Anda di halaman 1dari 6

Pendakian Pertamaku yang Tidak Terlupakan

Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di
Yogyakarta. Teman-teman ku biasa memanggilku Dante. Kuliahku sendiri tidak bisa dikatakan
lancar, walau aku sudah semester akhir aku masih harus mengulang banyak mata kuliah bersama
dengan angkatan dibawahku. Sempat terpikir dibenakku untuk pindah jurusan saja, mengingat
sebenarnya aku berada di jurusan ini bukan karena keinginan ku sendiri melainkan keinginan
orang tua ku. Pernah aku bercerita tentang segala permasalahanku menganai studi ku ini namun
keinginan untuk pindah jurusan tersebut tidak mendapat respon yang baik dari mereka.

Selain itu orang-orang disekitarku selalu menekanku dengan pertanyaan-pertanyataan


semacam “kapan lulus?” atau “ sekarang bekerja dimana mas?” mungkin itu adalah pertanyaan
yang cukup lumrah mengingat umurku yang udah beranjak 24 tahun. Tak sedikit pula yang
membanding-bandingkan aku dengan anak mereka yang seumuran maupun kerabat meraka yang
kini sudah sukses dan punya pekerjaan tetap. Semua kondisi yang aku alami tersebut membuatku
begitu tertekan. Terkadang terbesit dipikiran ku untuk melarikan diri dari semua kekacauan ini
entah bagai manapun caranya.

Namun untungnya aku masih mempunyai teman-teman baik dan mendukungku hingga
saat ini. Mereka adalah Yoga, Benni dan Aji. Kami telah berteman sejak kami berada di bangku
SMA. walau kini mereka sudah mempunyai kesibukan masing-masing namun pertemanan
hingga kini masih tetap terjalin dengan baik.

Disuatu malam kami berempat berkumpul bersama disebuah angkringan tempat kami
biasa nongkrong di waktu sengggang. Disaat itulah salah dari dari kami mulai membuka
pembicaraan tentang apa yang akan kami lakukan di akhir minggu ini.

“Bro, kalian ada acara ga di akhir minggu?” ungkap Yoga

“Enggak bro, paling dirumah aja tidur” jawab Benni

Jawaban temanku tersebut sontok membuatku ingin ikut berkomentar juga menggunakan bahasa
jawa.

“Ah kowe ki Ben tura-turu wae? Koyo ra ana gawean liyo wae cuy!!”

“ Wa mumpung prei e bro” jawab Benni menggunakan bahasa jawa khas nya.

Disaat kami memulai obrolan tentang apa kemana kita akan mengisi liburan, salah satu
teman kami mengusulkan mengisi kegiatan di akhir pekan ini dengan naik gunung. Hal yang
sama sekali belum pernah kami lakukan. Sambil menghidupkan sebatang rokok, aku pun terdiam
mikirkan baik-baik usulannya. Memang benar saat ini naik gunung telah menjadi trend baru
dikalangan anak muda. Pemandangan alam yang memanjakan mata serta hawa sejuk menjadi
magnet tersendiri bagi para pendaki. Namun disisi lain gunung adalah salah satu tempat keramat
dengan sejuta misteri yang menyelimuti.

Dengan nada yang begitu berantusias Aji bertanya sekali lagi kepada kami,

“Gimana mau enggak? Ayolah hidup Cuma sekali lo buat pengalaman baru lah” ungkap Yoga

“Ya ga masalah asal ada orang yang bisa mendampingi kita aja bro, toh kita kan kita kan pemula
bro” jawab Dante

“Ah gampang kalo itu, aku punya temen kok yang udah terbiasa naik turun gunung”

Akhirnya kami pun setuju untuk melakukan pendakian di akhir pekan ini. selanjutnya kami
membahas mengenai perlengkapan dan fisik yang harus kami persiapkan terlebih dahulu
sebelum melakukan pendakian.

Akhirnya hari pendakian telah tiba, kami berangkat bersama menggunakan sepeda motor
dari rumah menuju Gunung Merbabu. Kami sampai disana tepat pukul 10.00 namun kami masih
harus menunggu Yoga. Dia memang tidak berangkat bersama-sama dengan kami, dia harus
menjemput temannya yang juga seorang pendaki yang sudah berpengalaman sekaligus guide
kami selama melakukan pendakian di Gunung Merbabu. Selang 30 menit kemudian, teman kami
itu baru muncul bersama seorang pria seumuran dengan kami.

Dengan nada sedikit kesal akupun bertanya kepada Yoga

“Ah kamu Yog lama banget!kebiasaan ngaret kok dipelihara ” ungkap Dante.

“Sorry bro, aku tadi malah nyasar! Oh ya kenalin ini mas Fikri temenku yang kemaren aku
ceritain!” ungkap Yoga.

Kemudian lelaki tersebut memperkenalkan diri sambil mengulurkan tanganya kepada


kami sambil bertanya,

“ Pengalaman pertama melakukan pendakian ya mas?” Tanya mas Fikri

“iya mas, mohon arahannya ya! soalnya kami masih pemula” Dengan nada malu-malu
aku pun jawab pertanyaan itu. Setelah itu kami pun berbincang-bincang santai untuk
mengakrabkan diri satu sama lain. Sebelum kami memulai pendakian Mas Fikri perpesan kepada
kami untuk tidak berkata berbicara sembarangan, bertingkah laku sopan dan tidak merusak apa
saja yang berada di sana.

Setelah itu kami berlima pergi untuk melapor dan meminta surat izin untuk naik ke
puncak gunung kepada penunggu pos yang berada tidak jauh dari trek perjalanan menuju ke atas.
Tidak sampai limabelas menit kemudian kami semua sudah di perbolehkan oleh penjaga pos itu
untuk melakukan pendakian ke puncak gunung.

Cuaca sangat cerah, aku berjalan sambil menengok ke kanan dan ke kiri melihat
pemandangan yang sangat indah di sekitar gunung. Kami melalui perjalanan dengan hati
gembira dan penuh semangat mengikuti langkah teman-temanku yang berada di depan hingga
menuju pos pertama. Kami telah berjalan berkilo-kilo, keceriaan ku diawal mulai memudar
sering medan pendakian kami yang semakin berat. Didalam hati aku sedikit menggeruti karena
medan terjal berbatu yang kami lalui.

Sebelum senja aku dan teman-teman memutuskan untuk membangun tenda yang tidak
jauh dari mata air dan memutuskan untuk bermalam di sana. Suasana malam hari diatas gunung
terasa begitu berbeda dibandingkan dengan siang hari tadi. Beberapa kali aku merasa merinding
entah kenapa, seakan ada sesuatu yang sedang mengawasi kami dari jauh. Dari raut mukaku
terlihat jelas bahwa aku kwatir, beberapa temanku pun bertanya kepada ku tentang apa yang aku
rasakan saat itu. Namun, aku saat itu aku tidak mempunyai keberanian sedikitpun untuk bercerita
kepada mereka tentang apa yang aku rasakan.

Melihat muka ku yang begitu tegang Mas fikri menghampiriku dan mengajak ku untuk
membantunya menyalakan api unggun selagi teman-teman yang lain membuat makan malam.
Disaat itu dia pertanya kepadaku

“Kamu kenapa bro? pasti liat aneh-aneh ini.” Tanya Mas Fikri

“ Enggak kok mas, aku cuma merasa kalo sejak tadi ada sesuatu yang mengawasi kita mas”
jawab ku dengan nada tegang.

mendengar jawabannya mukanya berubah menjadi tenggang dan berkata

“ Jangan dipikirkan bro, digunung hal kayak gini sudah biasa yang penting kamu inget aja apa
pesan ku tadi pagi” jawabnya

Mendengar kata-katanya hatiku terasa dikit tenang dan berfikir positif bahwa semua akan baik-
baik saja tanpa ada hal buruk yang menimpa. Tak lama kemudian teman-temanku datang sambil
membawakan mie instan yang sudah matang. Kami pun harus membagiya dengan rata agar
setiap orang mendapat bagian yang adil. walaupun kami hanya memakan mie instan tadi tetapi
semua itu sudah cukup mengenyangkan perut ini dan akhirnya aku pun tertidur di dalam tenda
untuk mengumpulkan tenaga buat melanjutkan perjalanan esok hari.

Keesokan harinya aku terbangun, aku merasa puas bisa mengistirahatkan tumbuhku yang begitu
kelelahan itu. Udara pagi pegunungan terasa begitu sejuk mungkin karena belum tersentuh oleh
polusi, setelah sarapan kami semua bersiap-siap untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju
puncak gunung. Setelah beberapa jam kami berjalan mengikuti jalan setapak, tiba-tiba cuaca di
sekitar daerah tempat kami berada berubah total. Awan mendung terlihat begitu gelap gemuruh
petir pun beberapa kali terdengar. Mas fikri sebagai pemandu kami pun memberi arahan jika
nanti turun hujan badai janganlah panik dan segera berpencar untuk mencari perlindungan.
Setelah beberapa menit kami menelusuri jalan setapak itu hujan badai pun datang dengan tiba-
tiba. Kami pun dibagi menjadi dua kelompok dan berpencar untuk mencari tempat berlindung.

Aku dan yoga menjadi satu kelompok untuk mencari tempat berlindung. Hujan pun turun dengan
sangat lebatnya, beberapa kali petir terdengar menyambat dengan hebatnya. Setelah hujan reda
kami berdua memutuskan untuk melanjutkan pendakian kami. disaat kami menunju ke titik
pertemuan kelompok kami dan mas fikri tiba-tiba turun kabut yang sangat tebal, membuat jarak
jarak penglihatanku sangat pendek karena terhalang oleh putihnya kabut yang seperti kapas.

Disaat itulah kami berdua merasakan ada sesuatu yang mengikuti kami dari belakang, beberapa
kali aku menoleh kebelakang berharap itu adalah Mas fikri dan teman-temanku namun tidak ada
apapun di belakang kami.

Hampir satu jam kami menyusuri jalan setapak ini, namun kami belum sampai juga di titik
pertemuan kami dengan kelompok yang lain. Hal ini membuat ku begitu kwatir dan ketakutan.
Dan hal-hal diluar nalar kami pun mulai berdatangan sili berganti. Disaat kami masih berjalan
dibelakang terdengar suara langkah kaki yang sama dengan kami. Aku yang berada di depan
sesakali menghentikan perjalanan aku karena saking penasarannya suara apa sebenernya. Namun
disaat kami berdua menghentikan langkah kami untuk memastikan suara langkah apakah itu
suara itu pun seakan ikut berhenti mengikuti kami. tetapi disaat kami melanjutkan kembali
perjalanan kami suara langkah itu pun kembali terdengar.

Sudah hampir 1 jam kami menyusuri jalan setapak yang terjal ini namun kabut putih ini pun tak
kunjung menipis. Kami berdua pun memutuskan untuk berhenti sejenak untuk beristirahat, disaat
kami sedang beristirahat sambil menyalakan sebatang rokok untuk berdua. Kami mendengar
suara kicauan burung yang begitu santer terdengar. Pada awalnya suara burung itu terdengar
begitu indah namun lama kelamaan suara burung itu terdengar seperti orang yang sedang
tertawa.

Mendengar suara aneh itu, kami menatap satu sama lain dengan tegangnya sontak aku bergegas
mematikan rokok yang semula kami hisap bergantian itu dan melanjutkan perjalanan kami
sambil berlari kecil. Namun entah kenapa kami tidak kunjung menemukan jalan keluar dari
kabut putih ini.

Ritme perjalanan ini pun kami menjadi semakin melambat karena teman seperjalananku
mengeluh bahwa seakan barang bawaannya akan menjadi dua kali lebih berat dari sebelumnya.
Melihat Yoga begitu kelelahan aku pun berinisiatif untuk mengajaknya beristirahat sejenak
untuk mengatur nafas.Sambil menunggu Yoga mengakur nafas yang tersengal-sengal, terbesit
dipikiran ku bahwa aku dan teman ku ini sedang di ganggu oleh makhluk halus penunggu
gunung ini.
Yoga pun berfikir sama dengan ku segala yang kami alami saat itu pun tidak bisa di bilang
masuk akal. Kabut yang datang tiba-tiba, suara derap kaki yang seakan mengikuti kami, suara
kicau burung yang seketika menyerupai cekikikan seorang wanita dan terakhir dalam beban
bawaan kami yang tiba-tiba dua kalipat dari sebelumnya. Segalanya begitu tidak masuk akal bagi
kami, tanpa bisa kami jelaskan dengan kata-kata. Disaat kami berdua bercerita mengenai hal
tersebut kami berdua kembali mendengar suara derap langkah kali. Aku pun begitu ketakutan
akan sosok apa yang akan muncul dibalik kabut itu namun raga ini sudah tidak punya daya lagi
untuk segera lari menjauh. Di balik kabut itu muncullah seorang lelaki tua yang mengenakan
pakaian lurik jawa.

Perlahan lelaki itu mengampiriku dan rekanku ini yang terlihat begitu kelelahan ini,

“Loh kalian kok Cuma berdua saja dik? Kalian tersesat tha dik?” Tanya lelaki itu

“Iya Mbah, kami terpisah dari rombongan kami selepas hujan badai tadi” jawabku dengan nada
kelelahan.

“Tujuan kalian mau kemana dik? Barangkali sambah bisa mengantarkan sampai tujuan kalian.”
Tanyanya dengan rasa iba

“Kami mau ke titik pertemuan kami di pos 1 mbah tapi sudah hampir 3 jam lebih kami
melakukan perjalanan namun pos 1 tidak kunjung kelihat juga mbah.” Jawab aku

“ya sudah, kalo begitu simbah coba bantu kalian ya? gunung ini sudah seperti rumah sendiri bagi
simbah jadi mungkin saya bisa membantu kalian” ungkap pria itu

“Iya mbah terima kasih” jawabku dengan nada curiga

walau dengan rasa curiga kami berdua mengikuti setiap langkah dari pria tua itu. Dalam hati aku
hanya pasrah kepada Tuhan akan nasibku ini, akan jadi seperti apa nasibku ini mungkin sudah
suratan takdir pikirku. Setelah satu jam lamanya melakuakan perjalanan sesuai dengan arahan
pria tua tadi. Titik pertemuan kami di pos 1 pun sudah mulai terlihat.

Kakek itu pun berhenti dan menunjukan jarinya kearah pos jaga tersebut sambil berkata

“lha itu pos jaga sudah terlihat dik?” ungkapnya

Aku pun tak kuasa menenjukan rasa senang yang luar biasa dan sangat berterima kasih kepada
kakek itu.

“Terima kasih banyak kek, mungkin kalo tidak ada kakek saya entah bisa sampai sini atau
enggak”

Kakek itu hanya tersenyum dan berkata

“iya sama-sama, tapi maaf kakek hanya bisa mengatarkan kalian sampai disini saja. Pos satu
udah dekat kok dek jadi tidak perlu kwatir lagi”
Kami berdua pun bergegas melanjutkan perjalanan kami menuju titik pertemuan kami di pos
jaga tersebut. Saking senangnya aku pun sampai lupa menanyakan nama kakek yang telah
menjadi penyelamat kami berdua tersebut. Disaat aku menengok kebelakang untuk melihat
kakek itu kembali ternyata dia sudah tidak ada. Kabut yang semula begitu pekat itu pun seolah
bergerak menjauhi kami.

Pada akhirnya aku pun tidak tahu siapa sebenarnya sosok kakek tua yang telah menjadi penolong
kami tersebut. Namun berkat dia, kami kini sudah berkumpul dengan teman- teman kami.
sesampainya di pos jaga kami di sambut dengan gembira oleh rekan-rekan. Aku pun bercerita
tentang semua hal yang barusan aku lalui. Tidak masuk akal memang tetapi itu semua benar-
benar aku alami dengan mata kepalaku sendiri.

Setelah beberapa saat kami pun melanjut perpendakian kami menuju kepuncak, beruntung
pendakian kami kali ini berlangsung dengan lancar tanpa ada banyak gangguan. Sesampainya di
puncak rasa letih kami terbayarkan sudah dengan suasana puncak gunung yang begitu
memanjakan mata.

Pendakian aku yang pertama ini memberikan banyak pengalaman sekaligus pembelajaran bagi
diriku. Medan yang berat, cuaca yang tidak menentu, dan pengalaman supranatural diluar akal
sehat ini meberikan pelajaran yang sangat berharga bagiku. Hidup kita memang terasa begitu
berat dengan segala permasalahan yang mendera saat ini. Namun selama harapan itu masih ada
segala permasalahan yang kita hadapi ada menemukan jalan keluarnya karena proses tidak akan
pernah mengkhiati hasil.

Anda mungkin juga menyukai