Anda di halaman 1dari 91

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Osteoartritis

2.1.1 Definisi

Osteoarthritis (OA) adalah suatu kelainan pada sendi

yang bersifat kronik dan progresif biasanya didapati pada usia

pertengahan hingga usia lanjut ditandai dengan adanya kerusakan

kartilago yang terletak di persendian tulang. Kerusakan kartilago

ini bisa disebabkan oleh stress mekanik atau perubahan biokimia

pada tubuh (American College of Rheumatology, 2015).

Osteoarthritis merupakan salah satu tipe penyakit

arthritis yang paling umum terjadi terutama pada orang-orang

dengan usia lanjut. Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit

sendi degeneratif yang menyerang kartilago, yaitu suatu jaringan

keras tapi licin yang menyelimuti bagian ujung tulang yang akan

membentuk persendian. Fungsi dari kartilago itu sendiri adalah

untuk melindungi ujung tulang agar tidak saling bergesekan

ketika bergerak. Pada osteoarthritis, kartilago mengalami

kerusakan bahkan bisa sampai terkelupas sehingga akan

menyebabkan tulang dibawahnya saling bergesekan,

menyebabkan nyeri, bengkak, dan terjadi kekakuan sendi.

Semakin lama hal ini akan menyebabkan struktur sendi berubah

menjadi abnormal hingga dapat muncul pertumbuhan tulang yang

8
9

dinamakan ostheophytes yang akan semakin memperbesar

gesekan dan memperparah nyeri (National Institute of Arthritis

and Muskuloskeletal and Skin Disease, 2015).

2.1.2 Klasifikasi

2.1.2.1 Berdasarkan Etiologi

Berdasarkan etiologinya, osteoarthritis dibagi

menjadi 2 kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder.

Osteoartritis primer disebut juga sebagai osteoarthritis

idiopatik dimana penyebabnya tidak diketahui. Namun

demikian OA primer ini sering dihubungkan dengan

proses penuaan atau degenerasi. Osteoarthritis sekunder

terjadi disebabkan oleh suatu penyakit ataupun kondisi

tertentu, contohnya adalah karena trauma, kelainan

kongenital dan pertumbuhan, kelainan tulang dan sendi,

dan sebagainya (Maya Yanuarti, 2014).

2.1.2.2 Berdasarkan letaknya

Osteoarthritis dapat menyerang sendi mana pun.

Akan tetapi sendi yang paling sering terkena adalah sendi

yang teletak pada tangan, lutut, panggul, dan

vertebra.Osteoarthritis pada tangan diduga memiliki

karakteristik hereditas dimana bisa diturunkan dari

keluarga. Wanita lebih beresiko mengalami OA pada

tangan dibandingkan laki-laki. Pada kebanyakan wanita


10

terjadi setelah menopause. Sendi lutut merupakan sendi

yang paling sering mengalami osteoarthritis. Gejala dari

osteoarthritis pada lutut ini adalah kekakuan sendi,

bengkak, dan nyeri yang dapat menyebabkan kesulitan

berjalan dan melakukan aktifitas lain. Osteoarthritis pada

lutut dapat menyebabkan disabilitas.

Osteoarthritis pada sendi panggul juga merupakan

kasus tersering setelah osteoarthritis pada lutut. Gejala

yang dirasakan juga hampir sama dengan osteoarthritis

pada lutut, namun bedanya pada kasus ini gejala akan

terasa pada bagian panggul.

Osteoarthritis pada vertebra dapat memunculkan

kekakuan dan nyeri pada bagian leher maupun bagian

punggung bawah. Pada beberapa kasus perubahan

struktur tulang yang disebabkan oleh penyakit ini dapat

menyebabkan terjadinya penekanan saraf yang terletak di

columna vertebralis.

2.1.2.3 Berdasarkan Derajat Keparahan

Kellgren-Lawrence mengklasifikaskan tingkat

keparahan osteoarthritis berdasarkan gambaran radiologis

yang didapat. Gambaran radiologis yang dinilai terdiri

dari penyempitan joint space, ada atau tidaknya

osteophyte, subcondral sclerosis dan kista subkondral.


11

Dari penilaian tersebut, pengklasifikasian tingkat

keparahan osteoarthritis dikelompokan menjadi 4 grade,

yaitu :

1. Grade 0 : normal

2. Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit

3. Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis

subkondral, celah sendi normal, terdapat kista

subkondral

4. Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada

garis tulang, terdapat penyempitan celah sendi

5. Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah

sendi, terdapat kista subkondral dan sclerosis.

Tabel 2.1. Kriteria Derajat OA Berdasarkan KL


12

2.1.3 Anatomi dan fisiologi

Anatomi Sendi Lutut atau Articulatio genu merupakan

Articulation bicondylaris yang berfunsi sebagai sendi pivot-

engsel dan memiliki dua sumbu gerak. Sumbu transversa yang

digunakan dalam gerakan ekstensi dan fleksi terbentang antara

dua Condylus femoris. Sumbu longitudinal yang digunakan

dalam gerakan rotasi terletak eksentrik dan tegak melalui

Tuberculum intercondylare mediale (Paulsen & Waschke, 2010)

Bagian-bagian utama dari articulatio genu adalah tulang,

ligamentum, tendon, kartilago, dan kapsula sendi yang terbentuk

dari kolagen. Kolagen adalah jaringan fibrosus yang ada diseluruh

tubuh kita. Semakin kita mertambah usia, jumlah kolagen

semakin menurun. Sendi pada lutut bisa diklasifikasikan dalam

bentuk fungsional atau struktural. Klasifikasi fungsional

berdasarkan gerakan, dapat dikategorikan menjadi sinartrosis

(tidak dapat digerakkan), amfiartrosis (sedikit dapat digerakkan)

dan diartrosis (bebas digerakkan). Klasifikasi struktural dapat

dikategorikan menjadi sinovial, fibrosus dan kartilagineus.

Sendi sinovial yang normal memberikan jumlah gerakan

yang signifikan berhubungan dengan permukaannya yang sangat

halus. Sendi-sendi ini disusun dari kartilago artikular, tulang

subkondral, 9 membrane sinovial, cairan sinovial dan kapsula

sendi (Muscolino, 2017).


13

Gambar 2.1 Anatomi Sendi Lutut (Pearson Education, 2013)

Pada ujung tulang yang meyentuh tulang lainnya dibungkus

dengan kartilago artikular. Kartilago ini berwarna putih, halus,

jaringan pengikat fibrosus yang membungkus ujung tulang untuk

melindungi tulang dari gerakan sendi. Kartilago ini juga membuat

tulang bergerak lebih bebas terhadap satu sama lain. Kartilago

artikular terdapat di ujung akhir dari os femur atau tulang paha,

ujung atas os tibia atau tulang kering dan di belakang os patella

atau tempurung lutut. Diantara lutut terdapat menisci, bantalan

berbentuk cakram yang bekerja sebagai penyerap goncangan

(Muscolino, 2015).

Beban pada tulang kita dilindungi oleh kartilago artikular,

yang tipis, kuat, fleksibel, permukaan licin yang dilumasi oleh

cairan sinovial. Cairan ini kental dan lengket yang berfungsi

untuk melenturkan sendi 10 dibawah tekanan tanpa membuat

cedera. Cairan sinovial terbentuk dari ultrafiltrasi serum oleh sel-


14

sel yang membentuk membran sinovial. Sel sinovial juga

membuat asam hyaluronat (HA) yang merupakan

glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan merupakan komponen

utama pada cairan sinovial. Cairan sinovial memberikan nutrisi ke

kartilago artikular dan juga memenuhi kebutuhan viskositas untuk

menyerap goncangan dari gerakan lambat, dan kebutuhan

elasisitas dari gerakan cepat (Muscolino, 2017).

Gambar 2.2 Anatomi Tulang dan Otot Lutut (Canale, 2007)

2.1.4 Faktor Resiko

Faktor-faktor yang telah diteliti sebagai faktor risiko

osteoarthritis lutut antara lain usia lebih dari 50 tahun, jenis

kelamin perempuan, ras / etnis, genetik, kebiasaan merokok,

konsumsi vitamin D, obesitas, osteoporosis, diabetes melitus,

hipertensi, hiperurisemi, histerektomi, menisektomi, riwayat

trauma lutut, kelainan anatomis, kebiasaan bekerja dengan beban

berat, aktivitas fisik berat dan kebiasaan olah raga


15

(Wahyuningsih, 2009). Terjadi peningkatan dari angka kejadian

osteoarthritis selama atau segera setelah menopause karena faktor

hormon seks (Sheikh, 2013).

Menurut Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal yang

disusun oleh Helmi tahun 2012, terdapat beberapa faktor resiko

yang terdiri dari :

2.1.4.1 Peningkatan usia.

Osteoarthritis biasanya terjadi pada usia lanjut,

jarang dijumpai penderita osteoarthritis yang berusia di

bawah 40 tahun. Usia rata−rata laki yang mendapat

osteoartritis sendi lutut yaitu pada umur 59 tahun dengan

puncaknya pada usia 55 - 64 tahun, sedang wanita 65,3

tahun dengan puncaknya pada usia 65 – 74 tahun.

Presentase pasien dengan osteoarthritis berdasarkan usia

di RSU dr. Soedarso menunjukan bahwa pada usia 43-48

tahun (13,30%), usia 49- 54 tahun (16,06%), dan usia 55-

60 tahun meningkat (27,98%) (Arissa, 2012).

2.1.4.2 Obesitas

Membawa beban lebih berat akan membuat sendi

sambungan tulang bekerja dengan lebih berat, diduga

memberi andil pada terjadinya osteoarthritis. Setiap

kilogram penambahan berat badan atau masa tubuh

dapat meningkatkan beban tekan lutut sekitar 4


16

kilogram. Dan terbukti bahwa penurunan berat badan

dapat mengurangi resiko terjadinya osteoarthritis atau

memperparah keadaan steoarthritis lutut (Meisser, 2005).

2.1.4.3 Jenis kelamin wanita.

Angka kejadian osteoartritis berdasarkan jenis

kelamin didapatkan lebih tinggi pada perempuan dengan

nilai persentase 68,67% yaitu sebanyak 149 pasien

dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki nilai

persentase sebesar 31,33% yaitu sebanyak 68 pasien

(Arissa, 2012).

2.1.4.4 Riwayat trauma.

Cedera sendi, terutama pada sendi – sendi penumpu

berat tubuh seperti sendi pada lutut berkaitan dengan

risiko osteoartritis yang lebih tinggi. Trauma lutut yang

akut termasuk robekan terhadap ligamentum krusiatum

dan meniskus merupakan faktor timbulnya osteoartritis

lutut (Wahyuningsih, 2009).

2.1.4.5 Riwayat cedera sendi.

Pada cedera sendi perat dari beban benturan yang

berulang dapat menjadi faktor penentu lokasi pada

orang-orang yang mempunyai predisposisi osteoarthritis

dan berkaitan pula dengan perkembangan dan beratnya

osteoarthritis (Sudoyono,2009)
17

2.1.4.6 Faktor genetik.

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya

osteoartritis. Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau

gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan

sendi seperti kolagen dan proteoglikan berperan dalam

timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis

(Wahyuningsih, 2009).

2.1.4.7 Kelainan pertumbuhan tulang

Pada kelainan kongenital atau pertumbuhan tulang

paha seperti penyakit perthes dan dislokasi kongenitas

tulang paha dikaitkan dengan timbulnya osteoarthrtitis

paha pada usia muda (Sudoyono, 2009)

2.1.4.8 Pekerjaan dengan beban berat.

Bekerja dengan beban rata-rata 24,2 kg, lama kerja

lebih dari 10 tahun dan kondisi geografis berbukit-bukit

merupakan faktor resiko dari osteoarthritis lutut

(Maharani, 2007). Dan orang yang mengangkat berat

beban 25 kg pada usia 43 tahun, mempunyai resiko lebih

tinggi untuk terjadinya osteoarthritis dan akan meningkat

tajam pada usia setelah 50 tahun (Martin, 2013).

2.1.4.9 Tingginya kepadatan tulang

Tingginya kepadatan tulang merupakan salah satu

faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya


18

osteoarthritis, hal ini mungkin terjadi akibat tulang yang

lebih padat atau keras tak membantu mengurangi

benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi

(Sudoyono, 2009).

2.1.4.10 Gangguan metabolik menyebabkan kegemukan.

Berat badan yang berlebih ternyata dapat

meningkatkan tekanan mekanik pada sendi penahan

beban tubuh, dan lebih sering menyebabkan osteoartritis

lutut. Kegemukan ternyata tidak hanya berkaitan dengan

osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tetapi

juga dengan osteoartritis sendi lain, diduga terdapat

faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya

kaitan tersebut antara lain penyakit jantung koroner,

diabetes melitus dan hipertensi (Wahyuningsih, 2009).

2.1.5 Patofisiologi

Rawan sendi dibentuk oleh sel tulang rawan sendi

(kondrosit) dan matriks rawan sendi. Kondrosit berfungsi

mensintesis dan memelihara matriks tulang rawan sehingga

fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks

rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen.

Perkembangan perjalanan penyakit osteoarthritis dibagi menjadi 3

fase, yaitu sebagai berikut :


19

2.1.5.1 Fase 1

Terjadinya penguraian proteolitik pada matriks

kartilago. Metabolisme kondrosit menjadi terpengaruh

dan meningkatkan produksi enzim seperti

metalloproteinases yang kemudian hancur dalam matriks

kartilago. Kondrosit juga memproduksi penghambat

protease yang mempengaruhi proteolitik. Kondisi ini

memberikan manifestasi pada penipisan kartilago.

2.1.5.2 Fase 2

Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari

permukaan kartilago, disertai adanya pelepasan

proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan

sinovia.

2.1.5.3 Fase 3

Proses penguraian dari produk kartilago yang

menginduksi respons inflamasi pada sinovia. Produksi

magrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL-1), tumor

necrosis factor-alpha (TNF-α), dan metalloproteinase

menjadi meningkat. Kondisi ini memberikan manifestasi

balik pada kartilago dan secara langsung memberikan

dampak adanya destruksi pada kartilago. Molekul-

molekul pro-inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO)

juga ikut terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi


20

perubahan arsitektur sendi dan memberikan dampak

terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi.

Perubahan arsitektur sendi dan stress inflamasi

memberikan pengaruh pada permukaan artikular

menjadi kondisi gangguan yang progresif (Helmi, 2012).

Gambar 2.3 A Kiri : sendi lutut normal.B. Kanan : sendi lutut yang mengalami

osteoarthritis (Helmi, 2012)

2.1.6 Manifestasi klinis

Menurut Australian Physiotherapy Association (APA) (2003)

dalam Nur (2009) penyakit osteoarthritis mempunyai gejala-

gejala yang biasanya menyulitkan bagi kehidupan penderitanya.

Adapun gejala tersebut antara lain:


21

2.1.6.1 Nyeri sendi (recurring pain or tenderness in joint)

Keluhan nyeri merupakan keluhan utama yang

sering-kali membawa penderita ke dokter, walaupun

mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah

bentuknya. Biasanya nyeri sendi bertambah dikarenakan

gerakan dan sedikit berkurang bila istirahat. Pada gerakan

tertentu (misal lutut digerakkan ke tengah) menimbulkan

rasa nyeri. Nyeri pada osteoarthritis dapat menjalar

kebagian lain, misal osteoarthritis pinggang menimbulkan

nyeri betis yang disebut sebagai “claudicatio intermitten”.

Korelasi antara nyeri dan tingkat perubahan struktur pada

osteoarthritis sering ditemukan pada panggul, lutut dan

jarang pada tangan dan sendi apofise spinalis.

2.1.6.2 Kekakuan (stiffness)

Pada beberapa penderita, kaku sendi dapat timbul

setelah duduk lama di kursi, di mobil, bahkan setelah

bangun tidur. Kebanyakan penderita mengeluh kaku

setelah berdiam pada posisi tertentu. Kaku biasanya

kurang dari 30 menit.

2.1.6.3 Hambatan gerakan sendi (inability to move a joint)

Kelainan ini biasanya ditemukan pada osteoarthritis

sedang sampai berat. Hambatan gerak ini disebabkan oleh

nyeri, inflamasi, sendi membengkok, perubahan bentuk.


22

Hambatan gerak sendi biasanya dirasakan pada saat berdiri

dari kursi, bangun dari tempat berbaring, menulis atau

berjalan. Semua gangguan aktivitas tergantung pada lokasi

dan beratnya kelainan sendi yang terkena.

2.1.6.4 Bunyi gemeretak (krepitasi)

Sendinya terdengar berbunyi saat bergerak.

Suaranya lebih kasar dibandingkan dengan artritis

reumatoid dimana gemeretaknya lebih halus. Gemeretak

yang jelas terdengar dan kasar merupakan tanda yang

signifikan.

2.1.6.5 Pembengkakan sendi (swelling in a joint)

Sendi membengkak / membesar bisa disebabkan oleh

radang sendi dan bertambahnya cairan sendi atau

keduanya.

2.1.6.6 Perubahan cara berjalan atau hambatan gerak

Hambatan gerak atau perubahan cara berjalan akan

berkembang sesuai dengan beratnya penyakit. Perubahan

yang terjadi dapat konsentris atau seluruh arah gerakan

maupun eksentris atau salah satu gerakan saja (Sudoyono,

2009).

2.1.6.7 Kemerahan pada daerah sendi (obvious redness or heat in

a joint)
23

Kemerahan pada sendi merupakan salah satu tanda

peradangan sendi. Hal ini mungkin dijumpai pada

osteoarthritis karena adanya sinovitis, dan biasanya tanda

kemerahan ini tidak menonjol dan timbul belakangan

(Sudoyono, 2009)

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pada pasien osteoarthritis adalah untuk

mengurangi gejala dan mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi

otot. Penanganan pertama yang perlu dilakukan adalah dengan

memberikan terapi non farmakologis berupa edukasi mengenai

penyakitnya secara lengkap, yang selanjutnya adalah memberikan

terapi farmakologis untuk mengurangi nyerinya yaitu dengan

memberikan analgetik lalu dilanjutkan dengan fisioterapi

(Imayati, 2012).

Penanganan osteoatritis berdasarkan atas distribusinya (sendi

mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena.

Penanganannya terdiri dari 3 hal :

2.1.7.1 Terapi non-farmakologis

a. Edukasi

b. Terapi fisik dan rehabilitasi

c. Penurunan berat badan

2.1.7.1 Terapi farmakologis :

1. Analgesik oral non-opiat


24

2. Analgesik topikal

3. NSAID

4. Chondroprotective

5. Steroid intra-artikuler

2.1.7.2 Terapi bedah :

a. Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus

dsb

b. Arthroscopic debridement dan joint lavage

c. Osteotomi

d. Artroplasti sendi total

Terapi fisik berguna untuk melatih pasien

agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih

pasien untuk melindungi sendi. Terapi fisik membuat

penderita dapat beraktivitas seperti biasanya sekaligus

mengurangi resiko fisik yang tidak berfungsi dengan

baik. Terapi fisik pada penderita osteoartritis dapat

berupa fisioterapi ataupun olahraga ringan seperti

bersepeda dan berenang. Terapi fisik ini berusaha

untuk tidak memberikan beban yang terlalu berat

pada penderita (Nur, 2009).

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang umum adalah kekakuan sendi dan nyeri

tumpul yang dalam, terutama pada pagi hari. Pemakaian sendi


25

berulang-ulang cenderung menambah nyeri. Krepitus, suara

berderak akibat permukaan yang terpajan saling bergesekan,

sering terdengar pada kasus yang berat. Biasanya sendi agak

bengkak, dan mungkin terjadi efusi ringan.

2.1.9 Pemeriksaan penunjang

2.1.9.1 Sinar-X.

Gambar sinar X pada engsel akan menunjukkan

perubahan yang terjadi pada tulang seperti pecahnya

tulang rawan.

2.1.9.2 Tes darah.

Tes darah akan membantu memberi informasi untuk

memeriksa rematik.

2.1.9.3 Analisa cairan engsel Dokter akan mengambil contoh

sampel cairan pada engsel untuk kemudian diketahui

apakah nyeri/ngilu tersebut disebabkan oleh encok atau

infeksi.

2.1.9.4 Artroskopi

Artroskopi adalah alat kecil berupa kamera yang

diletakkan dalan engsel tulang. Dokter akan mengamati

ketidaknormalan yang terjadi.

2.1.9.5 Foto Rontgent menunjukkan penurunan progresif massa

kartilago sendi sebagai penyempitan rongga sendi


26

2.1.9.6 Serologi dan cairan sinovial dalam batas normal

2.1.10 Pathway

2.1.11 Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis

2.1.11.1 Pengkajian

1. Aktivitas/Istirahat

Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan memburuk

dengan stress pada sendi, kekakuan pada pagi hari,


27

biasanya terjadi secara bilateral dan simetris limitimasi

fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu

senggang, pekerjaan, keletihan, malaise. Keterbatasan

ruang gerak, atropi otot, kulit: kontraktor/kelainan pada

sendi dan otot

2. Kardiovaskuler

Fenomena Raynaud dari tangan (misalnya pucat

litermiten, sianosis kemudian kemerahan pada jari

sebelum warna kembali normal

3. Integritas Ego

Factor-faktor stress akut/kronis (misalnya finansial

pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan

Keputusasaan dan ketidakberdayaan (situasi

ketidakmampuan). Ancaman pada konsep diri, gambaran

tubuh, identitas pribadi, misalnya ketergantungan pada

orang lain.

4. Makanan / Cairan

Ketidakmampuan untuk menghasilkan atau

mengkonsumsi makanan atau cairan adekuat mual,

anoreksia. Kesulitan untuk mengunyah, penurunan berat

badan, kekeringan pada membran mukosa


28

5. Hygiene

Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas

perawatan diri, ketergantungan pada orang lain.

6. Neurosensori

Kesemutan pada tangan dan kaki, pembengkakan

sendi

7. Nyeri/kenyamanan

Fase akut nyeri (kemungkinan tidak disertai dengan

pembengkakan jaringan lunak pada sendi. Rasa nyeri

kronis dan kekakuan (terutama pagi hari).

8. Keamanan

 Kulit mengkilat, tegang, nodul sub mitaneus

 Lesi kulit, ulkas kaki

 Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan

rumah tangga

 Demam ringan menetap

 Kekeringan pada mata dan membran mukosa

9. Interaksi Sosial

Kerusakan interaksi dengan keluarga atau orang

lain, perubahan peran: isolasi.

10. Penyuluhan/Pembelajaran

 Riwayat rematik pada keluarga


29

 Penggunaan makanan kesehatan, vitamin,

penyembuhan penyakit tanpa pengujian

 Riwayat perikarditis, lesi tepi katup. Fibrosis

pulmonal, pkeuritis.

11. Pemeriksaan Diagnostik

 Reaksi aglutinasi: positif

 LED meningkat pesat

 protein C reaktif : positif pada masa inkubasi.

 SDP: meningkat pada proses inflamasi

 JDL: Menunjukkan ancaman sedang

 Ig (Igm & Ig G) peningkatan besar menunjukkan

proses autoimun

 RO: menunjukkan pembengkakan jaringan lunak,

erosi sendi, osteoporosis pada tulang yang

berdekatan, formasi kista tulang, penyempitan ruang

sendi

2.1.11.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut / Kronis b/d infalamsi pada sendi

2. Kerusakan mobilitas fisik b/d perubahan fungsi

sendi

3. Gangguan body image b/d timbulnya benjolan pada

pinggiran sendi
30

4. Kurang pengetahuan b/d penatalaksanaan

pembedahan

5. Resiko cedera b/d penurunan absorbs kalsium

2.1.11.3 Intervensi keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil

Nyeri akut NOC NIC


 Pain Level, Pain Management
Definisi : Pengalaman sensori  Pain control  Lakukan pengkajian nyeri
dan emosional yang  Comfort level secara komprehensif termasuk
tidak menyenangkan lokasi, karakteristik, durasi
yang muncul akibat Kriteria Hasil : frekuensi, kualitas dan faktor
kerusakan jaringan  Mampu mengontrol presipitasi
yang aktual atau nyeri (tahu penyebab  Observasi reaksi nonverbal dan
potensial atau nyeri, mampu ketidaknyamanan
digambarkan dalam menggunakan tehnik  Gunakan teknik komunikasi
hal kerusakan nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
sedemikian rupa mengurangi nyeri, pengalaman nyeri pasien
(International mencari bantuan)  Kaji kultur yang
Association for the  Melaporkan bahwa mempengaruhi respon nyeri
study of Pain): awitan nyeri berkurang dengan  Evaluasi pengalaman nyeri
yang tiba-tiba atau menggunakan masa lampau
lambat dan intensitas manajemen nyeri  Evaluasi bersama pasien dan
ringan hingga berat  Mampu mengenali tim kesehatan lain tentang
dengan akhir yang nyeri (skala, intensitas, ketidakefektifan kontrol nyeri
dapat diantisipasi atau frekuensi dan tanda masa Iampau
diprediksi dan nyeri)  Bantu pasierl dan keluarga
berlangsung <6 bulan.  Menyatakan rasa untuk mencari dan menemukan
nyaman setelah nyeri dukungan
Batasan Karakteristik : berkurang  Kontrol lingkungan yang dapat
 Perubahan tekanan darah mempengaruhi nyeri seperti
 Perubahan frekwensi jantung suhu ruangan, pencahayaan
 Perubahan frekwensi dan kebisingan
pernapasan  Pilih dan lakukan penanganan
 Laporan isyarat nyeri (farmakologi, non
 Diaforesis farmakologi dan inter personal)
 Perilaku distraksi (mis,berjaIan  Kaji tipe dan sumber nyeri
mondar-mandir mencari orang untuk menentukan intervensi
lain dan atau aktivitas lain,  Ajarkan tentang teknik non
aktivitas yang berulang) farmakologi
 Mengekspresikan perilaku  Berikan anaIgetik untuk
31

(mis, gelisah, merengek, mengurangi nyeri


menangis)  Evaluasi keefektifan kontrol
 Masker wajah (mis, mata nyeri
kurang bercahaya, tampak  Tingkatkan istirahat
kacau, gerakan mata berpencar  Kolaborasikan dengan dokter
atau tetap pada satu fokus jika ada keluhan dan tindakan
meringis) nyeri tidak berhasil
 Sikap melindungi area nyeri  Monitor penerimaan pasien
 Fokus menyempit (mis, tentang manajemen nyeri
gangguan persepsi nyeri,  Analgesic Administration
hambatan proses berfikir,  Tentukan lokasi, karakteristik,
penurunan interaksi dengan kualitas, dan derajat nyeri
orang dan lingkungan) sebelum pemberian obat
 Indikasi nyeri yang dapat  Cek instruksi dokter tentang
diamati jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Perubahan posisi untuk  Cek riwayat alergi
menghindari nyeri  Pilih analgesik yang diperlukan
 Sikap tubuh melindungi atau kombinasi dari analgesik
 Melaporkan nyeri secara ketika pemberian lebih dari
verbal. satu
 Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
Faktor Yang Berhubungan : optimal
Agen cedera (mis,  Monitor vital sign sebelum dan
biologis, zat kimia, sesudah pemberian analgesik
fisik, psikologis) pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala
32

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil

Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :


1. Joint Movement : Exercise therapy : ambulation
Berhubungan dengan : Active 1. Monitoring vital sign
a. Gangguan metabolisme 2. Mobility Level sebelm/sesudah latihan
sel 3. Self care : ADLs dan lihat respon pasien
b. Keterlembatan 4. Transfer performance saat latihan
perkembangan 5. Setelah dilakukan 2. Konsultasikan
c. Pengobatan tindakan keperawatan dengan terapi fisik
d. Kurang support selama….gangguan tentang rencana
lingkungan mobilitas fisik teratasi ambulasi sesuai dengan
e. Keterbatasan ketahan dengan kriteria hasil: kebutuhan
kardiovaskuler 6. Klien meningkat dalam 3. Bantu klien untuk
f. Kehilangan integritas aktivitas fisik menggunakan tongkat
struktur tulang 7. Mengerti tujuan dari saat berjalan dan cegah
g. Terapi pembatasan peningkatan mobilitas terhadap cedera
gerak 8. Memverbalisasikan 4. Ajarkan pasien atau
h. Kurang pengetahuan perasaan dalam tenaga kesehatan lain
tentang kegunaan meningkatkan tentang teknik ambulasi
pergerakan fisik kekuatan dan 5. Kaji kemampuan
i. Indeks massa tubuh kemampuan berpindah pasien dalam
diatas 75 tahun 9. Memperagakan mobilisasi
percentil sesuai dengan penggunaan alat Bantu 6. Latih pasien dalam
usia untuk mobilisasi pemenuhan kebutuhan
j. Kerusakan persepsi (walker) ADLs secara mandiri
sensori sesuai kemampuan
k. Tidak nyaman, nyeri 7. Dampingi dan Bantu
l. Kerusakan pasien saat mobilisasi
muskuloskeletal dan dan bantu penuhi
neuromuskuler kebutuhan ADLs ps.
m. Intoleransi 8. Berikan alat Bantu
aktivitas/penurunan jika klien memerlukan.
kekuatan dan stamina 9. Ajarkan pasien
n. Depresi mood atau bagaimana merubah
cemas posisi dan berikan
o. Kerusakan kognitif bantuan jika diperlukan
p. Penurunan kekuatan
otot, kontrol dan atau
masa
q. Keengganan untuk
memulai gerak
r. Gaya hidup yang
menetap, tidak
digunakan,
deconditioning
s. Malnutrisi selektif atau
umum
33

2. DO:
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan merubah
posisi
c. Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
d. Keterbatasan motorik
kasar dan halus
e. Keterbatasan ROM
f. Gerakan disertai nafas
pendek atau tremor
g. Ketidak stabilan posisi
selama melakukan ADL
3. - Gerakan sangat
lambat dan tidak
terkoordinasi
34

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan Hasil

Gangguan body NOC: NIC :


image Body image Body image enhancement
berhubungan Self esteem -1. Kaji secara verbal dan
dengan: Setelah dilakukan tindakan nonverbal respon klien
-Biofisika (penyakit keperawatan selama 4 x terhadap tubuhnya
kronis), pertemuan gangguan body a. Monitor frekuensi
kognitif/persepsi image pasien teratasi dengan mengkritik dirinya
(nyeri kronis), kriteria hasil: b. Jelaskan tentang
kultural/spiritual, 1. Body image positif pengobatan,
penyakit, krisis 2. Mampu perawatan, kemajuan
situasional, mengidentifikasi dan prognosis penyakit
trauma/injury, kekuatan personal c. Dorong klien
pengobatan 3. Mendiskripsikan mengungkapkan
(pembedahan, secara faktual perasaannya
kemoterapi, radiasi) perubahan fungsi tubuh d. Identifikasi arti
4. Mempertahankan pengurangan melalui
DS: interaksi sosial pemakaian alat bantu
- Depersonalisasi 2. - Fasilitasi kontak dengan
bagian tubuh individu lain dalam kelompok
- Perasaan kecil
negatif tentang
tubuh
- Secara verbal
menyatakan
perubahan gaya
hidup
DO :
- Perubahan
aktual struktur dan
fungsi tubuh
- Kehilangan
bagian tubuh
- Bagian tubuh
tidak berfungsi
35

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil

NOC:
Kurang Pengetahuan Kowlwdge : disease NIC :
Berhubungan dengan : process 1. Kaji tingkat pengetahuan
keterbatasan kognitif, Kowledge : health pasien dan keluarga
interpretasi terhadap Behavior 2. Jelaskan patofisiologi dari
informasi yang salah, penyakit dan bagaimana hal
kurangnya keinginan Setelah dilakukan ini berhubungan dengan
untuk mencari tindakan keperawatan anatomi dan fisiologi,
informasi, tidak selama 4 x pertemuan dengan cara yang tepat.
mengetahui sumber- pasien menunjukkan 3. Gambarkan tanda dan
sumber informasi. pengetahuan tentang gejala yang biasa muncul
proses penyakit dengan pada penyakit, dengan cara
kriteria hasil: yang tepat
1. Pasien dan keluarga 4. Gambarkan proses
menyatakan penyakit, dengan cara yang
pemahaman tentang tepat
penyakit, kondisi, 5. Identifikasi kemungkinan
prognosis dan program penyebab, dengan cara yang
pengobatan tepat
2. Pasien dan keluarga 6. Sediakan informasi pada
mampu melaksanakan pasien tentang kondisi,
prosedur yang dengan cara yang tepat
dijelaskan secara benar 7. Sediakan bagi keluarga
3. Pasien dan keluarga informasi tentang kemajuan
mampu menjelaskan pasien dengan cara yang
kembali apa yang tepat
dijelaskan perawat/tim 8. Diskusikan pilihan terapi
kesehatan lainnya atau penanganan
9. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
10. Eksplorasi kemungkinan
sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
36

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil

Risiko cidera NOC NIC


Risk Kontrol Environment Management
Definisi : Beresiko mengalami (Manajemen
cedera sebagai akibat Kriteria Hasil : lingkungan)
kondisi lingkungan 1. Klien terbebas dari 1. Sediakan Iingkungan yang
yang berinteraksi cedera aman untuk pasien
dengan sumber 2. Klien mampu 2. Identifikasi kebutuhan
adaptif dan sumber menjelaskan keamanan pasien, sesuai
defensif individu cara/metode untuk dengan kondisi fisik dan
mencegah fungsi kognitif pasien dan
Faktor Resiko : injury/cedera riwayat penyakit terdahulu
Eksternal 3. Klien mampu pasien
1. Biologis (mis, tingkat menjelaskan faktor 3. Menghindarkan lingkungan
imunisasi komunitas, resiko dari yang berbahaya (misalnya
mikroorganisme) lingkungan/perilaku memindahkan perabotan)
2. Zat kimia (mis, racun, personal 4. Memasang side rail tempat
polutan, obat, agenens 4. Mampu tidur
farmasi, alkohol, nikotin, memodifikasi gaya 5. Menyediakan tempat tidur
pengawet, kosmetik, hidup untuk yang nyaman dan bersih
pewarna) mencegah injury 6. Menempatkan saklar lampu
3. Manusia (mis, agens 5. Menggunakan ditempat yang mudah
nosokomial, pola fasilitas kesehatan dijangkau pasien.
ketegangan, atau faktor yang ada 7. Membatasi pengunjung
kognitif, afektif, dan 6. Mampu mengenali 8. Menganjurkan keluarga
psikomotor) perubahan status untuk menemani pasien.
4. Cara pemindahan/transpor kesehatan 9. Mengontrol lingkungan dari
5. Nutrisi (mis, desain, kebisingan
struktur, dan pengaturan 10. Memindahkan barang-
komunitas, bangunan, barang yang dapat
dan/atau peralatan) membahayakan
6. Internal 11. Berikan penjelasan
7. Profil darah yang abnormal pada pasien dan keluarga
(mis, leukositosis / atau pengunjung adanya
leukopenia, gangguan perubahan status kesehatan
faktor Koagulasi, dan penyebab penyakit.
trombositopenia, sel sabit,
talasemia, penurunan
hemoglobin)
8. Disfungsi biokimia
9. Usia perkembangan
(fisiologis, psikososial)
10. Disfungsi efektor
11. Disfungsi imun-autoimun
12. Disfungsi integratif
13. Malnutrisi
37

14. Fisik (mis, integritas kulit


tidak utuh, gangguan
mobilitas)
15. Psikologis (orientasi
afektif)
16. Disfungsi sensorik
17. Hipoksia jaringan

2.1.11.4 Implementasi

Implementasi adalah tindakan keperawatan yang

merupakan langkah keempat dari proses keperawatan

yang telah direncanakan oleh perawat untuk

dikerjakan dalam rangka membantu klien untuk

mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak

atau respon yang di timbulkan oleh masalah

keperawatan dan kesalahan. Implementasi adalah

tindakan keperawatan membantu klien untuk

mencapai tujuan perawatan yang telah direncanakan

(Muttaqin, 2009).

Implementasi komponen dan proses

keperawatan adalah kategori perilaku keperawatan

dimana tindakan yang dihadapi untuk mencapai

tujuan, dari hasil yang diperkirakan dari asuhan

keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Pottter dan

Perry, 2005 ; 903).


38

2.1.11.5 Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang terencana dan

sistematis dari mengumpulkan, mengelompokkan,

menganalisa dan membandingkan status kesehatan

klien dengan tujuan yang diharapkan, dan menentukan

tingkat pencapaian tujuan. Hal ini merupakan aktifitas

yang berkelanjutan yang meliputi klien, keluarga,

perawat dan anggota tim kesehatan lain.

Langkah evaluasi dari proses keperwatan

mengukur respon klien ke arah pencapaian tujuan.

Data dikumpulkan dengan dasar berkelanjutan untuk

mengukur perubahan dalam fungsi, dalam kehidupan

sehari- hari, dan dalam ketersediaan atau sumber

eksternal. Selama evaluasi, perawat memutuskan

apakah langkah proses keperawatan sebelumnya telah

efektif dengan menelaah respon klien dan

membandingkannya dengan perilaku yang disebutkan

pada kriteria hasil.


39

2.2 Konsep Diagnosa keperawatan Utama

2.2.1 Konsep Dasar nyeri

2.2.1.1 Pengertian nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa tidak nyaman, baik

ringan maupun nyeri berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu

keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya di

ketahui bila seseorang pernah mengalaminya

(Tamsuri,2015).

Menurut international association for study of pain (

IASP) nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang

tidak menyenangkan akibat terjadi kerusakan aktual maupun

potensial, atau menggambarkan terjadinya nyeri.

2.2.1.2 Jenis jenis nyeri

1. Nyeri akut

Menurut NANDA (2012) nyeri akut adalah

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan

yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam

kerusakan jaringan, awitan yang tiba tiba atau lambat

dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang

dapat diantisipasi atau diperideksi dan berlangsung < 6

bulan.
40

2. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten

yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini

berlangsungdi luar waktu penyembuhan yang di

perkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan

penyebab atau cidera spesifik.

2.2.1.3 Mekanisme neurologik nyeri

Sistem yang terlibat dalam sistem transmisi nyeri dan

persepsi nyeri disebut nosiseptif. Sentivitas terhadap

nosisptif dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor dari setiap

individu. Menurut Smelzer dan Bare (2010) faktor faktor

tersebut dapat meningkatkan sensitivitas komponen yang

berbeda dari sistem nosiseptif yang diuraikan sebagai berikut

2.2.1.4 Tranmisi nyeri

a. Reseptor nyeri : menurut Bare (2011) reseptor nyeri adalah

ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada

stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak.

Stimulus tersebut sifatnya bisa mekanik, ternal, kimia,

sendi, otot skelet, fasia dan tendon. Nyeri dari organ ini

akan diakibatkan dari stimuli reseptor yang kuat yang

mempunyai tujuan lain sebagai contoh infalamasi,

peregangan dan iskemia.


41

b. Resptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks.

Serabut saraf yang bercabang sangat dekat asalnya pada

kulit, dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh lokal, sel

sel mast, polikel rambut dan kelenjar keringat. Stimulus

serabut ini akan menyebabkan pelepasanya sel sel mast

dan mengakibatkan vasdilatasi. Serabut kutaneus lebih

kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan

berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra sistem

saraf dan dengan organ eksternal yang lebih besar.

2.2.1.5 Skala nyeri

Menurut Smetlzer dan Bare (2010) skala intensitas nyeri

Pengukuran nyeri terdiri dari pengakuan komponen sensorik

(intensitas nyeri) dan pengukuran komponen afektif

( toleransi nyeri).

2.2.1.6 Pengukuran komponen sensorik

Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk

memeriksa nyeri yaitu Verbal Rating Scale (VRS) , visual

analogue, Scala (VA), dan Numerical Rating Scala (NRS).

VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat

untuk menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda,

range dari “ no pain” sampai “ nyeri hebat” ( extreme pain).

VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk

memeriksa intensitas nyeri , VRS biasanya diskore dengan


42

memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan

tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh , dengan

menggunakan skala 5 point yaitu none ( tidak ada nyeri)

dengan skore 0, mild ( kurang nyeri ) dengan skore 1,

moderate ( nyeri sedang) dengan skore 3, very severe ( nyeri

yang sangat keras) dengan skor 4, angka tersebut berkaitan

dengan sifat dalam VRS , kemudian digunakan untuk

memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien.

Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidak

mampuan klien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok

untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan klien

yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan.

Numerical Rating Scale adalah suatu alat ukur yang

meminta klien untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan

level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0-10 atau

0-100. Angka 0 bearti no pain dan 10 atau 100 bearti severe

pain ( nyeri hebat). Dengan skala NRS 101 dan skala NRS

11 point, dokter/ trapis dapat mem[peroleh data basic yang

bearti dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap

pengobatan berikutnya untuk memonitor apakah terjadi

kemajuan.

VAS adalah alat ukur lainya yang digunakan untuk

memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15


43

cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level

intensitas nyeri ( ujung kiri diberi tanda “no pain” ( tidak

nyeri) dan ujung kanan diberi tanda “ bad pain”( nyeri

hebat). klien diminta untuk menandai disepanjang garis

tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan

klien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada

tanda yang diberi oleh klien , dan itulah skor yang

menunjukan level intensitas nyeri. Kemudian skor itu dicatat

untuk melihat kemajuan pengobatan / terapi selanjutnya,

secara potensial VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri

dari pada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5 point

karena responya lebih terbatas( Jensen, 2012).

Nyeri merupakan salah satu gangguan yang sering kita

rasakan, namun sedikt yang tau apakah nyeri kita termasuk

ringan atau berat. Biasanya seorang dokter akan

menanyakan tingkat nyeri yang kita rasakan berdasarkan

urutan angka dari 0-10 , sehingga terapi yang diberikan akan

tepat pada sasaran, tidak melebihi dosis yang dibutuhkan.

Berikut ini ukuran skala nyeri dari 0-10


44

Skala nyeri

0 Tidak nyeri

1 Seperti gatal/tersentrum/

nyut

2 Seperti melilit

3 Seperti perih

4 Seperti kram

5 Seperti tertekan/

tergesek

6 Seperti terbakar/ ditusuk

tusuk

8 Sangat nyeri tapi dapat

dikontrol

9 Sangat nyeri tapi dapat

dikontrol

10 Sangat nyeri dan tidak

bisa dikontrol

Keterangan : 1-3: nyeri ringan

4-6: nyeri sedang

7-9: nyeri berat

10: sangat nyeri


45

2.2.2 Faktor –faktor yang mempengaruhi nyeri

2.2.2.1 Usia

Menurut Pptter dan Perry ( 2010), usia adalah variabel

yang penting mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan

orang dewasa . perbedaan perkembangan yang ditentukan

antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi

bagaiman anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri.

Anak anak kesulitan untuk memahami nyeri dan

beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat

menyebabkan nyeri. Anak anak yang bekum mempunyai

kosa kata yang banyak , mempunyai kesulitan

mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri

kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa

mengungkapkan nyeri, sehiingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami

kerusakan fungsi ( Tamsuri, 2010).

2.2.2.2 Jenis kelamin

Gill (2012), mengungkapkan laki laki dan perempuan

tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai

respon mereka terhadap nyeri, masih diragukan bahwa jenis

kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam

ekspresi nyeri, misalnya anak laki laki harus berani dan tidak
46

boleh menagis. Diman seorang wanita dapat mengis dalam

waktu yang sama. Penelitian ini dilakukan Brun, dkk (1989)

dikutip dari Potter dan Perry , 2010 mempelajari kebutuhan

narkotik post operative pada wanita lebih banyak

dibandingkan dengan pria.

2.2.2.3 Budaya

Keyakianan dan nilai nilai budaya mempengaruhi cara

individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang

diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.

Hal ini meliputi bagaiman reaksi terhadap nyeri ( Calvillo,

2010).

2.2.2.4 Anastesi

Meskipun pada umumnya diyakini bahwa anastesi akan

mengatasi nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam

semua keadaan, riset tidak memperlihatkan suatu hubungan

yang konsisten antara anastesi d\an nyeri juga tidak

memeperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres pra

operatife menurunkan nyeri pasca operatife , namun anastesi

yang relavan atau berhubungan dengan nyeri dapat

meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri. Anastesi yang

tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi klien

dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri , secara

umum cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah


47

dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang anastesi, (

Smeltzer,& Bare, 2010).

2.2.2.5 Pengalaman masa lau dengan nyeri

Efek yang tidak diinginkan diakibatkan dari

pengalaman sebelumnya menunjukan pentingnya perawat

untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu klien dengan

nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat,

individu lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa

mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (

Smeltzer, Bare, 2011).

2.2.2.6 Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap

pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa

pengobatan tersebut benar benar bekerja. Menerima

pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek positif.

Harapan klien tentang pengobatan dapat meningkatkan

keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali

makin banyak petunujuk yang diterima tentang keefektifan

intervensi , makin efektive intervensi tersebut nantinya.

Individu yang diberi tahu bahwa suatu medikasi

diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan

mengalami perbedaan nyeri dibanding dengan klien yang

diberi tahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak


48

mempunyai efek apapun. Hubungan klien –perawat yang

positif juga dapat menjadi peran yang amat penting dalam

meningkatkan efek plasebo ( Smaltzer, Bare, 2011).

2.2.2.7 Keluarga dan suport sosial

Faktor lain yang juga memepengaruhi respon terhadap

nyeri adalah kehadiran diri orang terdekat . orang orang

yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada

kelaurga untuk mensuport , membantu atau melindungi .

ketidak hadiran keluarga atau orang terdekat mungkin akan

membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orang tua

merupakan hal khusus yang penting untuk anak anak dalam

menghadapi nyeri ( Potter, Perry, 2008).

2.2.2.8 Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani

perawatan dirumah sakit adalah hal yang sangat tak

tertahankan. Secara terus menerus klien kehilangan kontrol

dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk

nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek

nyeri baik fisik maupun pisikologis. Penting untuk mengerti

sumber koping individu selama nyeri . sumber sumber

koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan

dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk

mensuport klien dan menurunkan nyeri klien. Sumber


49

koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien

mungkin tergantung pada suport emosional dari anak,

keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat

meminimalkan kesendirian, kepercayaan dapa agama dapat

memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi

ketidaknyamanan yang datang ( Potter, Perry, 2010).

2.2.3 Batasan karekteristik nyeri

Batasan karekteristik menurut NANDA (2012) cemas

(ansietas) yaitu prilaku ( penurunan produktivitas, gelisah, melihat

sepintas, insomnia, dan kontak mata yang buruk, mengekspresikan

kekhawatiran karena perubahan dalam peristiwa hidup, agitasi,

mengintai, dan tampak wajah waspada), afektif( gelisah, kesedihan

yang mendalam, distres, ketakutan, perasaan tidak adekuat,

berfokus pada diri sendri, peningkatan kewaspadaan, iritabiilitas,

gugup dan sering berlebihan, rasa nyeri yang meningkatkan

ketidakberdayaan , penignkatan rasa ketidakberdayaan yang

konsisten, bingung, menyesal, ragu dan khwatir), fisiologis ( wajah

tegang, peningatan keringat, peningkatan ketegangan, gemetar,

tremor, suara gemetaran).


50

2.3 Konsep Keperawatan Gerontik

2.3.1 Pengertian

Gerontologi berasal dari bahasa latin yaitu geros berarti usia

dan logos berarti ilmu. Gerontologi merupakan cabang ilmu

yang mempelajari proses menua dan masalah – masalah yang

terjadi pada lanjut usia (Miller, 1990)

Gerontologi merupakan pendekatan ilmiah (scientific

approach) terhadap berbagai aspek dalam proses penuaan,

seperti aspek kesehatan, psikologis, sosial ekonomi, perilaku,

lingkungan, dan lain- lain (S. Tamher, 2009). Keperawatan

gerontik atau keperawatan gerontologik adalah spesialis

keperawatan lanjut usia yang menjalankan peran dan tanggung

jawabnya terhadap tatanan pelayanan kesehatan dengan

menggunakan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan,

teknologi, dan seni dalam merawat untuk meningkatkan fungsi

optimal lanjut usia secara komprehensif (Kushariyadi, 2010).

Menurut siti Badriah (2009), keperawatan gerontik adalah

suatu pelayanan professional yang berdasarkan ilmu dan kiat/

teknik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosial- spiritual

dan cultural yang holistic yang ditujukan pada klien lanjut usia

baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat. Sedangkan geriatri berasal dari

bahasa latin yaitu geros berarti lanjut usia dan eatriea berarti
51

kesehatan atau medis. Geriatri merupakan cabang ilmu

kedokteran berfokus pada masalah kedokteran, yaitu penyakit

yang timbul pada lanjut usia (Black & Jacob, 1997). Menurut

S. Tamher (2009), geriatri merupakan salah satu cabang dari

gerontology dan medis yang mempelajari khusus aspek

kesehatan dari usia lanjut, baik yang ditinjau dari segi

promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitative yang

mencangkup kesehatan badani, jiwa dan social, serta penyakit

cacat.

2.3.2 Proses menua

Menua adalah suatu proses menghilangkan secara perlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti

dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat

bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang

diderita (Constantanides, 1994). Penuaan adalah normal,

dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat

diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu.

2.3.3 Teori – teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa

penuaan terjadi biasanya dikelompokkan ke dalam dua

kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikososial.

1. Teori biologis
52

Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik

penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktural,

pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan –

perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molecular

dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan

tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan

penyakit.

2. Teori genetik

Teori sebab- akibat menjelaskan bahwa penuaan

terutama dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak

lingkungan oleh pembentukkan gen dan dampak

lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut

teori genetik, penuaan adalah suatu proses yang secara

tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu

untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata

lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah

ditentukan sebelumnya. Teori genetik terdiri dari teori

asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan

kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen.

3. Teori wear and tear

Teori wear and tear (dipakai dan rusak) mengusulkan

bahwa akumulasi sampah metabolic atau zat nutrisi dapat

merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi


53

molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh.

Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan

mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Radikal

bebas adalah contoh dari produk sampah metabolism

yang menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi.

Radikal bebas adalah molekul atau atom dengan suatu

elektron yang tidak berpasangan. Ini merupakan jenis

yang sangat relative yang dihasilkan dari reaksi selama

metabolisme.

5. Teori imunitas

Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam

sistem imun berhubungan dengan penuaan. Ketika orang

bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organism

asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih

rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker

adan infeksi. Seiring dengan berkurangnya fungsi system

imun, terjadilah peningkatan dalam respon autoimun

tubuh. Seiring dengan bertambahnyan usia berat dan

ukuran kelenjar timus menurun, seperti halnya

kemampuan tubuh untuk mendeferensiasi sel T. Karena

hilangnya proses diferensiasi sel T, tubuh salah

mengenali sel yan tua dan tidak beraturan sebagai benda

asing dan menyerangnya. Selain itu, tubuh kehilangan


54

kemampuan untuk meningkatkan responnya terhadap se

lasing, terutama bila menghadapi infeksi.

6. Teori neuroendokrin

Teori – teori biologi penuaan, berhubungan dengan

hal- hal seperti yang terjadi pada struktur dan perubahan

pada tingkat molekul dan sel. Salah satu area neurologi

yang mengalami gangguan secara universal akibat

penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk

menerima, memproses, dan bereaksi terhadap perintah.

Dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respons ini

kadang- kadang diinterprestasikan sebagai tindakan

melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan.

7. Teori psikososiologis

Teori psikososial memusatkan perhatian pada

perubahan sikap dan perilaku yang menyertai

peningkatan usia, sehingga lawan dari implikasi biologi

pada kerusakan anatomis.

a. Teori kepribadian

Kepribadian manusia adalah suatu wilayah

pertumbuhan yang subur dalam tahun- tahun akhir

kehidupan. Teori kepribadian menyebutkan aspek –

aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan

harapan atau tugas spesifik lansia. Jung (1994),


55

mengembangkan suatu teori pengembangan

kepribadian orang dewasa yang memandang

kepribadian sebagai ekstrovert atau introvert. (Stanley,

2006).

b. Teori tugas perkembangan

Beberapa ahli teori terkenal sudah menguraikan proses

maturasi dalam kaitannya dengan tugas yang harus

dikuasai pada berbagai tahap sepanjang rentang hidup

manusia. Tugas perkembangan adalah aktivitas dan

tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada

tahap- tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai

penuaan yang sukses. Erickson menguraikan tugas

utama lansia adalah mampu melihat kehidupan

seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan

integritas. Dikutip dari Stanley, Mickey (2006)

c. Teori aktivitas

Havighurst (1989), menulis tentang

pentingnya tetap aktif secara social sebagai alat untuk

penyesuaian diri yang sehat. Penelitian menunjukkan

bahwa hilangnya fungsi peran pada lansia secara

negatif mempengaruhi kepuasan hidup. Dan penelitian

baru menunjukkan pentingnya aktivitas mental dan

fisik yang berkesinambungan untuk mencegah


56

kehilangan dan pemeliharaan kesehatansepanjang

masa kehhidupan manusia. Dikutip dari Stanley,

Mickey (2006).

2.3.4 Batasan – batasan usia lanjut

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda – beda,

umumnya berkisar antara 60 – 65 tahun. Beberapa pendapat

para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut :

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat

tahapan yaitu

1. Usia pertengahan (middle age) usia 45 – 59 tahun

2. Lanjut usia (elderly) usia 60 – 74 tahun

3. Lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun

2.3.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi ketuaan Meliputi :

1. Hereditas (keturunan/ genetik)

2. Nutrisi / makanan

3. Status kesehatan

4. Pengalaman hidup

5. Lingkungan

6. Stress

2.3.6 Perubahan – perubahan yang terjadi pada lanjut usia

2.3.6.1 Perubahan – perubahan fisik

a. Sel
57

Lebih sedikit jumlahnya, Lebih besar ukurannya,

Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya

cairan intraselular, Menurunnya proporsi protein di

otak, otot, ginjal, darah, dan hati 5). Jumlah sel otak

menurun, Terganggunya mekanisme perbaikan sel,

Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.

b. Sistem persarafan

Berat otak menurun 10-20% (setiap orang berkurang

sel saraf otaknya dalam setiap harinya), Cepatnya

menurun hubungan persarafan, Lambat dalam respond

an waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress,

Mengecilnya saraf panca indera, Berkurangnya

penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya

saraf pencium, dan perasa, lebih sensitive terhadap

perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap

dingin.

c. Sistem pendengaran

1. Presbiakusis (gangguan pada pendengaran).

Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada

telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau

nada- nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit

mengerti kata- kata, 50% terjadi pada usia di atas

umur 65 tahun.
58

2. Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan

otosklerosis.

3. Terjadinya pengumpulan serumen dapat

mengeras karena meningkatnya keratin.

4. Pendengaran bertambahnya menurun pada lanjut

usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stres.

d. Sistem penglihatan

a. Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon

terhadap sinar.

b. Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

c. Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi

katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan.

d. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya

adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, dan susah

melihat dalam cahaya gelap

e. Hilangnya daya akomodasi.

f. Menurunnya lapangan padang : berkurang luas

pandangannya. 7). Menurunnya daya membedakan

warna biru atau hijau pada skala.

e. Sistem kardiovaskuler

1. Elastisitas, dinding aorta menurun

2. Katup jantung menebal dan menjadi kaku.


59

3. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1%

setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini

menyebabkan menurunya kontraksi dan volumenya.

4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya

efektifitas pembuluh darah perifer untuk

oksigenisasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk

(duduk ke berdiri) bias menyebabkan tekanan darah

menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing

mendadak).

5. Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh

meningkatnya resistensi dari pembuluh darah

perifer, sistolis normal ± 170 mmHg. Diastolis

normal ± 90 mmHg.

f. Sistem gastrointestinal

1. Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal

disease yang bias terjadi setelah umur 30 tahun,

penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk

dan gizi yang buruk.

2. Indera pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis

dari selaput lendir, atropi indera pengecap (±80%),

hilangnya sensifitas dari saraf pengecap di lidah

terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensifitas


60

dari saraf pengecapan tentang rasa asin, asam, dan

pahit.

3. Esophagus melebar.

4. Lambung, rasa lapar menurun (sensitifitas lapar

menurun), asam lambung menurun, waktu

mengosongkan menurun.

5. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

6. Fungsi absorpsi melemah (daya absorpsi terganggu).

7. Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat

penyimpanan, berkurangnya aliran darah.

g. Sistem muskuloskeletal

1. Tulang kehilangan density (cairan) dan makin

rapuh.

2. Kifosis

3. Pinggang, lutut dan jari- jari pergelangan terbatas.

4. Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek

(tingginya berkurang).

5. Persendian membesar dan menjadi kaku.

6. Tendon mengerut dan mengalami skelerosis. 7).

Atrofi serabut otot (otot- otot serabut mengecil) :

7. Serabut – serabut otot mengecil sehingga seseorang

bergerak menjadi lamban, otot- otot kram dan

menjadi tremor.
61

8. Otot – otot polos tidak begitu berpengaruh.

2.3.6.2 Perubahan – perubahan mental

Faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan mental

a. Pertama – tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.

b. Kesehatan umum.

c. Tingkat pendidikan.

d. Keturunan (hereditas).

e. Lingkungan.

2.3.6.3 Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi.

Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan

seseorang, kekakuan mungkin karena faktor lain seperti

penyakit- penyakit.

1. Kenangan (memory)

a. Kenangan jangka panjang :

b. Berjam – jam sampai berhari – hari yang lalu mencakup

beberapa perubahan.

c. Kenangan jangka pendek atau seketika 0-10 menit,

kenangan buruk.

2. IQ (Intellgentia Quantion)

a. Tidak berubah dengan informasi matematika dan

perkataan verbal.

b. Berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan

psikomotor : terjadi perubahan pada daya


62

membahayangkan karena tekanan – tekanan dari faktor

waktu.

2.3.6.4 Perubahan – perubahan psikologis

a. Pensiun

1. Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan

identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila

seseorang pension (Purna Tugas), ia akan mengalami

kehilangan- kehilangan, antara lain :

2. Kehilangan financial (income berkurang)

3. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang

cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).

4. Kehilangan teman/ kenalan atau relasi. 4). Kehilangan

pekerjaan/ kegiatan.

b. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of

mortality).

c. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah

perawatan bergerak lebih sempit.

d. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic

deprivation). Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan

yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan.

e. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

f. Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.

g. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.


63

h. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan

dengan teman- teman dan family.

i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri.

2.3.7 Resiko Jatuh Pada Lansia

Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan

penderita atau keluarga yang melihat kejadian, yang

mengakibatkan seseorang mendadak terbaring, terduduk di

lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa

kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 1999). Negara

Amerika Serikat menunjukkan Universitas Sumatera Utara 10

bahwa 5% lanjut usia yang jatuh mengalami patah tulang iga

(sterm), humerus (tulang lengan), pelvis dan patah tulang paha

(fractura columna femoris), dan 5% diantaranya mengalami

perlukaan jaringan lunak subdural haematoma, memar dan

keseleo otot (Kane (1994).

Menurut (Stanley, 2006) resiko jatuh adalah suatu

kejadian yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada

di lantai tanpa disengaja. Bukan merupakan jatuh bila kejadian

jatuh diakibatkan pukulan keras, kehilangan kesadaran atau

kejang. Kejadian jatuh merupakan penyebab spesifik yang

berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami

jatuh. Jatuh sering terjadi pada lansia, berdasarkan hasil survei


64

di AS, terdapat 30% lansia berumur lebih dari 65 tahun

mengalami jatuh setiap tahunnya (Tinetti, 1992).

Menurut Gunarto (2005) bahwa 31%-48% lansia

mengalami jatuh karena gangguan keseimbangan, dan setiap

tahunnya 30%-40% lansia dirumah mengalami kecelakaan jatuh

(Flaherty et al.2003, dalam Potter & Perry, 2009). Gangguan

muskuloskeletal merupakan penyebab gangguan pada berjalan

dan keseimbangan yang dapat mengakibatkan kelambanan

gerak, kaki cenderung mudah goyah, serta penurunan

kemampuan mengantisipasi terpeleset, tersandung, dan respon

yang lambat memudahkan terjadinya jatuh pada lansia (Reuben,

1996; Kane, 1994; Tinetti, 1992; Campbell & Brocklehurst,

1987 dalam Darmojo, 2004).

Resiko jatuh dianggap sebagai konsekuensi alami

menjadi tua, jatuh bukan bagian normal dari proses penuaan,

setiap tahunya sekitar 30% lansia yang tinggal di rumah

meningkat dari 25% usia 70 tahun menjadi 35% setelah usia

>75 tahun. Lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh lebih

sering dari pada yang berada di rumah karena mereka lebih

rentan dan memiliki lebih banyak disabilitas. Universitas

Sumatera Utara 11 Sekitar 50% lansia yang tinggal di panti

mengalami jatuh dan umumnya mereka mengalaminya beberapa

kali (Miller, 2007).


65

Faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko jatuh pada

lansia adalah faktor internal seperti penyakit yang diderita,

gangguan penglihatan, gangguan adaptasi, gangguan kognitif,

kardiovaskular seperti hipotensi postural atau sinkop, gelap,

infeksi telinga, lemah otot tungkai, penyakit sistemik dan reaksi

negatif obat-obat, maupun faktor eksternal lingkungan seperti

kondisi tangga, lantai licin atau basah, pencahayaan yang

kurang, toilet jauh dari kamar, kondisi terlalu rendah, sepatu

yang buruk atau dengan sol licin, tempat tidur terlalu tinggi atau

rendah, alat rumah tangga yang dapat menyebabkan jatuh

seperti karpet, kaki kursi, dan kabel listrik (Kemkes, 2010).

Beberapa faktor resiko yang teridentifikasi sebagai penyebab

berpotensi jatuh adalah kelemahan otot, gangguan koordinasi,

penggunaan obat-obat, dan resiko jatuh meningkat seiring

dengan peningkatan jumlah faktor resiko pada lansia (Tinetti,

1994). Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan perubahan fisik

khususnya kelemahan otot, kehilangan keseimbangan dan

kelelahan fisik (Victoria et al., 2004). Hal yang sama

dikemukakan oleh para ahli bahwa faktor yang mempengaruhi

terjadinya resiko jatuh adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik

yang berhubungan dengan aktivitas (Miller, 2004).

Faktor sensorik yang berperan terhadap resiko jatuh

adalah sistem penglihatan (visus) dan pendengaran, perubahan


66

pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan dan

perubahan pada telinga menimbulkan gangguan pendengaran.

Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti stroke dan parkinson, sering

diderita oleh lanjut usia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP

sehingga tidak baik terhadap sensorik. Kognitif, dimensia

Universitas Sumatera Utara 12 diisolasikan dengan resiko jatuh

pada lansia.

Faktor muskuloskeletal ini betulbetul berperan besar

terjadinya resiko jatuh pada lansia. Gangguan musculoskeletal

menyebabkan gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan

dengan proses menua yang fisiologis. Misalnya berkurangnya

massa otot, perlambatan konduksi saraf dan lapang pandang

dapat menyebabkan penurunan sendi, extremitas dan goyangan

badan.

2.3.7.8 Faktor-Faktor Resiko Jatuh

Faktor-faktor resiko jatuh pada lansia digolongkan

menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik

sebagaimana diuraikan berikut ini.

1. Faktor Intrinsik

Faktor-faktor intrinsik hal yang berasal dari dalam

tubuh lansia sendiri, antara lain yaitu gangguan jantung dan

sirkulasi darah, gangguan sistem anggota gerak seperti

kelemahan otot ekstremitas bawah dan kekuatan sendi,


67

gangguan sistem susunan saraf seperti neuropati perifer,

gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan

psikologis, infeksi telinga, gangguan adaptasi gelap,

pengaruh obat-obatan yang dipakai (diazepam, antidepresi,

dan anti hipertensi), vertigo, atritis lutut, sinkop dan pusing,

penyakit-penyakit sistemik. Gangguan jantung adalah tanda

dan gejala gangguan jantung pada lanjut usia nyeri pada

daerah prekordial dan sesak napas seringkali dirasakan

pada penderita penyakit jantung diusia lanjut, rasa cepat

lelah yang berlebihan seringkali ditemukan sebagai dampak

dari sesak napas yang biasanya terjadi ditengah malam.

Gejala lainnya adalah kebingungan, muntah-muntah dan

nyeri pada perut karna pengaruh bendungan hepar atau

keluhan insomnia.

Gangguan sistem anggota gerak merupakan bagian

sindroma neurologik berupa gerakkan berlebihan yang

tidak berkaitan dengan kelemahan (paresis). Gangguan

gerak bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini

diakibatkan karena proses penuaan itu sendiri serta

penggunaan obat-obatan yang dapat mencetuskan

terjadinya gangguan tersebut (Miller, 2005). Pengobatan

pada pasien geriatrik penting untuk diperhatikan apakah

gangguan tersebut berasal karena proses penuaan atau


68

sungguh merupakan gangguan gerak disebabkan karena

kelainan pada ganglia basal, dibagi menjadi 2 yaitu

hipokinetik dan hiperkinetik. Gangguan hipokinetik

diartikan adanya hipokinesia (berkurangnya amplitude

gerakkan), bradikinesia (melambatnya gerakkan), akinesia

(hilangnya gerakkan), seperti pada penyakit Parkinson.

Gangguan hiperkinetik terjadi gerakkan berlebih, abnormal,

dan involunter, seperti pada tremor, athetosis, dystonia,

hemibalismus, chorea, myoclonus, dan tic.

Gangguan sistem saraf pusat sering dialami para lansia

dengan potensial resiko 10% kehilangan yang diketahui

pada usia 80 tahun. Perubahan sistem sensorik terdiri dari

sentuhan, pembauan, perasa, penglihatan, dan pendengaran.

Perubahan pada indra pembauan dan pengecapan dapat

mempengaruhi lansia dalam mempertahankan nutrisi yang

adekuat, penurunan sensivitas sentuhan terjadi pada lansia

seperti berkurangnya neuron sensori yang secara efisien

memberikan sinyal deteksi, lokasi, dan identifikasi

sentuhan atau tekanan yang dialami pada area kulit. Lansia

juga sering mengalami kehilangan sensasi dan persepsi

informasi yang mengatur pergerakkan tubuh dan posisi

serta hilangnya fiber sensori, reseptor vibrasi dan sentuhan

dari ekstremitas bawah yang menyebabkan berkurangnya


69

kemampuan untuk memperbaiki pergerakkan sendi pada

lansia yang pada akhirnya dapat mengakibatkan

ketidakseimbangan tubuh sehingga terjatuh (Mauk, 2010).

Gangguan penglihatan adalah perubahan yang terjadi

pada ukuran pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya

berkurang dan juga terhadap akomodasi, lensa menguning

dan berangsur-rangsur menjadi lebih buram mengakibatkan

katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk

melihat menerima dan membedakan warna-warna.

Gangguan sistem penglihatan pada lansia merupakan salah

satu masalah penting yang dihadapi oleh lansia ini terjadi

akibat penuruna fungsi penglihatan pada lansia membuat

kepercayaan diri lansia berkurang dan mempengaruhi

dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari. Perubahan sistem

penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam

proses penuaan termasuk penurunan kemampuan untuk

melakukan akomodasi, kontraksi pupil akubat penuaan, dan

perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak).

Mata adalah organ sensorik yang berfungsi untk

mentransmisikan rangsang melalui Universitas Sumatera

Utara 15 jarak pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa

penglihatan ini diterima sesuai dengan proses penuaan yang

terjadi, tentunya banyak perubahan yang terjadi diantaranya


70

garis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada peria, dan

menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun

wanita. Kunjungtiva menipis dan berwarna kekuningan,

produksi air mata oleh kelenjar lakrimaris yang berfungsi

untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan

menurun dan cenderung cepat menguap, sehingga

mengakibatkan konjungtiva lebih kering. Kondisi ini

memungkinkan terjadi ketidakawasan klien lansia dalam

beraktifitas. Mata bagian dalam, perubahan yang terjadi

adalah ukuran pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya

berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa mongering

dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan

katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk

menerima dan membedakan warnawarna. Warna gelap

seperti coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan

dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan

berkurang (sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan

pada lansia resiko cedera, sementara cahaya menyilaukan

dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan

untuk membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal

diatas dapat mempengaruhi kemampuan fungsional pada

lansia. Gangguan ketajaman pada penglihatan dapat

disebabkan oleh presbiop kelainan lensa mata (refleksi


71

lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa (katarak),

tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma), radang

saraf mata (Cieayundacitra, 2010). Gangguan pendengaran

merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya usia

dengan penurunan fungsi pendengaran pada salah satu

ataupun kedua telinga sehingga dapat mengakibatkan resiko

jatuh pada lansia. Proses penuaan seringkali ditandai

dengan menurunnya fungsi berbagi organ tubuh, salah

satunya adalah fungsi pendengaran.

Sekitar 30-35% orang berusia antara 65-75 tahun akan

mengalami gangguan pendengaran secara perlahan-lahan

akibat proses penuaan yang dikenal dengan istilah

presbicusis, akibat adanya gangguan pendengaran ini,

seringkali orang-orang disekitarnya akan berbicara dengan

suara yang lebih lantang dan keras dengan para lansia,

namun dengan demikian bukan berarti semakin keras suara

yang diucapkan akan terdengar lebih baik bagi mereka

karena ternyata suara yang terlalu keraspun akan terdengar

menyakitkan ditelinga mereka. Lanjut usia dengan

bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi tubuh

pun makin menurun, tak heran bila pada usia lanjut,

semakin banyak keluhan yang dilontarkan karena tubuh

tidak lagi mampu melakukan pekerjaan tertentu sehingga


72

kesepakatan kerja sama dengan pihak pihak terkait

(Cieayundacitra, 2010).

Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan berbagai jenis

cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan fisik

yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang

panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh

adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis

serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis

walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh dan

rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak

konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri,

pembatasan dalam aktivitas sehari-hari atau fobia jatuh

(Stanley, 2006). Postur tubuh dan mobilitas beresiko tinggi

terhadap jatuh, mobilitas tinggi dan postur tubuh yang tidak

stabil beresiko jatuh 4,5 kali dibandingkan dengan yang

tidak aktif atau aktif tetapi dengan postur tubuh yang stabil.

Penelitian terhadap 4.862 klien di panti jompo, didapatkan

resiko jatuh Universitas Sumatera Utara 17 paling tinggi

adalah penderita aktif dengan gangguan keseimbangan.

Selanjutnya penelitian Barnedh (2006) terhadap 300 lansia

di Puskesmas Tebet bahwa lansia dengan aktivitas rendah

(tidak teratur berolahraga) beresiko 7,63 kali menderita

gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan


73

aktivitas tinggi. Lansia yang tidak melakukan kebiasaan

berolahraga beresiko tinggi mengalami jatuh (Kemkes,

2010; Miller, 1999;). Obat-obatan merupakan faktor

bermakna terhadap resiko jatuh diantaranya obat golongan

sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas

postur tubuh, yang mengakibatkan efek diuretik pada anti

hipertensi, antidepresan, dan antipsikotik.Obat-obat yang

menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu

vestibular, neuropati hipotermi dan menyebabkan

kebingungan seperti phenothiazine, barbiturat dan

benzodiazepin juga meningkatkan resiko jatuh. Lansia yang

memiliki tiga faktor resiko seperti kelemahan otot paha,

gangguan koordinasi, ketidakseimbangan, dan mendapat

lebih dari 4 jenis pengobatan beresiko jatuh sebesar 100%

(Maryam, 2013)

2. Faktor Ekstrinsik

Faktor lingkungan memiliki resiko terhadap jatuh

sebesar 31% Shobha (2005, dalam Maryam, 2009).

Lingkungan rumah termasuk situasi yang berpotensi

terhadap resiko terjatuh pada lansia, diantaranya karpet

yang tidak rata, pencahayaan ruangan tidak memadai,

tangga tanpa pagar, kondisi tempat tidur, kursi cukup

tinggi, dan alat bantu jalan yang tidak tepat. Selain itu
74

kondisi toilet yang terlalu rendah dan permukaan kamar

mandi menurun, licin dan tidak adanya anti-selip pada

lantai, serta dinding kamar mandi tidak memiliki pedoman

dinilai sebagai resiko penyebab jatuh di rumah (Bemmel at

al., 2005; Maryam, 2013). Faktor lain yang menjadi

penyebab terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah faktor

gizi yang mengakibatkan penurunan fungsi keseimbangan

atau kelemahan fisik. Lansia dengan asupan makanan yang

rendah kalsium dan vitamin D, fosfor, protein dan besi

beresiko untuk jatuh. Asupan makanan yang tidak memadai

berupa protein, air dan tidak melakukan aktivitas fisik yang

cukup untuk menangkal hilangnya massa otot atau

kehilangan kepadatan tulang meningkatkan resiko jatuh dan

cedera pada lansia (Kemkes RI., 2010).

Penggunaan alat bantu jalan memang meningkatkan

keseimbangan, namun disisi lain menyebabkan langkah

yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk

membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan

roda, karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah

direkomendasikan secara individual. Lansia apabila pada

kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan

obatobatan maupun pembedahan, maka salah satu

penanganannya adalah dengan alat bantu jalan seperti


75

tongkat, crutch (tongkat ketiak) dan walker, ketika memilih

alat bantu jalan , anatomi tubuh dan sudut siku harus

diperlihatkan, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan

bantuan professional dalan memilih alat bantu jalan

sehingga pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat

mengakibatkan bertambah buruknya koordinasi gerakan

dan gaya berjalan klien sehingga dapat meningkatkan

resiko untuk jatuh (Darmojo, 2004).

Perawat harus memberikan pendidikan kesehatan kepada

keluarga lansia bahwa keluarga harus sering

memperhatikan lansia dirumah karena selain kebutuhan

fisik yang harus diperlukan, kebutuhan psikologis dan

social juga harus diperhatikan, mengamati kemampuan dan

keseimbangan dalam berjalan, dan Universitas Sumatera

Utara 19 membantu stabilitas tubuh. Keluarga juga harus

memperbaiki kondisi sekitar lingkungan rumah yang

dianggap tidak aman, misalnya dengan memindahkan

benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman

(stabil, ketinggian kursi disesuaikan, pegangan pada,

dinding dan tangga) serta lantai yang tidak licin dan

penerangan ruangan yang cukup (Darmojo, 2004; Miller

2004).
76

Lingkungan merupakan faktor yang dapat

memepengaruhi keseimbangan dan berkontraksi pada

resiko jatuh, kejadian jatuh didalam ruangan lebih sering

terjadi dikamar mandi, kamar tidur dan toilet. Jatuh sering

terjadi sekitar 10% terutama saat turun tangga karena lebih

berbahaya dari pada saat naik tangga. Lingkungan yang

tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar rumah, ruang

tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong (Mauk,

2011).

Lingkungan yang tidak aman pada area luar seperti

kondisi lantai yang retak, jalan depan rumah sempit,

pencahayaan yang kurang, kondisi teras atau halaman,

bahaya lingkungan pada area ruang tamu adalah kurangnya

pencahayaan, area yang sempit untuk berjalan, kondisi

lantai yang retak dan berantakkan, kaki kursi yang miring

dan tinggi kursi yang tidak sesuai dengan tinggi kaki lansia

dan sandaran lengan pada kursi tidak kuat. Kamar tidur

berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi tempat

tidur, seprai yang tergerai dilantai, penempatan barang dan

perabotan yang mudah dijangkau, pencahayaan, dan sempit

atau luasnya area kamar untuk berjalan. Kamar mandi dapat

menyebabkan gangguan keseimbangan atau resiko jatuh

diantaranya pencahayaan kurang, kondisi lantai licin, posisi


77

bak dan toilet tidak aman, dan peletakkan alat mandi yang

tidak mudah dijangkau oleh lansia. Lingkungan area tangga

dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,

peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Kemkes, 2010;

Mauk, 2010)

2.3.7.9 Faktor Situasional


Jatuh sebagian besar terjadi pada saat lansia

melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan, naik atau turun

tangga, mengganti posisi,. Jatuh terjadi pada saat lansia

melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau

olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan

banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan kelelahan

atau terpaparnya bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering

terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak)ketika tiba-tiba

dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa

pertolongan.

Jatuh pada lansia sering terjadi dirumah, dengan kejadian

jatuh saat turun tangga lebih banyak dibandingkan saat naik,

yang lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda

perlengkapan rumah tangga, lantai licin dan tidak rata,

penerangan/ pencahayaan yang kurang atau gelap. Riwayat

penyakit kronis yang diderita lansia selama bertahun-tahun

biasanya menjadikan lansia lebih mudah jatuh seperti stroke,

hipertensi, hilangnya fungsi penglihatan, dizziness dan sinkope,


78

sering menyebabkan jatuh. Penyakit kronik yang diderita lansia

juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada

penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada pada penderita

penyakit jantung iskemik, dll.

2.3.7.10 Morse Fall Scale(MFS)

Lanjut usia harus dicegah agar tidak jatuh dengan cara

mengidentifikasi faktor resiko, menilai, dan mengawasi

keseimbangan dan gaya berjalan, mengatur serta mengatasi

faktor situasional. Metode cepat dan sederhana yang digunakan

untuk menilai kemungkinan jatuh pada klien lansia adalah

dengan menggunakan Morse Fall Scale (MFS).

Skala ini terdiri dari enam variable yang cepat dan mudah

untuk digunakan, dan telah terbukt i memiliki validitas

prediktif dan reabilitas interrater. MFS digunakan secara luas

dalam pengaturan perawatan akut maupun dan pelayanan

perawatan jangka di rumah sakit.

Berikut ini ada skala yang digunakan untuk melakukan

pengkajian resiko jatuh lansia dengan menggunakan Morse

Fall Scale. Penilaian dalam MFS terdiri dari enam item yaitu

riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan berjalan, terapi

intravena, gaya berjalan,dan status mental. Riwayat jatuh

mendapatkan skor 25 jika pasien telah mengalami jatuh selama

masuk rumah sakit/panti atau jika ada riwayat mengalami jatuh


79

secara fisiologis, seperti ; gangguan gaya berjalan sebelum

masuk panti. Jika pasien pernah memilki riwayat jatuh

mendapat skor 0. Catatan tambahan jika pasien jatuh untuk

pertama kalinya, maka skor nya segera bertambah 25.

Diagnosis Sekunder dinilai dengan skor 15 jika terdapat lebih

dari satu diagnosis medis yang terdaftar pada status pasien, jika

tidak, skor 0.

Bantuan Berjalan dinilai sebagai 0 jika pasien berjalan

tanpa bantuan berjalan (bahkan jika dibantu oleh perawat),

menggunakan kursi roda, atau istirahat di tempat tidur dan

tidak bangun dari tempat tidur sama sekali. Jika pasien

menggunakan kruk, tongkat, atau walker, item ini mendapat

skor 15, jika pasien berpindah atau berjalan dengan

mencengkeram ke furnitur untuk dukungan, skor item ini 30.

Terapi intravena dinilai sebagai 20 jika pasien menggunakan

intravena terapi atau heparin yang dimasukkan, jika tidak,

maka skor penilaian adalah 0.

Gaya berjalan yang normal ditandai dengan kepala yang

tegak saat berjalan, lengan berayun bebas di samping, dan

berjalan tanpa ragu-ragu. Item ini mendapatkan skor 0. Gaya

berjalan yang lemah mendapat skor 10 yaitu pasien yang

membungkuk tetapi mampu mengangkat kepala sambil

berjalan tanpa kehilangan keseimbangan. Langkah yang


80

pendek dan acak pasien mungkin terjadi. Gaya berjalan dengan

gangguan mendapat skor 20 yaitu pasien yang memiliki

kesulitan bangkit dari kursi, mencoba untuk bangun dengan

mendorong di lengan kursi / atau dengan memantulkan (yaitu,

dengan menggunakan beberapa upaya untuk naik). Kepala

pasien turun, dan ia mengamati tanah. Karena keterbatasan

keseimbangan pasien, pasien menggenggam ke furnitur,

dukungan orang, atau bantuan berjalan dengan dukungan dan

tidak dapat berjalan tanpa bantuan ini.

Status mental diukur dengan memeriksa pasien itu sendiri

dalam penilaian kemampuan untuk melakukan ambulasi.

Tanyakan pasien, "Apakah Anda bisa pergi kamar mandi

sendiri atau apakah Anda perlu bantuan?" Jika jawaban pasien

menilai kemampuan sendiri secara konsisten dengan urutan

rawat jalan, pasien dinilai sebagai normal dan mendapat skor 0.

Jika respon pasien tidak konsisten dengan intervensi

keperawatan atau jika respon pasien tidak realistis, maka pasien

dianggapmelebih-lebihkan kemampuan sendiri dan memilki

keterbatasan pelupa dinilai dengan skor 15.

Penilaian dan Tingkat resiko dihitung dan dicatat pada

grafik pasien. Tingkat resiko dan tindakan yang

direkomendasikan (misalnya tidak ada intervensi diperlukan,

intervensi pencegahan standar, intervensi pencegahan resiko


81

tinggi) kemudian diidentifikasi. Skor MFS 0-24 memiliki level

resiko tidak ada resiko sehingga tindakan yang diperlukan

adalah perawatan dasar yang baik. Skor MFS 25-50 termasuk

dalam level resiko rendah dan tindakan yang diperlukan adalah

melakukan intervensi pencegahan jatuh standar. Skor MFS ≥

51 termasuk dalam level resiko tinggi dan tindakan yang

diperlukan melakukan intervensi pencegahan jatuh tinggi.

(Morse, 1997).

2.3.7.11 Pencegahan jatuh

Klien lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan dini untuk

mengetahui adanya faktor resiko cedera akibat terjatuh dari

aspek instrinsik:. Perlu dilakukan pengkajian keadaan

sensorik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering

menyebabkan kejadian teratuh.Keadaan lingkungan rumah

yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus

dihilangkan.Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak

menyilaukan, lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari

benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah

tangga yang sudah tidak aman atau rusak dan dapat bergeser

sendiri sebaiknya diganti. Peralatan rumah ini sebaiknya

diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu

jalan atau tempat aktivitas lanjut usia.


82

Kamar mandi tidak dibuat licin, sebaiknya diberi

pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka, dan

WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di

dinding.

Menurut Shobha (2005), pencegahan jatuh yang dapat

dilakukan oleh klien lansia diuraikan dalam penjelasan

berikut:

1. Latihan Fisik

Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan

kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki

keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi

terhadap bahaya lingkungan.Latihan fisik yang

dianjurkan adalah latihan fisik yang dapat melatih

kekuatan tungkai, pergelangan, tidak terlalu berat dan

dilakukan sesuai semampunya, latihan berjalan kaki,

senam lansia, dan latihan keseimbangan.

2. Management Obat-Obatan

Mengurangi penggunaan obat-obatan yang sifatnya

untuk waktu lama missal: obat tidur dan melakukan

konsultasi terhadap penggunaan obat-obat yang harus

dikonsumsi jangka panjang, missal: obat hipertensi, obat

DM, dll. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan.


83

3. Modifikasi Lingkungan

Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan

pengaturan suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau

terlalu dingin untuk menghindari ketidaknyamanan

akibat pusing.Selain itu pengaruh barang-barang yang

memang sering diperlukan berada dalam jangkauan klien

agar tidak harus berjalan terlalu jauh dari tempatnya,

dengan memanfaatkan karpet antislip dikamar

mandi/menjaga kebersihan lantai agar tidak licin,

memasang pegangan tangan pada tempat yang

diperlukan, memfasilitasi penerangan yang memadai,

menyingkirkan barang berserakan di lantai yang

menggaggu klien.

4. Memperbaiki Kebiasaan Lansia yang Buruk

Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau

jongkok ke posisi berdiri jangan terlalu cepat, jangan

mengangkat barang yang berat sekaligus, dan lakukan

pengangkatan barang dengan cara yang benar dari lantai

yaitu dengan cara posisi jongkok dan bukan posisi

membungkuk. Hindari aktifitas berolahraga yang berat

dan berlebihan, sepatu berhak tinggi, pakai sepatu

berhak lebar dan datar, jangan berjalan hanya dengan


84

kaos kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan,

pakai sepatu antislip dengan alas yang kasar.

5. Memelihara Fungsi Tubuh

Fungsi penglihatan dan pendenganran sudah mengalami

penurunan sehingga perlu memperhatikan pemeliharaan

kesehatan fungsi mata dan pendengaran termasuk alat

bantu yang digunakan berupa kaca mata, alat bantu

pendengaran, dan pencahayaan lingkungan

tinggalharusdiperhatikan dan dipertahankan untuk

menghindari kondisi yang memicu resiko jatuh.

Pemeliharaan kekuatan tulang harus tetap dijaga untuk

mempertahankan keseimbangan dan koordinasi gerakan

tubuh agar terhindar dari jatuh, klien dianjurkan untuk

berhenti merokok dan menghindari konsumsi alkohol,

serta edukasi keluarga dank lien untuk mempersiapkan

dan mengkonsumsi jenis makan-makanan yang bergizi

seperti buah-buahan, sayuran yang tidak mengandung

gas, dan minum susu randah lemak untuk memelihara

kekuatan tulang.
85

2.4 Konsep Dasar Jahe

2.4.1 Dasar Teori

Jahe (Zingiber ojficinaU Rosc.) adalah salah satu bumbu

dapur yang sudah lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat.

Sebagai bumbu dapur, rimpang jahe digunakan untuk mengolah

masakan dan penganan. Pemakaian jahe sebagai tanaman obat

semakin berkembang dengan pesat seiring dengan mulai

berkembangnya pemakaian bahan-bahan alami untuk

pengobatan. Semula penggunaannya hanya berdasarkan

kebiasaan orang tua zaman dahulu, yang diwariskan secara turun

menurun. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan dilengkapi dengan penelitian

yang mendukung, jahe mulai dimanfaatkan secara komersial

(Tim Lentera, 2004).

Jahe (Zingiber officinale), adalah tanaman rimpang yang

sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan obat.

Rimpangnya berbentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas

tengah. Rasa dominan pedas disebabkan senyawa keton bernama

zingeron. Jahe termasuk suku Zingiberaceae (temu-temuan).

Nama ilmiah jahe diberikan oleh William Roxburgh dari kata

Yunani zingiberi, dari Bahasa Sanskerta, singaberi (Gentara,

2013).
86

Pengolahan jahe sebagai obat dimulai dari dapur di rumah-

rumah dengan cara yang masih sederhana. Misalnya dengan cara

menumbuk kemudian menyeduhnya dengan air panas dan airnya

diminum untuk mengobati masuk angin. Kini, pemanfaatan jahe

berkembang secara komersial dengan pengolahan yang

menggunakan teknologi tepat guna. Pengolahan jahe yang

bersifat komersial, misalnya pengolahan jahe menjadi asinan

yang berkualitas ekspor. Penyulingan minyak jahe dan oleoresin

jahe yang berasal dari rimpang jahe juga semakin berkembang

untuk dijadikan bahan baku pembuatan obat di perusahaan

farmasi (Tim Lentera, 2004).

Gambar2.4 Rimpang Jahe


87

2.4.2 Klasifikasi

2.4.2.1 Kingdom: Plantae (Tumbuhan)

2.4.2.2 Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

2.4.2.3 Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)

2.4.2.4 Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

2.4.2.5 Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

2.4.2.6 Sub Kelas: Commelinidae

2.4.2.7 Ordo: Zingiberales

2.4.2.8 Famili: Zingiberaceae (suku jahe-jahean)

2.4.2.9 Genus: Zingiber

2.4.2.10 Spesies: Zingiber officinale Rosc.

2.4.3 Manfaat Jahe

Jahe merupakan tanaman yang kaya akan khasiat bagi

kesehatan. Misalnya senyawa Phenol, terbukti memiliki efek anti-

radang dan diketahui ampuh mengusir penyakit sendi juga

ketegangan yang dialami otot. Selain phenol, rimpang jahe juga

mengandung zingilberene dan shogol. Senyawa ini dikenal baik

sebagai anti-oksidan dan juga efektif melawan penyakit kanker pun

jantung (Gentara, 2013).

Senyawa penting lainnya yang dijumpai pada rimpang jahe

adalah minyak atsiri. Minyak ini bermanfaat untuk mereduksi nyeri,

sebagai anti-imflamasi dan juga pembasmi bakteri yang baik. Selain

bermanfaat untuk kesehatan, minyak atsiri ini juga diketahui


88

menyumbang aroma yang khas pada jahe. Sementara itu, sensasi

pedas jahe berasal dari zingiberen dan zingiberol yang juga

dijumpai dalam minyak atsiri tadi (Gentara, 2013).

Selain kandungan jahe yang telah disebutkan di atas, masih ada

banyak komponen zat lain yang ditemukan dalam jahe. Zat aktif

tersebut antara lain mineral sineol, fellandren, minyak damar,

kamfer, zingiberin, borneol, zingiberol, gigerol (paling banyak

terkandung pada jahe merah), asam aminos, zingeron, vitamin A,

B1, C, lipidas, protein, niacin dan masih banyak lagi lainnya

(Gentara, 2013).

Jenis penyakit yang dapat diatasi dengan jahe, antara lain

migrain, pusing-pusing, masuk angin, kebotakan, luka jatuh,

penambah nafsu makan, sinusitis, bronehitis, pegal linu, rematik,

kolera, kelebihan asam urat, dan batu ginjal (Tim Lentera, 2004).

Bahan antibakteri diartikan sebagai bahan yang mengganggu

pertumbuhan dan metabolisme bakteri, sehingga bahan tersebut

dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh bakteri.

Cara kerja bahan antibakteri antara lain dengan merusak dinding sel,

merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan asam

nukleat, menghambat kerja enzim serta menghambat sintesis asam

nukleat dan protein (Pelczar dan Chan, 1988).

Bahan tersebut diperoleh dari bahan alami dengan berbagai cara

salah satunya adalah dengan metode maserasi. Maserasi merupakan


89

suatu metode ekstraksi menggunakan lemak panas, akan tetapi

penggunaan lemak panas ini telah digantikan oleh pelarut-pelarut

organik yang volatil. Penekanan utama pada maserasi adalah

tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dan jaringan

yang diekstraksi (Guether, 1987).

Uji antibakteri dilakukan untuk mengetahui sejauh mana

aktivitas suatu bakteri terhadap antimikroba. Ada 3 metode yang

umum digunakan dalam uji antibakteri yaitu metode dilusi kaldu,

metode difusi agar dan metode difusi cakram. Metode difusi cakram

merupakan metode yang paling sering digunakan untuk uji

kerentanan antimikroba. Cara kerja metode difusi cakram yaitu

sampel yang diuji diserapkan pada kertas saring yang berbentuk

cakram dan ditempelkan pada media agar yang telah dihomogenkan

dengan bakteri, kemudian diinkubasi sampai terlihat zona hambat

disekitar cakram (Mukhlisoh, 2010).

Davis dan Stout (1971) mengemukakan bahwa ketentuan

kekuatan antibakteri adalah jika daerah hambatan 20 mm atau lebih

berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm berarti kuat, 5-10

mm berarti sedang dan daerah hambatan 5 mm atau kurang berarti

lemah.

Hampir semua bakteri mampu berkembangbiak dengan cepat.

Waktu yang diperlukan bagi organisme untuk membelah menjadi

dua disebut waktu generasi. Waktu generasi selama pertumbuhan


90

aktif bervariasi sesuai dengan jenis bakteri (Volk and Wheeler,

1993). Laju pertumbuhan bakteri hasilnya dapat diproyeksikan

sebagai logaritme jumlah sel terhadap waktu pertumbuahan yang

ditunjukkan Gambar 2.

Gambar 2.5 Kurva Pertumbuhan Bakteri

Berdasarkan Gambar 2, kurva pertumbuhan bakteri dapat dibagi

menjadi empat fase yaitu (Volk dan Wheeler, 1993):

1. Fase Tenggang (Lag)/Adaptasi

Fase tenggang adalah periode penyesuaian pada lingkungan

dan lamanya dapat satu jam hingga beberapa hari dan

bakteri belum mengadakan pembiakan. Lama waktu ini

bergantung pada macam bakteri, umur biakan dan nutrient

yang terdapat dalam medium yang disediakan.


91

2. Fase Logaritma/Eksponensial

Fase ini adalah periode pembiakan yang cepat yang

dipengaruhi dua faktor yaitu faktor biologi (bentuk dan sifat

jasad terhadap lingkungannya) dan faktor non-biologi

(kandungan sumber nutrien dalam media, temperatur,

cahaya, pH, persediaan oksigen bagi yang bersifat aerob

dan lain-lain) serta merupakan periode yang didalamnya

teramati ciri khas sel-sel yang aktif. Selama fase inilah

waktu generasi tetap, tak berubah bagi setiap jenis. Jika

dibuat proyeksi logaritma jumlah organisme terhadap

waktu, fase log ini muncul sebagai garis lurus.

3. Fase Stasioner

Fase yang menunjukkan puncak aktifitas pertumbuhan pada

titik yang tidak dapat dilampaui lagi, sehingga pada fase ini

gambaran grafik akan mendatar.

4. Fase Kematian

Pada fase kematian, biasanya laju pembiakan berhenti.dan

grafiknya menurun.

2.5 Konsep DasarAsuhan Keperawatan

2.5.1 Definisi Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian

kegiatan kegiatan pada praktek keperawatan yang

langsung diberikan kepada klien pada berbagai tatanan


92

pelayanan kesehatan, dalam upaya pemenuhan KDM,

dengan menggunakan metodologi proses keperawatan ,

berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik

dan etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta

tanggung jawab keperawatan ( DPP PPNI, 1999)

Asuhan Keperawatan dilaksanakan dalam bentuk

proses keperawatan yang meliputi tahap:

2.5.1.1 Pengkajian

2.5.1.2 Diagnosa keperawatan

2.5.1.3 Perencanaan (intervensi)

2.5.1.4 Pelaksanaan (implementasi)

2.5.1.5 Evaluasi (formatif/ proses dan sumatif)

Proses keperawatan sebagai salah satu pendekatan

utama dalam pemberian asuhan keperawatan, pada

dasarnya suatu proses pengambilan keputusan dan

penyelesaian masalah ( Nursalam, 2014)

2.5.2 Tujuan Asuhan Keperawatan

Untuk mengidentifikasi masalah klien, apakah

klien sehat atau sakit

2.5.2.1 Standar Asuhan Keperawatan

Standar Asuhan Keperawatan secara resmi

telah diberlakukan untuk diterapkan diseluruh

Rumah Sakit melalui SK Direktur Jendral


93

Pelayanan Medik No. YM. 00.03.2.6.7637 tahun

1993 standar asuhan keperawatan terdiri dari

a) Standar 1 : Pengkajian Keperawatan

Asuhan keperawatan memerlukan data yang

lengkap dan dikumpulkan secara terus

menerus, tentang keadaannya untuk

menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.

Data kesehatan harus bermanfaat bagi semua

anggota tim kesehatan. Komponen

pengkajian meliputi:

 Pengumpulan data dengan kriteria

Menggunakan format yang baku,

sistematis, diisi sesuai item yang

tersedia, aktual (baru) absah (valid)

 Perumusan masalah dengan kriteria

Kesenjangan antara status kesehatan

dengan norma dan pola fungsi

kehidupan , perumusan masalah

ditunjang oleh data yang telah

dikumpulkan.

b) Standar II Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan dirumuskan

berdasarkan data status kesehatan klien,


94

dianalisis dan dibandingkan dengan norma

fungsi kehidupan klien dengan kriteria

diagnosa keperawatan dihubungkan

dengan penyebab kesenjangan dan

pemenuhan kebutuhan kloien, dibuat

sesuai dengan wewenang perawat,

komponennya terdiri dari masalah,

penyebab gejala (PES) atau terdiri dari

masalah dan penyeba (PE).

Bersifat aktual apabila masalah

kesehatan klien sudah nyata terjadi,

bersifat potensial apabila masalah

kesehatan klien kemungkinan besar akan

terjadi, dapat ditanggulangi oleh perawat.

c) Standar III perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan disusun

berdasarkan diagnosa keperawatan .

komponen perencanaan keperawatan

meliputi:

 Prioritas masalah dengan kriteria

masalah masalah yang mengancam

kesehatan seseorang adalah prorotas

kedua, masalah masalah yang


95

mempengaruhi prilaku merupakan

priorotas ketika

 Tujuan asuhan keperwatan dengan

kriteria: spesifik, bisa diukur, bisa

dicapai, realistik, ada batas waku

 Rencana tindakan dengan kriteria:

disusun berdasarkan tujuan asuhan

keperawatan, melibatkan klien/

keluarga, mempertimbangkan latar

belakang budaya klien /keluarga,

menentukan alternative tindakan yang

tepat, mempertimbangkan

kebijaksanaan dan peraturan yang

berlaku, lingkungan, sumberdaya, dan

fasilitas yang ada , menjamin rasa

aman dan nyaman bagi klien, kalimat

intruksi , ringkas, tegas, dengan bahasa

yang mudah dimengerti

d) Standar IV Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah pelaksanaan

rencan tindakan yang ditentukan dengan

maksud agar kebutuhan klien terpenuhi

secara maksimal yang mencakup aspek


96

peningkatan, pencegahan, pemeliharaan,

serta pemulihan kesehatan dengan

mengikut sertakan klien dan keluarga

dengan kriteria:

 Dilaksanakan sesuai dengan rencana

keperawatan

 Menyangkut keadaan bio, psiko, sosial,

spritual, klien.

 Menjelaskan setiap tindakan

keperawatan yang akan dilakukan

kepada klien/ keluarga.

 Sesuai dengan waktu yang telah di

tentukan

 Menggunakan sumber data yang ada

 Menerapkan prinsip aseptic dan

antiseptic.

 Menerapkan prinsip aman, nyaman,

ekonomis, privacy, dan mengutamkan

keselamatan klien.

 Melaksanakan perbaikan tindakan

berdasarkan respon klien.


97

 Merunjuk dengan segera bila ada

masalah yang mengancam kesalamatan

klien.

 Mencatat semua tindakan yang telah

dilaksanakan.

 Merapikan klien dan alat setiap selesai

melakukan tindakan.

 Melaksanakan tindakan keperawatan

berpedoman pada prosedur teknisi

yang telah dilakuakn

e) Standar V Evaluasi Keperwatanra

periodik, sistematis, dan berencana, untuk

menilai perkembangan klien dengan

kriteria setiap tindakan keperawatan

dilakukan Evaluasi terhadap indikator

yang ada pada rumusan tujuan ,

selanjutnya hasil evaluasi segera dicatat

dan didokumentasikan , evaluasi

melibatkan klien ,kelurga dan tim

kesehatan , evaluasi dilakukan sesuai

standar
98

f) Standar VI : Catatan asuhan keperawatan

Catatan asuhan keperawatan dilakukan

secara individual dengan kriteria :

dilakukan selama klien dirawat inap dan

rawat jalan, dapat digunakan sebagai

bahan informasi, komunikasi dan laporan,

dilakukan segera setelah tindakan

dilaksanakan, penulisannya harus jelas dan

ringkas serta menggunakan istilah yang

baku, sesuai pelaksanaan proses

keperawatan, setiap pencatatan harus

mencantumkan nitial / paraf / nama

perawat yang melaksanakan tindakan dan

waktunya, menggunakan fomulir yang

baku dan disimpan sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai