13 Sabar

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

1. kepada neraka.

Selama seseorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai
seorang pendusta. HR. Bukhari
Larangan Berburuk Sangka Kerana berburuk sangka merupakan sesuatu yang sangat tercela dan
mengakibatkan kerugian, maka perbuatan ini sangat dilarang di dalam Islam sebagaimana yang sudah
disebutkan pada Surah Al-Hujuraat Ayat 12 di atas.

Untuk menjauhi perasaan berburuk sangka, maka masing-masing kita harus menyedari betapa hal ini
sangat tidak baik dan tidak benar dalam hubungan persaudaraan, apalagi dengan sesama muslim dan
aktivis dakwah. Disamping itu, bila ada benih- benih di dalam hati perasaan berburuk sangka, maka
perkara itu harus segera dicegah dan dijauhi kerana ia berasal dari godaan syaitan yang bermaksud
buruk kepada kita. Dan yang lebih penting lagi adalah memperkukuh terus jalinan persaudaraan antara
sesama muslim dan aktivis dakwah agar yang selalu kita kembangkan adalah berbaik sangka, bukan
malah berburuk sangka.

Oleh kerana itu, Khalifah Umar bin Khattab menyatakan: Janganlah kamu menyangka dengan satu kata
pun yang keluar dari seorang saudaramu yang mukmin kecuali dengan kebaikan yang engkau dapatkan
bahawa kata-kata itu mengandungi kebaikan. Demikian perkara-perkara dasar yang harus mendapat
perhatian kita dalam kaitan dengan sikap husnuzhzhan (berbaik sangka).
 Ya Allah, bukakanlah ke atas kami hikmatMu dan limpahilah ke atas kami khazanah rahmatMu, wahai
Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Wahai Tuhanku, tambahkanlah ilmuku dan
luaskanlah kefahamanku. Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah urusanku
 “Seandainya engkau menyampaikan keburukan saudaramu, Jika itu benar, maka berarti kamu sudah
membuka aib saudaramu, dan jika itu salah, maka engkau sudah melakukan fitnah ” Menjauhi
Prasangka Buruk. Muslim tidak dibenarkan meyakini dan mempercayai sesuatu yang didasarkan
pada prasangka. Sebab, hal itu tidak dapat membawanya mencapai kebenaran. ‘
 ‘Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak
sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.” (QS 10: 36).
 Prasangka dalam masalah keimanan dilarang Islam. Mereka yang menjadikan selain Allah sebagai
sembahan, tidak didasarkan keyakinan kuat. Hal itu hanya dugaan atau prasangka semata.
 ‘‘Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi.
Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti suatu keyakinan.
Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.” (QS 10:
66).
 Mengikuti perilaku kebanyakan manusia belum tentu benar. Boleh jadi perilaku itu membawa kepada
kesesatan dan kedurhakaan karena hanya didasarkan pada prasangka. ”Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta terhadap Allah.” (QS 6: 116).
 Muslim yang menjadikan Alquran pedoman hidup tidak dibenarkan berprasangka buruk kepada orang
lain. Prasangka seperti itu merupakan dosa yang harus dijauhi. Allah berfirman, ”Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS 49: 12).
 Islam hanya membolehkan berprasangka dan berhati-hati terhadap informasi yang disampaikan
orang fasik agar Muslim tidak tertipu dan dirugikan.
 ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS 49: 6).
 Muslim diperintahkan berprasangka baik kepada Allah dan semua yang diberikan-Nya. Hanya orang
munafik dan musyrik yang berprasangka buruk kepada Allah.
 ”Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik
laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk kepada Allah. Mereka akan mendapat giliran
kebinasaan yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi
mereka neraka jahanam.” (QS 48: 6). )
http://hamidassyifa.wordpress.com/2011/02/25/la-ikra-ha-fiddin-tidak-ada-paksaan-dalam-beragama/

>La ikra ha fiddin (tidak ada paksaan


dalam beragama)
25FEB
>Buddha : Shidharta Gautama

“I was not taught to make you as my disciples. I’m not interested to make you become my disciples. I’m
not interested to break a long relationship with your teacher. I’m even not interested to change your goals,
because everyone wants to escape from suffering. Try what have I found this, and judge by yourself. If it’s
good for you, take it. If not, do not accept.”

“Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku.


Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama.

Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.
Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri.

Jika itu baik bagimu, terimalah.


Jika tidak, janganlah engkau terima.”

The Buddha
(Digha Nikaya 25; Patika Vagga;Udumbarika-Sīhanāda Sutta) tidak pernah memaksakan kehendak.

Nb.
Inilah ciri khas saya, mengambil kebijakan dari non islam yang ternyata juga nilainya masih
islami. Beragama Islam dengan kesadaran bahwa memang Islam terbukti benar. Bukannya
beragama karena ikut-ikutan semata.

Barangkali semua kita yang dari agama Islam telah tahu bahwa di dalam Qur’an tercantum bahwa tidak
ada paksaan dalam beragama. Qur’an menyebutkan La ikra ha fiddin (tidak ada paksaan dalam
beragama). Namun, tidak sedikit juga masih ada kelompok-kelompok Islam tertentu yang sering
memaksakan kehendaknya agar seseorang masuk agama Islam, baik melalui teror, penawanan dan
sebagainya. Mereka ini sering disebut sebagai kelompok jihad, bagi yang kurang paham tentang jihad
dan fiqhnya. Mereka ini pula sering disebut sebagai kelompok teroris, bagi orang yang melihat perbuatan
mereka sebagai tindakan teror.
Memang betul bahwa dalam memeluk agama tidak hanya perlu ucapan lisan, namun yang lebih penting
adalah keridhoan memeluk agama tersebut. Iman itu dikatakan dengan lisan, dibenarkan dengan hati
dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Seseorang yang dipaksa untuk memeluk agama, misalnya di
bawah pengaruh ancaman, walaupun seseorang itu mengucapkan dengan lisannya (dengan terpaksa)
bahwa ia memeluk agama “A” namun hatinya menolak maka percuma saja. Percuma saja lisan berkata
saya masuk agama “A” namun hatinya masih beragama “B”. Wajarlah bila Allah SWT berfirman:

Tidak ada paksaan untuk agama ; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 256)
Dalam penafsiran ayat di atas terdapat berbagai macam pandangan dari pada ulama. Ada yang
menyatakan bahwa ayat tersebut sudah dinaskh dengan ayat perang (ayat al-qital). Namun pendapat lain
menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut sebagai berikut:

1. Diriwayatkan dari Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Jarir dari Ibnu Abbad. Alkisah, ada
seseorang perempuan tidak punya anak. Ia berjanji pada dirinya bahwa sekirannya ia mempunyai
anak, maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tak akan membiarkan anaknya memeluk
agama selain Yahudi. Dengan latar itu, ayat ini turun sebagai bentuk penolakan terhadap adanya
pemaksaan dalam agama. (1)
2. Ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshar, Abu Hushain. Dikisahkan, Abu Hushain
adalah seorang Muslim yang memiliki dua anak Kristen. Ia mengadu kepada Nabi, apakah dirinya
boleh memaksa dua anaknya masuk Islam, sementara anaknya cenderung kepada Kristen. Ia
mengadukan kepada Nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk neraka. Dengan
kejadian tersebut, turun firman Allah tadi yang melarang pemaksaan dalam urusan agama. (2)
Setelah mengetahui sebab turunnya ayat diatas, memang benar bahwa untuk memeluk agama itu perlu
kesadaran dari dalam, bukan paksaan dari luar. Tidak ada agama dengan paksaan sebagaimana tidak
ada cinta dengan paksaan. Namun, memeluk agama tanpa paksaan bukan berarti kita tidak diajarkan
untuk menyeru kepada Al-Islam. Menyeru orang lain untuk kebaikan atau kepada agama Islam
(berdakwah) sangat dianjurkan oleh Allah. Allah berfirman:

 Dan ini adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang
sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman
kepadanya dan mereka selalu memelihara sembahyangnya. (Qur’an Surat Al-An’am ayat 92)
 Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan
dihimpunkan kepada Tuhannya , sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi
syafa’atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa. (Qur’an Surat An-’am ayat 51)
 Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang
yang beriman. (Qur’an Surat Az-Zariyat ayat 55)
 Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati
batas. (Qur’an Surat Kahfi Ayat 28)
 Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.
(Qur’an Surat Ali Imran ayat 104)
Namun dalam memberi peringatan atau mendakwahkan agama Islam itu, Allah SWT juga kembali lagi
memperingatkan bahwa tugas kita hanyalah memberi peringatan (berdakwah) tanpa pemaksaan . Allah
SWT berfirman:

 Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (Qur’an Surat Al-Ghaasyiyah ayat 21-22)
 Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang
pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Quran orang yang takut dengan
ancaman-Ku. (Qur’an Suran Qaaf ayat 45)
Tidak dibolehkannya melakukan pemaksaan dalam agama ini bisa dimaklumi karena Allah memposisikan
manusia sebagai makhluk berakal. Dengan akalnya, manusia bisa memilih agama mana yang terbaik
buat dirinya. Tentang kebebasan ini, Allah berfirman :

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Qur’an
Surat Al-Kahfi ayat 29)
Ayat diatas menunjukkan bahwa mau beriman atau kafir itu keputusannya di tangan manusia. Manusia
itu makhluk berakal, ia bisa menggunakan akalnya untuk meneliti agama manakah yang benar dan baik
karena sesugguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Tidak ada paksaan untuk
agama ; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat… (Qur’an Surat Al-
Baqarah ayat 256). Bila telah tahu mana agama yang benar dan baik, tapi masih juga tidak mau beriman
maka tanggung sendiri akibatnya yaitu (kembali lagi lihat surat Al-Kahfi ayat 29):

“…Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung
mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi
yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek” (Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 29)
Toleransi dan tidak memaksakan agama sendiri inipun telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Pada
saat di Madinah, Nabi menyusun Piagam Maidah bersama umat agama lain untuk menjamin kebebasan
beragama. Dalam Pasal 25, Piagam Madinah disebutkan, “Bahwa orang-orang Yahudi Bani Auf adalah
satu umat dengan kaum Muslimin. Orang-orang Yahudi bebas berpegang kepada agama mereka dan
orang-orang Muslim bebas berpegang kepada agama mereka, termasuk pengikut mereka dan diri
mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang melakukan anaiaya dan durhaka, maka akibatnya akan
ditanggung oleh dirinya dan keluarganya”. Pasal 37 menjelaskan, orang-orang Muslim dan Yahudi perlu
bekerja sama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh (3). Sebuah hadis menyebutkan,
barangsipa membunuh orang non-Muslim yang sudah berkomitmen tentang kedamaian (mu’ahad) maka
ia tidak akan pernah mencium bau harum surga(4).

Beginilah lebih kurang pemahaman tidak ada paksaan dalam beragama.

Sumber:
1. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz III, hlm.30-31. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim, Juz I, hlm.354.
2. Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labidz, Jilid I, hlm 74: Hasan al-Shaffat, al-Ta’addudiyat wa al-
Hurriyat fi al-Islam, hlm.31: Ibn Katsir, tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Juz I, hlm.354
3. Ibnu Ishaq, al-Sirat Al-Nabawiyat, Juz II, hlm.368
4. Hadis Shahih Bukhari
Setetes Embun Pagi
24FEB
>

Adalah Raja Zhao yang memerintah sebuah kerajaan di abad ketiga, mengirim putranya pangeran Chao
Chan yang telah beranjak dewasa ke sebuah kuil dimana seorang guru besar Pan Ku berada. Chao
Chan akan dididik menjadi seorang pemimpin agar kelak siap menggantikan ayahnya sebagai raja.

Sehari setelah tiba di kuil, Chao Chan merasa aneh karena Pan Ku justru mengajak Chao Chan masuk
kedalam hutan lalu meninggalkannya seorang diri di sebuah rumah yang telah disediakan baginya
ditengah hutan itu. “Tinggallah disini dan belajarlah pada alam, satu bulan lagi aku akan datang
menjemputmu” demikian kata Pan Ku.

Satu bulan kemudian Pan Ku datang menjenguk sang pangeran di dalam hutan dan bertanya:
“Katakanlah, selama sebulan di hutan ini suara apa saja yang sudah kau dengar?”

“Guru,” jawab pangeran, “Saya telah mendengar suara kokok ayam hutan, jangkrik mengerik, lebah
mendengung, burung berkicau, serigala melolong….” dan masih banyak suara-suara lainnya yang
disebutkan oleh Chao Chan.

Usai pangeran Chao Chan menjelaskan pengalamannya, guru Pan Ku memerintahkannya untuk tinggal
selama tiga hari lagi untuk memperhatikan suara apa lagi yang bisa didengar selain yang telah
disebutkannya. Untuk kesekiankalinya Chao Chan tidak habis mengerti dengan perintah sang guru,
bukankah ia telah menyebutkan banyak suara yang didengarkannya?

Chao Chan termenung setiap hari namun tetap berpikir keras ingin menemukan suara yang dimaksud
oleh Pan Ku, tetapi tetap saja tidak menemukan suara lain dari yang selama ini sudah didengarnya.

Pada hari ketiga menjelang matahari terbit, Chao Chan bangun dari tidurnya kemudian duduk bersila di
rerumputan dan mulailah bermeditasi. Dalam kesunyian itulah sayup-sayup Chao Chan mendengar
suara yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya.
Semakin lama suara itu semakin jelas, dan saat itulah Chao Chan mengalami pencerahan. “Pasti inilah
suara-suara yang dimaksud guru.” teriaknya dalam hati.

Akhirnya tanpa menunggu Pan Ku datang mengunjunginya, sang pangeran bergegas kembali ke kuil
untuk melaporkan temuannya.

“Guru”, ujarnya “Ketika saya membuka telinga dan hati saya lebar-lebar, saya dapat mendengar hal-hal
yang tak terdengar seperti suara bunga merekah, suara matahari yang memanaskan bumi dan suara
rumput minum embun pagi.”

Pan Ku tersenyum lega seraya manggut-manggut mengiyakan, lalu katanya: “Mampu mendengarkan
suara yang tak terdengar adalah pelajaran wajib yang paling penting bagi siapapun yang ingin menjadi
pemimpin yang baik.”

“Karena, baru setelah seseorang mampu mendengar suara hati pengikutnya, mendengar perasaan yang
tidak ter-ekspresikan, kesakitan yang tak terungkapkan, keluhan yang tidak diucapkan, maka barulah
seorang pemimpin akan paham betul apa yang salah dan niscaya akan mampu memenuhi kebutuhan
yang sesungguhnya dari para pengikutnya”.

salam bijaksana,
Haryo Ardito – DieHard Motivator

Jangan Tangisi Apa Yang Bukan Milikmu.


“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”(QS Al-Hadid
;22-23)
Hidup ini ibarat belantara.Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan memang manusia diciptakan
mempunyai kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap yang kita inginkan bisa terbukti, tidak
setiap yang kita mau bisa tercapai. Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita
tak perlu kita tangisi. Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya satu hukum: harus
sukses, harus bahagia atau harus-harus yang lain.

Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah hingga
membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan sering tidak dihadapi
dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan
hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan hak kita.

Apa yang memang menjadi jatah kita di dunia, entah itu Rizki, jabatan, kedudukan pasti akan Allah
sampaikan. Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan kita bisa miliki, meski ia nyaris
menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya.
Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan terhadap apa-apa
yang luput darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang kita rasa perlu didunia
ini harus benar-benar perlu bila ada relevansinya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena
seorang mukmin tidak hidup untuk dunia tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang
sesungguhnya: hidup di akhirat kelak!

Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!


JADILAH KUNCI KEBAIKAN
24FEB
>

، ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ” إن من الناس مفاتيح للخير مغاليق للشر و إن من الناس مفاتيح للشر مغاليق للخير‬: ‫عن أنس بن مالك قال‬
‫ و ويل لمن جعل هللا مفاتيح الشر على يديه‬، ‫“ فطوبى لمن جعل هللا مفاتيح الخير على يديه‬
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
‘Sesungguhnya diantara manusai ada yang menjadi kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup
keburukan. Dan diantara manusia ada pula yang menjadi kunci-kunci pembuka keburukan dan penutup
kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci-kunci kebaikan di tangannya dan celakalah
bagi orang-orang yang Allah jadikan kunci-kunci keburukan di tangannya”.[1]
Barangsiapa yang ingin menjadi kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan , hendaklah ia
memenuhi hal berikut ini :

1. Ikhlas untuk Allah dalam perkataan dan perbuatan. Karena ikhlas adalah asas segala kebaikan dan
mata air segala keutamaan.
2. Senantiasa berdo’a kepada Allah memohon bimbingan untuk menjadi kunci kebaikan. Karena do’a
adalah kunci segala kebaikan. Allah tidak akan menolak hamba-Nya yang berdo’a kepada-Nya serta
tidak akan menyia-nyiakan seorang mukmin yang menyeru-Nya.
3. Bersemangat menuntut dan mendapatkan ilmu. Karena ilmu mengajak kepada keutamaan dan
akhlak yang mulia, serta penghalang dari akhlak tercela dan perbuatan keji.
4. Menjalakan ‘ibadatullah terutama yang fardhu, dan khususnya lagi sholat. Karena ia mencegah dari
perbuatan keji dan munkar.
5. Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, serta menjauh dari akhlak tercela.
6. Berteman dengan orang-orang baik dan sholeh. Karena duduk bersama orang-orang yang sholeh
dinaungi malaikat dan diliputi rahmat. Serta menjauhkan diri dari duduk di majelis orang-orang yang
jahat dan tidak baik, sesungguhnya itu adalah tempat singgah setan.
7. Menasehati manusia ketika bergaul dan berbaur dengan mereka, dengan cara menyibukkan mereka
dengan kebaikan dan memalingkan mereka dari keburukan.
8. Mengingat hari berbangkit dan sa’at berdiri di hadapan Robbul ‘Alamiin. Ketika Ia membalas orang
yang baik dengan kebaikan dan orang yang jahat dengan hukuman. (Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.[2])
9. Dan pilar penyanggah semua itu adalah keinginan seorang hamba kepada kebaikan serta memberi
manfaat kepada orang lain. Apabila keinginan seseorang kuat, niat dan tekad sudah bulat serta
memohon pertolongan kepada Allah dalam melakukan itu, lalu melakukannya sesuai jalurnya. Maka
dengan izin Allah akan menjadi kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan.[3]
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan.
Amiin.
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (237) dan dihasankan oleh Al-Albany di Shohih Sunan Ibnu Majah
(194).

[2] Al-Zalzalah : 7-8.

[3] Al-Fawaid Al-Mantsuroh (161-162) oleh Syaikh Dr. Abdurrozaq bin Abdu Muhsin Al-Badr.
Hati Yang Terkunci Mati
24FEB
>

Ada yang bertanya, “Apakah Tekhnik NAQS 100% berhasil untuk semua orang..?”
Saya Jawab : “Tidak semuanya berhasil, ada juga yang belum beruntung. Mungkin belum jodoh aja
dengan NAQS. Namun Alhamdulillah dari keseluruhan siswa, tingkat keberhasilan sudah mencapai
dikisaran angka 75%.”
Tanya :”Apa sebab kegagalan mereka..?
Jawab : “Rata-rata karena Hatinya sudah terkunci mati, jadi sulit menerima Nur Ilahi.”
Tanya : “Apakah masih ada harapan buat mereka untuk berhasil…?
Jawab : “Tentu saja ada, selama nyawa belum sampai di tenggorokan mereka. Maka masih ada
kesempatan untuk bertaubat dan kembali kepada jalan Allah SWT. Bila Allah berkehendak untuk
memberikan hidayahNya, Maka apapun bisa terjadi.”
Hati adalah tempat / wadah untuk Hidayah dari Allah berupa iman. Kian bersih hati seseorang maka
selain berfungsi sebagai wadah hatinya juga akan memancarkan keimanan keseluruh tubuhnya. Dengan
iman dihati ia akan mendapatkanketenangan batin dan ketentraman jiwa, tapi sebaliknya jika hatinya jauh
dan kotor maka hidayah iman itu tidak akan masuk sehingga yang akan dirasakan adalah kehampaan
dan kegelisahan.

Qolbu / Hati yang hidup sebab iman yang memancar, akan membuat ia berada dalam suasana ruhiyah
yang kuat, sehingga ia akan mampu mengarahkan hidupnya untuk taat kepada Allah SWT, dengan
melaksanakan apa yang disukai dan diperintahkan Allah kemudian menjauhkan diri dari segala apa yang
tidak disukai dan dilarang oleh Allah SWT.

Adanya potensi hati ini yang akan membedakan kualitas ruhiyah seorang manusia dari manusia yang
lain. Sebagaimana yang disampaikan para ulama, bahwa bila hati dalam diri manusia sudah mati maka ia
tidak ada bedanya dengan mayat yang berjalan.

Sahabat yang baik untuk mengakhiri tulisan ini mari kita renugngkan sabda Rasulullah SAW :
“ didalam diri manusia terdapat segumpal daging, yang apabila segumpal daging itu baik maka baik pula
seluurh tubuhnya. Jika segumpal daging itu buruk maka buruk pula seluruh tubuhnya. “
Hati Yang Terkunci Mati
Firman Allah (s.w.t)
‫َاوة َولَ ُهم َع َذاب‬
َ ‫ار ِهم ِغش‬
ِ ‫ص‬َ ‫سم ِع ِهم َو َعلَى أَب‬
َ ‫للاُ َعلَى قُلُو ِبهم َو َعلَى‬
ّ ‫َخت َ َم‬
‫عظيم‬
ِ
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka , dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi
mereka siksa yang amat berat.(Al-Baqarah: 7).
Mengenai firman-Nya, Khatam allahu ( ُ‫للا‬
ّ ‫) َخت ََم‬, As-Suddi mengatakan, artinya bahwa Allah Tabaraka wa
Ta’ala telah mengunci mati.
Masih berkaitan dengan ayat ini, Qatadah mengatakan, “Setan telah menguasai mereka karena mereka
telah mentaatinya. Maka, Allah mengunci mati hati dan pendengaran serta pandangan mereka ditutup,
sehingga mereka tidak dapat melihat petunjuk, tidak dapat mendengarkan, memahami, dan berpikir.”
Ibnu Juraij menceritakan, Mujahid mengatakan, Allah mengunci mati hati mereka. Dia berkata ath-
thab’u artinya melekatnya dosa di hati, maka dosa-dosa itu senantiasa mengelilinginya dari segala arah
sehingga berhasil menemui hati tersebut. Pertemuan dosa dengan hati tersebut merupakan kunci mati.
Lebih lanjut Ibnu Juraij mengatakan, kunci mati dilakukan terhadap hati dan pandangan mereka.

Ibnu Juraij juga menceritakan, Abdullah bin Katsir memberitahukan kepadaku bahwa ia pernah
mendengar Mujahid mengatakan, arraan (penghalangan) lebih ringan daripada ath-thob’u (penutupan
dan pengecapan), danath-thob’u lebih ringan daripada al-iqfaal (penguncian).
Al-A’masy mengatakan, Mujahid memperlihatkan kepada kami melalui tangannya, lalu ia menuturkan,
mereka mengetahui bahwa hati itu seperti ini, yaitu telapak tangan. Jika seseorang berbuat dosa, maka
dosa itu menutupinya sambil membongkokkan jari kelingkingnya, ia (Mujahid) mengatakan, “seperti
ini,” Jika ia berbuat dosa lagi, maka dosa itu menutupinya, Mujahid membongkokkan jarinya yang lain ke
telapak tangannya. Demikian selanjutnya hingga seluruh jari-jarinya menutup telapak tangannya. Setelah
itu Mujahid mengatakan, “Hati mereka itu terkunci mati.” Mujahid mengatakan, mereka memandang
bahwa hal itu adalahar-raiin (kotoran, dosa).

Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu jarir, dari Abu Kuraib, dari Waki’, dari Al-A’masy, dari Mujahid.

Al-Qurthubi mengatakan, umat ini telah sepakat bahwa Allah SWT telah menyifati diri-Nya dengan
menutup dan mengunci mati hati orang-orang kafir sebagai balasan atas kekufuran mereka itu,
sebagaimana yang difirmankan-Nya, “Sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena
kekafirannya.” (An-Nisaa’: 155).

Al-Qurthubi juga menyebutkan hadis Hudzaifah yang terdapat di dalam kitab As-Shahih, dari Rasulullah
saw., beliau bersabda, “Fitnah-fitnah itu menimpa pada hati bagaikan tikar dianyam sehelai demi sehelai.
Hati mana yang menyerapnya, maka digoreskan titik hitam padanya. Dan hati mana yang menolaknya,
maka digoreskan padanya titik putih. Sehingga, hati manusia itu terbagi pada dua macam: hati yang putih
seperti air jernih, dan ia tidak akan dicelakai oleh fitnah selama masih ada langit dan bumi. Dan yang satu
lagi berwarna hitam kelam, seperti tempat minum yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak pula
mengingkari kemungkaran.”
Ibnu Jarir mengatakan, yang sahih menurutku dalam hal ini adalah apa yang bisa dijadikan
perbandingan, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a., ia
menceritakan,

Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia mengerjakan suatu perbuatan dosa, maka akan timbul noda
hitam dalam hatinya. Jika ia bertaubat, menarik diri dari dosa itu, dan mencari redha Allah, maka hatinya
menjadi jernih. Jika dosanya bertambah, maka bertambah pula nodanya sehingga memenuhi hatinya.
Itulah yang disebut ar-ran (penutup), yang disebut oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, ‘Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang telah mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
Hadis di atas diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Nasa’i dari Qutaibah, Al-Laits bin Sa’ad. Serta Ibnu Ibnu
Majah, dari Hisyam bin Ammar, dari Hatim bin Ismail dan Al-Walid bin Muslim. Ketiganya dari Muhammad
bin Ajlan. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini bersetatus hasan sahih.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, Rasulullah saw. memberitahukan dalam sabdanya bahwa dosa itu jika
sudah bertumpuk-tumpuk di hati, maka ia akan menutupnya, dan jika sudah menutupnya, maka
didatangkan padanya kunci mati dari sisi Allah Ta’ala, sehingga tidak ada lagi jalan bagi iman untuk
menuju ke dalamnya, dan tidak ada jalan keluar bagi kekufuran untuk lepas darinya. Itulah kunci mati
yang disebutkan Allah SWT dalam firman-Nya, “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran
mereka.”
Perbandingan kunci mati terhadap apa yang masih dapat dijangkau oleh kasad mata, tidak dapat dibuka
dan diambil isinya kecuali dengan memecahkan dan membongkar kunci mati itu dari barang itu.
Demikian halnya dengan iman, ia tidak akan sampai ke dalam hati orang (oleh Allah SWT) telah terkunci
mati hati dan pendengarannya, kecuali dengan membongkar dan melepas kunci mati tersebut dari
hatinya.

Perlu diketahui bahwa waqaf taam (berhenti sempurna saat membacanya) adalah pada firman-Nya,
Khatamallahu ‘alaa quluubihim wa’alaa sam’ihim, “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran
mereka.” Dan juga pada firman-Nya, Wa’alaa abshaarihim ghisyaawah, “Serta penglihatan mereka
ditutup,” (ayat-ayat di atas) merupakan kalimat sempurna, dengan pengertian bahwa kunci mati itu
dilakukan terhadap hati dan pendengaran. Sedangkan ghisyawah adalah penutup terhadap pandangan,
sebagaimana yang dikatakan
As-Suddi dalam tafsirnya, dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa orang sahabat Rasulullah saw. mengenai
firman-Nya, “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka,” ia mengatakan, ‘Sehingga
dengan demikian itu mereka (orang-orang kafir) tidak dapat berpikir dan mendengar. Dan dijadikan
penutup pada pandangan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.”

Setelah menyifati orang-orang mukmin pada empat ayat pertama surah Al-Baqarah, lalu memberitahukan
keadaan orang-orang kafir dengan kedua ayat di atas, kemudian Allah SWT menjelaskan keadaan
orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran.
Ketika keberadaan mereka semakin samar di tengah-tengah umat manusia, Allah SWT semakin gencar
menyebutkan berbagai sifat kemunafikan mereka, sebagaimana Allah telah menurunkan surah Bara’ah
dan Munafiqun tentang mereka serta menyebutkan mereka di dalam surah An-Nur dan surah-surah
lainnya guna menjelaskan keadan mereka agar orang-orang menghindarinya dan juga menghindari dari
terjerumus kepadnya.

Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Al-Islam-Pusat Informasi dan Komunikasi Islam

Anda mungkin juga menyukai