Anda di halaman 1dari 18

DEGRADASI FOTOKATALITIK FENOL PADA LIMBAH

SASIRANGAN MENGGUNAKAN TITANIUM DIOKSIDA (TiO2) DAN


KOKATALIS HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2) DENGAN RADIASI
SINAR MATAHARI

PROPOSAL SKRIPSI

untuk memenuhi persyaratan


dalam menyelesaikan program sarjana strata-1 Kimia

Oleh:
M. RIDWAN BAIDHOWI
NIM J1B115407

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
SEPTEMBER 2018
PROPOSAL SKRIPSI

DEGRADASI FOTOKATALITIK FENOL PADA LIMBAH SASIRANGAN


MENGGUNAKAN TITANIUM DIOKSIDA (TiO2) DAN KOKATALIS
HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2) DENGAN RADIASI SINAR
MATAHARI

Oleh: M. Ridwan Baidhowi


NIM J1B15407

disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk melakukan penelitian dalam rangka


penulisan skripsi, pada tanggal:…………………
Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Taufiqur Rahman, M.Si Utami Irawati, S.Si., M.ES Ph.D


NIP. 19670309 199301 1 003 NIP. 19810214 200501 2 001

Mengetahui, Ketua Program Studi Kimia

Azidi Irwan. S.Si., M.Si


NIP. 19690929 199502 1 001
DEGRADASI FOTOKATALITIK FENOL PADA LIMBAH SASIRANGAN
MENGGUNAKAN TITANIUM DIOKSIDA (TiO2) DAN KOKATALIS
HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2) DENGAN RADIASI SINAR
MATAHARI

I. LATAR BELAKANG
Kain khas tradisional Suku Banjar dari Provinsi Kalimantan Selatan.
Industri sasirangan di Kalimantan Selatan umumnya merupakan industri
rumah tangga yang pengolahannya masih bersifat tradisional. Melihat sifat
kegiatan industri tersebut, sebagian besar para pengrajin tersebut belum
melakukan upaya pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan dan
langsung membuang ke badan perairan (Santoso dkk, 2014).
Fenol bersifat karsinogenik atau toksik yang dapat menyebabkan
kerusakan hati dan ginjal hingga kematian pada manusia meskipun dalam
konsentrasi yang rendah (Wardhani, 2008). Fenol dalam jumlah yang
besar dalam perairan dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut
sehingga fenol dipandang sebagai polutan. Berkurangnya kadar oksigen
terlarut dalam sistem perairan, akan menimbulkan dampak negatif yang
lebih luas, misalnya menganggu ekosistem hewan dan tumbuhan, juga
dapat mematikan secara langsung bakteri aerob (Sari, 2011). Oleh sebab
itu, sebelum dibuang ke lingkungan limbah yang mengandung fenol perlu
diproses terlebih dahulu untuk mengurangi toksisitasnya.
II. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Berapa konsentrasi optimum TiO2 yang efektif dalam proses
degradasi fotokatalitik fenol ?
2. Berapa konsentrasi optimum H2O2 yang harus ditambahkan agar
dapat meningkatkan efektifitas TiO2 dalam proses degradasi
fotokatalitik fenol ?
3. Berapa waktu kontak optimum yang diperlukan oleh TiO2/ H2O2
dalam proses degradasi fotokatalitik fenol ?
4. Berapa efisiensi degradasi fenol pada limbah sasirangan
menggunakan TiO2/ H2O2 secara aerasi maupun non aerasi?
III. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Mendapatkan konsentrasi optimum TiO2 yang efektif dalam proses
degradasi fotokatalitik fenol.
2. Mendapatkan konsentrasi optimum H2O2 yang harus ditambahkan
agar dapat meningkatkan efektifitas TiO2 dalam proses degradasi
fotokatalitik fenol.
3. Mendapatkan waktu kontak optimum yang diperlukan oleh
TiO2/H2O2 dalam proses degradasi fotokatalitik fenol.
4. Mendapatkan efisiensi degradasi fenol pada limbah sasirangan
menggunakan TiO2/ H2O2 secara aerasi maupun non aerasi
IV. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat diantaranya :
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai pengolahan limbah fenol
yang lebih efektif dan efisien.
2. Memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan H2O2 agar
dapat meningkatkan aktivitas TiO2 dalam proses degradasi
fotokatalitik fenol.
V. TINJAUAN PUSTAKA
5.1 Limbah Cair Sasirangan
Seiring perkembangan zaman, masyarakat semakin menyadari adanya
potensi ekonomi yang terkandung dalam kain Sasirangan. Hal ini dapat
dilihat dari semakin banyaknya penggunaan kain Sasirangan seperti baju
pesta, sandal, tas, dan dompet. semakin dihargainya hasil kerajinan lokal
memberikan nilai tambah ekonomis pada Sasirangan. Namun demikian,
harus juga diperhatikan bahwa ekonomisasi tanpa memahami spirit yang
terkandung dalam Sasirangan dapat menghilangkan “ruh” yang ada di
dalamnya. Penggunaan pewarna kimiawi misalnya, mungkin saja akan
lebih mengefektifkan pembuatan kain Sasirangan, tetapi juga harus
disadari bahwa penggunaan pewarna kimia dapat merusak nilai-nilai lokal
yang terkandung dalam kain Sasirangan.
Industri tekstil merupakan industri sasirangan yang menghasilkan
limbah cair. Hal ini dikarenakan proses penyempurnaan tekstil yang
memang selalu menggunakan air sebagai bahan pembantu utama dalam
setiap tahapan prosesnya. Pencemaran air dari industri sasirangan dapat
berasal dari buangan air proses produksi, buangan sisa-sisa pelumas dan
minyak, buangan bahan-bahan kimia sisa proses produksi, dan sampah
potongan kain.
Air buangan yang mengandung bahan kimia dan sisa-sisa pelumas
dapat mengubah warna, bahkan dapat mengakibatkan matinya makhluk-
makhluk air yang sangat penting artinya bagi ekosistem. Air buangan
industri kain sasirangan tergantung dari macam proses yang dilakukan,
kapasitas produksi, jenis bahan baku, bahan pewarna dan bahan tambahan
yang digunakan serta kondisi lingkungan tempat pembuangannya.
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan karakter air buangan
industri kain sasirangan dapat disamakan dengan karakter buangan air
industri tekstil yang meliputi parameter fisika seperti zat padat, suhu,
warna, dan bau; parameter kimia seperti lemak, minyak pelemas zat aktif
permukaan, zat warna, fenol, sulfur, pH, krom, tembaga, senyawa racun,
dan sebagainya (Rubiyah, 2000).
Hasil penelitian Utami (2003) menunjukkan bahwa limbah cair
industri kain sasirangan mengandung bahan pencemar yang belum
memenuhi syarat untuk dibuang ke lingkungan berdasarkan baku mutu
limbah cair industri tekstil yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 036 Tahun 2008 (Tabel
1).

Tabel 1. Kadar limbah cair sasirangan dan baku mutu limbah tekstil
(Utami, 2003).
Parameter Air Limbah Industri Baku Mutu Limbah Industri
Sasirangan* Tekstil**
pH 10,16 6,0-9,0
BOD - 60 ppm
COD 456,96 ppm 150 ppm
TSS 550 ppm 50 ppm
Fenol total 0,078 ppm 0,5 ppm
Krom total 23,451 ppm 1,0 ppm
Pb total 13,57 ppm -

Keterangan: * Penelitian (Utami, 2003)


** Baku mutu limbah tekstil berdasarkan Peraturan Gubernur
Kalimantan Selatan Nomor 036 Tahun 2008

5.2 Serabut Kelapa


Sabut dan tempurung kelapa merupakan limbah hasil pertanian yang
banyak dijumpai dan tersedia di Indonesia. Oleh petani, kedua limbah ini
biasanya hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Pemanfaatan untuk
keperluan lain seperti bahan kerajinan, furniture dan hiasan, belum dapat
memaksimalkan potensi limbah ini. Untuk itu perlu diupayakan
diversifikasi penggunaan sabut dan tempurung kelapa untuk meningkatkan
nilai tambah kedua limbah ini, salah satunya adalah sebagai bahan
adsorben. Struktur sabut dan tempurung kelapa tersusun atas natural
sellulose (sellulose, lignin, dan hemi sellulose) yang secara alami memberi
struktur berpori sehingga kedua bahan tersebut dapat digunakan sebagai
media adsorpsi. Sabut kelapa mengandung + 43 % sellulose, sedangkan
tempurung kelapa mengandung + 45 % sellulose (Palungkun, 2001).
5.3 Selulosa
Bahan-bahan alam yang mengandung lignoselulosa seperti batang
pisang, sabut kelapa, serbuk gergaji, dan jerami mempunyai kemampuan
adsorbsi yang cukup baik. Kemampuan adsorbsi bahan-bahan tersebut
dipengaruhi oleh zat-zat yang terikat dengan selulosa seperti lignin, tanin,
dan pektin yang mengandung gugus polifenol, hidroksil alifatik, dan
karboksil (Anirudhan et al., 2008). Kelemahannya adalah tidak bisa
bertahan lama dalam kolom serta mengeluarkan berbagai zat organik
selama proses adsorbsi. Modifikasi yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan selulosa dalam mengadsorbsi logam berat secara garis besar
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara langsung dan cara grafting,
yaitu mengganti monomer tertentu dengan selulosa dengan membuat
ikatan cabang (Siregar, 2009).

5.4 Logam Berat Kromium


Kromium merupakan logam berwarna abu-abu, di tambang dalam
bentuk bijih kromit, tidak berbau dan mengkilat. Kromium stabil pada
tekanan dan temperatur normal. Kromium terdapat dalam beberapa bentuk
senyawa. Bentuk yang paling umum adalah kromium(0), kromium(III) dan
kromium(VI) (Wiyarsi & Priyambodo, 2012).
Kromium merupakan elemen yang berbahaya dan dijumpai dalam
bentuk oksida kromium(II) sampai kromium(VI). Kromium bervalensi tiga
merupakan bentuk umum yang dijumpai di alam dan dalam material
biologis kromium selalu berbentuk tiga valensi. Adapun kromium enam
valensi merupakan salah satu material organik pengoksida tinggi.
Kromium tiga valensi memiliki sifat racun yang lebih rendah
dibandingkan dengan kromium enam valensi. Pada bahan makanan dan
tumbuhan, mobilitas kromium relatif rendah dan diperkirakan konsumsi
harian komponen ini pada manusia di bawah 100 µg, yang umumnya
berasal dari makanan, sedangkan konsumsi dari air dan udara dalam level
yang lebih rendah (Zargar, 2012).
Bahaya akut yang ditimbulkan oleh kromium dalam jangka pendek
antara lain bila debu atau uap kromium terhirup pada konsentrasi tinggi
dapat menyebabkan iritasi pada mata maupun kulit. Adsorpsi oleh tubuh
dalam jumlah yang cukup dari beberapa senyawa kromium dapat
menyebabkan pusing, haus berat, sakit perut, muntah, oliguria dan uremia
yang fatal. Adapun bahaya kronis yang ditimbulkan adalah dapat
menyebabkan borok (ulcerasi) pada nasal septum, iritasi pada tenggorokan
dan saluran pernafasan bagian bawah, gangguan pada saluran pencernaan
dan gangguan pada darah (Wiyarsi & Priyambodo, 2012).

5.5 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan salah satu sifat-sifat sistem koloid. Adsorpsi
adalah suatu proses penyerapan partikel suatu fluida (cairan maupun gas)
oleh suatu padatan hingga terbentuk suatu film (lapisan tipis) pada
permukaan adsorben. Padatan yang dapat menyerap partikel fluida disebut
bahan pengadsorpsi atau adsorben. Sedangkan zat yang terserap
disebut adsorbat. Secara umum Adsorpsi didefinisikan sebagai suatu
proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan,
oleh permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan
kimia fisika antara substansi dengan penyerapnya. Penyerapan partikel
atau ion oleh permukaan koloid atau yang disebut peristiwa adsorpsi ini
dapat menyebabkan koloid menjadi bermuatan listrik.
Metode adsorpsi memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah
prosesnya relatif sederhana, efektifitas dan efesiensinya relatif tinggi serta
tidak memberikan efek samping berupa zat beracun. Saat ini telah
dikembangkan beberapa jenis adsorben untuk mengadsorpsi logam berat,
salah satunya adalah dengan memanfaatkan selulosa. SeIuIosa memiIiki
gugus fungsi yang dapat meIakukan pengikatan dengan ion Iogam. Gugus
fungsi tersebut adaIah gugus karboksiI dan hidroksiI. Selulosa banyak
terkandung di daIam kuIit cokeIat dan kuIit kopi. SeIain itu juga, terdapat
pada jerami padi dan serabut tempurung kelapa (Safriant dkk, 2012).

5.6 Spektrofotometri Serapan Atom


Spektrofotometri serapan atom merupakan salah satu metode analisis
berdasarkan pada pengukuran banyaknya intensitas sinar yang diserap oleh
atomatom bebas dari logam yang dianalisis. Pada umumnya
spektrofotometer serapan atom digunakan untuk menetapkan unsur-unsur
logam dalam batu-batuan, tanah, tanaman, makanan, termasuk daging
serta bahan lainnya (Pecsok et al., 1976).
Atom-atom yang menyerap energi radiasi pada spektrofotometri
serapan atom adalah atom-atom yang berada pada tingkat energi dasar
(ground state). Penyerapan energi oleh atom-atom bebas menyebabkan
terjadinya elektron tereksitasi. Intensitas sinar yang digunakan untuk
eksitasi adalah sebanding dengan jumlah atom pada tingkat dasar yang
menyerap tenaga sinar tersebut. Dengan demikian konsentrasi unsur dalam
sampel dapat ditentukan dengan mengukur intensitas sinar yang diserap
(absorbansi) atau mengukur intensitas sinar yang diteruskan (transmitansi)
(Pecsok et al., 1976).
Pada analisis kuantitatif secara spektrofotometri serapan atom
hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi dapat dinyatakan pada
persamaan 5.
A = a. b. c ... (1)

Keterangan:

A = absorbansi/radiasi yang terabsorpsi


a = koefisien ekstingsi (L/mg.cm)
b = tebal larutan/lebar kuvet (cm)
c = konsentrasi sampel (mg/L) (Sugiharto, 1992).

VI. METODE PENELITIAN


6.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2018 sampai Oktober
2018 di Laboratorium Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Analisis logam
kromium menggunakan spektrofotometer serapan atom dilakukan di
Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lambung Mangkurat.
6.2 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Labu ukur, Pipet
volume, Gelas kimia, Pipet tetes, Buret, Corong, Cawan porselin,
Lumpang alu, Erlenmeyer, Cetakan batako panjang 3,5 cm diameter 2,5
cm, Neraca analitik AND GR–2000, pH meter cyberScan Con 400,
Desikator, Kertas saring halus, orbital shaker yellow line OS 10 basic,
Oven Memmert, Ayakan ukuran 100 mesh, Furnace Barnstead
Thermolyne, FAAS Perkin Elmer 5100 PC
6.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Serabut
kelapa, H3PO4, K2Cr2O7, KI, I2, Na2SO3.5H2O, Amilum, HCl, NaOH,
HNO3, KBrO3, H2SO4, Semen, Air, Pasir, Aquades.
6.4 Prosedur Kerja
6.4.1 Pembuatan arang serabut kelapa
Limbah serabut kelapa sebanyak 250 gram dibersihkan dan dipotong
kecil-kecil kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Serabut kelapa
kemudian diblender dan dimasukkan ke dalam drum (alat pembuatan
arang). Serabut kelapa dibakar sampai menjadi arang. Arang serabut
kelapa kemudian dibiarkan dingin dan dicuci dengan aquades hingga pH
netral. Arang serabut kelapa dikeringkan dengan oven dan diayak ukuran
100 mesh.
6.4.2 Pembuatan arang aktif serabut kelapa
Limbah serabut kelapa sebanyak 125 gram yang sudah dibersihkan
dan dipotong kecil-kecil, dikeringkan dengan sinar matahari. Serabut
kelapa kemudian diblender dan diaktivasi menggunakan asam phospat
10% (H3PO4) sebanyak 1,5 L dengan cara direndam selama 24 jam (Nur,
2012). Serabut kelapa yang telah diaktivasi dimasukkan ke dalam drum
(alat pembuatan arang) dan dibakar hingga menjadi arang aktif
(Darmayanti et al., 2012). Arang aktif serabut kelapa yang diperoleh
didinginkan sampai suhu kamar dan dicuci dengan aquades hingga netral.
Arang aktif kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC. Arang
aktif diayak dengan ayakan 100 mesh.
6.4.3 Standarisasi larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N dengan larutan
KBrO3
KBrO3 ditimbang secara analisis sebanyak 0,2797 gram. KBrO3
dilarutkan dengan aquades kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100
mL dan ditepatkan sampai tanda batas. 35 mL larutan dipipet ke dalam
Erlenmeyer 250 mL, dan ditambahkan 1 gram KI dan 3 mL H2SO4 3M.
Larutan dititrasi dengan natrium tiosulfat yang akan distandarkan sampai
warna kuning telah samar kemudian ditambahkan 1 mL larutan kanji
sebagai indikator. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru pada larutan
hilang. Normalitas larutan natrium tiosulfat dapat ditentukan.
6.4.4 Karakterisasi arang dan arang aktif
a. Uji Kadar Air
Arang serabut kelapa ditimbang seberat 1,0000 gram dan
dimasukkan ke dalam kurs porselin yang telah dikeringkan dan
diketahui beratnya. Kurs porselin yang telah berisi arang dimasukkan
ke dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, kemudian arang
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan yang sama juga
dilakukan untuk menguji kadar air arang aktif serabut kelapa.
b. Uji Kadar Abu
Arang serabut kelapa ditimbang seberat 1,0000 gram dan
dimasukkan ke dalam kurs porselin yang telah diketahui beratnya.
Kurs porselin yang telah berisi arang dimasukkan ke dalam furnace
pada suhu 750oC selama 3 jam. Arang yang telah menjadi abu,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot
tetapnya. Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk menguji kadar
abu arang aktif serabut kelapa.
c. Uji daya adsorp terhadap iodium
Daya adsorp terhadap iodium ditentukan dengan titrasi iodimetri.
Arang serabut kelapa sebanyak 0,5000 gram ditambahkan 25 mL
larutan iodium 0,1 N dan dikocok selama 15 menit kemudian disaring.
Larutan yang telah disaring kemudian ditepatkan ke volume semula
dengan ditambahkan aquades hingga 25 ml. Larutan fitrat dikocok
kemudian diambil sebanyak 5 mL dan titrasi dengan natrium tiosulfat
0,0972 N. Jika warna kuning telah samar ditambahkan larutan kanji
1% sebagai indikator. Titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru
hilang. Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk menguji daya
adsorp terhadap iod arang aktif serabut kelapa.
6.4.5 Pembuatan Larutan Standar
a. Pembuatan larutan baku Cr (VI) 1000 ppm, 500 m
K2Cr2O7 ditimbang dengan teliti sebanyak 1,4433 gram kemudian
dilarutkan dalam asam nitrat (HNO3) 1%, sehingga volumenya
menjadi 1 liter (Istri et al., 2013).
b. Pembuatan Larutan Cr (VI) 200 ppm 500 mL
100 mL larutan baku standar 1000 ppm dipipet dan dimasukkan ke
dalam labu takar 500 mL, kemudian ditepatkan hingga tanda batas
dengan menggunakan larutan HNO3 1%.
c. Pembuatan Larutan Cr (VI) 100 ppm 100 mL
10 mL larutan baku standar 1000 ppm dipipet dan dimasukkan ke
dalam labu takar 100 mL. Larutan ditepatkan hingga tanda batas
dengan menggunakan larutan HNO3 1%.
6.4.6 Pembuatan kurva kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat dengan cara mengukur absorbansi dari
konsentrasi larutan standar yaitu 0, 2, 3, 5, 10 dan 25 ppm, masing–
masing sebanyak 100 ml. Larutan standar Cr (VI) 0, 2, 3, 4, 10 dan 25
ppm dibuat dengan cara 0,0; 2,0; 3,0; 5,0; 10,0 dan 25,0 mL larutan Cr
(VI) 100 ppm dipipet dan dimasukan ke dalam labu ukur 100 mL,
kemudian diencerkan dengan HNO3 1% sampai tanda batas. Hasil yang
diperoleh, dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi
dan absorbansi pada panjang gelombang 357,9 nm.
6.4.7 Penentuan pH optimum adsorpsi
Erlenmeyer 50 mL sebanyak 5 buah, dimasukkan masing-masing
0,5000 g adsorben lalu ditambahkan 25,0 mL larutan Cr (VI) 200 ppm
dengan pH larutan masing-masing 1, 3, 5, 7, dan 9. Campuran kemudian
diaduk dengan orbital shaker selama 2 jam dengan kecepatan 150 rpm.
Campuran disaring dan filtrat dikembalikan ke volume semula dengan
penambahan aquades. Filtrat yang diperoleh, diukur absorbansinya
menggunakan SSA pada panjang gelombang 357,9 nm (Sudiarta et al.,
2011).

6.4.8 Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi


Erlenmeyer 50 mL sebanyak 5 buah, dimasukkan masing-masing
0,5000 gram adsorben dan ditambahkan masing-masing 25,0 mL larutan
Cr (VI) dengan konsentrasi 200 ppm dan pH optimum yang diperoleh.
Campuran diaduk dengan orbital shaker dengan kecepatan 150 rpm
selama masing-masing 10, 30, 60, 120 dan 150 menit. Campuran disaring
dan filtratnya dikembalikan ke volume semula dan dianalisis. Konsentrasi
akhir Cr (VI) dalam larutan ditentukan dengan mengukur absorbans filtrat
menggunakan SSA pada panjang gelombang 357,9 nm (Sudiarta et al.,
2011).
6.4.9 Adsorpsi logam Cr (VI) menggunakan pH dan waktu kontak
optimum
Erlenmeyer 50 mL sebanyak 5 buah dimasukkan 0,5000 g adsorben
dan ditambahkan masing-masing 25,0 mL larutan Cr (VI) dengan
konsentrasi 200 ppm dan pH optimum yang diperoleh. Campuran diaduk
dengan orbital shaker dengan kecepatan 150 rpm selama waktu optimum.
Campuran disaring dan filtrat dikembalikan ke volume semula dengan
penambahan aquades. Filtrat diambil untuk dianalisis. Konsentrasi akhir
Cr (VI) dalam larutan ditentukan dengan mengukur absorbansi filtrat
menggunakan SSA pada panjang gelombang 357,9 nm. Arang aktif yang
telah mengikat logam kemudian digunakan untuk campuran pembuatan
batako.
6.4.10 Pembuatan Batako
Dalam pembuatan batako arang serabut kelapa, pasir dicampur dengan
air dan diaduk hingga homogen. Campuran ditambahkan semen dalam
suatu wadah plastik dengan perbandingan bagian semen : agregat : air = 1
: 2,75 : 0,5 (Siagian dan Agus, 2013). Campuran kemudian diaduk hingga
merata menggunakan sendok semen. Adonan dituangkan dalam cetakan
batako dan dikeringkan untuk proses pengerasan (ageing) (Khusna et al.,
2013). Agregat yang dimaksud adalah pasir dan limbah adsorben dengan
perbandingan (2,70 : 0,05). Perawatan batako dilakukan dengan cara
dilakukan penyimpanan selama 7 hari. Perawatan batako dimaksud agar
proses pengerasan semen, pasir, arang berlangsung dengan sempurna
(Koryando et al., 2013). Pembuatan batako tanpa limbah arang aktif
dibuat sebagai pembanding/ kontrol.
6.4.11 Pelepasan logam pada batako
Satu buah batako direndam ke dalam 50 ml larutan pendesorpsi.
Larutan yang digunakan untuk mendesorpsi logam antara lain 0,1 M HCl
(pH : 1), 1x10-5 M HCl (pH : 5), aquades (pH : 7), 1x10-5 M NaOH (pH :
9) dan 0,1 M NaOH (pH : 13) (Wankasi et al., 2005). Perendaman
dilakukan selama 7 hari. Sebagai kontrol juga dilakukan perendaman
batako tanpa penambahan arang aktif. Air rendaman kemudian disaring
dan filtrat dikembalikan ke volume semula dengan penambahan aquades.
Filtrat diukur dengan SSA pada panjang gelombang 357,9 nm.
VII. JADWAL PENELITIAN
Kegiatan Bulan ke
1 2 3 4 5 6
Persiapan X
Pelaksaan penelitian X X X

Pengolahan data X X
Penyusunan skripsi X X

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Anirudhan, T.S., Divya, L., and Ramachandran, M. 2008. Mercury (ii)
removal from aqueous solutions and wastewaters using a novel
cation exchanger derived from coconut coir pith and its recovery. J
of Hazardous Materials. 157: 620–627.
Crini, G. & P.M. Badot. 2008. Application of Chitosan, A Natural
Aminopolysaccharide, for Dye Removal from Aqueous Solutions by
Adsorption Processes Using Batch Studies: A review of recent
literature. Program Polymer Science. 33: 399-447.

Darmayanti, N. Rahman dan Supriadi. 2012. Adsorpsi Timbal (Pb) dan


Zink (Zn) dari Larutannya Menggunakan Arang Hayati
(Biocharcoal) Kulit Pisang Kepok Berdasarkan Variasi pH. J. Akad.
Kim., 1(4): 159-165.

Khusna, H., W. Sunarto dan M. Alauhdin. 2013. Analisis Kandungan


Kimia dan Pemanfaatan Sludge Industri Kertas sebagai Bahan
Pembuatan Batako. Indo. J. Chem. Sci., 2(2): 131-135.

Koryando, Armada dan Alamsyah. 2013. Pengaruh Perbedaan Formulasi


terhadap Kuat Tekan Batako Arang Cangkang Kelapa Sawit.
Seminar Nasional Industri dan Teknologi, 2(1): 57 – 62.

Lelifajri. 2010. Adsorpsi Ion Logam Cu(II) Menggunakan Lignin dari


Limbah Serbuk Kayu Gergaji. Jurnal Rekayasa Kimia dan
Lingkungan. 7: 126129.
Nur, R. 2012. Pemurnian Minyak Goreng Bekas Menggunakan Arang
Aktif dari Sabut Kelapa. Skripsi. Papua: Universitas Negeri Papua.

Palungkun, R. 2001. Aneka Produk Olahan Kelapa. Cetakan VIII. Jakarta


: Swaday
Pecsok, R.L., L.D Shields, T. Cairns, & I.G William. 1976. Modern of
Chemical Analysis. Edisi Ke-2. John Wiley and Sons, New York.
Rahayu, L.H., S. Purnavita, & H.Y. Sriyana. 2014. Potensi Sabut dan
Tempurung Kelapa Sebagai Adsorben Untuk Meregenerasi Minyak
Jelantah. ISSN 0216-7395. Vol. 10 (1) 47-53.
Rubiyah. 2000. Teknologi Pengolahan Limbah. NICOM, Banjarmasin.
Safrianti, I., N. Wahyuni, T.A. Zaharah. 2012. Adsorpsi Timbal (Ii) Oleh
Selulosa Limbah Jerami Padi Teraktivasi Asam Nitrat: Pengaruh pH
Dan Waktu Kontak. ISSN 2303-1077. Vol. 1 (1) 1-7.
Santoso, U., E.S. Mahreda, F. Shadiq, & D. Biyatmoko. 2014. Pengolahan
Limbah Cair Sasirangan Melalui Kombinasi Metode Filtrasi Dan
Fitoremidiasi Sistem Lahan Basah Buatan Menggunakan Tumbuhan
Air Yang Berbeda. EnviroScienteae. ISSN 1978-8096. 10 (157-170).
Siagian, H. dan A. Dermawan. 2011. Pengujian Sifat Mekanik Batako
yang Dicampur Abu Terbang (Fly Ash). Jurnal Sains Indonesia.
35(1): 23 – 28.
Siregar, T.H. 2009. Pengurangan Cemaran Logam Berat Pada Perairan
Dan Produk Perikanan Dengan Metode Adsorbsi. Squalen. Vol. 4
(1).
Sudiarta, I.W., N.P. Diantariani dan D. A. Yulihastuti. 2011. Biosorpsi
Cr(III) pada Biosorben Serat Sabut Kelapa Teraktivasi Amonium
Hidroksida (NH4OH). The Excellence Research : UNIVERSITAS
UDAYANA.
Sugiharto, E.1992. Atomic Absorption Spectrometry. UGM Press,
Yogyakarta.
Utami, U.B.L. 2003. Pemanfaatan Karbon Aktif Limbah kayu Ulin
sebagai Adsorben Limbah Cair Sasirangan. Laporan Penelitian
Dosen Muda. FMIPA UNLAM, Banjarmasin.

Wankasi, H., & Spiff, A. I.2. 2005. Desorption of Pb2+ and Cu2+ from
Nipa Palm (Nypa fruticans Wurmb) Biomass. African Journal of
Biotechnology. 4(9): 923-927.
Zargar, F.H. 2012. Separation of Hexavalent Chromium from Water Using
Nanofiltration. Journal International. 1: 134-138.

Anda mungkin juga menyukai