Anda di halaman 1dari 5

MATERI GENDER DALAM PERSPEKTIF PMII

"Mendorong Kepemimpinan Perempuan Nusantara


dan Gerakan Intelektual Perspektif Gender"

Dalam perjalanan sejarah bangsa, gerakan perempuan mewarnai perjuangan berdirinya bangsa
Indonesia. Beberapa tokoh perempuan berada di garis depan perjuangan melawan penjajah. Pada masa
mempertahankan kemerdekaan tokoh-tokoh perempuan berpartisipasi dan menyebar di berbagai
bidang. Masa orde baru pergerakan perempuan menyelusup diantara instansi-intansi dan mewarnainya
dengan isu-isu keperempuanan. Pada masa reformasi hingga saat ini, pergerakan perempuan justru
semakin nyata dalam menancapkan kukuhnya di dunia politik.

Gerakan perempuan Indonesia mencatat tanggal 22 Desember adalah sebuah titik awal sebuah gerakan
perempuan secara nasional. Gagasan itu dicerna kaum perempuan yang aktif dalam gerakan Kebangkitan
Nasional 1908. Gejolak rasa nasionalisme dibulatkan dalam bentuk Sumpah Pemuda tahun 1928,
kemudian ditindaklanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta.
Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Pada waktu itu resolusi penting
yang dideklarasikan adalah “tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi perempuan”.

Selayaknya kita mengambil spirit perjuangan perempuan Nusantara terdahulu, seperti Cut Nyak Dien
pernah memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada Tahun 1901 karena tentara Belanda
sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Kemudian Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan
Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-
benteng sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal,
dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan
nama Laksamana Malahayati. Perempuan lain yakni Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang
kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran
melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan
masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani. KOPRI belajar dari
kepemimpinan dan kegigihannya dalam membangun bangsa.
Bicara soal kepemimpinan perempuan ditingkatan mahasiswa, data dari Kementrian Pemberdayaan
Perempuan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi mahasiswi di organisasi kemahasiswaan tidak lebih
dari 20% dari jumlah seluruh aktitifis organisasi yang ada. Dari prosentase tersebut kebanyakan mahasiswi
hanya menduduki posisi kurang strategis seperti wakil bendahara, bidang kewanitaan, atau seksi
konsumsi dan administrasi jika dalam kepanitiaan. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk
kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur organisasi. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk
kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur organisasi. Fakta ini juga dapat dengan mudah kita lihat pada
aksi-aksi mahasiswa, seperti aksi mahasiswa tahun 1998 yang lalu. Aksi tersebut lebih banyak melibatkan
mahasiswa. dan jarang maju kedepan menjadi orator dilapangan. Kita dapat bandingkan gerakan kaum
ibu dengan gerakan mahasiswi dalam aksi mahasiswa pada tahun yang sama, mereka mengambil inisiatif
turun kejalan. Dalam sejarah kepengurusan Senat atau pemerintahan Mahasiswa sulit ditemukan seorang
perempuan yang mampu berada di garis terdepan pergerakan mahasiswa. Namun mulai reformasi
bergulir banyak aktifis perempuan yang menjadi garda depan dalam kepemimpinan, jumlah ini masih
sangat terbatas dan butuh perjuangan.

Ada beberapa indikasi yang dapat kita lihat lemahnya kepemimpinan perempuan yaitu dunia politik belum
menjadi pilihan menarik bagi perempuan kalangan intelektual. Mahasiwi belum maksimal dalam
melakukan bargaining dengan para mahasiwa/laki-laki dalam hal pengambilan keputusan. Mahasiswi
cenderung menjadi objek daripada subjek gerakan mahasiswa. Mahasiswi kebanyakan termasuk dalam
golongan mahasiswa kutu buku atau gaul/hedonis namun minus ideology.

Mahasiswa dan Gerakan Intelektual perspektif Gender

Dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa, mahasiswa adalah elemen penting terhadap perubahan-
perubahan yang radikal. Pada awal aband ke-12 dengan berdirinya Universitas Bologna di Paris. Lebih
dikenal dengan semboyan “Gaudeamuslgtiur, juvenes dum sumus” (kita gembira, selagi masih muda).
Sedangkan di Indonesia, Gerakan mahasiswa dan pemuda dimulai dengan Sumpah Pemuda 1928.
Selanjutnya mahasiswa pada angkatan 66, 74 dan 98, mahasiswa sebagai The agent of sosial control
sebagai pejuang penyalur aspirasi rakyat. Peran mahasiswa berulang kali telah menjadi tumpuan harapan
demi sebuah kehidupan bernegara yang lebih baik. Runtuhnya rezim orde lama menjadi orde baru dan
orde baru menjadi reformasi adalah hasil daya kritis mahasiswa yang mampu melihat kondisi yang tidak
ideal di masyarakat. Peran aktif mahasiswa sebagai kontrol sosial, agen perubahan ini diwujudkan melaui
wadah-wadah organisasi mahasiswa seperti PMII.
Gerakan Mahasiswa adalah gerakan intelektual, gerakan ini bermuara dari kalangan akademis kampus
yang mengedepankan rasionalitas dalam menyikapi permasalahan. Gerakan intelektual bermuara dari
tiga hal:

Pertama, Tradisi membaca (Reading Tradition) adalah tradisi pengembangan wacana, memperluas
wawasan. Mahasiswa harus selalu mengetahui perkembangan pengetahuan “Buku adalah Jendela
Dunia”. Membaca adalah pintu masuk awalanya pengetahuan. Tidak hanya berhenti dalam membaca
tetapi mahasiswa juga harus mampu mentransformasikannya kepada masyarakat. Kedua, Membangun
tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus banyak membuka ruang diskusi dan
sharing. Ini adalah upaya membuka cakrawala pengetahuan dan mendorong mahasiswa untuk selalu
belajar dan belajar. Ketiga, Tradisi menulis (Writing Tradision) adalah gerbang intelektual. Menulis bisa
bermacam-macam, menulis karya ilmiah, ataupun memulis berita. Kritik social hari ini banyak
didengungkan melalui media dan perjuangan aktivis dapat melalui ini media. Ini jauh efektif setelah
gerakan melalui pengorganisiran massa.

Gerakan Intelektual berbasis gender dimulai dari tiga tradisi tersebut yakni, membaca, diskusi dan
menulis. Tidak hanya membaca melalui literatur semata tetapi juga membaca dan menganalisa kondisi
sosial perempuan di masyarakat. Selanjutnya mendiskusikan, menyususun strategi, menganalisa,
mendorong munculnya kebijakan yang sensitive terhadap gender dan menulisnya sebagai upaya
transformasi sosial. Ketiga tradisi ini harus diperkuat dalam dunia gerakan kampus. Peran penting
Mahasiswi dalam organisasi kampus diantaranya:

1. Dunia kampus adalah penghasil pemikiran-pemikiran yang jadi sumbangsih peradaban bangsa. Hasil
pemikiran-pemikiran mahasiswi tentu menjadi sudut pandang tersendiri. Sumbangsih pemikiran dari
dunia kampus khususnya dari mahasiwi sendiri masih sangat langka kita temukan bagi perubahan kondisi
masyarakat, dan kaum perempuan khususnya.

2. Potensi kedudukan strategis mahasiwa dimasyarakat yang dapat masuk ke semua struktur sosial baik
kelas atas (high class), menengah (middle class), dan bawah (low class), adalah peluang bagi mahasiswi
sebagai mediator yang menyatukan berbagai kepentingan bersama dalam rangka mewujudkan kehidupan
masyarakat yang adil dan makmur.

3. Mahasiswi adalah sumberdaya yang sangat potensil bagi gerakan perempuan. Mahasiswi adalah
calon-calon tokoh profesional dan intelektual ketika di masyarakat. Pemilu yang lalu, ketika peran politik
perempuan begitu gencar di suarakan oleh para aktivis perempuan, dalam realisasinya terkendala dalam
sumber daya perempuan di dunia politik yang ternyata tak mencukupi. Meskipun dari data tingkat
pendidikan perempuan sudah cukup seimbang antara tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki. Bahkan
pengalaman di bangku perkuliahan, kaum perempuan biasanya menonjol dalam nilai akademis, namun
dalam hal terjun ke dunia politik hal ini masih langka. Ditambah lagi pengalaman mahasiswi dalam
berpolitik ketika masih di dunia kampus yang masih kurang memadai sebagai bekal berpolitik di
masyarakat.

Peran strategis KOPRI dalam mengawal Gerakan Intelektual dan Kepemimpinan Perempuan Nusantara

Wadah yang menaungi kader puteri PMII atau lebih dikenal dengan KOPRI (Korp Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia Puteri). Sejak berdiri dalam kongres ketiga Tahun 1967, KOPRI merupakan wadah
pemberdayaan perempuan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kader dan mengawal isu-isu
perempuan. Wadah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kader dan potensial kader puteri. Sebuah
gerakan yang memliki memiliki Paradigma Kritis Transformatif (PKT) dalam melihat realitas kebangsaan
dan berpijak pada Ahli sunnah Waljama’ah. Selain itu memandang bahwa berbagai bentuk penindasan
dan ketidak adilan terhadap perempuan berakar pada adanya cara berfikir dan bertindak yang
merendahkan martabat dan kemanusiaan kaum perempuan. Oleh karena itu, harus ada perubahan cara
berfikir dan bertindak bersama secara sadar dan terorganisir untuk menegakkan kembali martabat dan
kemanusiaan tersebut melalui proses penyadaran ditingkat mahasiswa dan semua elemen masyarakat.

Dengan adanya Kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di seluruh Indonesia, ini
adalah sebuah potensi besar untuk melahirkan kepemimpinan perempuan yang berkarakter, cerdas dan
dan visioner. Hal ini diperlukan kerja keras dan kerja cerdas Peningkatan Capacity buiding melalui
penataan kaderisasi dan pengawalan menjadi sangat penting.

Pada periode 2011-2013, visi KOPRI PB PMII adalah membangun sinegitas KOPRI dalam mengawal dan
memperkuat kepemimpinan perempuan Nusantara. Oleh karena itu KOPRI sebagai kawah candradimuka
(tempat pengkaderan, tempat penggodokan) pemimpin perempuan. Kerja ini dimulai dengan penguatan
sistem kaderisasi KOPRI dimulai dari Sekolah Kader KOPRI (SKK) dengan tiga tahapan. SKK I dilakukan
setelah Masa penerimaan anggota baru (Mapaba), SKK II setelah Pelatihan Kader Dasar (PKD) dan SKK III
setelah Pelatihan Kader Lanjut (PKL). Selain itu dilakukan juga Konsolidasi Kepemimpinan di lima region
yaitu, Sunda Kecil, Kalimantan, Indonesia Timur, Sumatera dan Jawa. Konsolidasi ini bertujuan untuk
memberikan penguatan kepemimpinan bagi kader perempuan PMII yang ada di seluruh Indonesia.
Setelah purna Konsolidasi Regional dikukuhkan kembali dalam Konsolidasi Nasional. Kerja-kerja ini
dibingkai dengan nama Konsolidasi Kepemimpinan Perempuan Nusantara. Karena gerakan Intelektual
dan Kepemimpinan perempuan Nusantara harus dilahirkan dari rahim PMII. Selain itu mengawal proses
penyadaran berkeadilan Gender dikalangan mahasiswa dan masyarakat dan memperjuangkan lahirnya
kebijakan yang berperspektif Gender berlandaskan nilai-nilai keadilan dan penghargaan.

Salam Pergerakan…!!!

Anda mungkin juga menyukai