Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara


luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri
koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan
pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar
kemungkinannya terkena stroke.(Aggarwal,2006)
Tekanan darah normal didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
kurang dari 120 mmHg dan diastolik kurang dari 80 mmHg. Hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg atau
diastolik lebih dari 90 mmHg. Kenaikan tekanan darah meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler.(The Seventh Report of the Joint National
Committee, 2004)
Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa hal,
antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat
pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum
mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat
meningkatkan morbiditas dan mortilitas.(Majid,2004)
Di Indonesia, angka kejadian hipertensi berkisar 6-15% dan masih
banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan, terutama
di daerah pedesaan.(Tedjasukmana,2012)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi (tekanan darah sistolik ≥180 mmHg dan atau
diastolik ≥120 mm Hg yang membutuhkan penanganan
segera.(Angelat,2010)
Berdasarkan keterlibatan organ target, krisis hipertensi dibagi menjadi
dua kelompok yaitu:(Van de bom,2011)
1. Hipertensi darurat (emergency hypertension) : kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg)
dengan kerusakan organ target yang bersifat progresif, sehingga tekanan
darah harus diturunkan segera, dalam hitungan menit sampai jam.
2. Hipertensi mendesak (urgency hypertension) : kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg) tanpa
kerusakan organ target yang progresif atau minimal. Sehingga penurunan
tekanan darah bisa dilaksanakan lebih lambat, dalam hitung jam sampai
hari.
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara
lain:(Majid,2004)
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple
drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke
fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik
> 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,
peninggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal

2
ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.
Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi
essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang
sebelumnya mempunyai TD normal. istilah hipertensi maligna diganti
dengan krisis hipertensi dengan retinopati.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini
dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

Tabel 1. Hipertensi Emergensi (darurat)


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
 Pendarahan intra pranial, trombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
 Hipertensi ensefalopati.
 Aorta diseksi akut.
 Edema paru akut.
 Eklampsi.
 Feokhromositoma.
 Funduskopi KW III atau IV.
 Insufisiensi ginjal akut.
 Infark miokard akut, angina unstable.
 Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
- Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
- Cedera kepala.
- Luka bakar.
- Interaksi obat.

Tabel 2. Hipertensi Urgensi (mendesak)


 Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
 KW I atau II pada funduskopi.

3
 Hipertensi post operasi.
 Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

B. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:(Tjokroprawiro
A,2007)
1. Hipertensi primer (esensial), penyebab hipertensi tidak diketahui (95%
pasien).
2. Hipertensi sekunder, disebabkan oleh:
a. Gangguan Ginjal
b. Gangguan endokrin
c. Obat
d. Kehamilan
e. Co-arctation of the aorta
f. Gangguan neurologi
g. Faktor psikososial
h. Intravascular volume overload
i. Hipertensi sistolik

C. Patofisiologi
Arteri normal pada individu normotensi akan mengalami dilatasi atau
kontriksi dalam merespon terhadap perubahan tekanan darah untuk
mempertahankan aliran (mekanisme autoregulasi) yang tetap terhadap
vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi. Pada krisis hipertensi
terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular beeds (terutama
jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya perfusi. Akibat
perubahan ini akan terjadi efek lokal dengan berpengaruhnya prostaglandin,
radikal bebas dan lain-lain yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid arteriol,
disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi miointimal, dan efek siskemik
akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin, vasopresin,
antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target.
4
Jantung, SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang
dapat melindungi organ tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah
mendadak turun atau naik. Misalkan individu normotensi, mempunyai
autoregulasi untuk mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan arteri rata-
rata.
Mean Arterial Pressure (MAP) = Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
Pada individu hipertensi kronis autoregulasi bergeser kekanan pada
tekanan arteri rata-rata (110-180mmHg). Mekanisme adaptasi ini tidak terjadi
pada tekanan darah yang mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya pada
SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya dengan
jantung, ginjal dan mata. (Majid,2004)

D. Manifestasi Klinis Krisis Hipertensi


Gambaran klinis krisis hipertensi umumnya adalah gejala organ target
yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan
jantung dan diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala
hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal
akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada
kenaikan tekanan darah umumnya.(Roesma, 2009)
Tabel 3. Gambaran Klinik Hipertensi Darurat
Tekanan
Funduskopi Status neurologi Jantung Ginjal Gastrointestinal
darah
> 220/140 Perdarahan, Sakit kepala, Denyut jelas, Uremia, Mual, muntah
mmHg eksudat, kacau, gangguan membesar, proteinuria
edema papilla kesadaran, dekompensasi,
kejang. oliguria

E. Diagnosis
Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil
terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data

5
yang minimal kita sudah dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.(Ashley
E,2004)

1. Anamnesis
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang
penting ditanyakan :
a. Riwayat hipertensi, lama dan beratnya.
b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
c. Usia, sering pada usia 30 – 70 tahun.
d. Gejala sistem saraf (sakit kepala, pusing, perubahan mental, ansietas).
e. Gejala sistem ginjal (gross hematuri, jumlah urine berkurang)
f. Gejala sistem kardiovascular (adanya payah jantung, kongestif dan
oedem paru, nyeri dada).
g. Riwayat penyakit glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan, tanda- tanda eklampsi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dikedua
lengan, mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan
neurologi, payah jantung kongestif, diseksi aorta). Palpasi denyut nadi di
keempat ekstremitas. Auskultasi untuk mendengar ada atau tidak bruit
pembuluh darah besar, bising jantung dan ronki paru.
Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan
neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan juga untuk melihat kemungkinan
adanya kerusakan organ : (Tjokroprawiro A,2007)
1. Pemeriksaan laboratorium awal : urinalisis, Hb, Ht, ureum, kreatinin,
gula darah dan elektrolit.
2. Pemeriksaan penunjang: elektrokardiografi, foto thorak
6
3. Pemeriksaan penunjang lain bila memungkinkan: CT scan kepala,
ekokardiogram, ultrasonogram.

G. Diagnosis Banding
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis
hipertensi seperti: (Majid,2004)
1. Hipertensi berat
2. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
3. Ansietas dengan hipertensi labil.
4. Edema paru dengan payah jantung kiri.

H. Tatalaksana
1. Dasar-Dasar Penanggulangan Krisis Hipertensi
Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis
hipertensi sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan
krisis hipertensi dapat dibagi:(Angelats E,2010)
a. Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan secepat
mungkin tapi seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan
dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan menyebabkan
hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah
yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan
krisis hipertensi, pengurangan Mean Arterial Pressure (MAP)
sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi. Penurunan TD pada penderita aorta
diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih rendah lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien
dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial,

7
pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus
dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.
b. Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah
memperbaiki fungsi target organ, pada umumnya masih diperlukan
pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target
organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal
jantung kiri akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian
diuretik, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan
afterload. Pada krisis hipertensi yang disertai gagal ginjal akut,
diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang kadang-kadang
memerlukan hemodialisis.
c. Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan
khusus, terutama yang berhubungan dengan etiloginya, misalnya
eklampsia gravidarum.
2. Penanggulangan Hipertensi Emergensi
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu
segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
(Majid,2004)
a. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari
arterial catether (bila ada indikasi). Untuk menentukan fungsi
kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
b. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik.
1) Tentukan penyebab krisis hipertensi
2) Singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
3) Tentukan adanya kerusakan organ sasaran
c. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD
sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah
klinis yang menyertai dan usia pasien.

8
1) Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD
sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak
kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada
krisis hipertensi tertentu (misal: disecting aortic aneurysm).
Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang
didapat.
2) Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusi ke otak,
jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari
permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting
anneurysma aorta.
3) TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu
atau dua minggu.
Tabel 4: Algoritma untuk Evaluasi Krisis Hipertensi
Parameter Hipertensi Mendesak Hipertensi Darurat

Biasa Mendesak
Tekanan > 180/110 > 180/110 > 220/140
darah
(mmHg)
Gejala Sakit kepala, Sakit kepala hebat, Sesak napas, nyeri dada,
kecemasan; sering sesak napas nokturia, dysarthria,
kali tanpa gejala kelemahan, kesadaran
menurun
Pemeriksaan Tidak ada Kerusakan organ Ensefalopati, edema paru,
kerusakan organ target; muncul klinis insufisiensi ginjal, iskemia
target, tidak ada penyakit jantung
penyakit kardiovaskuler, stabil
kardiovaskular

9
Terapi Awasi 1-3 jam; Awasi 3-6 jam; obat Pasang jalur IV, periksa
memulai/teruskan oral berjangka kerja laboratorium standar, terapi
obat oral, naikkan pendek obat IV
dosis
Rencana Periksa ulang Periksa ulang dalam Rawat ruangan/ICU
dalam 3 hari 24 jam

d. Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi


Perawatan diruangan intensive (ICU) dan pemberian salah satu
dari obat anti hipertensi intravena (IV) dipilih pada pasien hipertensi
emergensi yang disertai kerusakan target organ.
Tabel 5: Obat hipertensi parenteral
Obat Mekanisme Dosis Efek / Durasi Spesifik Indikasi
Sodium Arteri, vena 0,25-10 mg / kg langsung/2 < 2min Edema paru akut
nitroprusside vasodilator / menit sebagai -3 menit
infus IV setelah
infuse
Nitrogliserin Venodilator 500-100 mg 2-5 min /5- 5-10 ACS
sebagai infus IV 10 min min
Nicardipine Dihidropirimid 5-15 mg / jam 1-5 4-6 Hiperadregenic
in calcium sebagai infus IV min/15-30 jam crisis
antagonist min
Labetalol α-β- blocker Bolus 20 mg 5-10 min 3-6 Hipertensi
(not diulang tiap 10 jam Emergensi, Stroke
cardioselective menit (20-
) 80mg)
Infus IV 1-
2mg/min
Esmolol β- blocker Bolus 0,5mg/kg 1-2 min 10-20 ACS
(cardioselectiv Infuse 25- min
e) 300μg/kg/min

10
Enalapril ACEI Bolus sampai 15-60 min 4-6 Hipertensi
1mg jam ensefalopati
Fenoldopam Dopamine Infuse < 5min 30 min Hipertensi
agonist 0,1μg/kg/min emergensi
Urapidilo Selective α- Bolus 25-100 3-5 min 4-6 Perioperative
adregenic mg tiap 5 menit jam hypertension
antagonist
Phentolamine Β-adregenic Bolus 1-5 mg 1-2 min 10-30 Pheochromocytoma
blocker min
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan
obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian
obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside,
Nitroglycirine, TD dapat diturunkan baik secara perlahan maupun
cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila
terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik
kembali dalam beberapa menit. Perlu diingat bila digunakan obat
parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang
berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali. (Van de bom,2011)
e. Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang
tersedia, Sodium nitroprusside merupakan drug of choice pada
kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini
haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring
ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan
hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat
baru yang diberikan secara intravena tampaknya memberikan
harapan yang baik.
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang
dianjurkan maupun yang sebaiknya dihindari
adalah:(Aggarwal,2006)

11
Tabel 6: Obat yang dipilih untuk Hipertensi darurat dengan komplikasi
Komplikasi Obat Pilihan Target Tekanan Obat yang
Darah Dihindari
Diseksi aorta Nitroprusside/Fenoldopam SBP 110-120 sesegera Hydralazine,
+ esmolol/Labetalol mungkin Diaozoxide,
Minoxidil
AMI, iskemia Nitrogliserin+labetalol/ Sekunder untuk Nitroprusside
esmolol//ACEI bantuan iskemia
Edema paru Nitroprusside/ 10% -15% dalam 1-2 Labetalol
nitrogliserin + loop jam
diuretic
Gangguan Bolus labetalol/ 20% -25% dalam 2-3 Nitroprusside
Ginjal fenoldopam infuse jam
Hipertensi ACEI and/ or labetalol 20% -25% dalam 2-3 Nitroprusside
ensefalopati jam
Subarachnoid Labetalol/ Fenoldopam 20% -25% dalam 2-3 Nitroprusside
hemorrhage jam
Stroke Iskemik Labetalol/ Fenoldopam 0% -20% dalam 6-12 Nitroprusside
jam
Eklampsi Magnesium sulfate + 0-25% dalam 2-3 jam ACEI
Labetalol/Methyldopa/
Hydralazine
KW III-IV Bolus labetalol+infuse <25% TD atau ACEI
fenoldopam Diastolik 100-105
mmHg
Kelebihan Nitrogliserin, 0% -20% dalam 6-12 Labetalol
Katekolamin nicardipin/ verapamil + jam

benzodiazepine iv,
fenoldopam,
nitroprusside dan

12
phentolamine
AMI, infark miokard akut; SBP, tekanan sistolik bood.

f. Obat oral untuk hipertensi emergensi


Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan
untuk menggunakan obat oral seperti Nifedipine (Ca antagonist),
Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Captopril 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan
secara sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima
menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping
yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD
diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila
TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan
adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran
yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit
respons bila setelah 60 menit pemberian TD masih >120mmHg atau
MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom
dan sign dari organ sasaran.(Roesma,2009)
3. Penanggulangan Hipertensi Urgensi
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di
rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang,
tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih
sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan
obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini
dan hasilnya cukup memuaskan.(Majid, 2004)

Tabel 7: Obat hipertensi urgensi oral


Obat Dosis Efek / Lama Perhatian khusus
Kerja
Captopril 12,5 - 25 mg PO; 15-30 min/6-8 jam Hipotensi, gagal ginjal,

13
ulangi per 30 min ; SL 10-20 stenosis arteri renalis
; SL, 25 mg min/2-6 jam
Clonidine PO 75 - 150 ug, 30-60 min/8-16 Hipotensi, mengantuk,
ulangi per jam jam mulut kering
Propanolol 10 - 40 mg PO; 15-30 min/3-6 jam Bronkokonstriksi, blok
ulangi setiap 30 jantung, hipotensi
min ortostatik
Nifedipine 5 - 10 mg PO; 5 -15 min/4-6 jam Takikardi, hipotensi,
ulangi setiap 15 gangguan koroner
menit
Pemberian nifedipine sublingual mulai ditinggalkan karena dapat
menyebabkan hipotensif. Obat yang dianjurkan adalah obat long half-life,
karena tujuan penurunan tekanan darah dicapai dalam 48-72 jam.
Captopril adalah obat yang sering digunakan.

I. Prognosis
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival
penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia
(19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%), gagal
jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miokard (1%), diseksi aorta
(1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif
dan penanggulangan penderita gagal ginjal dengan analisis dan transplantasi
ginjal.(Rosendorff C,2005)

14
BAB III
KESIMPULAN

Krisis hipertensi merupakan keadaan klinis yang perlu penanganan segera


dan tepat. Perlu dibedakan antara hipertensi emergensi dan urgensi. Hipertensi
emergensi disertai dengan kerusakan target organ. Penurunan tekanan darahnya
harus dilakukan dalam waktu menit hingga jam. Namun untuk hipertensi urgensi
tidak terdapat kerusakan target organ/kerusakan minimal. Penurunannya perlahan
dalam hitungan hari. Penurunan terlalu cepat dapat menyebabkan hipoperfusi
target organ. Besarnya penurunan tekanan darah 20-25% dari nilai MAP.
Obat antihipertensi parenteral yang bekerja cepat, dapat dikontrol
penurunan tekanan darahnya dan minimal efek sampingnya merupakan obat
pilihan. Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena
TD dapat diatur sesuai dengan keinginan, sedangkan dengan obat oral
kemungkinan penurunan TD melebihi diingini sehingga dapat terjadi hipoperfusi
organ. Drug of choice untuk hipertensi emergensi adalah Sodium Nitroprusside,
sedangkan Nifedipine, Clinidine, merupakan oral anti hipertensi yang terpilih
untuk hipertensi urgensi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Aggarwal M., Khan I. A., 2006. Hypertensive Crisis: Hypertensive


Emergencies and Urgencies., Cardio Clin. 24 pp: 135-46
2. Angelats E. G., Baur E. B., 2010. Hypertension, Hypertensive Crisis, and
Hypertensive Emergency: Approaches to Emergency Department Care.
Emergencias; 22 pp 209-19
3. Ashley E. A., Niebauer, J., 2004. Hypertension. In Ashley E. A., Niebauer, J.
Cardiology Explained. United Stated of America: Remedica pp 77-91
4. Majid A., 2004. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. Universitas
Sumatera Utara. Sumaterea
5. Roesma, J. 2009. Krisis Hipertensi. Dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan
2. Jakarta: FKUI pp 616-7
6. Rosendorff C., 2005. Hypertension. In Rosendorff, C. Essential Cardiology:
Principles and Practice. Second Edition. New Jersey: Humana Press pp 595-
600
7. Tedjasukmana P., 2012. Tata Laksana Hipertensi. CDK-192. Vol. 39. No. 4
pp 251-5
8. The Seventh Report of the Joint National Committee. 2004. Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. United States:
Departement of Health and Human Service
9. Tjokroprawiro A., Setiawan P. B., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University
Press. pp: 129-36

16

Anda mungkin juga menyukai