Anda di halaman 1dari 4

Kasus Prita Mulyasari

INILAH.COM, Jakarta – Penahanan Prita Mulyasari menghebohkan jagad hukum, media


massa dan pelaku dunia maya. Sebuah pemasungan kebebasan berpendapat gaya baru
berlindung kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Para aktivis HAM melihat penahanan Prita adalah bentuk penindasan, ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan aparat yang main tangkap dan menahannya begitu saja. Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia menyesalkan penahanan Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni
Hospital Alam Sutra.
Prita ditahan gara-gara keluhannya atas pelayanan rumah sakit yang tersebar di milis. Prita
menyebarkan email kepada 10 orang temannya yang berisi keluhannya terhadap rumah sakit
tersebut. Email tersebut kemudian menyebar luas ke mailing list. Prita keberatan dengan analisis
dokter yang menyebutkan dia terkena demam berdarah.
Dia merasa ditipu karena dokter kemudian memberikan diagnosis hanya terkena virus udara. Tak
hanya itu, menurut Prita dalam emailnya, dokter memberikan berbagai macam suntikan berdosis
tinggi.
Merasa jengkel, Prita kemudian berniat pindah ke RS lain. Namun, dia kesulitan mendapatkan
hasil laboratorium. Prita telah mengajukan keberatannya ke RS Omni Internasional dan tak
mendapatkan jawabannya.
Kemudian, ia menyampaikan keluhannya itu kepada teman-temannya melalui e-mail. Pihak RS
Omni Tangerang telah menjawab keluhan Prita melalui mailing list dan iklan di media massa.
Banyak kalangan ikut prihatin. Dewan Pers telah mengunjungi Prita Mulyasari (32). Namun
sebaiknya diteruskan juga untuk bertemu dengan Jaksa Agung dan Menteri Komunikasi dan
Informasi (Menkominfo).
Rombongan dipimpin Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara ke LP Tangerang. Dewan pers
menyampaikan simpati karena Prita mendapati kesulitan karena dituntut RS Omni menggunakan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Padahal dia hanya menyatakan pendapatnya,”
kata anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi.
Prita Mulyasari ditahan sejak 13 Mei 2009 karena diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) UU
Informasi dan Transaksi Elektronik yang ancaman hukumannya enam tahun.
Prita rencananya akan kembali menjalani sidang perdata pada 4 Juni mendatang setelah meminta
banding atas keputusan Pengadilan Negeri Tangerang per 11 Mei 2009 yang memenangkan
gugatan RS Omni.
Dewan Pers memang harus mencari kebenaran dari kasus Prita ini. Dewan Pers harus turun
tangan karena Prita menyatakan pendapatnya melalui media elektronik, yang diatur dalam UU
Pers.
Dalam UU Pers pasal 1 ayat 1 mengungkapkan, pers adalah wahana sosial yang mencakup
menyampaikan berita, mencari, mengolah, mengumpulkan, menyimpan berita baik secara
elektronik, cetak dan media lain yang tersedia. Media lain termasuk internet.
Dukungan bagi Prita juga makin meluas termasuk di situs jejaring sosial Facebook. Di sebuah
grup Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari, Penulis Surat Keluhan Melalui Internet Yang
Dipenjara, setidaknya ada delapan ribu orang yang mendukung dan meminta Prita dibebaskan.
Selain itu, terdapat juga sebuah grup Facebook lainnya yakni, Dukung Prita Mulyasari,
dukungan terus mengalir. Mulai dari kalangan yang memberikan kecaman terhadap RS Omni
maupun simpati kepada Prita.
Namun dari semua komentar, yang paling banyak mendominasi adalah mempertanyakan
penegakan hukum yang dilakukan aparat. Mereka menilai hukum masih belum berpihak kepada
yang benar. Selain grup dukungan terhadap Prita, masih ada lagi grup yang mengecam RS Omni.
Grup itu bernama “Say No To RS OMNI Internasional”.
Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur
Kholis, saat mengunjungi Prita, menyatakan, email yang ditulis Prita merupakan bagian hak
paling asasi seorang warga negara dan manusia di sebuah negara beradab. Bannyak kalangan
melihat kasus Prita bisa menjadi preseden buruk atas penegakan HAM dan demokrasi di
Indonesia.

*Diambil dari http://www.inilah.com

Kasus Susu Formula dan Perlindungan Konsumen


Posted: Senin, 04 Juni 2012

Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal menyangkut


kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun menunggu,
Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu formula bayi untuk usia 0-6
bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii.

Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu
formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni
2006 terkontaminasi E sakazakii.

Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah
menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal
menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata
hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.

Tanggung Jawab Produk


Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product liability, yakni
tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini dapat
kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha.

Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang
menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”

Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu
perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur
kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan seseorang.

Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan
melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi
salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Doktrin
tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana
diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak
yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar,
pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang
melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default). Apabila
ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi.
Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan
kontraktual tidaklah disyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-
unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian
berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum.

Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah pelaku
usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya.
Untuk membuktikan unsur “tidak lalai” perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi
negara tentang “Tata Cara Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau departemen yang
berwenang.

Kedigdayaan Produsen
Berdasarkan prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu mestinya tidak
dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur perbuatan
melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum dalam perkara
konsumen, seyogianya dilakukan “deregulasi” dengan menerapkan doktrin strict product liability ke
dalam doktrin perbuatan melawan hukum.

Hal ini dapat dijumpai landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya “cacat tersembunyi” pada produk yang dijual.

Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality),
kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia
gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain
karena mengonsumsi produknya.

Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di
Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.

Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum
dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14
Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat (living law).

Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang
masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan.
Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa
dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk.
Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian
dalam produknya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai