PENDAHULUAN
mengakibatkan lesi otak sekunder, dimana apabila pada keadaan tersebut tidak
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Prevalensi
kejang terjadi pada sekitar 1% dari semua anak-anak hingga usia 14 tahun dan
jumlah terbesar dalam tahun pertama kehidupan (120 kasus per 100.000
penduduk). Setelah itu, 40-50 kasus per 100.000 penduduk hingga pubertas, 10
kasus per 100.000 penduduk pada remaja awal dan pertengahan usia
(Handryastuti, 2007).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38°C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh
kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam dan kejadian
terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. Secara umum kejang demam memiliki
1
prognosis yang baik, namun sekitar 30 sampai 35% anak dengan kejang demam
Penyebab kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kejang
demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang kadang demam tidak
demam antara lain adalah infeksi yang mengenai jaringan ektrakranial seperti
tonsilitis, ototis media akut, bronkitis. Adapun penyebab terjadinya kejang demam,
hipoglikemia dan asidosis, demam, patologis otak, eklampsia (ibu yang mengalami
dibidang neurologi anak dan terjadi pada 25% Anak. 10,15 Pada penelitian kohort
atau epilepsi di kemudian hari. 16,17 Kejadian kejang demam ada kaitannya
tingkat intelegensi paska bangkitan kejang demam tidak sama, 4% pasien kejang
2
Status Epileptikus menurut ILAE tahun 2015 adalah suatu kondisi yang terjadi
akibat dari gagalnya mekanisme yang bertanggung jawab untuk terminasi renjatan
atau dapat juga karena suatu mekanisme inisiasi yang mengakibatkan renjatan
abnormal berkelanjutan (Setelah melewati waktu T1). Kondisi ini juga dapat
kematian sel saraf, cidera pada sel saraf, perubahan jaringan saraf, bergantung
oleh karena acute symptomatic atau febrile status epilepticus (Sadarangani et al,
2008). Semua insiden CSE di negara RPC memiliki peningkatan yang sebanding
dengan meningkatnya insiden infeksi (Misra et al, 2008). Pada daerah endemis
al, 2008). Sedangkan pada wilayah lain yang tidak endemis malaria, penyebab
tersering status epilepticus yaitu bacterial meningitis atau viral encephalitis (Murthy
et al, 2007).
dewasa dengan insiden usia paling sering dibawah satu tahun dengan estimasi 1
per 1000 bayi (IDAI, 2016). Pada negara-negara yang termasuk pada klasifikasi
lainnya yaitu Resource Poor Country yang di dalamnya salah satunya termasuk
Indonesia, Jenis status epilepticus yang paling sering terjadi yaitu merupakan jenis
Convulsive Status Epilepticus (CSE). Insidens CSE yang terjadi, melebihi jumlah
insidens dari studi yang dilakukan di negara-negara bagian barat, dimana insidens
mencapai 265 per 100.000 per tahun pada anak-anak usia 1-11 bulan. Jumlah
3
Insidens ini apabila dibandingkan dengan negara-negara di bagian barat memiliki
epilepticus yang disebabkan karena infeksi sistem saraf sentral, gangguan glukosa
atau kesimbangan elektrolit, trauma pada otak, harus diwaspadai karena dapat
menyebabkan mortalitas pada anak (Maytal J, et al, 1989). Selain itu status
komorbid berkaitan dengan masalah kognitif dan quality of life (QOL) yang buruk,
Masalah yang terjadi pada status epileptikus adalah peristiwa ini banyak
diremehkan dan tidak banyak yang dirawat di rumah sakit, alasannya dikarenakan
kejang hanya disebabkan oleh karena penyebab tradisional atau karena anak
mengalami status epilepticus dalam waktu yang lebih lama, hal ini dikarenakan
kurangnya terapi yang diberikan sebelum dan ketika telah dirawat di rumah sakit
Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kejang
demam dan status epileptikus agar dapat menjadi referensi pembelajaran bagi
tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.
1.2.1 Apa dan bagaimana definisi, etiologi, dan epidemiologi dari kejang demam
4
1.2.2 Apa dan bagaimana tanda, gejala, perjalanan penyakit, pemeriksaan
penunjang serta diagnosis dari kejang demam dan status epileptikus pada
anak-anak?
1.2.3 Bagaimana manajemen dan terapi kejang demam dan status epileptikus
pada anak-anak?
1.2.4 Bagaimana prognosis dan apa saja komplikasi dari kejang demam dan
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi, etiologi, dan epidimiologi kejang demam dan
anak-anak.
1.3.3 Untuk mengetahui manajemen dan terapi kejang demam dan status
1.3.4 Untuk mengetahui prognosis serta komplikasi kejang demam dan status
1.4 Manfaat
pada anak bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful
Anwar, Malang.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kejang ada baiknya mengetahui normalnya terlebih dahulu. Neuron memiliki dua
jenis dasar bergantung dari neurotransmitter apa yang dikeluarkan, yaitu neuron
ekstatori dan neuron inhibisi. Secara umum, cara kerjanya adalah ketika neuron
dari vesikel pada pre-sinaptik dengan syarat, terjadi influx ion kalsium dari ekstra
sel menuju intrasel. Lalu transmitter tersebut menyebrang celah sinaptik dan
(Carl, 1998).
butyric-acid (GABA). Neurotransmitter ini disintesis dari glutamat oleh aksi dari
enzim glucose acid decarboxylase (GAD) dan dengan bantuan kofaktor vitamin
B6/Piridoxin di pre-sinaptik. Lalu Influks ion kalsium dari ekstra menuju intrasel
influks ion cl- dari ekstra ke intrasel sehingga ion negatif pada intrasel meningkat
dan terjadi hiperpolarisasi. Perubahan pada potensial membran sel ini disebut
6
2.1.2 Neurotransmisi Eksitatori
glutamate. Neurotransmitter ini memiliki dua jenis subtipe reseptor yaitu tipe
terhadap reseptor ini menyebabkan influks ion Na+ dari ekstra menuju intrasel
cepat. Sedangkan untuk reseptor tipe NMDA, aktivasi dari reseptor ini terdapat 3
syarat yaitu pertama, berikatannya glutamat dengan reseptor NMDA, lalu kedua
NMDA, dan ketiga ion Mg2+ yang memblok pori-pori saluran ion harus terlepas.
Tugas dari ion Mg2+ adalah ketika terjadi EPSP cepat yang dimediasi oleh reseptor
terlepas sehingga terjadi influks ion Na+ dan Ca++. Akibatnya terjadi EPSP yang
Depolarisasi yang disebabkan oleh karena EPSP cepat dan lambat dari
reseptor NMDA dan Non-NMDA juga akan mengaktifkan saluran ion voltage gated
seperti Na+ dan K+ pada membran sel. Saluran ion ini berbeda dengan saluran
saluran ion ini aktivasi terjadi oleh karena membrane potensial yang mencapai titik
7
ion voltage gated cukup, maka ambang batas untuk aksi potensial tercapai dan
Ketika aksi potensial terjadi, terjadi upstroke yang disebabkan oleh influks
ion Na+ kedalam intra sel lewat saluran voltage gated. Sedangkan downstroke
terjadi oleh karena efluks ion K+ dari dalam sel menuju ke luar sel. Pada akhir dari
(AHP). Fenomena ini dimediasi oleh saluran ion Ca++-dependent pada intraseluler,
ion Ca++ pada intrasel mengatur waktu yang tepat untuk sel kembali lagi
Setelah aksi potensial terjadi, banyak ion Na+ yang berlebihan di dalam sel,
dan ion K+ yang berlebihan pada ekstra seluler. Oleh karena itu, butuh suatu
pompa ini membutuhkan ATP untuk berfungsi dengan tujuan untuk memompa ion
Na+ keluar sel dan ion K+ ke dalam sel. Selain itu juga dapat dibantu oleh sel glia
disektiar dengan cara menarik ion-ion K+ yang berlebihan di luar sel ke dalam sel
(Carl, 1998).
8
2.2 Kejang
yang mendadak dan bersifat sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang
abnormal dan pelepasan listrik yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat fokal
atau umum, jika gangguan aktivitas listrik terbatas pada area otak tertentu, maka
dapat menimbulkan kejang yang bersifat parsial atau fokal, namun jika gangguan
aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang
bersifat umum.
Disfungsi otak tersebut dapat disertai dengan gejala motorik, sensorik dan
gangguan otonom tergantung pada daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri
Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran dari nilai normal yang
Gangguan pada mekanisme ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
hati, toksik seperti overdosis dan sindrom withdrawal, dan infeksi seperti meningitis
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
9
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
2. Ekstrakranial
glutamat dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtipe NMDA (N-methyl-
utama pada status epileptikus. Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA
10
sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan.
menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit
dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABA inhibisi
Zempsky , 2007).
bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme
menyebabkan iskemik pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan
menyebabkan hipoksia pada sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan
Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan energi
tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir
dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia
11
jantung, hipoksia otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan
autoregulasi lain juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan
yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang
terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami
korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje (Schweich
menjadi dua kelompok besar yaitu Kejang Parsial (fokal) dan Kejang Generalisata
(Umum). Kejang parsial kemudian dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial
termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau Atipikal), mioklonik, klonik,
Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri. Bisa bermula dari
talamus dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara
bilateral pada tubuh dan ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata
12
diklasifikasikan menjadi atonik, tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure.
Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada kejang parsial
sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron,
dan cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang terdiri atas pemutaran
kepala dan gerakan mata gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata kejang
dengan gerenjit (tic), namun gerenjit ditandai dengan pengangkatan bahu, mata
berkedip – kedip dan wajah menyeringai serta terutama melibatkan wajah dan
bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang parsial tidak dapat
dikendalikan.
diobati, dicegah dengan antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur
Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat didahului
oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan gangguan
kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat bersama
13
Aura terdiri dari rasa tidak enak, di epigastrium, dada atau kepala. atau
disertai perasaan yang tidak enak seperti ketakutan. Gangguan kesadaran pada
anak dan bayi sukar dinilai, namun kejang tipe ini dapat dinilai dengan lebih lanjut
tajam atau paku – paku setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan
paku multifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak
dengan kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal.
Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan
Generalized Seizure)
Bentuk kejang ini disebut juga kejang fokal atau parsial kontinu. Bentuk
kejang biasanya kejang klonik. Tiap bagian tubuh dapat terlibat, misalnya tangan,
muka, dan kaki. Kejang ini dapat terbatas dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh
lainnya. Bila kejang bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya, kemudian
dan kaki. Sehabis kejang sesekali dijumpai bahwa otot yang terlibat lemah.
Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau bangkitan
mayor (serangan besar). Bangkitan grandmal merupakan jenis kejang yang sering
tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku), yang kemudian diikuti oleh kejang
klonik (badan dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan). Bila penderita sedang
14
berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik
badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan kuat dari
paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut sebagai jeritan
epilepsy (epileptic cry). Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi
(terbendungnya) pembuluh darah balik vena. Biasanya fase kejang tonik ini
Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik yang
bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak termasuk otot pernafasan dan
otot rahang. Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat - sendat, dan dari mulut
keluar busa. Lidah dapat tergigit waktu ini dan penderita dapat pula mengompol.
Bila penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang klonik
terantuk – antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik,
Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini biasanya
berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur, yang lamanya
bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada saat tidur ini
dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak bengong. Lama
keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada penderita yang keadaan mentalnya
segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula yang lebih lama,
sampai beberapa jam atau hari. Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat,
pegal otot, gelisah, mudah tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku
serangan ini dapat berlangsung beberapa saat, namun dapat juga sampai
15
beberapa jam. Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan grandmal timbul
sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat, dan disebut status
Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang dari
34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya perdarahan
intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu
ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai
yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah
dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk kejang
yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi selaput otak atau
kernicterus.
fokal dan multifokal yang berpindah – pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal
kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat
disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup
bulan, atau oleh ensefalopati metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga sebagai
suatu keadaan gemetar (jitteriness). Pada BBL dengan kejang klonik fokal
16
apakah terjadi perdarahan otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal tetapi
infark serebri. Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada satu atau lebih
kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang
Absans dikenal juga dengan nama Petit mal. Jenis ini jarang dijumpai. Nama
lainnya ialah lena khas, lena sederhana (simple absence) atau lena murni (pure
absence). Serangan petit mal berlangsung singkat hanya beberapa detik 5-15
2. Penderita memandang kosong atau staring. Pada saat ini penderita tidak
bereaksi bila diajak bicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
3. Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan melanjutkan lagi apa yang
jatuh, biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak
17
h. Tanda Khas Kejang Atonik
Kejang Atonik disebut juga dengan bangkitan akinetik (serangan jatuh), yang
biasanya mulai antara 2 – 5 tahun. Pada jenis ini, penderita tiba – tiba jatuh secara
yang tidak diinginkan seperti gigi patah dan luka di kepala. Bila misalnya penderita
sedang duduk di depan meja sewaktu serangan datang, maka ia dapat secara
mendadak tidak berdaya dan kepala terbentur pada meja. Pada serangan atonik
penderita kebetulan sedang berdiri pada waktu serangan datang, maka ia akan
Kejang Mioklonik pada anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari
kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus
18
2.2.6 Tatalaksana Kejang
dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Penilaian awal terdiri
1. Airway
Penilaian patensi jalan napas dilakukan dengan metode look, listen, dan
feel. Jika jalan napas tidak bebas, maka jalan napas dibuka dengan cara head tilt-
chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-
mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang
2. Breathing
napas, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi
valve – mask.
3. Circulation
refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang dingin
menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian
acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis
19
pasien dengan tanda – tanda syok, lalu tekanan darah diperiksa
4. Disability
Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang
disertai dengan penurunan kesadaran. Namun, ukuran dan reaksi pupil serta
20
Gambar 2.1 : Rekomendasi berdasarkan UKK Neurologi IDAI 2016
21
Keterangan Gambar:
diazepam suppositorial, diberikan Diazepam 0.2- 0.5 mg/kg berat badan secara
atau Intravena (IV) atau secara buccal dengan dosis sebanyak 0.2 mg/kg berat
menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya dan teteskan pada buccal
kanan selama 1 menit. Dosis yang digunakan untuk buccal berdasarkan usia, pada
anak usia 6 – 12 bulan, dosisnya 2,5 mg, pada anak usia 1 – 5 tahu, dosisnya 5
mg, pada anak usia 5 – 9 tahun, dosisnya 7,5 mg, dan 10 mg pada anak usia lebih
dari 10 tahun. Apabila masih kejang setelah 5 hingga 10 menit, yang pertama
boleh diberikan Fenitoin 20 mg/kg berat badan secara intravena, diencerkan dalam
dosis maksimal 1000 mg. Kedua, Fenobarbital 20 mg/kg secara intravena dengan
22
dengan dosis maksimal 1000 mg. Bila kejang berhenti, pertimbangkan rumatan
Midazolam atau Propofol atau Pentobarbital. Midazolam diberikan bolus 100 – 200
mcg/kg berat badan secara intravena, dilanjutkan dengan infus kontinyu 100
mcg/kg berat badan/jam dapat dinaikkan 50 mcg/kg berat badan setiap 15 menit
waktu tertentu atau berulang dengan interval waktu yang singkat tanpa disertai
oleh Meldrum et al. menyatakan bahwa kejang yang berlangsung lebih dari 82
23
sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah
memiliki penyakit ini. Beberapa peneliti melaporkan tingkat kejadian epilepsi dan
maju. Status Epileptikus di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap
tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda (Sirven dan Waterhouse, 2003).
Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama anak usia
tingkat kejadian epilepsi dan status epileptikus yang lebih tinggi di daerah
pedesaan daripada daerah perkotaan dengan perbandingan 5.5 per 1000 di desa
dan 5.1 per 1000 kejadian, sedangkan tingkat kejadian status epileptikus
berdasarkan jenis kelamin tidak berbeda secara signifikan (Tu Luong Mac, Duc-Si
tahun, penyebab paling umum terjadinya SE adalah infeksi, yaitu sebanyak 36%.
24
meminum obat antikonvulsan mempunyai risiko yang lebih tinggi terjadinya status
2. Simtomatis:
a. Infeksi
imunitas seseorang, dan jalur masuk dari bakteri tersebut. Namun pada umumnya,
bakteri yang dapat menyebabkan meningitis memiliki jalur masuk lewat darah dari
tempat infeksi di lain lokasi selain otak. Bakteri penyebab paling sering adalah 78%
oleh karena streptokokus beta-hemolitik, 44% oleh karena H. Influenza, 25% oleh
dan memproduksi eksudat yang purulent dan bersamaan dengan toxin yang
Awalnya virus paling banyak memasuki lewat jaringan perifer tubuh seperti kulit
atau saluran gastrointestinal. Kemudian virus bereplikasi secara lokal, setelah itu
virus yang bereplikasi akan memasuki ke sistem peredaran darah sistemik dan
terjadi viremia sekunder di dalam darah. Pada saat inilah kemudian virus bisa
memasuki kedalam otak. Virus masuk ke otak melewati dua cara sebagai
“kendaraannya”, yang pertama virus masuk ke dalam sel monosit yang masuk ke
25
sistem saraf pusat, atau dapat juga dengan cara bertindak sebagai partikel yang
merusak sel endothelial sistem saraf pusat. Setelah masuk ke dalam sistem saraf
pusat, maka virus akan berkolonisasi di parenkim otak dan bereplikasi di otak
Proses inflamasi dalam otak oleh karena virus dapat melalui dua mekanisme
sistem saraf pusat dengan menghasilkan sitokin proinflamasi dan sel-sel yang
bertindak sebagai tanda bahaya. Yang kedua adalah sitokin proinflamasi dan sel-
sel tanda bahaya tersebut mengaktivasi sistem imun seluler dan humoral yang
adalah terjadinya kematian sel neuron dan juga kejang yang berakibat status
Ketika sel saraf pusat mengalami cidera, sel yang terkena adalah neuron
dan glia, sel-sel ini kemudian akan berespon dengan memproduksi danger
sel sel glia dan neuron yang terkena penyakit. Hal ini mengakibatkan disfungsi dari
upregulasi dari mediator inflamasi pada sel glia, akibatnya terjadi beberapa hal
glutamate, dan terjadi pengeluaran mediator toksik yaitu reactive oxygen species,
respon pengeluaran sitokin proinflamasi (IL-1β, TNF-α, IL-6) juga dapat terjadi
26
mengurangi ambang batas dari kejang. Hasil patologis dari kejadian ini yaitu terjadi
dalam bentuk kejang simtomatis akut, hilangnya sel, dan epilepsi (Vezzani et al,
2016).
b. Hipoksia
menonaktifkan pompa natrium kalium yang bergantung pada ATP di membran sel
neuron otak. Akibatnya, terjadi hilangnya integritas dari membrane sel di neuron
overstimulasi reseptor NMDA, karena pada saat kejang kebutuhan energi di otak
c. Kelainan metabolik
terjadi pada bayi kecil masa kehamilan atau BBLR, bayi dari ibu penderita
diabetes, atau bayi dengan penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis.
bila kadar kalsium dalam darah kurang dari 7 mg%. Hipokalsemia terjadi pada
27
masa dini dijumpai pada bayi berat lahir rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik,
bayi dari ibu dengan diabetes melitus, dan bayi yang lahir akibat komplikasi berat
penyebab terjadinya kejang. Hiponatremia dapat terjadi bila ada gangguan sekresi
dari anti diuretik hormon (ADH). Hal ini sering terjadi bersamaan dengan
pada koreksi asidosis dengan dehidrasi (Ahmed Z dan Spencer S.S, 2004).
d. Trauma kepala
epilepticus, namun insiden ini merupakan gabungan dari kejadian akut dan riwayat
epilepticus bergantung dari keparahan trauma kepala yang dialami dan onset dari
trauma tersebut. Trauma kepala ringan dengan episode tidak sadar dan amnesia
sementara namun tidak ada kaitan dengan perdarahan intracranial, gagar otak,
e. Stroke
dibanding anak-anak karena penyakit vaskuler lebih sering ditemui pada dewasa.
28
Lebih dari 50% status epilepticus dewasa disebabkan oleh stroke. Status
epileptikus oleh karena stroke dibagi menjadi dua berdasarkan waktu antara stroke
dan onset SE, yaitu onset awal dan akhir. Onset awal biasanya muncul 7 hari
setelah gejala stroke sedangkan onset akhir muncul 8 hari setelah gejala stroke.
Penyebabnya untuk onset awal merata dari semua jenis stroke sedangkan onset
akhir yang paling sering adalah stroke akut, iskemik, dan stroke arteri cerebralis
f. Tumor otak
Tumor pada otak yang paling sering pada anak yaitu adalah glioma,
mekanisme yang dapat mengakibatkan kejang yaitu ketika sel tumor glioma
glutamate ke jaringan otak sekitar dalam jumlah yang cukup untuk mematikan sel
neuron. Normalnya glutamat berada pada jalur sinaps glutamaterik, yaitu hanya
bertransmisi terbatas hanya pada celah sinaptik dan peri-sinaptik saja. Namun
pada kejadian tumor ini, glutamate bertransmisi hingga ke jalur post-sinaptik dan
berikatan dengan reseptor glutamate post sinaptik serta mengirim sinyal dengan
cepat sekali. Aktivasi dari reseptor neuron glutamate terutama subtipe NMDA (N-
methyl-D-aspartat) yang terlalu lama dapat menyebabkan influx ion Ca2+ dari
(Sontheimer H, 2008).
g. Epilepsi
sebanyak dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Menurut
29
a. Epilepsi Primer (Idiopatik)
kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal.
jaringan otak. Kelainan ini disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
fase, transisi dari fase 1 ke 2 terjadi setelah kejang terus menerus terjadi sekitar
mencegah kerusakan otak terjadi. Namun, pada fase 2, mekanisme ini rusak, dan
30
Fase 1: Selama fase ini, metabolisme otak sangat meningkat karena
memenuhi tuntutan metabolik, dan jaringan serebral dilindungi dari hipoksia atau
darah dan metabolisme yang sangat meningkat, yaitu hiperglikemia dan asidosis
laktat, aktivitas otonom masif, dan perubahan kardiovaskular seperti takikardia dan
disritmia.
Fase 2: Selama fase ini, tuntutan metabolisme otak yang sangat meningkat
2.3.5.1 Anamnesis
pasien dan juga secara heteroanamnesa, untuk mengetahui sebelum, semasa dan
setelah terjadi reaksi kejang. Diagnosis akan sulit ditegakkan apabila tidak ada
saksi atau ahli keluarga yang memberi keterangan. Beberapa pertanyaan untuk
mengetahui riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu adalah seperti
1. Usia pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini
31
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya
suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana
berarti ada fokus di otak. Sebagian “aura” dapat membantu dimana letak
dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di
dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak
didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua
hemisfer.
juga apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi, lidah tergigit,
mengompol, aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh, mata
“automatism” atau sikap tertentu pada satu sisi anggota gerak tubuh.
32
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang
tonik klonik, pasien akan tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
malam hari.
Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang
kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “reading &
33
eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling
serangan kejang.
9. Ada atau tidaknya periode bebas kejang sejak awal serangan kejang.
mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat
10. Ada atau tidaknya jenis serangan kejang yang lebih dari satu macam?
11. Ada atau tidaknya luka ditubuh pasien sehubungan dengan serangan
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak
ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh
akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini
34
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan
minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.
13. Riwayat kehamilan dan persalinan pasien, yaitu umur kehamilan sewaktu
14. Ada atau tidaknya asfiksia atau distres pernafasan semasa lahir.
16. Riwayat kejang demam atau infeksi CNS (Central Nervous System) seperti
19. Riwayat ahli keluarga dengan kejang berulang atau penyakit – penyakit
meliputi status mental, “gait“, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.
35
Adanya nystagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari
obat anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin
terjadi pada waktu serangan kejang terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar
a. Pemeriksaan Laboratorium
natrium, magnesium), Kadar obat Anti – Konvulsan dalam darah pada 5 menit
pada semua pasien yang demam walupun tanpa tanda – tanda meningitis,
Neuroimaging, Urinalisis, Liver Function Test (SGPT, SGOT), dan PCR untuk viral
b. Neuroimaging
36
rekomendasi International League Against Epilepsy, hampir 50% dari studi
pencitraan individu pada anak-anak dengan kejang onset baru terkait lokalisasi
dilaporkan menjadi tidak normal; 15% -20% dari studi pencitraan memberikan
informasi yang berguna mengenai etiologi kejang dan / atau fokus kejang, dan 2%
tersedia secara luas, lebih murah, dan cenderung tidak membutuhkan sedasi
untuk anak-anak yang lebih muda. Namun, jika tidak ada etiologi yang terungkap
dengan CT Scan, MRI harus tetap dipertimbangkan. Dalam satu penelitaan, 12%
anak-anak dengan status epileptikus dan CT normal memiliki kelainan pada MRI
c. EEG
Epileptikus di ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam 60 menit sejak
onset jika kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis
obat antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya kejang (Sirven dan
Waterhouse, 2003). Selain itu, tujuan EEG adalah untuk mengevaluasi status
menit upaya penghentian kejang atau dalam 60 menit untuk pasien yang dicurigai
37
perdarahan intracerebral, atau pasien yang mengalami perubahan status mental
38
2.3.6 Tatalaksana Status Epileptikus
39
Gambar 2.3 : Rekomendasi berdasarkan Neurocritical Care Society and American
Epilepsy Society
40
Keterangan Gambar:
diazepam suppositorial, diberikan Diazepam 0.2- 0.5 mg/kg berat badan secara
atau Intravena (IV) atau secara buccal dengan dosis sebanyak 0.2 mg/kg berat
menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya dan teteskan pada buccal
kanan selama 1 menit. Dosis yang digunakan untuk buccal berdasarkan usia, pada
anak usia 6 – 12 bulan, dosisnya 2,5 mg, pada anak usia 1 – 5 tahu, dosisnya 5
mg, pada anak usia 5 – 9 tahun, dosisnya 7,5 mg, dan 10 mg pada anak usia lebih
dari 10 tahun. Apabila masih kejang setelah 5 hingga 10 menit, yang pertama
boleh diberikan Fenitoin 20 mg/kg berat badan secara intravena, diencerkan dalam
dosis maksimal 1000 mg. Kedua, Fenobarbital 20 mg/kg secara intravena dengan
41
dengan dosis maksimal 1000 mg. Bila kejang berhenti, pertimbangkan rumatan
Midazolam atau Propofol atau Pentobarbital. Midazolam diberikan bolus 100 – 200
mcg/kg berat badan secara intravena, dilanjutkan dengan infus kontinyu 100
mcg/kg berat badan/jam dapat dinaikkan 50 mcg/kg berat badan setiap 15 menit
kerusakan pada neuron dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas
gagal ginjal.
42
Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan
memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan
katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring
dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan
bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat
darah-otak.
43
2.4 Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu diatas 38 °C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Pusponegoro dkk, 2006). Kejang demam ini terjadi tanpa adanya infeksi
febrile seizure) dan Kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang
dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendriri. Kejang berbentuk tonik dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejadian kejang demam).
satu ciri kejang lama yang berlangsung > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu
sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, atau berulang lebih dari 1 kali
dalam 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak
Angka kejadian kejang demam pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5
tahun, anak laki-laki dibanding anak perempuan, dengan perbandingan sekitar 1,4
44
: 1. Kejang demam paling sering terjadi pada usia 1 hingga 2 tahun (Pusponegoro
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu :
demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)
rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab terutama infeksi dan yang
kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolism seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu 1°C
oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk
Anak dengan kejang usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko
bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih besar dibandingkan yang lebih dari dua
45
2.4.4.3 Faktor riwayat kejang dalam keluarga
risiko untuk terjadinya kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun
saudara kandung (first degree relative), bila kedua orangtua tidak pernah
menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%, apabila
salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20-22%, apabila kedua
orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam
maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%.
Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan oleh ayah, 27%
Kehamilan pada umur lebih dari 35 tahun dan berat lahir sangat rendah
(Fuadi, 2010)
listrik yang berlebihan disel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti sel
membrane berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap
sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na, K dan Ca. Bila sel
46
saraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan
Na akan lebih banyak masuk kedalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan
demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon local. Bila rangsangan
cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka
sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan
menghantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia
kembali keluar sel dan K masuk kedalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (Wang et al., 2011).
ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia,
dan hipoglikemia, sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP
kejang. Pada kejang demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh, dengan
demikian reaksi reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
47
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energy di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengaturan suhu. Demam akan
bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa
dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur,
terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron. Demam
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
48
menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia
dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Singh et al., 2015).
Tanda dan gejala klinis kejang demam sebagai berikut. Kejang demam
berlangsung singkat, serangan kejang klinik atau tonik klonik bilateral, seringkali
kejang berhenti sendiri, setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, setelah bebrapa detik atau menit anak terbangundan sadar
kembali tanpa defisit neurologi, peningkatan suhu tubuh mendadak hingga ≥ 38°c
Batas suhu yang bias mencetus kejang demam 38°c atau lebih, tetapi suhu
a. Laboratorium darah
glukosa darah, elektrolit, magnesium, kalsium, fosfor, urinalisa, kultur urin (The
Barbara, 2011)
b. Urinalisis
c. Pungsi lumbal
49
Untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan lumal tidak dilakuakn secara
rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana
d. Radiologi
neurologis
e. Elektroensefalopati (EEG)
umur anak ketika kejang 6 bulan sampai 4 tahun, kejang berlangsung sebentar
(tidak lebih dari 15 menit), kejang bersifat umum, kejang timbul dalam 16 jam
minggu setelah suhu normal tidak menunjukkan kelainan dan frekuensi bangkitan
50
2.4.9 Diagnosis Banding Kejang Demam
2.4.10 Penatalaksanaan
Pada umunya kejang berlangsung sangat (singkat rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien dating, kejang sudah berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena.
2mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10mg. Secara
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua dirumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan <12 kg dan 10 mg dengan
diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
sakit dan dirumah sakit diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut
51
2.4.10.2 Pemberian obat saat demam
a. Antipiretik
demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali sehari (IDAI, 2016)
b. Antikonvulsan
faktor risiko, antara lain kelainan neurologi berat (misalnya palsy serebral),
berulang 4 kali atau lebih dalam setahun, usia <6bulan, bila kejang terjadi pada
suhu tubuh 39 derajat celcius dan apabila pada episode kejang demam
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali peroral atau
rektal 0.5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan
>12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali.
diinformasikan pada orang tua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
52
b. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Indikasi pengobatan rumatan adalah kejang fokal, kejang lama >15 menit,
fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai focus organic yang
bersifat fokal, pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan
jika tidak berhasil/ orangtua khawatir dapat diberikan antikonvulsan rumat (IDAI,
2016)
Jenis antikonvulsan yaitu fenobarbital atau asam valproate setiap hari dan
efektif untuk menurunkan risiko kejang berulang. Pemakaian fenobarbital tiap hari
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama
pada umur yang kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproate adalah 15-40mg/kg/hari dibagi dalam
2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis (American Academy of
Pediatrics, 1999)
untuk kejang demam tidak dibutuhkan tapering off namun dilakukan padaa saat
53
2.4.11 Prognosis Kejang Demam
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kejang yang lama dan berulang, baik umum
Kejang demam akan berulan kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulang kejang demam adalah riwayat kejang demam atau epilepsy dalam
keluarga, usia kurang dari 12 bulan, suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius saat
kejang, interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang, dan apabila kejang demam pertama adalah kejang demam kompleks. Bila
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari antara lain terdapat kelainan
kejang demam kompleks, riwayat epilepsy pada orangtua atau saudara kandung,
dan kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam setahun.
54
d. Kematian
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi harus
55
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara klasik, definisi dari status epileptikus yang telah digunakan yaitu
adalah kejang yang terjadi secara terus menerus selama lebih dari 5 menit, kejang
terjadi lebih dari 2 kali, dimana diantara periode dua kejang tersebut terdapat
batasan waktunya, para ahli membuat kesepakatan batasan waktu dari status
epilepticus yaitu adalah selama 30 menit (IDAI, 2016). Namun, definisi ini hanya
terbatas pada satu jenis status epilepticus saja, yaitu status epilepticus general
tonik klonik. Oleh karena itu pada tahun 2015, International League Against
Epilepsy (ILAE) mengajukan definisi yang melingkupi dari jenis status epileptikus
yang lainnya.
dengan riwayat penyakit pada sistem saraf pusat (39% dari semua kasus), dan
terakhir oleh karena obat anti-kejang yang rendah (21%) (Sebastian Sanchez dan
yang cenderung rendah yaitu <5%. Penyebab utama dari munculnya mortalitas
56
adalah etiologi yang mendasari dari status epilepticus tersebut. Etiologi utama
yaitu acute symptomatic seizure (meningitis, trauma,dll) (Maytal et al, 1989). Hal
ini menimbulkan gejala sisa berupa, deficit neurologi permanen sebanyak 37% dari
jumlah kejadian, dan 48% disabilitas intelektual (IDAI,2016). Selain itu etiologi
buruk yang muncul pada usia 1 tahun pertama meningkatkan morbiditas dan
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
didapatkan infeksi ekstrakranial. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 38°C
rektal atau di atas 37,8°C aksila dan kejang demam banyak terjadi pada waktu
tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan
kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22
bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
57
DAFTAR PUSTAKA
Brophy, G., Bell, R., Claassen, J., Alldredge, B., Bleck, T., Glauser, T., LaRoche,
S., Riviello, J., Shutter, L., Sperling, M., Treiman, D. and Vespa, P. (2012).
Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a
Ferro, M., Chin, R., Camfield, C., Wiebe, S., Levin, S. and Speechley, K. (2014).
Lowenstein, D., Bleck, T. and Macdonald, R. (1999). It's Time to Revise the
Mac, T., Tran, D., Quet, F., Odermatt, P., Preux, P. and Tan, C. (2007).
58
Maytal, J. (1989). Low Morbidity and Mortality of Status Epilepticus in
Meyer, P., Ducrocq, S., Carli, P. (2001). Pediatric neurologic emergencies. Current
Misra, U., Kalita, J. and Nair, P. (2008). Status Epilepticus in Central Nervous
pp.2217-2223.
50(12), pp.54-55.
Ogutu, B., Newton, C., Crawley, J., Muchohi, S., Otieno, G., Edwards, G., Marsh,
Riviello, J., Ashwal, S., Hirtz, D., Glauser, T., Ballaban-Gil, K., Kelley, K., Morton,
Sadarangani, M., Seaton, C., Scott, J., Ogutu, B., Edwards, T., Prins, A., Gatakaa,
H., Idro, R., Berkley, J., Peshu, N., Neville, B. and Newton, C. (2008).
59
Incidence and outcome of convulsive status epilepticus in Kenyan children: a
Scott, R., Lhatoo, S. and Sander, J. (2001). The treatment of epilepsy in developing
pp.344-351.
Singh, R., Stephens, S., Berl, M., Chang, T., Brown, K., Vezina, L. and Gaillard,
Trinka, E., Cock, H., Hesdorffer, D., Rossetti, A., Scheffer, I., Shinnar, S., Shorvon,
60
Shelov, SP. (1998). The Complete and Authoritative Guide Caring for Your Baby
and Young Child Birth to Age 5. The American Academy of Pediatrics. 3rd
Yunita, VE, Afdal. Syarif, I. (2016). Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan
Anak RS. DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 – Desember 2012.
61