Anda di halaman 1dari 17

PORTOFOLIO V

EPILEPSI

Disusun Oleh :

dr. Mirza Syahputra

Pendamping :

dr. Octavina

RSUD SIMEULUE
Kab. Simeulue
ACEH
2016
Nama Peserta:dr.Mirza Syahputra

Nama Wahana:RSUD Simeulue, Kabupaten Simeulue

Topik:Epilepsi

Tanggal (kasus): 27 Desember 2015


Nama Pasien: An.V No. RM :00 198

Tanggal Presentasi: 4 Januari 2016 Nama Pendamping:dr.Octavina

Tempat Presentasi:RSUD Simeulue

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi:

Seorang anak berusia 15 tahun dengan keluhan kejang yang dirasakan sejak ± 6 bulan . Bangkitan
kejang seluruh tubuh, terutama jika kelelahan dan jika sedang berpikir keras. Pernah berobat ke
Banda aceh dan diberikan obat sirup yang harus diminum setiap hari. Saat kejang pasien tidak
sadarkan diri. Setelah kejang pasien merasa lemas. Wajah tampak pucat

Tujuan:

Untuk mengetahui diagnosis tentang Epilepsi

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien: Nama: An. V Nomor Registrasi: 110931006610001


Nama klinik: Telp: Terdaftarsejak: 27 Desember 2015

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
2. Seorang anak berusia 15 tahun dengan keluhan kejang yang dirasakan sejak ± 6 bulan. Bangkitan
kejang seluruh tubuh, terutama jika kelelahan dan jika sedang berpikir keras. Pernah berobat ke
Banda aceh dan diberikan obat sirup yang harus diminum setiap hari. Saat kejang pasien tidak
sadarkan diri. Setelah kejang pasien merasa lemas. Wajah tampak pucat. Pasien juga mengeluhkan
perut terasa sakit, dan terasa panas di ulu hati. Riwayat sakit lambung (+)

3. Riwayat Pengobatan:
Pernah mendapatkan obat depakene dari dokter spesialis saraf

3. Riwayat kesehatan/Penyakit:Alergi obat (-), Kejang (+), TBC (-), Penyakit jantung (-)

4. Riwayat keluarga:Dermatitis atopi (-), rhinitis alergi (-), asma (-), Kejang (-), Batuk lama (-), TBC
(-), Penyakit jantung (-)

5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN)Di lingkungan


sekitar tidak ada yang sakit batuk pilek, TBC (-), DHF (-),
1. Lain-lain:
*PEMERIKSAAN FISIK :
- Keadaan umum : tampak lemah
- Kesadaran compos mentis
- Suhu : 36,5 ºC
- Tekanan Darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 64 kali/menit
- Pernafasan : 16 kali/menit
C : anemis (-), pupil isokor.
K : Inspeksi: Ictus Cordis tak tampak, pulsasi precordial (-), pulsasi epigastrium (-)
Palpasi: Ictus Cordis tak kuat angkat, thrill (-)
Perkusi: kesan batas jantung normal
Auskultasi: S1 S2 tunggal, Gallop/Murmur: -/-

R : Inspeksi: simetris,, tdk ada pernapasan tertinggal, retraksi interkosta (-), takipnea (-)
Palpasi: gerak napas simetris Dextra Sinistra
Perkusi: sonor Dextra Sinistra
Auskultasi: ves/ves, rhonki basah kasar-/-, wheezing expiratoar -/-, ekspirasi memanjang -
D : Bising usus normal, flat, kembung (-), BAB t.a.k.
U : BAK (+) Normal
I : kulit berwarna coklat, tidak ada kelainan pada kulit
M : kekuatan otot menurun (-), keterbatasan gerak (-) krepitasi (-)

Hasil Pembelajaran:

1. Definisi Epilepsi

2. Etiologi Epilepsi

3. Penegakan diagnosis Epilepsi


4. Penatalaksanaan epilepsi

Catatan :

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

 Subjektif
Seorang anak berusia 15 tahun dengan keluhan kejang yang dirasakan sejak
± 6 bulan. Bangkitan kejang seluruh tubuh, terutama jika kelelahan dan jika
sedang berpikir keras. Pernah berobat ke Banda aceh dan diberikan obat
sirup yang harus diminum setiap hari. Saat kejang pasien tidak sadarkan diri.
Setelah kejang pasien merasa lemas. Wajah tampak pucat . Wajah tampak
pucat. Pasien juga mengeluhkan perut terasa sakit, dan terasa panas di ulu
hati. Riwayat sakit lambung (+)

 Objektif
Pada pemeriksaan fisik anak tampak lemah, vital sign (RR: 16x/menit, N:
64x/menit, T: 36,7 C, TD: 100/60 mmHg), Kepala: anemis (-), Ikterik (-), Cyanosis
(-), Dypsneu (-), Cor: retraksi interkosta (-), Pulmo: Sonor +/+, rhonki -/-,

 Assesment(Penalaran Klinis)
Seorang anak berusia 15 tahun dengan keluhan kejang yang dirasakan sejak
± 6 bulan. Bangkitan kejang seluruh tubuh, terutama jika kelelahan dan jika
sedang berpikir keras. Pernah berobat ke Banda aceh dan diberikan obat
sirup yang harus diminum setiap hari. Saat kejang pasien tidak sadarkan diri.
Setelah kejang pasien merasa lemas. Wajah tampak pucat. Wajah tampak
pucat. Pasien juga mengeluhkan perut terasa sakit, dan terasa panas di ulu
hati. Riwayat sakit lambung (+). Dari gejala klinis yang didapatkan ditambah
dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan kasus ini sangat mengarah
ke Epilepsi. Gangguan ini akibat dari impuls saraf yang mengalami hiperaktivitas.
Kelainan ini bisa disebabkan karena penyakit saat pasien berusia kanak- kanak atau
kriptogenik simptomatik ataupun memang idiopatik. Pada pasien ini muncul tanpa
provokasi dari luar.

PLAN

Diagnosis : Epilepsi

Terapi

- Infus RL 20 tpm
- Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
- Depakene syr 2 cth 1
- Tab. B-Complex 2x1

Edukasi

- Memberitahukan kepada pasien tentang penyakit dan penyebab penyakit tersebut


dan menghindari stress
- Memberitahukan pasien bahwa kondisi ini bukanlah suatu kondisi yang menular
- Mengontrol pengobatan merupakan hal yang penting
- Pasien dapat beraktivitas dengan baik
- Perlu pendampingan terhadap pasien epilepsy

Konsultasi

Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan


Kepatuhan makan obat dan setiap habis obat dan jika ada Efek samping obat atau
pemantauan efek samping keluhan kesalahan minum obat
obat
Nasihat Setiap kunjungan Kepatuhan minum obat dan
perkembangan pengobatan
BAB I
PENDAHULUAN

Bagi orang-orang yang menderita epilepsi, realita sosial yang terus berlanjut mengenai
kondisi mereka yang memandang sebagai sebuah stigma. Stigma epilepsi memiliki tiga
tingkat yang berbeda, melalui internal, interpersonal, dan institusional, meskipun telah ada
perbaikan dalam sikap publik terhadap epilepsi, sisa-sisa ide "lama" tentang epilepsi terus
berlanjut di dalam masyarakat dan memberikan informasi konsep yang telah popular
sehingga dalam lingkungan sosial bermasyarakat akan memberikan kesulitan bagi mereka
yang menderita epilepsi. Permasalahan kualitas hidup dan kualitas sosial yang timbul dari
diagnosis epilepsi dapat mewakili sebagian besar tantangan menjalanakan hidup dan derajat
keparahan klinis dari penyakit tersebut. Hubungan antara stigma dan gangguan kualitas hidup
cukup banyak di dokumentasikan. Menanggulangi masalah stigma secara efektif
mensyaratkan bahwa semua tingkatan d mana ia beroperasi secara sistematis haruslah
ditangani secara benar (Jacoby & Austin, 2002).
Epilepsi adalah salah satu kondisi neurologis yang paling umum terjadi dan tidak
mengenal batasan usia, ras, kelas sosial, geografis, atau batas-batas nasional. Dampak
epilepsi terletak tidak hanya pada individu pasien, tetapi juga pada keluarga dan dampak
tidak langsung terhadap masyarakat. Beban epilepsi mungkin disebabkan oleh bahaya fisik
epilepsi akibat ketidakpastian akan timbulnya serangan kejang dan pengucilan sosial sebagai
akibat dari sikap negatif orang lain terhadap orang-orang dengan epilepsi, dan stigma dimana
terdapat pembatasan terhadap aktivitas sosial seperti anak-anak dengan epilepsi kemungkinan
besar dilarang untuk bersekolah, orang dewasa dilarang menikah, dan seringnya terjadi
penolakan pekerjaan. Selanjutnya, epilepsi adalah gangguan yang berhubungan dengan
konsekuensi psikologis yang signifikan, dengan peningkatan tingkat kecemasan, depresi,dan
harga diri yang rendah dibandingkan dengan orang tanpa kondisi ini (Epilepsy, 2003)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epilepsi
2.1.1 Definisi
Kata “epilepsi” berasal dari kata epilambanein dalam bahasa Yunani, yang berarti
“disita/dirampas, meluap-lupa oleh karena kejutan”. Epilepsi adalah gangguan otak serius
yang paling umum, tetapi sering dikelilingi oleh prasangka dan mitos, yang dapat diatasi
hanya dengan kesulitan yang besar. Beberapa garis besar sejarah dapat membantu dalam
memahami asal prasangka tersebut. (Epilepsy, 2003)
Epilepsi didefinisikan sebagai kondisi kejang berulang yang tak beralasan (unprovoked
seizures). Pada tahun 1870, Hughlings Jackson, ahli saraf terkemuka Inggris
mempostulasikan bahwa kejang disebabkan "pelepasan berlebihan dan tidak teratur dari
jaringan saraf otak pada otot”. Discharge tersebut dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran
seketika, perubahan persepsi atau gangguan fungsi psikis, gerakan kejang, gangguan sensasi,
atau kombinasinya (Ropper & Samuels, 2009).
Epilepsi sering didokumentasikan di zaman kuno. Sepanjang zaman, di berbagai
belahan dunia dan dalam budaya yang berbeda, epilepsi telah dikaitkan dengan banyak
kesalahpahaman. Namun, tidak sulit untuk memahami mengapa epilepsi dengan kejang tiba-
tiba dan dramatis, telah begitu membingungkan. Orang-orang dengan epilepsi dianggap
"terpilih" atau "dirasuki," tergantung pada kepercayaan populer yang berlaku. Penanganan
epilepsi ini terkena dampak dari sikap masyarakat terhadap orang-orang dengan epilepsi
(Epilepsy, 2003)

2.1.2 Insidensi
Insidensi epilepsi di negara maju biasanya berkisar antara 40 sampai 70 orang tiap
100.000 penduduk. per tahun, dan biasanya lebih tinggi pada anak-anak dan orang tua. Di
negara maju, orang miskin juga tampaknya memiliki insiden yang lebih tinggi namun
mengapa hal ini bisa terjadi, masih belum begitu jelas. Insiden di negara-negara miskin
biasanya jauh lebih tinggi daripada di negara maju, sering di atas 120 orang tiap 100 000
penduduk tiap tahun. Sanitasi yang buruk, sistem pelayanan kesehatan yang tidak memadai,
dan risiko tinggi infeksi otak dapat berkontribusi dalam epilepsi meskipun isu-isu
metodologis juga dapat berkontribusi (de Boer, Mula, & Sander, 2008).

2.1.3 Etiologi Epilepsi


Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik
dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya
trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua
epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua
orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20% -30%. Beberapa
jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid
(hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya
hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi (Sunaryo, 2007).

2.1.4 Klasifikasi Epilepsi


Klasifikasi ini pertama kali diusulkan oleh Gastaut pada tahun 1970 dan telah
disempurnakan berulang kali oleh Komisi Klasifikasi dan Terminologi Liga Internasional
Melawan Epilepsi (1981). Nomenklatur ini, didasarkan terutama pada bentuk klinis dari
kejang dan fitur-fitur elektroensefalografi (EEG), telah diadopsi di seluruh dunia dan disebut
sebagai Klasifikasi Internasional. Hal ini tercantum dalam Tabel 2.1 di bawah ini (Ropper &
Samuels, 2009).
Tabel 2.1 International Classification of Epileptic Seizures
I. Generalized seizures (bilaterally symmetrical and without local onset)
A. Tonic, clonic, or tonic-clonic (grand mal)
B. Absence (petit mal)
1. With loss of consciousness only
2. Complex—with brief tonic, clonic, or automatic movements
C. Lennox-Gastaut syndrome
D. Juvenile myoclonic epilepsy
E. Infantile spasms (West syndrome)
F. Atonic (astatic, akinetic) seizures (sometimes with myoclonic jerks)
II. Partial, or focal, seizures (seizures beginning locally)
A. Simple (without loss of consciousness or alteration in psychic function)
1. Motor–frontal lobe origin (tonic, clonic, tonic-clonic; jacksonian; benign childhood
epilepsy; epilepsia partialis continua)
2. Somatosensory or special sensory (visual, auditory, olfactory, gustatory, vertiginous)
3. Autonomic
4. Pure psychic
B. Complex (with impaired consciousness)
1. Beginning as simple partial seizures and progressing to impairment of consciousness
2. With impairment of consciousness at onset
III. Special epileptic syndromes
A. Myoclonus and myoclonic seizures
B. Reflex epilepsy
C. Acquired aphasia with convulsive disorder
D. Febrile and other seizures of infancy and childhood
E. Hysterical seizures

Angka kejadian epilepsy ini berubah sesuai dengan tingkatan usia, seperti yang terlihat pada
Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Jenis Epilepsi sesuai tingkatan usia yang sering terjadi
Sumber : (Ropper & Samuels, 2009)

2.2 Orang-orang dengan Epilepsi


Kesalahpahaman utama tentang epilepsi adalah bahwa hal itu mempengaruhi
intelektual. Hal ini tentu saja, tidak benar. Ada juga persepsi negatif umum dari kondisi
tersebut, yang berasal dari rasa takut akan kejang. Semua ini memberikan kontribusi terhadap
stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan kondisi tersebut, menghambat akses mereka
terhadap pendidikan, pekerjaan dan peran tanggung jawab (Maynard, 2013)

2.2.1 Pandangan Epilepsi di Masa Lampau


Keyakinan populer di masa lampau adalah bahwa epilepsi itu menular, perjanjian
zaman purbakala yang digunakan orang-orang untuk meludahi seseorang dengan kondisi
epilepsi dan menolak untuk menggunakan hidangan yang sama dalam satu meja. Pada masa
awal gereja Kristen, pendeta dan sinode, penderita epilepsi dipisahkan dari umatmya, karena
mereka takut bahwa akan menodai benda suci dan persekutuan. Keyakinan ini juga umum
terjadi selama abad pertengahan. Berthold Regensburg, pengkhutbah jerman abad ke-13
menulis karakter yang menular dari infeksi yang dibawa oleh pasien dengan nafas yang
"jahat". Pada abad ke-15 seorang profesor menulis "Oleh karena itu, tidak bicara atau mandi
dengan dia, karena dengan napasnya saja, mereka menginfeksi orang". Pada abad ke-18,
epilepsi masih diyakini dapat menular ke orang lain (Epilepsy, 2003).
Pada akhir abad ke-19, Samt dan lain-lain melaporkan bahwa orang dengan epilepsi
rentan terhadap kekerasan, diduga disebabkan oleh kecemasan dan halusinasi yang
mengerikan. Peningkatan minat psikiatri menyebabkan studi tentang perilaku orang-orang
dengan epilepsi pada periode antara kejangnya dan perkembangan "Karakter epilepsi".
Beberapa penulis menyalahkan kondisi sosial, menyatakan pandangan yang sangat modern,
didokumentasikan oleh Billod bahwa, "penderita epilepsi dihindari, pada semua wajah dia
mendapat hukuman isolasi. kemanapun ia pergi, ancaman dan hambatan timbul untuknya dan
kehidupannya, dia harus mengucapkan selamat tinggal kepada impian suksesnya bahkan
menolaknya bekerja di toko-toko mereka, selamat tinggal kepada mimpinya tentang
pernikahan dan selamat tinggal kebahagiaan. Ini adalah kematian terhadap jiwa". hal ini
cukup sempurna untuk menggambarkan dampak stigma pada kualitas hidup orang dengan
epilepsi pada saat ini (Epilepsy, 2003).

2.2.2 Pandangan Epilepsi di Masa Kini


Meskipun kemajuan klinis dan terapeutik yang signifikan pada abad sekarang ini,
orang-orang dengan epilepsi terus menderita diskriminasi tidak hanya di dunia berkembang,
tetapi juga di Barat. Sebuah survei yang dilakukan di Kentucky, Amerika Serikat, oleh
Baumann dkk menunjukkan bahwa orang tua lebih cenderung menderita epilepsi daripada,
misalnya menderita asma. Mereka juga dinilai kualitas hidup masa depan anak-anak secara
signifikan lebih rendah jika mereka memiliki epilepsi daripada jika menderita asma. Legislasi
berdasarkan stigma di banyak negara masih ada. Dahulu di Amerika Serikat misalnya, orang
dengan epilepsi dilarang menikah di 17 negara bagian, sampai tahun 1956. Pada tahun 1956,
18 negara bagian yang disediakan untuk sterilisasi orang-orang dengan epilepsi. Di Inggris
Raya, hukum yang melarang orang-orang dengan epilepsi menikah dicabut pada tahun 1970.
Di beberapa bagian dunia, epilepsi masih sering dipandang sebagai alasan untuk
membatalkan pernikahan atau hanya melarang mereka. Pengangguran dan setengah
pengangguran di kalangan orang-orang dengan epilepsi ada di seluruh dunia Di Amerika
Serikat, Hukum pertama yang melarang diskriminasi terhadap orang dengan cacat fisik
disahkan pada tahun 1973, namun hal ini memiliki lingkup terbatas, dan itu tidak sampai
tahun 1990 misalnya masih legal di Amerika Serikat untuk menolak orang dengan kejang
untuk masuk ke restoran, bioskop, pusat rekreasi dan tempat umum lainnya (Epilepsy, 2003).
2.2.3 Penyebab Stigma Epilepsi
Selama lebih kurang 50 tahun kebijaksanaan konvensional mengatakan bahwa semua
penyakit epilepsi disebabkan karena stigma sosial. Selama beberapa dekade kelompok
epilepsi telah dicerca terhadap stigma sosial dan ketidakpekaan dan kedengkian masyarakat
secara langsung merusak kehidupan orang-orang dengan epilepsi. Orang-orang dengan
epilepsi masih menderita gangguan sosial dan ekonomi. Stigma sosial sangat menarik bila
diterapkan pada epilepsi. Seberapa serius akan setiap pelanggaran itu, ada beberapa
diskriminasi yang serius di luar sana, seperti diskriminasi pekerjaan. Tindakan diskriminasi
hanya terjadi sekali dan beberapa saat, sebagian besar terdapat penghinaan dan begitu banyak
yang tidak sempat untuk mengurus hidupnya terhadap stigma di setiap kesempatan yang ada
(Mittan, 2005)
Problem non medis yang menjadi penyebab utama permasalahan konfrontasi orang-
orang dengan epilepsi adalah diskriminasi dalam bidang edukasi, pekerjaan dan penerimaan
sosial. Hal ini bahkan terjadi ketika orang-orang tidak mengetahui bahwa gejala kejang yang
dialaminya merupakan epilepsi (Foundation, 2009)
Orang-orang dengan disabilitas adalah cukup banyak diantara komunitas sosial.
Kerentanannya bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan disabilitas yang tersembunyi
seperti epilepsi dan kondisi neurologis lainnya dan disabilitas intelektual. Walaupun
kerentanan orang-orang yang hidup dengan epilepsi merupakan bagian dari gangguan itu
sendiri. ‘‘semua kondisi medis kronis memiliki dampak yang besar dalam kehidupan sehari-
hari, tetapi dampak yang dihasilkan oleh epilepsi jauh lebih besar”. Stigmatisasi
menyebabkan diskriminasi dan orang-orang dengan epilepsi telah menjadi target dari
kebiasaan perilaku merugikan di banyak bidang kehidupan, selama berabad-abad dan dalam
banyak kebudayaan, seperti yang pernah dinyatakan sebagai “Sejarah epilepsi dapat diringkas
sebagai 4000 tahun kebodohan, takhayul dan stigma, diikuti oleh 100 tahun pengetahuan,
takhayul dan stigma (de Boer, Mula, & Sander, 2008).

2.2.4 Stigma Terhadap Epilepsi


Dell mendefinisikan stigma sebagai hubungan "antara perbedaan dari individu dan
masyarakat yang devaluasi pada tempat itu yang menjadikannya perbedaan tertentutu.
Namun, untuk membuat stigmatisasi secara konsisten efektif, orang yang mengalami stigma
harus memegang kepercayaan yang sama dengan masyarakat yang merendahkannya. Orang
dengan epilepsi sering mengalami ini dan karena itu tidak merasa diberdayakan untuk
mengubah situasi. Memang, stereotip negatif orang dengan epilepsi telah begitu mendarah
daging (de Boer, Mula, & Sander, 2008).
Beberapa tahun yang lalu, sebuah survei transnasional yang dilakukan di Belanda,
Inggris, dan Irlandia di antara sekelompok profesional, termasuk psikolog, dokter, terapis,
dan pekerja sosial, mengungkapkan bahwa 15% dari 76 responden percaya akan adanya
"kepribadian epilepsi," dan 32% percaya bahwa epilepsi mempengaruhi kinerja intelektual.
Kesalahpahaman ini berkurang dengan pendidikan yang sesuai. McLin dan de Boer
menyatakan bahwa ini adalah inti dari diskriminasi, membentuk opini tentang orang lain
tidak didasarkan pada prestasi individu tetapi pada keanggotaan kelompok dengan
karakteristik yang diasumsikan tertentu. Dalam keputusan tahun 1987, Mahkamah Agung
Amerika Serikat memutuskan bahwa "review dari riwayat epilepsi memberikan contoh yang
menonjol bahwa ketakutan, bukan cacat itu sendiri, adalah dorongan utama untuk
diskriminasi terhadap orang dengan kecacatan". Putusan ini merupakan penegasan penting
hukum federal yang melarang diskriminasi atas dasar persepsi dari kondisi itu sendiri.
Bahkan saat ini, orang-orang dengan epilepsi mengalami masalah psikososial, terutama
dalam hubungan mereka dengan pekerjaan. Masalah ini biasanya tidak langsung
berhubungan dengan keparahan dari kejang yang dialami, melainkan adalah hasil
diskriminasi berdasarkan kesalahpahaman tentang kondisi yang mereka alami (Epilepsy,
2003).
Hubungan antara epilepsi dengan stigma telah meluas jauh kembali ke masa lampau
dan menyebar di banyak budaya . Dalam masyarakat kuno dan primitif, epilepsi sering
diyakini berasal dari penyebab yang ganas dan dihubungkan dengan dosa atau kerasukan
setan. Kejang yang sering dianggap sebagai pertanda buruk. Teori epilepsi sebagai penyakit
menular dan kegilaan juga bisa ditelusuri kembali ke zaman dahulu. Bahkan ketika
penjelasan biomedis untuk epilepsi diganti. Paradigma baru yang dibawa berkaitan antara
epilepsi dan stigma yang melekatnya, dengan studi yang menghubungkan epilepsi dengan
perilaku agresif atau kriminal, aktivitas seksual yang abnormal, degenerasi keturunan dan
kepribadian epilepsi spesifik. Penjelasan ini telah diperkuat dengan stereotip negatif dan oleh
karena itu ikut melestarikan stigma terhadap epilepsi. Studi terbaru di seluruh dunia telah
menemukan perbaikan dalam sikap publik terhadap epilepsi, meskipun tingkat pengetahuan
masih cukup statis, namun sisa-sisa ide "lama" terus menginformasikan mengenai konsep
populer tentang epilepsi, sehingga mispersepsi terus berlanjut disertai dengan sikap negatif .
Di Austria , 15 % dari survei responden akan keberatan anak mereka menikahi seseorang
dengan epilepsi. Di Republik Ceko 29% masih menganggap epilepsi sebagai bentuk kegilaan.
Di Inggris, lebih setengah dari 1.600 informan yang dipilih secara acak setuju bahwa orang
dengan epilepsi diperlakukan berbeda, termasuk penghindaran sosial dan eksklusi, mereka
menghubungkan hal ini sebagai bagian dari ketakutan terhadap ketidakmampuan para
penderita epilepsi. Lebih dari seperlima setuju bahwa orang dengan epilepsi memiliki
masalah kepribadian yang lebih banyak daripada mereka yang tidak menderita epilepsi.
Prevalensi sikap negatif tersebut cukup tinggi untuk menunjukkan bahwa kebanyakan orang
dengan epilepsi akan menemukan hal tersebut secara rutin (Jacoby & Austin, 2003).
Diskriminasi terhadap orang dengan epilepsi di tempat kerja dan dalam kaitannya
dengan akses terhadap pendidikan ini banyak terpengaruh oleh kondisi tersebut. Pelanggaran
hak asasi manusia sering lebih halus dan mencakup pengucilan sosial, yang diabaikan untuk
promosi kerja, dan penolakan hak untuk berpartisipasi dalam banyak kegiatan sosial yang
diambil begitu saja oleh orang lain dalam masyarakat. Pelanggaran hak asasi manusia dan
sipil yang lebih jelas dalam Negara-negara miskin terutama di mana telah terjadi riwayat
penyalahgunaan hak umum. Namun, praktek tersebut tidak terbatas pada negara-negara
berkembang dan masyarakat tradisional dan ada bukti pelanggaran hak asasi di negara maju
(de Boer, Mula, & Sander, 2008)

2.2.5 Aspek interpersonal Stigma Epilepsi


Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melibatkan sampel acak nasional dari 758
orang dewasa menemukan empat dimensi yang mendasari sikap saat ini tentang epilepsi.
Pertama, stereotip negatif mencerminkan keyakinan bahwa orang lain terus bertahan tentang
orang-orang dengan epilepsi misalnya, orang dengan epilepsi tidak dapat diandalkan atau
tidak boleh menikah. Kedua, risiko dan masalah keamanan yang menjadi kekhawatiran
publik, kekhawatiran yang mendasari tentang potensi bahaya jika orang dengan epilepsi
terlibat dalam kegiatan tertentu. Ketiga, pekerjaan dan peran yang tercermin tentang
kemampuan orang-orang dengan epilepsi untuk menjadi pekerja yang sukses dan peran
sosial. Keempat, ketakutan pribadi dan penghindaran sosial tercermin sebagai respon afektif,
seperti menjadi gugup di sekitar orang dengan epilepsi atau menjadi takut jika sendirian
dengan seseorang epilepsi. Banyak (27,3%) percaya bahwa ada kemungkinan kematian yang
tinggi pada setiap kejang. Tingkat pengetahuan yang lebih rendah tentang epilepsi dikaitkan
dengan persepsi yang lebih tinggi terhadap stigma epilepsi. Jelaslah bahwa mengatasi sikap
negatif orang lain harus mencakup reaksi berbasis pengetahuan dan berbasis emosi (Jacoby &
Austin, 2003).
2.2.6 Epilepsi dan Masalah Psikiatri dan Kebiasaan
Epilepsi adalah suatu kondisi kronis yang berhubungan dengan peningkatan
diskriminasi sosial. Orang dengan kejang menjadi orang –orang dengan resiko yang menetap
untuk menjadi tidak sadar dan terjatuh dan mengalami cedera. Dalam komunitas publik hal
ini adalah sesuatu yang memalukan. Sebagaimana dengan dengan kondisi kronis, epilepsi
dapat dihubungkan dengan demoralisasi dan perspektif negatif pada kehidupan dan pada
tahap lebih lanjut memiliki gangguan yang mempengaruhi suasana hati. Gangguan psikiatrik
dan gangguan psikologis tidak terobati pada orang-orang dengan epilepsi. Hasilnya adalah
epilepsi yang menjadi lebih rumit oleh adanya gangguan kejiwaan dan masalah perilaku yang
sering mengambil peran lebih besar.
Depresi, kecemasan , psikosis , dan defisit gangguan perhatian adalah hal yang umum
terjadi di antara orang-orang dengan epilepsi. Table 2.2 di bawah ini membandingkan tingkat
prevalensi gangguan kejiwaan antara orang-orang dengan epilepsi dan masyarakat umum.
Semakin tinggi tingkat prevalensi pada orang dengan epilepsi, ketika dibandingkan dengan
populasi umum, semakin mempersulit beban epilepsi, gangguan seperti kesehatan mental
merupakan masalah yang sering menjadi stigma epilepsi

Tabel 2.2 Prevalensi beberapa gangguan psikiatri pada pasien epilepsi


(de Boer, Mula, & Sander, 2008)
Gangguan Pasien dengan epilepsi Populasi umum
Distimia 3,3%, depresi
Depresi 11-60%
mayor 4,9-17%
Psikosis 2-9% Skizofrenia 1%
ADHD 12-37% 4-12%
Gangguan
15-25% 5-7%
kecemasan umum
Pobia sosial 15-20% 10-12%
Gangguan panik 5-21% 0,5-3%

2.2.7 Mengatasi Stigma Epilepsi


Pertama , kita perlu mengenali dan bertindak berdasarkan kompleksitas dan variabilitas
terhadap makna sosial epilepsi, baik di dan di dalam budaya. Kedua, kita perlu memahami
bahwa meskipun tidak semua orang dengan epilepsi merangkul gagasan stigma, namun bagi
mereka yang melakukannya ada dampak negatif yang jelas pada kualitas hidup mereka.
Ketiga, bagi mereka yang terpengaruh oleh stigma kita perlu membantu mereka
mengembangkan ketahanan dengan memberikan bimbingan tentang diskriminasi yang sah
dan solusi praktis dan dukungan untuk diskriminasi dan stigma. Keempat, kita perlu
membahas strategi coping negatif dan menantang asumsi-asumsi negatif pada orang dengan
epilepsi sendiri (baik orang dewasa dan anak), keluarga dan jaringan sosial yang lebih luas
melalui strategi intervensi di semua tingkatan di mana stigma beroperasi. Bagaimana
mendukung orang-orang dengan epilepsi sebagai kelompok kolektif adalah pertama -tama
harus menyadari bahwa kecacatan, dan stigma yang terkait adalah stigma sosial dan dapat
berubah. Perlu juga untuk menantang dan memiliki tujuan untuk mengurangi kesenjangan
pengolahan yang ada. Orang dengan epilepsi layak dirumuskan dengan baik melalui
dukungan legislatif seperti yang diwujudkan dalam Undang-undang Disabilitas Amerika
serikat (Jacoby & Austin, 2003)
BAB III
KESIMPULAN

Hal ini agak mengecewakan bahwa, meskipun semua upaya pendidikan dan
pencapaian beberapa kemajuan, kesalahpahaman tetap muncul dan orang-orang dengan
epilepsi terus menderita dari prasangka dan diskriminasi. Media sering membawa masalah ini
dengan menyebarkan informasi yang tidak akurat. Ada sedikit penyakit lain yang sangat
menderita namun kekeliruan ini masih terus terjadi. sepertiMeskipun kurangnya data tertentu
pada sejumlah daerah, ada sedikit keraguan bahwa epilepsi membebankan beban besar pada
individu yang terkena, keluarga mereka, dan masyarakat secara keseluruhan.
Peningkatan beban ini terwakili dalam banyak domain, termasuk kesehatan,
kesejahteraan psikososial, dan status ekonomi. Beban ini bahkan lebih dari sebuah isu di
negara-negara miskin sumber daya di mana pengobatan dan perawatan untuk orang dengan
epilepsi biasanya tidak tersedia. Masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah ini dan, akhirnya, untuk mengurangi epilepsi sedunia.
Daftar Pustaka

de Boer, H. M., Mula, M., & Sander, J. W. (2008). The Global Burden And Stigma of
Epilepsy. Epilepsy & Behavior, 540-546.

Epilepsy, I. L. (2003). The History and Stigma of Epilepsy. Epilepsia, 12-14.

Foundation, E. (2009). Epilepsy : Just the Facts. Retrieved September 30, 2013, from
Epilepsy: www.epilepsyfoundation.org

Jacoby, A., & Austin, J. K. (2003). Social Stigma For Adults And Children With Epilepsy.
Liverpool: University of Liverpool.
Maynard, P. (2013). Epilepsy : Beating the Stigma. Westbrook: An Independent Supplement
by Media Planet.

Mittan, R. J. (2005). How to Raise a Kid with Epilepsy. Philadelphia: Exceptional Parents
Magazine, vol 35, issue 11.

Ropper, A. H., & Samuels, M. A. (2009). Adams and Victor's Principles of Neurology 9th
edition. Boston: The McGraw-Hill.

Sunaryo, u. (2007). Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 1-12.

Anda mungkin juga menyukai