Anda di halaman 1dari 38

10 Tokoh Ekonomi & Pemikiran Islam Sesuai Periode

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Islam Disiplin Ilmu
Dosen Pengampu: Lufthia Sevriana, S.E., M.SI

Disusun oleh :
Nadya Rahmadhanti 10090316343
Khanifah Silvi W 10090316349
Agnia Nada I 10090316350

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratnya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahnya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang 10 Tokoh Ekonomi &
Pemikiran Islam Sesuai Periode.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
berkontribusi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
saya menerima segala saran kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang 10 Tokoh Ekonomi & Pemikiran Islam
Sesuai Periode ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bandung, November 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1


A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................................4


A. Periode Pertama ................................................................................................................ 4
Tokoh : Zaid bin Ali (10-80H / 699-738M) .................................................................4
Tokoh : Al-Mawardi (450H / 1058M) .........................................................................5
B. Periode Kedua ................................................................................................................. 12
Tokoh : Al-Ghazali (451-505H / 1055-1111M) .........................................................12
Tokoh : Ibnu Al-Qayyim (691-751H / 1292-1350M) ................................................15
C. Periode Ketiga ................................................................................................................. 17
Tokoh : Abu Ishaq Asy-Syathibi (790H / 1388M).....................................................17
Tokoh : Ibnu Khaldun (732-808H / 1332-1404M) ....................................................20
D. Periode Keempat ............................................................................................................. 23
Tokoh : Al-Maqrizi (766-845H / 1364-1441M).........................................................23
Tokoh : Shah Waliullah Ad-Dahlawi (1114-1176H / 1703-1763M) .........................25
Tokoh : Muhammad Abduh (1266-1323H / 1849-1905M) .......................................28
Tokoh : Muhammad Iqbal (1289-1357H / 1873-1938M) ..........................................31

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................34

ii
iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-
tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan
dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman
empiris mereka. Pemikiran merupakan sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-
quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam
pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi
pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka
memahami ajaran Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi
Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek
historis.
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang
Rosul. Rosululoh SAW mengeluarkan sejumlah kebijkan yang menyangkut berbagai hal
yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqih), politik
(siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah ekonomi
umat menjadi perhatian Rosululloh SAW, karena masalah ekonomi merupakan pilar
penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan
Rosululloh SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam
memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai
dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam
menata kehidupan ekonomi negara.
Setelah wafatnya nabi kepemimpinan dipegang oleh Khulafa al Rasyidin, berbagai
perkembangan, gagasan, dan pemikiran muncul pada masa itu. Hal ini tercermin dari
kebijakan-kebijakan yang berbeda antar Khalifah itu sendiri, kebijakan-kebijakan itupun
muncul sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru. Salah satunya pemenuhan
kehidupan masyarakat di bidang ekonomi sehingga masalah teknis untuk mengatasi
masalah-masalah perniagaan muncul pada waktu itu. Sejumlah aturan yang bersumberkan
Al-Qur’an dan Hadist Nabi hadir untuk memecahkan masalah ekonomi yang ada. Masalah
ekonomi menjadi bagian yang penting pada masa itu.
Setelah perkembangan pemikiran ekonomi islam pasca Rosululloh SAW dan
khulafaurrasyidin , muncul perkembangan pada abad pertengahan yang dibagi menjadi 3

1
periode yang didasarkan atas nama tokoh ekonomi Islam tersebut hidup. Yaitu Ekonomi
Islam periode awal Islam sampai 1058 M. Tokohnya antara lain : Zaid bin Ali (738), Al-
Mawardi (1058M), dan lain-lain. Ekonomi Islam periode kedua (1058-1446M). Tokohnya
antara lain : Al-Ghazali (1111), Ibnu Khaldun (1040), dan lain-lain. Dan Ekonomi Islam
periode ketiga (1446-1931 M) Tokohya antara lain : Muhammad Iqbal (1938), Muhammad
Abduh (1905M)), dan lain-lain.

Dengan demikian, kajian historis dalam pemikiran ekonomi islam adalah bagaimana
usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu
dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan
mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi
pada masanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode pertama beserta para
tokoh-tokohnya?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode kedua beserta para
tokoh-tokohnya?
3. Bagaimana perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode ketiga beserta para
tokoh-tokohnya?
4. Bagaimana Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Pada Periode Keempat beserta
para tokohnya?
5. Bagaimana Kesimpulan dari Pemikiran Ekonomi Islam Pada Seluruh Periode?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode pertama
beserta para tokoh-tokohnya?
2. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode kedua beserta
para tokoh-tokohnya?
3. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode ketiga
beserta para tokoh-tokohnya?
4. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran ekonomi islam pada periode keempat
beserta para tokoh-tokohnya?

2
5. Untuk mengetahui kesimpulan dari Pemikiran Ekonomi Islam Pada Seluruh Periode?

3
BAB II PEMBAHASAN

A. Periode Pertama
Tokoh : Zaid bin Ali (10-80H / 699-738M)
1.1 Informasi
Zaid bin Ali adalah putra dari Imam Syi’ah ke 4,Ali Zainal Abidin,dan cucu dari Husain
bin Ali.Beliau lahir pada tahun 80 H/ 699 M.Beliau di kenal ahli fikih kenamaan di
masanya.
Dasar pemikiran ekonomi Imam Zaid bin Ali adalah menyatakam keabsahan jual beli
secara tangguh dengan harga yang lebih daripada jual beli tunai.pemikiran ini menjadi
salah pijakan pendapat tentang kebolehan menetapkan kelebihan harga yang lebih tinggi
pada jual beli secara kredit ataupun tangguh/tertunda.

1.2 Pemikiran
Pemikiran Zaid bin Ali dalam menerapkan Ekonomi Islam:
1. Menurut Zaid bin Ali, transaksi kredit bisa dibenarkan selama masih dilandasi oleh
prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
2. Penjualan yang dilakukan secara kredit yaitu salah satu bentuk promosi sekaligus
respon terhadap permintaan pasar
3. Keuntungan dari penjualan kredit adalah kompensasi atas kemudahan yang
diperoleh seseorang tanpa harus membayar tunai.
4. Keuntungan dari jual beli secara kredit tentu berbeda dengan pengambilan
keuntungan dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman.
5. Menurut Zaid, uang tidak dengan menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat
menghasilkan jika dan hanya melalui perniagaan.
6. Keuntungan dari penjualan secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa
harga yang lebih tinggi selalu berkaitan dengan waktu.
7. Seseorang yang menjual secara kredit dapat pula menetapkan harga yang lebih
rendah daripada harga pembeliannya.
8. Seseorang dapat juga menjual barangnya, baik secara tunai ataupun kredit, dengan
harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya.
9. Dalam syariah, setiap baik buruknya suatu akad ditentukan oleh akad itu sendiri,
tidak dihubungkan dengan akad yang lain.

4
Tokoh : Al-Mawardi (450H / 1058M)
1.1 Informasi
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib al-
Bagdhadi, yang lebih dikenal dengan nama al-Mawardi. Ia lahir di basrah pada tahun 364
H/974 M. Beberapa waktu kemudian ia bersama orangtuanya pindah ke baghdad dan
disana ia dibesarkan.
Al-Mawardi hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (380-422 H)
dan Al-Qa’imu Billah. Masa kehidupan Al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi
disintegrasi politik dalam pemerintahan Daulat Bani Abbas. Pada masa itu, Baghdad yang
merupakan pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu membendung arus keinginan
daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dari Bani Abbas dan membentuk
daerah otonom. Ini akhirnya memunculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak
mau tunduk pada kekuasaan Bani Abbas.
Al-mawardi seorang pemikir Islam yang terkenal pada masanya. Yaitu masa dimana
ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam mengalami puncak kejayaannya. Ia
juga dikenal sebagai tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar
pengaruhnya pada Dinasti Abbasiyah. Selain sebagai pemikir Islam yang ahli di bidang
fiqh, sastrawan, politikus dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat
produktif.

1.2 Pemikiran
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah
karya tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-
Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku
ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian,
peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, salah satu bagiannya, al-
Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai
mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system
pemerintahan dan administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap
rakyatnya, berbagai lembaga Negara, penerimaan dan pengeluaran Negara, serta Institusi
Hibah.

5
Dalam kitabnya al-Ahkam As-Sulthaniyyah, al-Mawardi menempatkan pembahasan
ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing
membahas tentang harta, sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.

Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis
menunjukan bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang
lebih sistematis dan rumit. Sumbangan utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka
tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman publik.

Negara dan Aktivitas Ekonomi


Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi.
Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga
negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi
berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan
kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan suatu keharusan demi
terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.

Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki
peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral
bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara
kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi memandang
bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan
kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.

Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur


yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,

“ Jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber
air minum, atau rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk
memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk
memperolehnya”.

6
Al-Mawardi menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan
yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai
jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban social
(fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi
ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan
bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, Negara
dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang
memiliki sumber keuangan yang memadai. Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara
dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga Negara sebagai berikut :
1. Melindungi agama
2. Menegakkan hukum dan stabilitas
3. Memelihara batas Negara islam
4. Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
5. Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
6. Mengumpulkan pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya
dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya
7. Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi
kewajibanya.

Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan Negara terhadap pendirian kantor lembaga


keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana Negara
dari berbagai daerah lalu dikirimkan kepusat.

Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-Mawardi menyebutkan
bahwa sumber-sumber pendapatan Negara islam terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj,
Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan
antara kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat
atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian, harus dilakukan langsung
oleh Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak, seperti
perhiasan dan barang dagangan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.

Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan


Negara tersebut apabila tidak mampu memenuhi kebutuhann anggaran Negara atau terjadi
defisit anggaran, Negara memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan

7
pinjaman kepada public. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Untuk membiayai kepentingan perang dan kebutuhan social lainnya dimasa awal
pemerintahan Madinah.

Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan kepentingan public.


Nemun demikian, tidak semua kepentingan public dapat dibiayai dari dana pembiayaan
public. Ia berpendapat bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya
untuk pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory Negara dan biaya untuk kepentingan umum
dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat dilakukan untuk
pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh Negara dalam kerangka
mandatory functions. Sebagai gambaran, al-Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa
kewajiban Negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara
dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari
apakah keuangan Negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi,
Negara dapat melakukan pinjaman kepada public untuk memenuhi jenis kewajiban
tersebut.

Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya memperbolehkan untuk


membiayai kewajiban Negara yang bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis
kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat
memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.

Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman publik


dilakukan jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak
bertujuan konsumtif. Kebijakan pinjaman publik merupakan solusi terahir yang dilakukan
oleh Negara dalam menghadapi defisit anggaran.

Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari
perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj harus berfariasi sesuai dengan
faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu
kesuburan tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi.

8
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor-faktor
penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam
melakukan penilaian Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung
kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai
jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya dengan
sistem irigasi.

Disamping ketiga faktor tersebut, al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain,
yitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Faktor terahir ini juga
sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak
tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi keadilan baru akan
terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak
mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan penilaian suatu objek
Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.

Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan


salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:

1. Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah.


Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami
atau tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.
2. Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam
metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek
Kharaj.
3. Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil
produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman
mengalami masa panen.

Baitul Mal
Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai
belanja Negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, Negara
membutuhkan lembaga keuangan Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen.
Melalui lembaga ini, pendapatan Negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos
yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.

9
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika
dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang
direncanakannya, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Ia
juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk
memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat surplus,
guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya,
pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan
sebaggian harta Baitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami defisit. Kemudian
dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan publik. Ia
mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua hal, yaitu:
1. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul
Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
2. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset
kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung
jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena
pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan
tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan
untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan
demikian kategori tanggung jawab yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat
tetap dan minimum.

Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara
yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik
kaum muslimin secara umum dan bukan milik perseorangan secara khusus merupakan
bagian dari harta Baitul Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai yang diperuntukan bagi
seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Lebih jauh, al-
Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.

Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga


menunjukan bahwa dasar pembelanjaan publik dalam Negara islam adalam Maslahah
(kepentingan umum). Hal ini berarti bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk

10
membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan
kemajuannya.

Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa


kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan
miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada
batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’
merupakan istilah yang relativ. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebingga terbebas
dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.Disamping itu al-
Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat itu
diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan
mustahik zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat
surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah
tempat zakat tersebut diambil.

Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal agar
berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan Hisbah
semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan
kebutuhan public serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi
masyarakat umum. Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme pengadaan air minum
kekota mengalami kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut banyak
dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab)
harus memperbaiki system air minum, merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan
keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann
kewajiban Masyarakat.

Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata


memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan public. Ia
menyatakan: “ Setiap penurunan dalam kekayaan public adalah peningkatan kekayaan
Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara adalah peningkatan dalam kekayaan
public.”

Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public, seperti halnya


perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi.

11
Pernyataan al-Mawradi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan
meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan

B. Periode Kedua
Tokoh : Al-Ghazali (451-505H / 1055-1111M)
1.1 Informasi
Al-Ghazali terlahir dengan nama lengkap Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-
Ghazali at-Thusi, juga dijuluki dengan gelar Hujjah al-Islam. Lahir pada tahun 450 H/1058
M di Tus (sekarang Meshed), sebuah kota kecil di daerah Khurasan (sekarang Iran).
Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang wol dan menjual hasil prodiksinya sendiri ke
pasar-pasar di sekitar tempat tinggalnya. Karena ayahnya penjual benang, maka ia diberi
nama panggilan Ghazali, yang dalam bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid
Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar
Islam.

Sejak muda, Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama


belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar
dasar-dasar Ushul Fiqh. Pada tahun 483 H (1090 M), ia di angkat menjadi guru di
Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para
ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi utama.
Pada tahun 488 H (1095 M), al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan pergii menuju ke
Syria untuk merenung, membaca, dan menulis selama kurang lebih 2 tahun. Namun Al-
Ghazali mendapat desakan dari para penguasa pada waktu itu yaitu wazir Fakhr Al-Mulk,
al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi pekerjaan
tersebut hanya bertahan selama dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan
sebuah madrasah, Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan
energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan.

Umumnya kita mengenal Imam Al Ghazali sebagai seorang ahli sufi besar, seorang
ahli tasawuf yang membenci dunia. Tidak seorangpun menggambarkannya sebagai
seorang politikus yang mempunyai konsepsi dalam soal kenegaraan dan pemerintahan.
Tidak banyak dikenal bahwa Al-Ghazali membicarakan soal-soal ekonomi apalagi
menyebutkan soal-soal perbankan.

12
Namun demikian, Al-Ghazali yang hidup pada abad-12 (450-505 H/ 1058-1111M),
membicarakan semuanya itu dengan cara-cara yang logis dan modern, yang analisisnya
masih up to date untuk zaman ini. Bahkan, dia membicarakannya dalam bukunya Ihya
‘Ulum Ad-Diin, yang menjadi pegangan bagi ahli-ahli tasawuf.

Akhir hidup al-Ghazali di Teheran pada 505 H/1111 M, seperti biasanya, ia bangun
pagi pada suatu hari Senin, bersembahyang, kemudian meminta dibawakan peti matinya.
Ia seolah-olah mengusap peti itu dengan matanya dan berkata “apapun perintah Tuhan,
aku telah siap melaksanakannya”. Sambil mengucap kata-kata itu ia meluruskan kakinya,
dan ketika orang melihat wajahnya, Imam besar itu sudah tiada.

1.2 Pemikiran
Al-Ghazali memandang petumbuhan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas
kewajiban sosial (fardh kifāyah) yang sudah ditetapkan Allah. Artinya, jika hal-hal ini
tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa (dalam Ihyā’,
juz 2). Ia menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena
merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seeorang (dalam Mizan Al-’Amal).
Selanjutnya, ia mengidentifikasi 3 alasan mengapa seseorang melakukan aktivitas-
aktivitas ekonomi, yaitu: Pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan.
Kedua, untuk mensejahterakan keluarga. Ketiga, untuk membantu orang lain yang
membutuhkan (dalam Mizan Al-’Amal). Ia menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan
seseorang berasal dari 3 sumber, yaitu pendapatan tenaga individual, laba perdagangan,
dan pendapatan karena nasib baik. Ia mencontohkan dari sumber pendapatan yang ketiga
adalah pendapatan melalui warisan, menemukan harta karun atau mendapat hadiah.
Namun ia menandaskan bahwa seluruh sumber pendapatan tersebut harus diperoleh
dengan cara yang halal.
Al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut
dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya
pembagian kerja, koordinasi dan kerja sama. Ia menguraikan argumen tahapan produksi
ini dengan menggunakan contoh jarum (dalam Ihyā’, juz 4), senada dengan contoh pabrik
penitinya Adam Smith kurang lebih 6 abad kemudian.

Al-Ghazali menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara
khusus, ia memandang bahwa produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban

13
sosial (fardh kifāyah). Dalam hal ini, pada prinsipnya, negara harus bertanggung jawab
dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Di
samping itu, ia beralasan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan
pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak
kehidupan masyarakat.
Al-Ghazali juga menganalisa hukum permintaan dan penawaran. Ia mengatakan bahwa
jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, maka ia akan menjualnya
pada harga yang sangat rendah.

Tentang laba, Al-Ghazali menyatakan bahwa pengurangan marjin keuntungan dengan


mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi
peningkatan laba. Ia mengakui motivasi mencari laba dan sumber-sumbernya. Ia
menganggap laba sebagai imbalan atas risiko dan ketidakpastian, karena mereka
(pedagang dan pelaku bisnis) menanggung banyak kesulitan dalam mencari laba dan
mengambil risiko, serta membahayakan kehidupan mereka dalam kafilah-kafilah dagang.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh “laba” yang akan
diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat.

Tentang teori evolusi pasar, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut: ”Setiap


penjual akan membutuhkan pembeli untuk membeli barang dagangannya. Namun ketika
penjual dan pembeli berada di tempat yang berbeda atau tidak berada pada satu tempat,
maka hal ini akan menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, dibutuhkan suatu tempat
yang mempertemukan antara para penjual dan para pembeli, sehingga masing-masing dari
penjual dapat dengan mudah menemukan pembeli barang dagangannya, demikian juga
dengan pembeli dapat dengan mudah menemukan setiap barang yang dibutuhkannya.
Tempat inilah yang disebut dengan pasar. Sebagaimana aliran fisiokratisme pada abad 17
Masehi, bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam”, yakni sebuah
ekspresi hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi”
(dalam Ihyā’, juz 3).

Sedangkan tentang teori evolusi uang, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut:


”Evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni tidak
akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa
ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada

14
ukuran yang sama”. Ia menyatakan bahwa tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah
untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka yang
menimbun kepingan-kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk yang lain. Ia
berkata: “Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Dinar dan dirham adalah alat
untuk mendapatkan barang-barang lainnya.” Pernyataannya ini menunjukkan bahwa
meminjamkan uang dengan mengambil keuntungan darinya (riba) adalah dilarang,
sekaligus juga memberikan isyarat tentang fungsi uang. Ia juga memperingatkan bahwa
memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang
diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang. Al-
Ghazali pernah membolehkan peredaran uang yang tidak menggunakan emas dan perak,
dengan beberapa persyaratan. Di antaranya, pemerintah harus menyatakan uang itu
sebagai alat tukar resmi dan menjaga nilainya serta memastikan tidak ada perdagangan
uang.

Tokoh : Ibnu Al-Qayyim (691-751H / 1292-1350M)


1.1 Informasi
Ibn Al Qayyim, memiliki nama asli Muhammad Ibn Abi Bakr, adalah tokoh Islam yang
dilahirkan di Damascus pada tanggal 7 Safar 691 AH dari seorang ayah yang bekerja
sebagai kepala sekolah pada Madrasah Al Jawziyya. Latar belakang orang tuanya yang
seorang pendidik inilah yang membuat beliau mendapatkan pendidikan Islam yang
komprehensif semenjak kecil. Ibn Al Qayyim banyak belajar dari ilmuwan-ilmuwan Islam
terkenal seperti Shihaab Al Abir, Taqiyyud-Deen Sulaymaan, Safiyyud-Deen Al-Hindee,
dan 16 tahun didedikasikan untuk belajar dari Ibn Tamiyyah. Oleh karena itu, buah
pemikiran beliau sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh Ibn Tamiyyah. Satu hal penting
lainnya yang perlu dipahami oleh pembaca adalah bahwa pada dasarnya Ibnu Al Qayyim
bukanlah ilmuwan Islam yang fokus pada permasalahan ekonomi, melainkan lebih banyak
kepada Tafsir Al Quran, Sunah, dan permasalahan sosial dan politik. Pandangan Al
Qayyim mengenai permasalahan ekonomi sendiri muncul atas dasar kebutuhan pada
masanya.

1.2 Pemikiran
Secara umum pemikiran Ibn Al Qayyim tentang permasalahan ekonomi dapat kita
golongkan menjadi 6 topik, yakni filosofi ekonomi syariah; kaya versus miskin; zakat;

15
riba; mekanisme pasar dan regulasi harga; dan pandangan ekonomi syariah tentang waktu.
Lima topik yang pertama sama dengan pemaparan Abdul Azim Islahi yang diterbitkan
oleh King Abdul Aziz University pada tahun 1984, sedangkan topik keenam diambil dari
tulisan Ridha Saadalah (1994).

Filosof Ekonomi Syariah


Ibn Al Qayyim berpandangan bahwa kehidupan itu adalah tes dan pengadilan bagi
manusia. Bagaimana manusia memenuhi semua kebutuhannya, mengatasi berbagai
permasalahannya dan tentu akan ada reward dan punishment dari Allah SWT
(sebagaimana layaknya dalam sebuah pengadilan). Guna memenuhi kebutuhannya
tersebut, manusia harus bekerja. Sebagai contohnya, setiap manusia butuh makan untuk
bertahan hidup dan guna memenuhinya manusia harus menanam, beternak ataupun
mencari ikan dan semuanya itu termasuk ke dalam kegiatan ekonomi. Sejalan dengan
Sunah Rasulullah SAW, Ibn Al Qayyim mengatakan bahwa dosa itu dapat memperburuk
kehidupan seseorang.

Kaya Versus Miskin


Sebelumnya perlu ditekankan disini bahwa kaya tidak selalu berarti anugerah ataupun
hukuman melainkan sebuah ujian atau tes, hal yang serupa juga berlaku untuk miskin. Di
tengah perdebatan mengenai mana yang lebih baik antara kaya dan miskin, Ibn Al Qayyim
memiliki pandangan yang sejalan dengan gurunya Ibn Taimiyah, yakni bahwa kaya itu
lebih baik dibandingkan miskin. Argumen utamanya adalah bahwa dengan kekayaan
seseorang itu memiliki peluang yang lebih besar untuk beribadah seperti bersedekah, haji,
membangun masjid, dan berbagai hal positif lainnya yang tentu akan sangat sulit dilakukan
pada kondisi miskin.

Zakat
Terkait masalah zakat, Ibn Al Qayyim memberikan penjelasan yang cukup detail
mengenai alasan dibalik rate zakat yangberbeda-beda dan periode pembayaran zakat yang
1 tahun. Al Qayyim memaparkan bahwa rate zakat akan semakin rendah jika penggunaan
tenaga kerja semakin intensif. Zakat untuk barang temuan adalah yang terbesar, yakni 20%
karena untuk mendapatkan barang temuan tersebut relatif menggunakan tenaga kerja yang
relatif lebih sedikit. Selanjutnya alasan sawah tadah hujan dikenakan rate zakat sebesar 10
persen, relatif lebih besar dibandingkan sawah irigasi sebesar 5 persen karena pada sawah

16
irigasi dibutuhkan tenaga untuk membuat saluran irigasi dan menyalurkannya ke sawah-
sawah. Sehingga sawah irigasi lebih labor intensive dibandingkan dengan sawah tadah
hujan.

Riba
Ibn Al Qayyim membagi riba menjadi 2, yakni pba Al Jali dan riba Al Khafi. Riba Al
Jali terjadi jika pemberi pinjaman mengenakan tambahan biaya atau bunga atas
pinjamannya. Praktek seperti ini merupakan hal yang lazim dilakukan pada masa jahiliyah.
Riba Al Khafi merupakan riba yang samar yang selanjutnya dibagi menjadi riba al-fadl
(mengenakan jumlah tambahan ketika menukar barang yang sama) dan riba al-nasiyah
(mengenakan jumlah tambahan ketika pembayaran tidak dilakukan pada saat yang sama
dengan transaksi). Merujuk kepada Sunah Rosulullah SAW, semua ini hanya berlaku pada
2 jenis kategori barang, yakni logam mulia dan bahan pangan.

Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga


Sejalan dengan Ibn Taimiyyah, Al Qayyim berpandangan bahwa harga harus dibentuk
oleh keseimbangan supply dan demand yang terbentuk di pasar. Selain itu, Ibn Al Qayyim
juga memandang penting peran dari Al Nisbah, yakni sebuah lembaga untuk mengontrol,
mengintervensi dan mensupervisi kegiatan ekonomi.

Pandangan Ekonomi Syariah Tentang Waktu


Ibn Al Qayyim merupakan salah satu ilmuwan Islam yang mendukung pemberlakuan
harga yang lebih tinggi untuk kasus pembayaran yang ditangguhkan. Jika seseorang
memberikan barang pada saat ini dan menerima pembayarannya pada masa yang akan
datang maka diperbolehkan baginya untuk menerima tingkat harga yang lebih tinggi
karena adanya opportunity cost yang muncul. Namun hal ini hanya berlaku untuk komoditi
selain daripada logam mulia dan bahan pangan.

C. Periode Ketiga
Tokoh : Abu Ishaq Asy-Syathibi (790H / 1388M)
1.1 Informasi
Al-syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-
Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar

17
belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Al-syatibi
dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di
kawasan Spanyol bagian timur. Al-Syatibi dibesarkan dan memperolehseluruh
pendidikannya di ibu kota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir
umat islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan
Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat
karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi
Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam
meneliti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami
berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid
(esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktifitas ilmiahnya dengan belajar dan
mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkarn Al-Biri, Abu Qasim
Muhammad ibn Ahmad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya, ia
belajar dan mendalami hadits dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani ilmu
kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilu usul fiqh dariAbu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad Al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif
Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu BakarAl-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu
lainnya, seperti ilmu melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan
pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad Al-
Nafsi Al-Rundi.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu,Al-Syatibi lebih berminat untuk
mempelajari bahasa Arab dan khususnya, usul fiqh. Ketertarikannya terhadap ilmu usul
fiqh karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor yang
sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.

1.2 Pemikiran
Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi
1. Objek kepimilikan
Pada dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak
kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup
orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaan
tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air
yang tidak dapat dijadikan senagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air

18
yang dapat dijadikan sebagi objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk
bagian dari sebidang tanah meilik individu. Lebih jauh, ia menyatakan, bahwa tidak hak
kepemilikan yang dapt diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.

2. Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang
maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutif para pendahulunya, seperti Al-Gazali
dan Ibn Al-Fara’, ia menyatkan bahwa pemiliharaan kepentingan umum secara esensial
adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidakmam mampu melaksanakn
tanggung jawab ini masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul mal serta
menyumbangkan sebagian kekayaan merekasendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu,
pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyat-rakyatnya sekalipun
pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.

Wawasan Modern Teori Al-Syatibi


Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah ini.
Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan aktifitas
ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti di
definisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan
di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan atau (needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan
pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia
berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karen itu,
problemmatika ekonomi manusia dan perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan
(fulfillment needs) dengan sumber daya yang tersedia.
Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu menejmen kontemporer, konsep maqhasid Al-
Syari’ah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motifasi. Seperti yang telah
kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa”
seseorang berprilaku. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha
keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat,
dorongan, dan sebagainya.Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.
Dalam persfektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa
pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperolah kemaslahatan di dunia

19
dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotifasi untuk
selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan
produktifitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Tokoh : Ibnu Khaldun (732-808H / 1332-1404M)


1.1 Informasi
Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisiapada awal Ramadhan 732 M/27 mei 1332 M.Ia
mempunyai nama lengkap Abduurahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Khaldun.
Abdurrahman adalah nama kecilnya dan Abu Zaid adalah nama panggilan
keluargannya,sedangkan Waliuddin adalah gelar yang diberikan kepadanya sewaktu ia
menjabat sebagai qadhi di Mesir. Selanjutnya ia lebih popular dengan sebutan Ibn
Khaldun.Dalam karyanya at-Ta’rif, ibn khaldun menerangkan dirinya dan garis
keturunannya sebagai Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Jabir Ibn
Muhammad ibn Ibrahim Ibn Abdurrahman Ibn Khaldun. Keluarganya berasal dari
Hadramaut (Yaman) dan silsilahnya sampai pada salah seorang sahabat Nabi saw yang
bernamaWail Ibn hujr dari kabilah Kindah.

Masa kelahiran Ibn Khaldun merupakan penghujung zaman pertengahan dan


permulaan zaman Renaissance di Eropa. Ia hidup ketika dunia islam berada pada masa
kemunduran dan disintegrasi jatuhnya kekhalifahan Abbasiyah ke tangan Moghul
pimpinan Timur Lenk.
Ibn Khaldun mendapatkan kesempatan belajar dari para ulama dan ayahnya
sendiri,seorang perwira militer dan administrator. Dalam usia muda Ibn Khaldun telah
menghapal Alquran dan menguasai beberapa disiplin Islam seperti
tajwid,tafsir,hadist,ushul fiqh,tauhid dan fiqh mazhab Maliki. Ia juga mempelajari ilmu-
ilmu aqliyah seperti filsafat, tasawuf dan metafisika serta ilmu-ilmu bahasa seperti
nahwu,sharaf,balagah. Disamping itu ia juga tertarik pada ilmu
politik,sejarah,ekonomi,geografi, fisika dan matematika. Ibn khaldun meninggal dunia
padatanggal 26 Ramadhan 808 H/16 Maret 1406 M dalam usia 74 tahun menurut hitungan
masehi atau 76 tahun menurut tahun hijriyah.

20
1.2 Pemikiran
1. Mekanisme Pasar
Ibn khaldun secara khusus memberikan ulasan tentang harga dalam bukunya al-
muqadimmah pada satu bab berjudul” Harga-harga di Kota”.
Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, maka
pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi prioritas.
2. Teori Pembagian Tenaga Kerja (Division Of Labor)
Pandangan Ibnu Khaldun bahwa apabila pekerjaan dibagi-bagi diantara masyarakat
berdasarkan spesialisasi, akan menghasilkan output yang lebih besar. Seperti pemikir
sebelumnya Imam Al Ghazali (1058-1111 M) juga telah menyampaikan tentang tahapan
dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja,
koordinasi, dan kerjasama, dengan mempergunakan contoh produk roti yang siap dimakan
dengan bantuan mungkin lebih dari seribu pekerja. Al Ghazali menekankan kebutuhan
terhadap pembagian tenaga kerja dengan mempergunakan contoh pabrik jarum, yang
kemudian sepertinya menginspirasi Adam Smith (1723-1790 M) yang mempergunakan
contoh pabrik peniti.
Ibnu Khaldun menekankan perlunya pembagian kerja dan spesialisasi dengan
menyatakan bahwa “Menjadi jelas dan pasti bahwa seorang individu tidak akan dapat
memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya sendirian. Mereka semua harus bekerja sama
untuk tujuan ini.Apa yang dapat dipenuhi melalui kerja sama yang saling menguntungkan
jauh lebih besar dibandingkan apa yang dapat dicapai oleh individu-individu itu
sendirian”.
Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun ini berimplikasi pada peningkatan hasil
produksi. Sebagaimana teori division of labor Adam Smith (1729-1790),
3. Perpajakan (Taxes) 3. Perpajakan (Taxes)
Peningkatan pajak terkait langsung bagaimana peranan perusahaan swasta dan negara
dalam pembangunan ekonomi, baginya negara juga factor penting dalam produksi.
Melalui pembelanjaannya, negara mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya
mampu melemahkan produksi. Karena pemerintah membangun pasar terbesar untuk
barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan, penurunan
dalam belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan
menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak.
Semakin besar belanja pemerintah, kemungkinan semakin baik bagi perekonomian.
Belanja tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi

21
penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan dan politik. Tanpa stabilitas peraturan
dan politik, produsen tidak mempunyai insentif untuk memproduksi. Ibnu Khaldun
menulis bahwa pajak harus dikenakan secara proporsional sesuai dengan kemampuan
pembayar pajak.
4. Teori Uang (Money)
Menurut Ibnu Khaldun, uang tidak selalu identik dengan kesejahteraan tetapi hanya alat
dimana kesejahteraan akan diraih. Berkaitan tentang fungsi uang, menurutnya uang
memiliki dua fungsi, yaitu sebagai ukuran pertukaran (standard of excange) dan sebagai
penyimpan nilai (store of value).
Bagi Ibnu Khaldun, dua logam yaitu emas dan perak, adalah ukuran nilai semua
akumulasi modal. Karena logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana
nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif.
5. Pembangunan (development)
Sebagaimana dalam analisis yang dikembangkan Umar Chapra, bahwasanya
pembangunan, menurut Ibnu Khaldun dipengaruhi oleh peranan negara dan keberhasilan
pembangunan tersebut ditentukan oleh wujudnya keadilan. Artinya jika pembangunan itu
tidak adil, maka pembangunan itu pada hakekatnya gagal dan ini menjurus pada
kemunduran masyarakat dan negara.
6. Perdagangan Internasional (Foreign Trade)
Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa barang akan menjadi lebih berharga dengan
diperdagangkan lintas negara karena kepuasan masyarakat, laba pedagang, dan
kesejahteraan negara semuanya akan meningkat (gains from trade). Ia juga menekankan
peranan pembagian kerja internasional yang lebih didasarkan pada keterampilan penduduk
dari masing-masing negara. Menurutnya, pembagian kerja internasional tidak didasarkan
pada sumbersumber kekayaan alamnya
7. Kesejahteraan Bangsa (wealth of nations)
Menurut Ibnu Khaldun, alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan sebuah
bangsa dipengaruhi oleh adanya pembangunan yang adil. Perwujudannya juga
dipengaruhi oleh peranan negara dan masyarakat, serta tingkat pemahaman dan
pelaksanaan nilai-nilai syari’ah dalam sebuah bangsa. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa
kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut.
Menurutnya, kekayaan negara ditentukan oleh dua hal: (1) Tingkat produksi domestik; dan
(2) Neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut

22
Pemikiran selanjutnya tentang ekonomi Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1046)
1. Persoalan Ekonomi
Soal-soal ekonomi dibicarakan juga oleh filosof Islam, Ibnu Khaldun (1332-
1046) dalam bukunya Muqaddimah bagian V, “Motif ekonomi timbul karena hasrat
manusia yang tidak terbatas, sedangkan barang yang memuaskan kebutuhannya itu
sangat terbatas. Sebab itu pemecah soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut,
sudut tenaga dan sudut penggunaannya.
2. Soal-soal ekonomi dalam 33 Pasal
Uraian selanjutnya tentang ekonomi oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah
yang dibagi menjadi 33 Pasal. Semua itu dapat kita simpulkan menjadi:
1) Pasal 1: Terminologi kata-kata ekonomi
2) Pasal 2:mengenai pembagian rencana-rencana ekonomi kepada dua golongan
dengan jenis usahanya, yaitu golongan usaha natuurlijk langsung rencana
ekonomi, dan dua golongan usaha yang bukan natuurlijk menjadi rencana
ekonomi.
3) Pasal 3 sampai pasal 7 (5 pasal) diuraikan tentang usaha-usaha bukan natuuralijk
menjadi usaha ekonomi, dan juga uraian tentang factor-faktor luar yang ada
pengaruhnya dalam ekonomi.
4) Pasal 8 khusus mengenai soal pertanian

D. Periode Keempat
Tokoh : Al-Maqrizi (766-845H / 1364-1441M)
1.1 Informasi
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul
Qadir Al-Husaini. Ia lahir di desaa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365M).
keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak. Oleh
karena itu, ia cenderung dikenal sebagai Al-Maqrizi.
Ketika berusia 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagi tugas pemerintahan
dinasti mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M), Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai
pegawai didiwan Al-Insya’, semacam sekretariat Negara. Kemudian, ia diangkat menjadi
wakil qhadi pada kantor hakim agung mazhab syafi’I, hatib di masjid jami’ amr dan
madrasah Al-sultan Hasan, imam masjid jami Al-Hakim, dan guru hadis dimadrasah di
Al-Muayyadah.

23
Pada tahun 791 H (1389 M), sultan Barkuq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib
dikairo. Jabatan tersebut di embannya selama 2 tahun. Pada masa ini Al-Maqrizi mulai
banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, pedagangan, dan mudharabah,
sehingga perhatiaanya terpokus pada harga-harga yang berlaku, asal usul uang, dan
kaidah-kaidah timbangan.

Pada tahun 811H (1408 M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf
di Qalanisiyah, sambil bekerja dirumah sakit Annuri, damaskus. Pada tahun yang sama ia
menjadi guru hadis dimadrasah kemudian, sultan Al-Malik Al-Mashir faraj bin Barkuk
(1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil pemerintah dinasti mamluk didamaskus.
Namun, tawaran ini ditolak Al-Maqrizi.

Setelah sekitar 10 tahun menetap didamaskus, Al-Maqrizi kembali ke Kairo. Sejak itu,
ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintahdan menghabiskan waktunya untuk
ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan
bermukim di makkah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan
hadis dan menulis sejarah.

Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya barjuwan, kairo.


Disini,ia juga aktif mengajar dan menulis, turutama sejarah Islam, hingga terkenal sebagai
seorang sejarawan besar pada abad ke-9 H. Al-Maqrizi meninggal dunia pada tanggal 27
Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan 9 februari 1442 M.

1.2 Pemikiran
Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang
“uang dan inflasi”. Fokus perhatian Al-Maqrizi terhadap dua aspek yang dimasa
pemerintahan Rasulullah dan Ak-Khulafa Arrasyidun tidak menimbulkan masalah ini,
tampaknya, dilatarelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai Islam,
terutama dalam kedua aspek tersebut, yang dilakukan oleh kepala pemerintahan bani
Umayyah dan selanjutnya. Al-Maqrizi melakukan studi kasus tentang uang dan kenaikan
harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Al-
Maqrizi mengidentifikasi 3 sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang
buruk, beban pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang

24
fulus. Membahas penyebab ketiga, ia menekankan bahwa emas dan perak adalah satu-
satunya jenis uang yang dapat dijadikan sebagai standar nilai, dalam hal sifatnya dan
kesesuaiannya dengan syari;ah. Nilai emas dan perang jarang naik dalam ukuran yang
besar, meskipun nilai fulusmelambung tinggi.

Tokoh : Shah Waliullah Ad-Dahlawi (1114-1176H / 1703-1763M)


1.1 Informasi
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-
Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Ahmad bin Mahmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi.
Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 21 Februari 1703 M atau 4 Syawal 1114 H di Phulat,
sebuah kota kecil di dekat Delhi dan wafat pada tahun 1762 M atau 1176 H. Dia dijuluki
“Shah Waliullah” yang berarti sahabat Allah karena kesalehan yang ia miliki. Dia memulai
studinya di usia lima tahun dan menyelesaikan bacaan dan hafalan dari Al-Quran pada usia
tujuh. Dia adalah pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan penganut mazhab fikih Hanafi.
Bapanya, Shah Abdul Rahim, adalah seorang sufi dan teolog reputasi besar. Dia adalah
ahli pengasas dan guru daripada Madrasah-i-Rahimiyah di Delhi. Shah Abdul Rahim
dikaitkan dengan penyelesaian yang terkenal teks hukum Islam, Fatawa-i-Alamgiri. Dari
sisi genealogisnya (nasab), al-Dihlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah
keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wajih
al-Din) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu Awrangzeb
(1658-1707 M) dalam perang perebutan tahta.
Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawi
dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah
guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abu Thahir al-Kurdi al-Madani, Syekh Wafd
Allah al-Makki al-Maliki, dan Syekh Taj al-Din al-Qala’i al-Hanafi.
Shah Waliallah menerima gelar akademik dan pendidikan rohani daripada ayahnya. Dia
hafal Al-Quran dan memperoleh pengetahuan tentang Tafsir, Hadis, spiritualisme,
mistisisme, metafizik, logik, dan Ilm-ul-Kalam ketika masih di zaman kanak-kanaknya.
Setelah menguasai mata pelajaran ini, dia mengalihkan perhatian pada Shahih Bukhari dan
Fiqih Islam. Beliau juga belajar ilmu perubatan dan Thibb. Setelah memperoleh
pengetahuan ini, ia mengajar di Madrasah ayahnya selama 12 tahun. Dia berangkat ke
Saudi pada tahun 1730 untuk pendidikan tinggi. Selama tinggal di Saudi, ia dipengaruhi
oleh Syeikh Abu Tahir bin Ibrahim, seorang sarjana terkenal pada waktu itu. Beliau belajar

25
di Madinah selama 14 tahun, di mana ia memperoleh gelar Sanad dalam Hadis. Hal ini
diyakini bahwa sementara Shah Waliallah berada di Saudi, ia diberkati dengan visi Nabi
(SAW). Dia juga merupakan keturunan Ulama besar India Mujaddid Alfi Sani Syeikh
Ahmad Sirhindi dan diberitakan bahwa ia akan berpengaruh dalam menetapkan
pembaharuan Muslim di India.
Pada saat ia kembali ke Delhi pada bulan Julai 1732, penurunan kekayaan Mughal telah
bermula. Sosial, politik, ekonomi dan kondisi keagamaan umat Islam sangat miskin. Shah
Waliallah percaya bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam adalah kerana
ketidaktahuan mereka tentang Islam dan Al-Quran. Oleh karena itu, dilatih secara pribadi
sejumlah pelajar yang diamanahkan dengan tugas penyebaran Islam. Dalam rangka untuk
menyebarkan ajaran Islam dan membuat Al-Quran lebih mudah diakses oleh orang-orang,
ia menterjemah Quran ke Parsi, yang utama dan Bahasa umum daripada orang-orang pada
waktu itu. Dia juga berusaha mengurangkan berbagai perbedaan dari banyak kumpulan
sektarian yang berlaku saat itu.
Shah Waliallah juga membuat upaya untuk mengangkat politik umat Islam di India.
Dia menulis surat kepada Ahmad Shah Abdali untuk membantu warga Muslim di India
dalam menghancurkan Marhattas, yang terus-menerus ancaman bagi Empayar Mughal
runtuh. Pada 1761, Ahmad Shah Abdali, sebagai tanggapan terhadap Shah Waliallah
telefon, diakibatkan kekalahan di Marhattas di Panipat. Shah Waliallah bertanggungjawab
atas kebangkitan di masyarakat keinginan untuk kembali semangat moral dan
mempertahankan kemurniannya. Dia dikebumikan di 1762. Putra dan pengikut-cakap
meneruskan kerja dan misi mulia.

1.2 Pemikiran
Pemikiran ekonomi Shah Waliallah dapat ditemukan dalam karyanya yang terkenal
berjudul, Hujjatullah al-Baligha, di mana ia banyak menjelaskan rasionalitas dari aturan-
aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan masyarakat.
Menurutnya, manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga harus melakukan
kerja sama antara satu orang dengan orang lainnya. Kerja sama usaha (mudharabah,
musyarakah), kerja sama pengelolaan pertanian, dan lain-lain. Islam melarang kegiatan-
kegiatan yang merusak semangat kerja sama ini, misalnya perjudian dan riba. Kedua
kegiatan ini mendasarkan pada transaksi yang tidak adil, eksploitatif, mengandung
ketidakpastian yang tinggi, dan beresiko tinggi. Ia menganggap kesejahteraan ekonomi
sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan

26
manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses
produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri evolusi
masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks di
masanya. Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan
menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya
produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya
alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan
keuntungan secara berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan kejujuran dan
keadilan dalam bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan
kemajuan.

Shah Waliallah membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari
sistem barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks
evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah membentuk
satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami. Transaksi yang
melibatkan bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga menciptakan
kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-
lomba dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat
ekonominya adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap
moralitas sosial. Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk tatanan
ekonomi.
Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu pemerintah yang mampu
menyediakan sarana pertanahan, membuat hukum dan menegakkannya, menjamin
keadilan, serta menyediakan berbagai sarana publik seperti jalan dan jembatan. Untuk
berbagai keperluan ini negara dapat memungut pajak dari rakyatnya. Pajak merupakan
salah satu sumber pembiayaan kegiatan negara yang penting, namun harus memerhatikan
pemanfaatannya dan kemampuan masyarakart untuk membayarnya.

Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran India, Waliallah


mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Dua faktor tersebut, yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai
pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi
terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian

27
dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi
yang efisien.

Tokoh : Muhammad Abduh (1266-1323H / 1849-1905M)


1.1 Informasi
Muhammad Abduh lahir di sebuah Desa di Propinsi Gharbiyah pada tahun 1265 H
bertepatan dengan tahun 1848/1849 M. Ayahnya bernama Abduh Ibnu Hasan Khairullah
dan Ibunya bernama Junainah, mempunyai Silsilah dengan keturunan Umar bin Khattab.
Muhammad Abduh lahir dalam lingkungan petani yang hidup sederhana, taat dan cinta
ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr. Situasi politik yang
menyebabkan orang tuanya menyingkir ke desa kelahirannya dan kembali ke Mahallat
Nashr setelah situasi politik mengizinkan.
Masa pendidikan Muhammad Abduh di mulai dengan pelajaran dasar membaca dan
menulis yang didapatkannya dari orang tuanya sendiri. Kemu-dian ia belajar al-Quran
pada seorang Hafiz. Dalam waktu yang relatif singkat (2 tahun) ia dapat menghafal al-
Quran secara keseluruhan.
Pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Thanta, di sebuah lembaga pendidikan Masjid
al-Ahmadi. Namun tempat ini Muhammad Abduh mengikuti pelajaran yang diberikan
dengan rasa tidak puas, bahkan membawan-ya kepada rasa putus asa untuk mendapatkan
ilmu seperti yang diharapkannya. Perasaan yang demikian berpangkal dari metode
pengajaran yang diterapkan disekolah tersebut yang mementingkan hafalan tanpa
pengertian. Sama halnya dengan metode pengajaran yang umumnya di terapkan di dunia
Islam ketika itu.
Muhammad Abduh seorang kritis. Ia berpendapat lebih baik tidak belajar daripada
menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikhi yang sama sekali tidak
dipahaminya. Pendapat yang demikian terbukti dengan kembalinya ke Mahallat Nashr
hidup sebagai petani dan kemudian dikawinkan dalam usia 16 tahun. Empat puluh hari
setelah perkawinannya ia diperintahkan oleh orang tuanya ke Thanta. Ditengah perjalanan
menuju Thanta, ia berubah niat menuju desa Kanisah Urin, tempat kerabat keluarganya.
Di Kanisah Urin, ia bertemu Syekh Darwisy Khadar (Paman ayahnya). Dari pertemuan
tersebut yang kemudia melahirkan kesa-daran Muhammad Abduh. Syekh Darwisy tidak
hanya mengajarkan etika dan moral, tetapi juga praktek kezuhudan tarekatnya.

28
Pada tahun 1972 (Muhammad Abduh berusia 32 tahun), ia bertemu dengan Jamaluddin
al-Afgani. Darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan kacamata baru. Al-
Afgani memperke-nalkan karya-karya tulis para penulis barat, baik masalah poli-tik,
sosial, baik oleh rakyat Mesir maupun umat Islam pada umumn-ya. Disamping itu, ia juga
menerima pelajaran Filsafat, Mate-matika, dan Teologi. Khusus pada pelajaran teologi ia
tertarik dengan teologi mu'tazilah.
Pada tahun 1879 Muhammad Abduh menjadi pengajar di Dar Ulum, tetapi hanya
berlansung setahun dan ia dipecat tanpa alasan yang jelas. Tahun 1880 ia diangkat
pemimpin majalas resmi al-Wajdi al- Mishriyah. Selanjutnya pada tahun 1882, ia diusir
dari Mesir atas tuduhan terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasha.
Dari Mesir ia menuju Beirut kemudian menuju ke Paris untuk bergabung dengan
Jamaluddin al-Afgani. Pada tahun 1889 Muhammad Abduh diizinkan memasuki Mesir,
Setahun kemudian ia diangkat menjadi penasehat Mahkama Tinggi. Tahun 1899
Kepadanya dipercayakan menduduki jabatan keagamaan tertinggi Mesir yakni diangkat
sebagai Mufti negara. Jabatan tersebut tetap dijabat sampai akhir hayatnya.
Muhammad Abduh wafat pada tanggal 11 Juli 1905 di Alexandria. Setelah banyak
melakukan modernisme dalam Islam dan juga banyak mewarisi peninggalan berharga bagi
generasi selanjutnya.

1.2 Pemikiran
Mohammad Abduh mempunyai pemikiran tentang ekonomi yang berlandaskan tauhid
yang bisa kita ketahui di bawah ini :
1. Tentang kekayaan
Kekayaan yang tidak dilandasi iman benar-benar telah membawa pemiliknya hanyut
dalam kesenangan dan mengabaikan orang lain yang seharusnya dusantuni, seperti fakir-
miskin dan anak yatim. Sikap semacam ini tidak hanya menimpa orang kafir, tetapi juga
menimpa orang beragama sebagaimana disebut dalam surat Al-Ma’un. Menurut
Mohammad Abduh, penumpukan harta kekayaan dan pengabaian hak pihak yang
seharusnya disantuni dan dinilai oleh Tuhan sebagai pendustaan agama, justru dilakukan
oleh orang beragama samawi termasuk Yahudi dan Nasrani.
2. Tentang Uang
Uang dinilai memiliki dua fungsi pokok, sebagai standart harga barang dan memudahka
orang mengadakan penukaran barang-barang. Ia mengutip pandangan al-Ghazali bahwa
terciptanya uang merupakan karunia Tuhan yang amat besar manfaatnya. Dengan uang

29
orang dapat memiliki kuda di satu pihak, dan minyak za’faran di pihak lain. Untuk
memeroleh minyak za’faran, pemilik kuda dapat menjual kudanya, kemudian dari hasil
penjualanya itu ia dapat membeli za’faran. Tanpa uang, penaksiran penukaaran kedua jenis
barang itu sulit dilakukan.
3. Tentang Bank
Mohammad Abduh melihat bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi
menonjolnya adalah tempat penyimpanan uang/harta orang kaya.Fungsi itu dipandang
menghambat sirkulasi dan kelancaran arus dagang. Bila uang yang seharusnya
mempermudah kelancaran lalu lintas perdagangan itu menjadi tujuan usaha untuk
disimpan, ini menjadi pertanda akan tercabutnya kemakmuran orang banyak, karena harta
mereka akan terkuras di tangan orang-orang kaya yang pekerjaan mereka hanya
menumpuk harta di tempat-tempat penyimpanan, seperti bank-bank.
4. Tentang Riba dan Bunga Bank
Mohammad Abduh tidak menyebut secara tegas bahwa bunga bank itu riba, tetapi dari
ketidaksimpatiannya terhadap kegiatan bank yang dilihatnya ia tidak menghalalkan bunga
bank. Tetapi ketika ia dihadapkan kepada persoalan bunga tabungan Pos, ia cenderung
menghalalkannya.
Artinya biarpun Tabungan Pos dan Bank itu sama-sama mengeluarkan/membayar
bunga kepada penyimpan, tetapi ia hanya menghalalkan bunga Tabungan Pos. Sikap
Abduh yang tidak mentoleransi itu tampaknya dalam konteks orang miskin sebagai
peminjam, bukan sebagai penyimpan, seperti yang terjadi dalam kegiatan Tabungan Pos,
sehingga peluang adanya zulm itu ada. Zulm ialah menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya, gelap pandangan mata, akal dan jiwa. Gelap fisik dan psikis. Zulm sebagai
sifat yang mendatangkan dosa ialah zulm psikis. Zulm yang disebabkan karena gelap hati
dan ketidak adilan. Dalam pembahasan ini yang termasuk zulm adalah riba.
Menurut Abduh orang yang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk kepentingan
“usaha”, kemudian ditentukan keuntungan tertentu untuk pemilik harta tersebut, maka
tidak termasuk riba, meskipun bertentangan dengan kaedah-kaedah fuqaha’. Karena
muamalah seperti itu mendatangkan manfaat, baik bagi pemilik harta maupun bagi
pengelolanya. Sedangkan riba hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan
pihak lain. Karena itu tidak mungkin hukuim kedua hal ini sama menurut keadilan.

30
Tokoh : Muhammad Iqbal (1289-1357H / 1873-1938M)
1.1 Informasi
Muhammad Iqbal (Urdu: ‫ )اقبال محمد‬dikenal juga sebagai Allama Iqbal (Urdu: ‫)اقبال عالمہ‬,
adalah seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20. Selain itu ia juga seorang ahli
hukum, politikus, reformis sosial, dan sarjana Islam yang besar.
Kontribusi Muhammad Iqbal kepada dunia Muslim sebagai salah satu pemikir terbesar
Islam tetap tak tertandingi. Dalam tulisannya, ia berbicara dan mendesak orang, khususnya
kaum muda, untuk berdiri dan berani menghadapi tantangan hidup. Tema sentral dan
sumber utama pesannya adalah Al-Qur'an.
Allama Iqbal lahir pada 9 November 1877 di Sialkot, Punjab, British India. Ia dianggap
sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra yang ditulis
baik dalam bahasa Urdu maupun Persia. Iqbal dikagumi sebagai penyair klasik menonjol
oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional. Meskipun
Iqbal dikenal sebagai penyair yang menonjol, ia juga dianggap sebagai "pemikir filosofis
Muslim di masa modern".
Iqbal dikenal sebagai Shair-e-Mushriq (Urdu: ‫ )مشرق شاعر‬yang berarti "Penyair dari
Timur". Ia juga disebut sebagai Muffakir-e-Pakistan ("The Inceptor of Pakistan") dan
Hakeem-ul-Ummat ("The Sage of the Ummah"). Di Iran dan Afganistan ia terkenal
sebagai Iqbāl-e Lāhorī (‫" الهوری اقبال‬Iqbal dari Lahore"), dan sangat dihargai atas karya-
karya berbahasa Persia-nya. Pemerintah Pakistan menghargainya sebagai "penyair
nasional", hingga hari ulang tahunnya (‫ – اقبال محمد والدت یوم‬Yōm-e Welādat-e Muḥammad
Iqbāl) merupakan hari libur di Pakistan.
Muhammad Iqbal meninggal pada 21 April 1938 (umur 60) di Lahore, Punjab, British
India.

1.2 Pemikiran
Pemikirannya tentang ekonomi Islam terfokus pada konsep-konsep umum yang
mendasar. Ia menganalisis dengan tajam kelemahan kapitalisme dan komunisme,
kemudian ia menampilkan suatu pemikiran yang mengambil “jalan tengah” yang
sebenarnya telah dibuka oleh Islam.
Muhammad Iqbal sangat memperhatikan aspek social masyarakat, ia menyatakan
bahwa keadilan social masyarakat adalah tugas besar yang harus diemban suatu negara.
Zakat dianggap mempunyai posisi yang strategis untuk mewujudkan keadilan social
disamping zakat juga merupakan kewajiban dalam Islam. Meskipun didunia luas ia lebih

31
dikenal sebagai filosof, sastrawan atau juga pemikir politik, Muhammad Iqbal sebenarnya
juga memiliki pemikiran-pemikiran ekonomi yang brilian. Pemikirannya memang tidak
berkisar hal-hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih kepada konsep konsep umum yang
mendasar.
Dalam karyanya Puisi dari Timur ia menunjukkan tanggapan Islam terhadap
Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim dari Komunisme. Semangat Kapitalisme, yaitu
memupuk kapital atau materi sebagai nilai dasar sistem ini, bertentangan dengan semangat
Islam. Demikian pula semangat Komunisme yang banyak melakukan paksaan kepada
masyarakat juga bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pada zaman itu, umat Islam identik
dengan kemiskinan. Hal tersebut dikarenakan mayoritas orang yang memeluk agama
Islam hidup dalam tingkat ekonomi yang rendah. Menurut Iqbal, itu terjadi dikarenakan
etos kerja dari umat Islam yang semakin melemah.
Muslim tradisional yang hidup pada zaman itu bersikap konservatif atas kemajuan yang
terjadi. Mereka berpikiran picik dan gemar bertaklid pada ulam yang pandangan
keagamaannya mandeg total. Karena golongan ini sangat benci kepada Inggris, maka
segala hal yang berasal dari barat mereka tolak. Mereka tumbuh menjadi golongan yang
picik dan tertutup. Mereka tidak mau mempelajari ilmu pengetahuan modern sebab berasal
dari barat dan tidak juga mau belajar bahasa Inggris untuk meningkatkan pengetahuannya.
Iqbal pun memandang golongan ini sebagai kelompok sosial yang telah kehilangan khudi
atau dirinya yang sejati. Di tangan mereka agama jatuh menjadi sehimpunan upacara dan
bentuk peribadatan formal yang tidak membawa transformasi dan perubahan yang
bermakna kepada penganutnya.
Oleh sebab itu, dalam hal ilmu pengetahuan maupun perekonomian, umat Islam
cenderung stagnan tanpa ada ghirah untuk mencapai kemajuan. Keadilan sosial merupakan
aspek yang mendapat perhatian besar dari Iqbal, dan ia menyatakan bahwa Negara
memiliki tugas yang besar untuk mewujudkan keadilan sosial ini. Zakat, yang hukumnya
wajib dalam Islam, dipandang memiliki posisi yang strategis bagi penciptaan masyarakat
yang adil. Jika Islam ingin maju seperti zaman kemajuan pada masa Abbasiyah, umat
Islam harus kerja sungguh-sungguh, tampilkan bukti, tunjukkan prestasi bukan lamunan.
Kerja sungguh-sungguh akan mengangkat derajat bangsa menuju kemenangan. Iqbal ingin
membangkitkan etos kerja Islam.
Etos kerja Islam pada hakikatnya merupakan bagian dari konsep Islam tentang manusia
yang menyejarah dalam jatuh bangunnya kebudayaan tersebut. Karena itu, etos kerja Islam
adalah bagian dari proses eksistensi diri manusia dalam berbagai lapangan kehidupan

32
manusia yang amat luas dan kompleks. Peradaban-peradaban lampau dikenal karena
meninggalkan karyanya bagi generasi belakangan. Iqbal tidak berpendapat bahwa
Baratlah yang harus dijadikan contoh sebagai model. Kapitalisme dan imperialisme Barat
tak dapat diterimanya. Barat menurut penilaiannya amat dipengaruhi oleh materialisme
dan telah mulai meninggalkan agama, yang harus diambil umat Islam dari Barat hanyalah
ilmu pengetahuannya. Bagi Iqbal materialisme merusak nilai-nilai yang lebih tinggi.

33
BAB III KESIMPULAN

Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan


perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah
diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi
dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak
produktif.
Keragaman pola pikir dalam memandang ekonomi Islam pada dasarnya merupakan
ijtihād para cendikiawan Muslim dalam membentuk kerangka ekonomi yang patuh
Syariah.Para pemikir ekonomi Islam telah meletakkan dasar-dasar bangunan sistem ekonomi
Islam yang meliputi sumber, prinsip, metode, dan teknik pelaksanaan. Walaupun
banyakperbedaan, tetapi mereka tetap merujuk kepada al-Qur‟an dan al-Ḥadīth sebagai sumber
ilmu yang absolut. Akhirnya, atas sumbangan pemikiran merekalah kontruksi bangunan sistem
ekonomi Islam akan mampu menghantarkan seluruh manusia kepada kesejahteraan dan
keadilan sosial yang merata.

34

Anda mungkin juga menyukai