Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOTERAN MEI 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

PTERYGIUM

Disusun Oleh:

Gyztantika P. Patadungan

NIM. 2012-83-010

Konsulen

dr. Carmila L. Tamtelahitu, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Pterygium merupakan penyakit yang berpotensi menyebabkan kebutaan


dan mengganggu kosmetik, pada stadium lanjut memerlukan tindakan operasi
untuk perbaikan visus. Adanya faktor-faktor risiko, penyebab dan distribusi
penyakit ini berguna untuk memberikan strategi yang tepat dalam pencegahan
terjadinya pterygium .

Prevalensi terjadinya pterygium sangat besar (0,7-31%), dimana untuk


daerah urban pada orang kulit putih sekitar 1,2% dan sekitar 23,4% di daerah
tropis Barbados pada orang kulit hitam. Di Amerika Serikat, prevalensi terjadinya
pterigium berjumlah 2% di bagian utara serta 7% di bagian selatan. Prevalensi
pterigium berbeda-beda berdasarkan ras, luas dan lamanya paparan dari sinar
matahari. Namun, pada umumnya angka prevalensi pterygium pada daerah tropis
lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Berbagai teori patogenesis pterygium
menunjukkan bahwa paparan sinar ultraviolet merupakan penyebab utama
terjadinya pterygium.

Di daerah tropis seperti di Indonesia, dengan paparan sinar matahari


tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih tinggi dibandingkan daerah non-
tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa >40 tahun adalah 16,8%. Hasil
Riset Kesehatan Dasar ( RISKESDAS) tahun 2013 prevalensi pterigium 8,3%
dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali 25,2%, diikuti Maluku 18,0% dan
NTB 17,0%.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak


bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva
ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet.
Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan


melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat
keposterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan
episklera menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus kelenjar
lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali di limbus (tempat
kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga
pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, diatas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel-sel superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata
asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip
kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi
atas tarsus atas.
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
pelpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya.
Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus
V, saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan
forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola
mata mudah bergerak.

Gambar 2. Skema konjungtiva beserta kelenjarnya

2. Pterygium

A. Definisi

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degenerative dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan berwarna merah dan
mengenai kedua mata.

Gambar 3. Pterygium

B. Etiologi

Penyebab terjadinya pterygium masih belum diketahui secara pasti.


Paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus
diduga menjadi beberapa penyebab terjadinya penyakit. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan
pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan
banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
Ada beberapa pendapat mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen
suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa
adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor sel β
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut
termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,
seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal
atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau
olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang
multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun
kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area
tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja
seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke
area nasal tersebut.
Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai pterygium memiliki bentuk
yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,
antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis
ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif.
a. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya
sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada
orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.
b. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah
alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B
merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman
akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

C. Manifestasi Klinis

Pterigium tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata


iritatif, merah, atau mungkin menimbulkan astigmant yang akan memberikan
keluhan gangguan penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata
dan dellen (penipisan kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari Stocker)
yang terletak di ujung pterigium.

Gambar 4. Stocker Line


D. Klasifikasi

Klasifikasi Pterygium dibagi menjadi :

1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal atau temporal saja.


2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.

Grade pada Pterygium :


a. Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva
sklera masih dapat dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
b. Grade 2: pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
c. Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun),
mudah kambuh.

Gambar 5. Klasifikasi Pterygium

E. Faktor Risiko
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih
besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
pterygium.

F. Patofisiologi
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah
epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

G. Diagnosis
Anamnesis:
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan
adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada
daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya.

Pemeriksaaan fisik:
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.

Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang disebabkan oleh pterygium.

H. Tatalaksana
Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme
ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan. Lindungi mata
dari snar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila
terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat pula diberikan steroid.
Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
Pemberian vasokonstriktor perlu control dalam 2 minggu dengan pengobatan
dihentikan, jika sudah ada perbaikan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh
permukaan kornea atau bola mata.
Tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan eksisi adalah
suatu tindakan bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah mengganggu
penglihatan dan mengurangi risiko kekambuhan.

Teknik Operasi Pterygium

Indikasi dilakukannya eksisi oada pasien dengan pterygium adalah pada


kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila
ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis
visual, serta adanya gangguan pergerakan bola mata.
Beberapa teknik operasi yang dapat dijadikan pilihan, yakni:

a. Teknik bare sclera atau simple excision


Merupakan teknik insisi bagian kepala dan badan dari pterigium
menggunakan forsep dengan membiarkan sklera yang telanjang mengalami re-
epitelialisasi. Teknik ini mudah dan sederhana, namun memiliki angka
kekambuhan tinggi, yang telah dilaporkan yaitu antara 24 – 48%.
b. Teknik simple closure
Yaitu tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama, namun hanya efektif
jika defek pada konjungtiva sangat kecil.
c. Teknik conjungtival flap
Yaitu sliding flap dibuat suatu insisi bentuk L di sekitar luka kemudian
flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek dan rotational flap (insisi bentuk
U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang bisa di rotasi pada
tempatnya).
d. Teknik conjungtival autograft
Teknik dimana ada autograft biasanya dari konjungtiva bulbi
superotemporal, kemudian graft dijahit pada sklera yang terekspos setelah eksisi
pterigium. Angka kekambuhan yang telah dilaporkan yaitu 2 – 40% dengan
komplikasi jarang.
e. Teknik amniotic membrane transplantation
Digunakan membran dasar yang mengandung faktor penting untuk
menghambat inflamasi dan fiibrosis serta meningkatkan epitelialisasi agar
mencegah kekambuhan dari pterigium. Namun sayangnya, angka kekambuhan
bervariasi dari berbagai penelitian yaitu antara 2,6-10,7% untuk pterigium primer
dan mencapai 37,5% untuk pterigium berulang. Sedangkan keuntungan dari
teknik ini adalah terjaganya konjungtiva bulbi. Membran amnion ditempatkan
pada bare sclera.
f. Teknik lamellar keratoplasty
Digunakan bila penipisan kornea signifikan maka dilakukan transpalntasi
kornea partial thickness. Hal ini tidak biasa dan terutama terjadi pada kasus
kekambuhan yang mengikuti percobaan pembedahan sebelumnya dan kasus yang
melibatkan aksis penglihatan yang progresif.

I. Komplikasi
Komplikasi dari pterygia meliputi sebagai berikut:

a. Penurunan tajam penglihatan


b. Kemerahan
c. Iritasi
d. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
e. Astigmatisme

Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan


memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot
rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang
belum dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan
focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi
pterygium meliputi : Infeksi, diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous
dan yang sering adalah kambuhnya pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%,
namun kejadian ini akan berkurang sekitar 5-15% apabila menggunakan autograf
konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid
topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada
steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan
intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan
pemberian Mitomicin C intraoperatif.

J. Prognosis
Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya
prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga
tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah
kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %) sebaiknya dilakukan penyinaran dengan
Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang
menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.
BAB III

KESIMPULAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degenerative dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, akan berwarna merah dan
mengenai kedua mata. Dengan gejala klinik yang dirasakan iritatif, merah, atau
mungkin menimbulkan astigmant yang akan memberikan keluhan gangguan
penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen
(penipisan kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari Stocker) yang
terletak di ujung pterigium. Pengobatan untuk pasien pterygium adalah dengan
sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan
akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media
penglihatan. Lindungi mata dari snar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu
dapat pula diberikan steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
buatan dalam bentuk salep. Pemberian vasokonstriktor perlu control dalam 2
minggu dengan pengobatan dihentikan, jika sudah ada perbaikan. Pterygium dapat
tumbuh menutupi seluruh permukaan kornea atau bola mata.
DAFTAR PUSTAKA

1. RISKESDAS. Prevalensi pterygium. Available from :


http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013
2. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006
3. Nemeth SC and Shea C. Conjuctiva, Episclera, and Sclera. [online] 2017
[cited 2017 May 01]. Available from:
http://www.slackbooks.com/excerpts/67921/67921.asp
4. The College Of Optometrists. Pterygium. [online] 2017 [cited 2017 April
30]. Available from: http://www.med-
support.org.uk/IntegratedCRD.../Pterygium%20FINAL.pdf
5. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls; 2010
6. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2017 [cited 2017 Mei 01]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
7. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009
8. Anonymus. Pterigium. [online] 2017. [cited 2017 April 30] Available from
: http://www.dokter-online.org/index.php.htm
9. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2017 [cited 2017 Mei 01]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
10. Anonim, 2008, Conjungtivitis with Pseudomembrane,
www.Revoptom.com/handbook/SEC14.HTM

Anda mungkin juga menyukai