Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
Pada akhir abad ke-20 terjadi 3 kejadian penting yang telah menghasilkan
perubahan mendasar pada sikap/perilaku masyarakat dan ilmuan tentang
farmakognosi. Pertama, orang awam menemukan kegunaan seluruh tumbuhan obat
atau yang umumnya mereka sebut dengan herbal. Ketidakpuasan terhadap kemanjutan
dan biaya obat modern ditambah dengan makin meningkatnya depresiasi terhadap
sesuatu yang bersifat ”alami” dan ”organik” telah mengakibatkan berjuta orang di
seluruh dunia menambah apresiasi yang mendalam terhadap penggunaan obat
tradisional untuk pengobatan bermacam penyakit.
Revolusi hijau dalam artian herbal obat saat ini sangat populer di AS, meski
belum dimengerti dan didukung oleh FDA yang mengklasifikasikan sebagian besar
tanaman obat sebagai suplemen diet atau bahan tambahan makanan dan memberi
aturan yang keras dalam pelabelan, namun nampaknya permintaan konsumen akan
meningkatkan minat terhadap penggunaan tanaman obat klasik sebagai obat
tradisional.
Kedua, pabrik-pabrik besar farmasi telah mempertimbangkan bahwa tanaman
yang secara turun temurun dikenal sebagai obat kemungkinan merupakan sumber
bahan baku terbaik untuk mendapatkan obat-obat baru maupun protoptype bagi
mereka. Karena situasi yang ada menyulitkan bagi tanaman obat tradisional untuk
memperoleh atau mendapatkan pasar yang eksklusif, maka pencarian tumbuhan obat
telah dialihkan ke tanaman-tanaman asing pada area tertentu seperti hutan-hutan
tropis. Saat ini perusahaan-perusahaan besar farmasi telah mengembangkan kerja
sama baik dengan individu-individu maupun oraganisasi-organisasi yang mencari
tumbuhan obat di beberapa negara seperti: Brazil, Costarica, China, Mexico, hingga
ke pulau Kalimantan dan Kepulauan Samoa. Usaha intensif ini tetntunya untuk
mendapatkan hasil yang positif berupa tumbuh-tumbuhan obat baru yang
memungkinkan dalam waktu ini.
Dan akhirnya, revolusi terbesar dari semuanya, yang masih dalam tahap
pertumbuhan, telah dimulai di lapangan yang secara bervariasi disebut sebagai
teknologi DNA rekombinan, teknik genetik, atau lebih spesifik lagi sebagai
farmakobioteknologi. Ini meliputi transfer material genetik dari satu oraganisme ke
organisme lainnya sehingga memungkinkan oraganisme tersebut menghasilkan
sejumlah komponen dari organisme awal yang berguna sebagai obat.
Penerapan teknik dalam farmakognosi pertama kali dilakukan secara komersiil
oleh Eli Lilly Company sehingga memungkinkan produksi insulin manusia oleh suatu
strain khusus bakteri E. Coli non patogen yang sebelumnya telah diubah secara
genetik melalui adisi dengan suatu gen untuk produksi insulin manusia.
Produksi komersil lainnya yang dihasilkan dari metode ini adalah aktivator
plasminogen jaringan, alteplase atau t-PA, suatu agen trombolitik. Agen ini disintesis
menggunakan DNA komplementer (c-DNA), untuk tipe jaringan alami manusia
aktivator plasminogen diperoleh dari suatu deretan dari sel-sel telur hamster Cina
yang selanjutnya akan mensekresi enzim alteplase ke dalam kultur. Selanjutnya,
enzim ini dikumpulkan, dimurnikan, dan dipasarkan. Contoh-contoh ini
memperlihatkan kemungkinan penerapan teknologi DNA rekombinan dalam produksi
obat-obat secara komersil.
Dalam menjanjikan sejarah singkat tentang perkembangan awal dan jatuh
bangkitnya disiplin ilmu farmakognosi, pembahasan sengaja dibatasi hanya pada
perkembangannya dalam kultur barat. Ini bukan berarti bahwa obat-obat yang berasal
dari tumbuhan dan hewan kurang berperan dalam kultur (budaya) Asia yang diwakili
oleh negara seperti China dan India. Di China, ensiklopedia obat Pen-ts` ao kang mu,
disusun oleh Li-Shih Chen dan dipublikasikan tahun 1596 yang berisi lebih dari 2000
jenis obat-obatan alami. Saat ini telah sekitar 5000 tumbuhan asli digunakan sebagai
herba obat di China. Vedas dari India, suatu koleksi himne (puji-pujian) yang ada
sebelum 1000 SM, memuat lebih dari 1000 herba obat yang sebagian besar masih
terus digunakan dalam pengobatan Ayurvedic.
Kebudayaan-kebudayaan tersebut hanya memberikan sedikit kontribusi obat-
obatan barat. Tumbuhan obat yang berguna seperti Ma huang (Ephedra) dari China
dan Ranwolfia dari India merupakan pengecualian. Namun demikian persepsi-
persepsi filosofis yang mendasari pengobatan China dan Ayurdevic secara
keseluruhan berbeda dengan persepsi yang mendasari pengobatan di barat.
Pengobatan China maupun Ayurvedic percaya bahwa penyakit disebabkan oleh
ketidakseimbangan elemen-elemen tertentu di dalam tubuh, mengingatkan kita pada
doktrin 4 elemen yang dikemukakan oleh Hypocrates. Penelitian obat-obat yang
didasarkian pada prinsip-prinsip filosofi seperti itu telah terbukti tidak produktif.
Hanya jika herbal obat tersebut dievaluasi dengan metode-metode yang digunakan di
barat barulah dapat dihasilkan obat-obat yang berguna seperti pada kasus Ephedra dan
Rauwolfia. Hal tersebut masih menjadi tugas yang belum terselesaikan bagi penelitian
tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk dijadikan obat.
Simplisia harus mempunyai identitas botani – zoologi yang pasti, artinya harus
diketahui dengan tepat nama latin tanaman atau hewan dari mana simplisia tersebut
diperoleh, misalnya : menurut Farmakope Indonesia ditentukan bahwa untuk Kulit
Kina harus diambil dari tanaman asal Cinchona succirubra, sedangkan jenis kina
terdapat banyak sekali , yang tidak mempunyai kadar kina yang tinggi. Atas dasar
pentingnya identitas botani – zoologi maka nama –nama tanaman atau hewan dalam
Farmakope selalu disebut nama latin dan tidak dengan nama daerah, karena satu nama
daerah seringkali berlaku untuk lebih dari satu macam tanaman sehingga dengan
demikian nama daerah tidak selalu memberikan kepastian identitas. Dengan demikian
menetapkan identitas botani – zoologi secara tepat adalah langkah pertama yang harus
ditempuh sebelum melakukan kegiatan-kegiatan lainnya dalam bidang farmakognosi,
sehingga persediaan simplisia di apotik digantikan dengan sediaan – sediaan galenik
yaitu, tingtur, ekstrak, anggur dan lain – lain.
Kemudian setelah kimia organik berkembang, menyebabkan makin
terdesaknya kedudukan simplisia di apotik - apotik. Tetapi hal ini bukan berarti
simplisia tidak diperlukan lagi, hanya tempatnya tergeser ke pabrik - pabrik farmasi,
Tanpa adanya simplisia di apotik tidak akan terdapat sediaan-sediaan galenik, zat
kimia murni maupun sediaan bentuk lainnya, misalnya: serbuk, tablet, ampul,
contohnya: Injeksi Kinin Antipirin, Secara sepintas Kinina antipirin dibuat secara
sintetis tetapi dari sediaan tersebut hanya Antipirin saja yang dibuat sintetis
sedangkan kinina hanya dapat diperoleh jika ada Kulit Kina, sedangkan untuk
mendapatkan kulit kina yang akan ditebang atau dikuliti adalah dari jenis Cinchona
yang dikehendaki. Untuk memperoleh jenis Cinchona yang dikehendaki tidak
mungkin diambil dari jenis Cinchona yang tumbuh liar, sehingga harus ada cara
pengumpulan dan perkebunan yang baik dan terpelihara. Dalam perkebunan ini
farmakognosi erat hubungannya dengan ilmu-ilmu lain misalnya: Biokimia, dalam
pembuatan zat-zat sintetis seperti Kortison, Hidrokortison dan lain - lainnya.mDari
contoh - contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup
Farmakognosi tidak terbatas pada pengetahuan tentang simplisia yang tertera
dalam Farmakope, tetapi meliputi pemanfaatan alam nabati- hewani dan mineral
dalam berbagai aspeknya di bidang farmasi dan Kesehatan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/89737722/pendahuluan-farmakognosi-sejarah
Anonim.,2008.Tanaman Obat Indonesia, http://www.bppt.go.id.Diakses 25 Februari
2009