Anda di halaman 1dari 8

Dokter Spesialis Tertuntut Terbuka dan Bersahabat dengan BPJS

dr.Andika Metrisiawan, S.Ked


Program Studi Anestesiology dan Terapi Intensif

1871101001

Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan manusia, bahkan sering kita
meminta kesehatan dalam doa-doa kita. Pentingnya kesehatan membuat hal ini sering menjadi
fokus program pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Pelayanan
kesehatan di Indonesia memiliki sejarah panjang dan menjadi bagian dari sejarah kehidupan
bangsa ini. Pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah guna memenuhi hak-hak
asasi manusia yang juga tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah membentuk suatu sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mempromosikan
dan memelihara kesehatan masyarakatnya yang tidak hanya berfokus pada tingkat manfaat yang
didapatkan, namun juga seberapa luas manfaat tersebut dapat didistribusikan. Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dapat diupayakan secara mandiri maupun secara bersama-sama. Salah satu
upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesehatan adalah dengan peluncuran Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada tanggal 1 Januari 2014, pemerintah secara resmi
mentransformasikan PT Askes (Persero) menjadi suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Hal ini bermula dari adanya UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dan ditetapkannya UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS serta menunjuk
PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program tersebut. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2011
BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial, yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Setiap peserta BPJS kesehatan berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan
yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan
medis yang diperlukan.
Di era BPJS seperti sekarang, hampir semua masyarakat menjadi peserta BPJS Kesehatan. Peserta
BPJS Kesehatan adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran, meliputi: Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan (PBI) dan non PBI. PBI meliputi; fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan
penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Peserta Non PBI meliputi 3
kelompok besar yaitu: pekerja penerima upah (PPU) dan anggota keluarganya, pekerja bukan
penerima upah (PBU) dan anggota keluarganya, serta bukan pekerja dan anggota keluarganya.
Berdasarkan pedoman ini dapat dilihat bahwa hampir semua kelas masyarakat masuk ke dalam
kategori peserta BPJS Kesehatan.

Untuk bisa menggunakan BPJS Kesehatan, sederetan prosedur administratif dan antrean yang
panjang harus dijalani hingga akhirnya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun hal ini
bukalah sesuatu yang sia-sia, karena “harga” yang dibayarkan tidak sebanding dengan besarnya
biaya yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Masyarakat tidak lagi khawatir dengan besarnya
biaya yang akan dikeluarkan dari kantong sendiri dan tidak lagi mendadak jatuh miskin ketika
harus berhadapan dengan rumah sakit

Hal ini sungguh merupakan hal yang menggembirakan, mengingat 65 tahun sejak Indonesia
merdeka, pemerintah akhirnya memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Sebuah
harapan yang sejak lama dirindukan oleh bangsa ini. Selama 65 tahun negeri ini berdiri, belum ada
satu pemimpin yang berani untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Coba
kita tengok negara tetangga kita, Thailand misalnya, sejak tahun 2002 telah memberlakukan sistem
jaminan kesehatan nasional. Sistem yang diberlakukan di Thailand ini dipandang sebagai sistem
kesehatan yang paling menyeluruh dan lengkap di Asia.

BPJS Kesehatan telah menjadi andalan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan. Hal ini
terbukti hanya dalam jangka waktu 3 tahun jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 171
juta peserta yang notabene sekitar 4 kali jumlah penduduk Malaysia atau setara 35 kali jumlah
penduduk negara tetangga, Singapura. Pada tahun 2016 saja, program JKN-KIS (Jaminan
Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) telah berhasil mencakup 171.939.254 peserta, dan
telah bekerjasama dengan 20.708 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 2.068 Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dan 3.094 Fasilitas Penunjang seperti Apotek
maupun Laboratorium. Jumlah pemanfaatan BPJS Kesehatan juga terbilang fantastis, dimana
tercatat 192,9 juta kunjungan (134,9 juta kunjungan FKTP dan 58,05 juta kunjungan FKRTL).

Prinsip dasar yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan sangatlah mulia, dimana peserta yang sehat
memberikan subsidi kepada yang sakit, dan peserta yang lebih mampu (kaya) memberikan subsidi
kepada yang miskin. Secara umum, prediksi dan analisis yang dibuat oleh pemerintah cukup
memadai. Empat asuransi kesehatan milik pemerintah seperti PT. ASABRI (Persero), PT. Taspen
(Persero), PT. Jamsostek (persero) serta PT. ASKES berhasil (persero) berhasil melebur menjadi
BPJS Kesehatan. Peleburan yang terjadi nyaris tanpa masalah. Tentu menjadi sebuah langkah awal
yang sangat baik dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan universal kepada seluruh
masyarakat Indonesia. Berbagai komponen masyarakat pun ikut serta bergembira. Baik pihak baik
rumah sakit, apotek, dan industry farmasi menandatangani kontrak kerjasama dengan BPJS
Kesehatan yang tentu saja sudah mulai memperhitungkan arus kas yang akan masuk, dan harus
tetap memberikan pelayanan terbaik sesui dengan kontrak kerjasama yang ditandatangani.

Namun dalam implementasinya, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami berbagai
kendala pada awal pelaksanaannya, seperti belum semua masyarakat Indonesia bersedia menjadi
peserta JKN, belum meratanya distribusi dan kualitas pelayanan kesehatan, rendahnya kesadaran
pembayaran iuran dari mayarakat, dan sistem rujukan berjenjang yang belum optimal. Hal ini
tentunya menimbulkan ketidakadilan.

Dibalik pencapaian yang menggembirakan dari BPJS Kesehatan, permasalahan yang hingga kini
masih perlu dibenahi adalah rasionalitas iuran / premi peserta BPJS Kesehatan. Permasalahan
yang sangat mendasar bagi sebuah penyedia jaminan kesehatan. Dengan premi yang ada saat ini
rasanya masih sangat tidak sesuai dengan besarnya manfaat yang didapat dari BPJS Kesehatan.
Besaran iuran yang telah ditetapkan pemerintah sangatlah rendah dan belum sesuai dengan
perhitungan aktuaria yang biasa digunakan oleh penyedia jaminan kesehatan. Seperti halnya iuran
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditentukan pemerintah sebesar 23.000 rupiah masih
belum sesuai dengan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial (DJSN) sebesar 36.000 rupiah. Hal ini
tentunya akan mengakibatkan situasi underfunded yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan
program JKN-KIS yang telah menjadi andalan masyarakat kita.

Keberadaan BPJS Kesehatan juga menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, yaitu dari pasien,
pihak Rumah Sakit dan Dokter. Pihak yang sangat merasakan sekali keberadaan BPJS Kesehatan
adalah peserta BPJS Kesehatan/pasien dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, yang sangat
terbantu dari segi finansial untuk pembiayaan pengobatan penyakit. Kelas ekonomi menengah
keatas juga terbantu dengan berkurangnya pembiayaan pengobatan khususnya jika memilih
upgrade rawat inap di Rumah sakit dengan cara sistem sharing biaya. Namun ada juga pasien yang
merasakan ketidakpuasan menggunakan BPJS Kesehatan, hal ini karena semakin banyaknya
peserta BPJS maka jumlah pasien meningkat. Untuk kasus rawat jalan / poliklinik pasien akan
merasakan lamanya mengantre dan merasa pelayanan dokter terburu-buru serta obat yang
didapatkan kadang diminimalisir dan umumnya obat generik. Selain itu untuk kasus pasien yang
datang ke UGD, tidak semua pasien termasuk kategori emergency (kondisi gawat darurat), namun
ada beberapa diagnose yang harus tuntas di PPK I, sehingga pasien sebaiknya ke PPK I terlebih
dahulu. Jika pasien langsung ke UGD dengan alasan PPK I tutup dan kondisi pasien non
emergency maka pasien tidak bisa menggunakan BPJS Kesehatannya. Hal ini karena system
pelayanan BPJS kesehatan berjenjang dari PPK I ke PPK II. Kondisi menyebabkan rawan
komplain dari pasien khususnya pasien yang minim informasi tentang alur pelayanan pasien BPJS
atau pasien BPJS mandiri terkadang merasa rugi karena sudah membayar premi BPJS setiap
bulannya. Disisi lain pada beberapa rumah sakit khususnya rumah sakit Swasta, pada beberapa
kasus pasien dibebankan biaya tambahan untuk obat atau alat dengan alasan tidak ditanggung
BPJS. Kondisi inilah yang masih menuai pro dan kontra BPJS Kesehatan bagi pasien.

Dari pihak rumah sakit juga mengalami pro dan kontra menyikapi keberadaan BPJS Kesehatan.
Pihak rumah sakit yang jeli melihat peluang kepesertaan BPJS tentu merasa diuntungkan
khususnya rumah sakit swasta yang cenderung profit oriented, namun tetap berpedoman dan tidak
melenceng dari clinical pathway yang sudah disusun. Hal ini karena sistem klaim dan pembiayaan
sesuai dengan masing-masing diagnosa membuat pihak rumah sakit berusaha mencapai codingan
tertinggi dengan cara bekerjasama dengan dokter penanggung jawab (dokter spesialis) tanpa
merugikan pasien. Selain itu pemulangan pasien dengan penangguhan biaya pasti menurun karena
pembiayaan dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Untuk diagnosa pasien dengan klaim biaya cukup
tinggi walaupun penghabisannya tidak begitu banyak, pihak RS yang bisa melihat peluang ini pasti
akan berusaha memaksimalkan / menghabiskan nilai klaim, misalnya dengan cara melakukan
pemeriksaan penunjang tambahan.

Disisi lain bayak pihak rumah sakit yang kontra dengan BPJS kesehatan, terutama saat
mengajukan klaim pasien rawat inap atau rawat jalan. Ada beberapa diagnosis yang tidak disetujui
oleh BPJS atau pihak rumah sakit dianggap melakukan fraud. Ada beberapa kasus yang
diagnosanya harus tuntas di PPK I, namun pada kenyataannya karena keterbatasan prasarana di
PPK I yang bersangkutan maka pasien dirujuk ke Rumah Sakit, namun dari BPJS tidak
melayakkan untuk diterima di PPK II (rumah sakit). Padahal kita semua tahu backbone pelayanan
kesehatan di negeri ini adalah dokter yang bekerja di pelayanan primer. Dimana sebagian besar
bertugas di daerah-daerah mengisi posisi dokter di Puskesmas. Bagi seorang dokter pelayanan
primer, stetoskop menjadi senjata andalan karena minimnya fasilitas kesehatan yang dimilki. Hal
ini tentunya akan membuat angka rujukan ke fasilitas kesehatan lanjutan akan tetap tinggi.

Hal ini sangat sering terjadi, yang membuat pihak rumah sakit kesulitan menjelaskan kepada
pasien, dan mejadi dilemma di rumah sakit bersangkutan. Belum lagi masalah tidak dibayarkannya
klain oleh pihak BPJS selama berbulan-bulan membuat pihak rumah sakit mengalami kerugian
milyaran rupiah, sehingga pihak rumah sakit khususnya swasta yang notabene untuk operasional
harus mandiri maka pihak rumah sakit berusaha mencari cash flow dengan cara membebani
kembali pasien untuk membayar alat atau obat dengan alasan tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Jika hal ini diketahui oleh pihak BPJS Kesehatan ini merupakan sebuah pelanggaran dan pihak
rumah sakit diancam pemutusan kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Berbeda halnya dengan
rumah sakit pemerintah yang operasionalnya khususnya gaji pegawai dibayarkan oleh pemerintah
sehingga direkur rumah sakit setidaknya tidak perlu memikirkan gaji pegawainya jika klain BPJS
tidak dibayar selama berbulan-bulan. Masalah lain yang muncul dari pihak rumah sakit adalah
adanya perbedaan nilai klaim untuk diagnose yang sama dengan perbedaan tipe rumah sakit
(rumah sakit tipe A, B, C dan D). Padahal untuk diagnose yang sama sebenarnya memerlukan
dokter pemberi pelayanan yang sama dan penanganan yang sama, namun mirisnya rumah sakit
tipe yang lebih rendah harus menerima nilai klain yang lebih rendah pula. Sehingga tak jarang
pihak rumah sakit pada diagnose tertentu dirasakan akan merugi, pasien kemungkinan dirujuk ke
rumah sakit lain dengan berbagai alasan (kamar penuh, atau butuh penanganan subspesialis). Hal
ini merembet menjadi beban bagi dokter penanggung jawab pelayanan.

Bagi pihak dokter, BPJS Kesehatan juga banyak menuai kontra. Hal yang paling prinsip misalnya
untuk dokter PPK I dibayarkan Rp 8.000,- perpasien perbulannya. Jika pasien ini memiliki
penyakit kronis semisal hipertensi maka nominal itu tentu saja tidak cukup, ini berlaku untuk
dokter PPK I dengan kapitasi peserta BPJS Kesehatan yang sedikit disertai dengan angka
kunjungan yang hampir sama dengan jumlah peserta BPJS. Namun berbeda halnya dengan Dokter
PPK I yang jumlah peserta BPJS-nya banyak namun angka kunjungannya relatif sedikit maka akan
menguntungkan dari segi pendapatan dokter PPK I. Lalu bagaimana dengan dokter spesialis?

Dalam 4 tahun terkahir ini pihak BPJS Kesehatan mengalami kerugian secara beruntun. BPJS
Kesehatan mengalami kerugian sebesar Rp. 3,3 Triliun (2014), Rp. 5,7 Triliun (2015), Rp. 9,7
Triliun (2016), dan Rp. 10 Triliun (2017). Defisit anggaran ini mengakibatkan tertundanya klaim
yang harus dibayarkan kepada rumah sakit. Tentunya akan mengakibatkan pihak fasilitas
kesehatan untuk tidak memberikan pelayanan diluar apa yang dijamin oleh BPJS Kesehatan,
karena adanya kekhawatiran tidak dibayarnya klaim yang akan diajukan. Sementara iur biaya tidak
diijinkan oleh pihak BPJS Kesehatan. Keterbatasan ini mengakibatkan dokter spesialis berpotensi
melanggar kode etik dan sumpah dokter, dimana wewenang dokter direduksi dan diintervensi oleh
BPJS Kesehatan dalam melakukan tindakan medis.

Dokter spesialis yang berperan di PPK II (Rumah Sakit) dituntut untuk memahami dan mau
terbuka dengan keberadaan BPJS Kesehatan. Karena Rumah sakit sebagian besar bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan, sehingga mau tidak mau dokter spesialis pasti akan berhubungan dengan
BPJS Kesehatan. Menjadi dokter spesialis di era BPJS tidaklah mudah. Pada zaman belum adanya
BPJS Kesehatan, dokter spesialis hanyalah memikirkan tentang pasien, diagnosa dan
pengobatannya atau hanya menjalankan ilmu medis. Dewasa ini dengan keberadaan BPJS
Kesehatan ada tambahan pertimbangan yang harus dipikirkan oleh dokter spesialis dalam
menangani pasien khususnya pasien BPJS. Kita sebagai dokter tentunya sangat ingin memberikan
pelayanan kesehatan kesehatan yang berkeadilan dan bermartabat. Dimana pelayanan bermartabat
merupakan pelayanan yang memposisikan pasien bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang
mempunya hak asasinya seperti, berhak mendapatkan pelayanan tanpa diskriminasi, berhak
menentukan keputusan klinis tanpa intervensi dari luar, termasuk oleh penjamin kesehatan pasien.

Dalam hubungannya dengan pasien, dokter spesialis harus menangani pasien lebih banyak
dibandingkan sebelumnya namun dengan waktu yang terbatas, sehingga dokter spesialis menjadi
melakukan pemeriksaan yang seperlunya saja. Tarif INACBGs yang masih belum sesuai membuat
keuangan rumah sakit menjadi kacau. Terutama untuk kasus rawat jalan yang terpaksa dirawat
inap, sebagai upaya rumah sakit untuk menutupi kecilnya klaim dari rawat jalan. Tentunya hal ini
akan meningkatkan Bed Occuppancy Rate (BOR) rumah sakit. Apabila BOR rumah sakit terlalu
tinggi, tentunya akan mengakibatkan tinggginya angka infeksi nasokomial di rumah sakit. Hal ini
tentunya kan memperburuk citra rumah sakit dan dokter spesialis yang merawat pasien. Pada
sebagian kasus, rumah sakit kerap melakukan upcoding untuk mendapatkan nilai klaim yang lebih
besar. Pada ujungnya dokter spesialis yang merawat yang akan terjerat hukum karena dinilai fraud
oleh BPJS Kesehatan.

Cara menyikapi hal ini adalah seorang dokter spesialis selayaknya bisa melihat kasus-kasus yang
perlu mendapat perhatian khusus atau yang perlu pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan lebih
lama. Kemudian dalam kaitannya dengan keperluan pemeriksaan penunjang, terkadang pada
sebuah diagnosa dokter spesialis memerlukan pemeriksaan penunjang, hal ini seiring juga dengan
tuntutan BPJS kesehatan bahwa pada diagnosa tertentu harus disertakan pemeriksaan penunjang,
sedangkan ada pemeriksaan yang harganya tidak mencukupi besaran nilai diagnose yang
dibayarkan. Hal ini membuat dokter spesialis harus berhati-hati mengusulkan pemeriksaan
penunjang. Clinical Pathway menjadi salah satu upaya dalam melakukan efisiensi dalam
perawatan pasien. Tidak hanya efesiensi lama perawatan, namun juga efesiensi pada pemeriksaan
penunjang serta terapi yang lebih rasional.

Hal yang berhubungan dengan pemberian terapi pasien, seorang dokter spesialis selain memahami
kondisi pasien juga dituntut untuk mengerti kondisi Rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Pada
beberapa diagnosa dengan nilai kasus yang dibayarkan cukup kecil, seorang dokter spesialis harus
mulai bijaksana memberikan terapi standar sesuai clinical pathway guna kepentingan bersama.
Solusi lain untuk nilai kasus yang dibayarkan cukup kecil adalah dokter spesialis selayaknya mau
membuka mata dengan system pembayaran BPJS Kesehatan. Disiplin dalam menuliskan diagnosis
dan tindakan selengkapnya, disiplin untuk mematuhi clinical pathway, hingga disiplin dalam
administrasi lainnya yang berujung pada pembayaran dari pihak BPJS yang tepat waktu.. Jika poin
penting ini bsa dilakukan oleh semua dokter spesialis, mebuka mata dan membuka wawasan
mengenai BPJS Kesehatan, maka dokter spesialis justru bisa membantu semua pihak, baik pasien
mendapatkan pengobatan yang lebih baik, rumah sakit tidak dirugikan karena minimnya besaran
klaim dan dokter itu sendiri akibat tidak terjadinya kerugian maka pemberian gaji atau jasa ke
dokter spesialis lancar.

Salah satu yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah selama ini kita hanya mengetahui BPJS
Kesehatan sebagai pemain tunggal dalam pelaksanaan program JKN. Padahal BPJS kesehatan
hanyalah salah satu pemain dari banyaknya pemain lain di dalam program tersebut seperti
Kementrian Kesehatan dan penyedia fasilitas kesehatan (puskesmas, klinik, rumah sakit).
Sehingga untuk mensuskseskan program JKN tidak bisa hanya melihat peran dari BPJS Kesehatan
saja, namun juga harus ada peran dari penyedia fasilitas kesehatan termasuk didalamnya dokter-
dokter spesialis. Hendaknya sebagai dokter spesialis, kita mulai membuka mata untuk BPJS jangan
hanya melihat sisi buruknya saja. Tapi harus terbuka, membuka hati dan pikiran menimbang
bahwa keputusan yg diambil oleh dokter spesialis sangat berpengaruh untuk kepentingan pasien,
Rumah Sakit, BPJS dan dokter itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai