Anda di halaman 1dari 4

Teori Intergratif

Burrell dan Morgan menggunakan istilah teori integratif untuk menggambarkan


cabang dari teorisasi yang merupakan bagian dari paradigm fungsionalis.Teori ini
dimaksudkan untuk menghasilkan integrasi antar berbagai elemen interaksionisme dan teori
sistem sosial, dan dalam kondisi tertentu, untuk menghadapi pertentangan dari perspektif
fungsionalis yang dibentuk dari karakteristik teoris paradigm struktualis radikal, khususnya
seperti Marx.Ini bisa disebut sebagai kerangka koheren dari sebuah teori. Adapun empat
bentuk dari variasi ini, yaitu:
 Model power dan pertukaran Blau
 Teori Merton tentang struktur sosial dan budaya
 Fungsionalisme konflik
 Teori sistem morphogenik.
Tiap empat hal tersebut adalah sebuah pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa
pembentukan tatanan sosial dalam masyarakat dalam kondisi tertentu menghasilkan masalah
dan membutuhkan penjelasan signifikan yang tidak biasanya ada dalam teori sistem sosial.
Teori Blau menekankan pada peran pertukaran dan power sebagai sumber untama
dari integrasi dalam kehidupan sosial. Teori Merton tentang struktur sosial dan budaya
cenderung menekankan pada fungsi yang dijalankan oleh elemen struktur sosial dalam proses
intergratif. Fungsionalisme konflik cenderung terfokus ada fungsi positif yang dibentuk oleh
konflik.Teori sistem morphogenik mendasarkan pada kepentingan transimisi informasi
sebagai variabel sentral dari analisis.

Obyektivisme
Burrell dan Morgan menggunakan istilah obyektivisme untuk menggambarkan jumlah
kerja sosiologi yang ditekankan pada batasan obyektivis dari paradigm fungsionalis.Hal ini
dikarakterkan dengan adanya derajat komitmen yang tinggi terhadap model dan metode yang
dihasilkan dari ilmu alam.Teori sistem sosial menggunakan pandangan fisik dan biologi
sebagai sarana analogi untuk mempelajari dunia sosial, sebagai sumber hipotesa dan
wawasan. Obyektivis, di lain pihak, menyatakan dunia sosial sebagai dunia yang alami, dan
struktur sosial adalah struktur fisiknya. Burrell dan Morgan mengemukakan adanya dua tipe
obyektivisme - perilaku dan empirisme abstrak yang akan dibahas secara umum dibawah ini.
Behaviourism/Perilaku
Prinsip perilaku adalah prinsip yang paling sering digunakan dalam kerja B.F.
Skinner, yang mencoba untuk mengembangkan teori akibat dari perilaku didasarkan atas
analisis stimulus dan responnya.Orang dikatakan tidak lebih dari mesin, yaitu merespon
secara deterministic terhadap kondisi eksternal yang ditemuinya. Dalam pandangan Skinner,
semua referensi kepada kondisi subyektif dikatakan tidak relevan - dan kontra produktif, bila
aspek penelitian adalah untuk ilmiah. Skinner menyatakan:

Upaya melihat organism untuk memahami penjelasan perilakunya malah


menghambat pamahaman variabel yang bisa digunakan dalam analisis
ilmiah.Variabel ini berada diluar organism, dalam lingkungannya sendiri
dan dalam sejarah lingkungannya sendiri. Organism tersebut mempunyai
status fisik dimana bisa ditentukan dengan teknik ilmiah umumnya, dan
memungkinkan untuk menjelaskan perilaku subyek lain, ketika subyek lain
tersebut juga bisa dijelaskan dalam teknik ilmiah. (Skinner, 1953, hal.3).

Cara Skinner terhadap studi perilaku manusia adalah dengan menggunakan metode
eksperimen yang umumnya digunakan dalam ilmu alam.Dia mendasarkan ini pada
pandangan bahwa pemahaman tentang phenomena dangan memanipulasi sejumlah stimuli
dalam kondisi terkontrol dan terpengaruh oleh lingkungan lainnya.Studi perilaku manusia
dengan persfektif seperti ini adalah sebuah aktivitas yang dimaksudkan untuk menemukan
hukum universal dan peraturan yang mendasari pengetahuan manusia.
Secara ontologism, pandangan Skinner bersifat realis.Secara epistemologis, kerjanya
merupakan tipe kerja positivisme.Pada dimensi perubahan radikal-teratur, skinner berada
dalam posisi yang ekstrim.Pandangannya tentang dunia sosial adalah salah satu pandangan
yang mendasarkan pemahamannya untuk mengambangkan teknologi perubahan perilaku dan
menjelaskan hubungan perilaku dalam konteks sosial yang lebih luas (Skinner, 1972).
Kami berpendapat bahwa prinsip perilaku Skinner berada dalam posisi ekstrim dari
dimensi paradigma fungsionalis.Teorisasi Skinner menjelaskan prinsip perilaku dalam bentuk
yang ekstrim, bertentangan dengan prinsip psikologi eksperimental, dan tidak bisa digunakan
sebagai model teori dan penelitian ilmu sosial. Ada sejumlah teori perilaku yang
berhubungan langsung dengan model Skinner, seperti teori pertukaran yang dikembangkan
oleh Homans (1958 dan 1961). Ada sejumlah teori menggunakan asumsi Skinner dikaitkan
dengan dimensi subyektif-obyektif. Pihak-pihak yang berupaya untuk menjelaskan perilkau
didasarkan atas hukum fisiologi universal masuk dalam kategori ini.
Empirisme Abstrak
Inti dari penjelasan prinsip interaksionisme, teori integrative, dan teori sistem sosial,
adalah berdasar pada fakta bahwa kerja dari sejumlah teoris dan peneliti selalu berakhir pada
empirisme abstrak. Istilah empirisme abstrak menjadi sangat popular pada kerja C. Wright
Mills (1959) yang mana, dalam kritismenya menggambarkan output dari peneliti yang
menggunakan metodologi yang terbentuk dari ilmu alam sebagai dominan dari kerjanya.
Empirisme abstrak menjelaskan kondisi dimana metodologi yang sangat nomothetik
digunakan untuk menguji teori yang didasarkan atas aspek ontology, epistemology dan teori
sifat manusia yang lebih subyektivis.
Sangat disayangkan, banyak sekali fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar
kerja penelitian dalam ilmu sosial sekarang ini berakhir dengan empirisme abstrak.Burrell
dan Morgan menyatakan bahwa empirisme abstrak adalah karakteristik dari batasan
obyektivis dari paradigm fungsionalis.Ini berdasarkan fakta bahwa sejumlah kerja ilmiah
merupakan hasil komitmen berlebihan terhadap metodologi nomothetik dimana ukuran
kuantitatif dari konstruksi sosial menjadi bagian dominan dalam kepentingan
penelitian.Kondisi semacam ini bisa ditemukan pada penelitian dunia sosial, dimana secara
metodologis menganggap sosial seperti dunia yang keras, konkret, realitas terukur, dimana
secara teoritis menganggap sosial adalah material yang bersifat subyektivis.

The Underlying Unity of the Paradigm


Paradigma fungsionalis memiliki pendekatan yang berusaha untuk menjelaskan
hubungan sosial dengan jalan yang rasional, dengan orientasi yang pragmatik berkaitan
dengan pengetahuan yang tepat guna serta dapat langsung memecahkan masalah. Dengan
demikian paradigma ini mengedepankan regulasi yang efektif serta pengendalian hubungan
sosial.
Dari pemaparan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa paradigma
fungsionalis terdapat beberapa teorisasi. Perbedaan antara teori sistem sosial dan
interaksionisme adalah topic signifikan dari penelitian.Perbedaan antara pemikiran ilmuwan
juga jelas.Teoris yang ada dalam paradigm fungsionalis saling berkaitan dengan upaya saling
bertukar pandangan sifat dasar dari realitas ilmu sosial dari kerjanya.Mereka cenderung
menggunakan pandangan bahwa dunia sosial adalah masyarakat yang secara ontologis terdiri
dari orang dan menempatkan orang dan aktivitasnya dalam konteks sosial yang lebih
besar.Merton menyatakan bahwa konsep fungsi melibatkan beberapa pendapat dari yang
mengetahui fungsi tersebut, bukan harus selalu pelakunya (Merton, 1968, hal. 78). Teoris
yang berada dalam konteks paradigma fungsionalis cenderung untuk memakai prinsip ini dan
berupaya untuk menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan apa yang mereka katakan
sebagai elemen penting dalam konteks sosial yang lebih luas.
Dengan menggunakan berbagai ukuran, tapi tetap terbatas, dari tatanan dan
perpecahan, consensus dan dissensus, integrasi sosial dan disintegrasi, solidaritas dan konflik,
kebutuhan kepuasan dan frustasi, maksud utamanya adalah memberikan penjelasan mengapa
bagian sosial dari masyarakat cenderung untuk bersatu dan bersama-sama. Keragaman
pikiran yang ada dalam konteks paradigma fungsionalis adalah keragaman dalam pandangan
terhadap ilmu dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai