (tidak boleh digunakan langsung). Kita mungkin perlu
merenung, apa yang akan terjadi kalau sebuah RSD memerlukan obat bagi pasiennya dengan sangat
segera, sementara obat di RSD tersebut sudah tidak mencukupi atau mungkin sudah tidak ada. Kalau
RSD tersebut belum menerapkan PPK-BLUD maka pencairan dananya harus melalui mekanisme
dalam APBD sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berapa waktu yang harus diperlukan sampai tersedianya
obat-obatan tersebut? Bisa jadi pasiennya tidak tertolong jiwanya. Selain itu, penerimaan yang
bersumber dari APBD atau APBN dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD, hal ini mempunyai
makna bahwa BLUD yang telah memberi jasa layanan pada masyarakat, namun pemerintah (melalui
APBN) atau pemerintah daerah (melalui APBD) yang membayar untuk jasa layanan tersebut. Dalam
hal ini Pemerintah atau Pemerintah Daerah membeli jasa layanan yang telah diberikan oleh BLUD.
Sehingga APBN atau APBD tersebut dapat diberlakukan sebagai pendapatan BLUD.

2. Dalam pelaksanaan belanja (biaya), BLUD boleh melampaui pagu yang telah ditetapkan (flexsible
budget) sepanjang pendapatan atau belanjanya bertambah atau berkurang. Sementara kalau SKPD
biasa tidak boleh melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran
(DPA).

3. BLUD boleh melakukan utang/piutang, investasi, dan kerjasama. Utang atau pinjaman dan
investasi jangka panjang harus dengan persetujuan Kepala Daerah. Sementara kalau SKPD biasa
tidak boleh melakukan utang/piutang, investasi dan kerjasama, yang diperbolehkan adalah
Pemerintah Daerah.

4. Pengadaan barang dan jasa untuk pendapatan yang berasal selain dari APBD atau APBN boleh
tidak dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah atau perubahannya. Makna dari pemberian fleksibilitas dalam pengadaan
barang dan jasa dimaksud, adalah untuk mempercepat pelayanan yang diberikan. Namun tetap
dengan prinsip efisien, efektif, transparan, bersaing, adil/tidak diskriminatif, akuntabel dan praktek
bisnis yang sehat.

5. Pengelolaan barang, BLUD boleh menghapus aset tidak tetap. Sebagai contoh, RSD yang telah
menerapkan BLUD, boleh menghapus aset-aset yang sudah tidak produktif atau sudah tidak efisien
lagi. Seperti tempat tidur pasien yang sudah reyot, dari pada memenuhi ruangan/gudang lebih baik
dijual. Hasil dari penjualan aset tersebut merupakan pendapatan BLUD.

6. Pejabat Pengelola dan pegawai BLUD, boleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non PNS. Pegawai
Non PNS diperlukan sepanjang BLUD yang bersangkutan sangat membutuhkan dan dalam rangka
peningkatan pelayan. Kriteria pengelola dan pegawai BLUD baik PNS maupun Non PNS harus yang
betul-betul profesional, jangan sampai pegawai yang ada di BLUD karena titipan dari para pejabat
yang berpengaruh di daerah tersebut. Pemimpin BLUD harus mempunyai komitmen dan berani
menolak kalau memang tidak masuk dalam kriteria yang telah ditetapkan. Perlu disadari, bahwa
setiap tahun antara pemimpin BLUD dengan kepala daerah menandatangani perjanjian kinerja
(contractual performance agreement). Apa makna dari perjanjian kinerja dimaksud? Kepala daerah
menugaskan pemimpin BLUD untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum dan berhak
mengelola dana sesuai yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BLUD. Apa
sanksi kalau kinerjanya tidak tercapai? Pemimpin BLUD bisa dicopot dari jabatannya. Untuk itu,
pengelola dan pegawai BLUD harus yang benar-benar profesional, karena jabatan taruhannya.
Sehingga jadi pemimpin BLUD, seperti duduk di kursi panas, setiap tahun bisa dilengserkan.

7. BLUD boleh mengangkat Dewan Pengawas, sepanjang asset maupun omsetnya memenuhi
persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk saat ini diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan
Umum. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, disebutkan bahwa Dewan Pengawas dapat
berjumlah 3(tiga) orang kalau nilai asetnya sebesar 75 (tujuh puluh lima) miliar rupiah sampai
dengan 200 (dua ratus) miliar rupiah, atau nilai omsetnya antara 15 (lima belas) miliar sampai
dengan 30 (tiga puluh) miliar rupiah setahun. Sementara itu, Dewan Pengawas dapat berjumlah
antara 3 (tiga) atau 5 (lima) orang kalau nilai asetnya diatas 200 (dua ratus) miliar rupiah atau nilai
omsetnya di atas 30 milai rupiah setahun. Lalu siapa yang berhak jadi Dewan Pengawas? Untuk
BLUD-SKPD adalah Sekretaris Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan Tenaga Ahli.
Sedangkan BLUD Unit Kerja, terdiri dari Kepala SKPD induk, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah,
dan Tenaga Ahli. Bolehkah Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas? jawabannya tidak. Karena
dilihat dari tugas Dewan Pengawas salah satunya adalah melaporkan kepada Kepala Daerah tentang
kinerja BLUD. Kalau Kepala Daerah menjadi Dewan Pengawas, maka Kepala Daerah tersebut
melaporkan kepada dirinya sendiri, bisa diistilahkan jeruk makan jeruk.

8. Remunerasi pejabat pengelola BLUD, dewan pengawas, sekretaris dewan pengawas dan pegawai
BLUD dapat diberikan remunerasi sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan
profesionalisme yang diperlukan. Sehingga tidak lagi pengaturannya seperti PNS, kalau golongan
dan masa kerja sama, gaji yang diterima setiap bulan akan sama. Namun kalau sudah jadi BLUD
besaran remunerasi dapat dihitung berdasarkan indikator penilaian antara lain: (1) pengalaman dan
masa kerja (basic index); (2) ketrampilan, ilmu pengetahuan dan perilaku (competency index); (3)
resiko kerja (risk index); (4) tingkat kegawatdaruratan (emergency index); (5) jabatan yang
disandang (position index); dan (6) hasil/capaian kinerja (performance index).

9. Penetapan tarif BLUD, ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (bukan dengan Peraturan
Kepala Daerah). Kenapa? Karena untuk mempercepat proses penetapan dan efisiensi biaya. Namun
demikian, penetapan tarif harus mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya
beli masyarakat, serta kompetisi yang sehat. Selain itu, dalam penetapan tarif, Kepala Daerah dapat
membentuk tim untuk mengkaji kelayakan besaran tarif yang akan ditetapkan, yaitu dengan
melibatkan pembina teknis, pembina keuangan, unsur perguruan tinggi dan lembaga profesi.
Penetapan tarif pada BLUD mestinya berdasarkan unit cost. Untuk itu, perlu dipahami oleh jajaran
pemerintah daerah, bahwa SKPD atau Unit Kerja yang sudah menerapkan PPK-BLUD, kewajiban
pemerintah daerah dalam hal ini APBD masih tetap diperlukan dalam meningkatkan pelayanannya.
Karena pendapatan BLUD itu minimal sama dengan belanja/biayanya.

10. Dalam menyusun Laporan Keuangan, BLUD merupakan perangkat daerah yang tidak
dipisahkan. Untuk itu laporan keuangan BLUD merupakan bagian dari laporan keuangan SKPD atau
Pemerintah Daerah. BLUD akuntansinya wajib menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sementara laporan Keuangan Pemerintah
menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, maka di sini perlu adanya
konsolidasian dalam menyusun laporan keuangan BLUD.

Dengan adanya kemudahan/fleksibilitas yang diberikan sebagaimana tersebut di atas, hendaknya


menerapkan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas dimaksud. Namun harus disadari,
menerapkan PPK-BLUD karena mempunyai kemauan untuk meningkatkan kinerja keuangan, kinerja
manfaat dan kinerja pelayanan. Dilain pihak, dalam implementasinya sampai saat ini masih ada
keragu-raguan dari para pejabat di daerah tentang keberadaan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 61 Tahun 2007 dimaksud, karena di dalam hirarki perundang-undangan Peraturan Menteri
tidak termasuk di dalamnya. Sehingga sering muncul pertanyaan, “masa Permendagri menabrak
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah”.

Untuk itu, dapat kami jelaskan bahwa keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri 61 Tahun 2007
tersebut ada karena amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, khususnya Pasal 150, dimana disebutkan “Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat
pertimbangan Menteri Keuangan”. Untuk itu, keberadaan Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut
sangat kuat. Oleh karena itu, dalam membaca Peraturan Menetri Dalam Negeri tersebut hendaknya
bersamaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, karena antara keduanya merupakan
satu kesatuan.

Keberhasilan Implentasi Penerapan BLUD


Apa yang harus dipersiapkan daerah dalam menunjang keberhasilan implementasi BLUD?

1. Perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola pikir (maindset), semangat kewirausahaan
(enterpreneurship) bagi stakeholder terkait mulai dari kepala daerah, sekretaris daerah, PPKD,
Kepala BAPPEDA, Inspektur Daerah dan pejabat pengelola BLUD.
2. Perlunya penyiapan regulasi dan instrumen pendukung sebagai penjabaran dari ketentuan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 untuk digunakan sebagai pedoman
operasional implementasi PPK-BLUD, antara lain penetapan Tim Penilai, Standar Pelayanan
Minimal, dan Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah terkait dengan fleksibilitas yang
diberikan.
3. Perlu adanya pemahaman tentang konsepsi mengenai Rencana Strategis (RENSTRA) Bisnis,
Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), Tata Kelola, Standar Pelayanan Minimal, Standar
Akuntansi Keuangan (SAK), konsolidasian RBA dan laporan keuangan dengan APBD.

Kesimpulan
1. Menerapkan PPK-BLUD harus selektif dan obyektif oleh Pemerintah Daerah, tidak semua SKPD
atau Unit Kerja yang memberi pelayanan pada masyarakat dapat menerapkan PPK-BLUD, harus
dilihat kesiapan SDM-nya dan perangkat pendukungnya;

2. Penerapan PPK-BLUD jangan hanya mengejar fleksibilitas yang diberikan, tetapi dalam rangka
peningkatan kinerja pelayanan, kinerja manfaat, dan kinerja keuangan;
3. BLUD merupakan quasi public goods, sehingga peran APBD masih tetap diperlukan dalam
peningkatan pelayanan; dan

4. Untuk keberhasilan implementasi BLUD, perlunya peningkatan kapasitas SDM, perubahan pola
pikir (maindset), semangat kewirausahaan (enterpreneurship) bagi stakeholder terkait, penyiapan
peraturan pendukung, serta pemahaman tentang konsepsi BLUD.

Anda mungkin juga menyukai