Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegawatdaruratan Central Nervous System (CNS) merupakan situasi yang

mengancam jiwa di mana, apa pun penyebabnya, fenomena patologis umum

mengakibatkan lesi otak sekunder, dimana apabila pada keadaan tersebut tidak

diberikan perhatian medis yang memadai, dapat membahayakan keselamatan

individu bersangkutan, menyebabkan timbulnya gangguan serius fungsi tubuh

ataupun terjadinya disfungsi organ atau kecacatan (Meyer et al, 2001).

Kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang

mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,

fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Prevalensi

kejang terjadi pada sekitar 1% dari semua anak-anak hingga usia 14 tahun dan

jumlah terbesar dalam tahun pertama kehidupan (120 kasus per 100.000

penduduk). Setelah itu, 40-50 kasus per 100.000 penduduk hingga pubertas, 10

kasus per 100.000 penduduk pada remaja awal dan pertengahan usia

(Handryastuti, 2007).

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6

bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38°C,

dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh

proses intracranial (Shelov, 1998). Sebanyak 2% sampai 5% anak yang berumur

kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam dan kejadian

terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. Secara umum kejang demam memiliki

1
prognosis yang baik, namun sekitar 30 sampai 35% anak dengan kejang demam

pertama akan mengalami kejang demam berulang (Yunita et al, 2016).

Penyebab kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kejang

demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang kadang demam tidak

terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang kondisi yang menyebabkan kejang

demam antara lain adalah infeksi yang mengenai jaringan ektrakranial seperti

tonsilitis, ototis media akut, bronkitis. Adapun penyebab terjadinya kejang demam,

antara lain seperti obat-obatan, ketidakseimbangan kimiawi seperti hiperkalemia,

hipoglikemia dan asidosis, demam, patologis otak, eklampsia (ibu yang mengalami

hipertensi prenatal, toksimea gravidarum) (Soetomenggolo, 1999).

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai

dibidang neurologi anak dan terjadi pada 25% Anak. 10,15 Pada penelitian kohort

prospektif yang besar, 2 – 7 % kejang demam mengalami kejang tanpa demam

atau epilepsi di kemudian hari. 16,17 Kejadian kejang demam ada kaitannya

dengan faktor genetik.7,18 Anak dengan kejang demam 25 – 40 % mempunyai

riwayat keluarga dengan kejang demam (Ismet, 2017).

Sebagian besar kasus kejang demam sembuh sempurna tetapi 2%-7%

berkembang menjadi epilepsi dengan angka kematian 0,64% - 0,75%. Kejang

demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi

dan pencapaian tingkat akademik. Beberapa hasil penelitian tentang penurunan

tingkat intelegensi paska bangkitan kejang demam tidak sama, 4% pasien kejang

demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan

tingkat intelegensi. Prognosis kejang demam baik, namun bangkitan kejang

demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tua pasien.

2
Status Epileptikus menurut ILAE tahun 2015 adalah suatu kondisi yang terjadi

akibat dari gagalnya mekanisme yang bertanggung jawab untuk terminasi renjatan

atau dapat juga karena suatu mekanisme inisiasi yang mengakibatkan renjatan

abnormal berkelanjutan (Setelah melewati waktu T1). Kondisi ini juga dapat

mengakibatkan konsekuensi jangka panjang (Setelah melewati waktu T2) seperti

kematian sel saraf, cidera pada sel saraf, perubahan jaringan saraf, bergantung

dari tipe dan durasi renjatan (Trinka et al, 2015).

Penyebab utama convulsive status epilepticus pada negara RPC disebabkan

oleh karena acute symptomatic atau febrile status epilepticus (Sadarangani et al,

2008). Semua insiden CSE di negara RPC memiliki peningkatan yang sebanding

dengan meningkatnya insiden infeksi (Misra et al, 2008). Pada daerah endemis

malaria, malaria adalah penyebab penting untuk terjadinya CSE (Sadarangani et

al, 2008). Sedangkan pada wilayah lain yang tidak endemis malaria, penyebab

tersering status epilepticus yaitu bacterial meningitis atau viral encephalitis (Murthy

et al, 2007).

Status Epileptikus lebih sering terjadi pada anak-anak dibanding dengan

dewasa dengan insiden usia paling sering dibawah satu tahun dengan estimasi 1

per 1000 bayi (IDAI, 2016). Pada negara-negara yang termasuk pada klasifikasi

rendah-menengah berdasarkan pendapatan menurut World Bank atau istilah

lainnya yaitu Resource Poor Country yang di dalamnya salah satunya termasuk

Indonesia, Jenis status epilepticus yang paling sering terjadi yaitu merupakan jenis

Convulsive Status Epilepticus (CSE). Insidens CSE yang terjadi, melebihi jumlah

insidens dari studi yang dilakukan di negara-negara bagian barat, dimana insidens

mencapai 265 per 100.000 per tahun pada anak-anak usia 1-11 bulan. Jumlah

3
Insidens ini apabila dibandingkan dengan negara-negara di bagian barat memiliki

jumlah yang lebih banyak sekitar 2-5 kali (Newton, 2010).

Status epileptikus oleh karena simtomatis akut, seperti contoh status

epilepticus yang disebabkan karena infeksi sistem saraf sentral, gangguan glukosa

atau kesimbangan elektrolit, trauma pada otak, harus diwaspadai karena dapat

menyebabkan mortalitas pada anak (Maytal J, et al, 1989). Selain itu status

epilepticus pada anak yang mempunyai epilepsi akan dapat menyebabkan

komorbid berkaitan dengan masalah kognitif dan quality of life (QOL) yang buruk,

hal ini diukur menggunakan quality of life in childhood epilepsy questionnaire

(QOLCE) (Ferro MA, et al, 2014).

Masalah yang terjadi pada status epileptikus adalah peristiwa ini banyak

diremehkan dan tidak banyak yang dirawat di rumah sakit, alasannya dikarenakan

kejang hanya disebabkan oleh karena penyebab tradisional atau karena anak

sudah meninggal sebelum dirawat di rumah sakit. Pasien juga cenderung

mengalami status epilepticus dalam waktu yang lebih lama, hal ini dikarenakan

kurangnya terapi yang diberikan sebelum dan ketika telah dirawat di rumah sakit

dan atau menurunnya respon terhadap benzodiazepine (Newton, 2010).

Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kejang

demam dan status epileptikus agar dapat menjadi referensi pembelajaran bagi

tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa dan bagaimana definisi, etiologi, dan epidemiologi dari kejang demam

dan status epileptikus pada anak-anak?

4
1.2.2 Apa dan bagaimana tanda, gejala, perjalanan penyakit, pemeriksaan

penunjang serta diagnosis dari kejang demam dan status epileptikus pada

anak-anak?

1.2.3 Bagaimana manajemen dan terapi kejang demam dan status epileptikus

pada anak-anak?

1.2.4 Bagaimana prognosis dan apa saja komplikasi dari kejang demam dan

status epileptikus pada anak-anak?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui definisi, etiologi, dan epidimiologi kejang demam dan

status epileptikus pada anak-anak.

1.3.2 Untuk mengetahui tanda, gejala, perjalanan penyakit, pemeriksaan

penunjang serta diagnosis kejang demam dan status epileptikus pada

anak-anak.

1.3.3 Untuk mengetahui manajemen dan terapi kejang demam dan status

epileptikus pada anak-anak.

1.3.4 Untuk mengetahui prognosis serta komplikasi kejang demam dan status

epileptikus pada anak-anak.

1.4 Manfaat

Menjadi landasan pembelajaran tentang kejang demam dan status epileptikus

pada anak bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful

Anwar, Malang.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Neurotransmisi Neuron dan Aksi Potensial

Sebelum mempelajari tentang aksi potensial abnormal pada mekanisme

kejang ada baiknya mengetahui normalnya terlebih dahulu. Neuron memiliki dua

jenis dasar bergantung dari neurotransmitter apa yang dikeluarkan, yaitu neuron

ekstatori dan neuron inhibisi. Secara umum, cara kerjanya adalah ketika neuron

teraktivasi baik inhibisi ataupun eksitatori, neuron mengeluarkan neurotransmitter

dari vesikel pada pre-sinaptik dengan syarat, terjadi influx ion kalsium dari ekstra

sel menuju intrasel. Lalu transmitter tersebut menyebrang celah sinaptik dan

berikatan dengan reseptor spesifik pada post-sinaptik, akibatnya terjadi

depolarisasi atau hiperpolarisasi (Meningkat/menurunnya potensial membran

dalam satuan mV mendekati/menjauhi ambang batas voltage untuk aksi potensial)

(Carl, 1998).

2.1.1 Neurotransmisi Inhibisi

Neurotransmitter inhibisi yang paling utama di otak adalah gamma-amino-

butyric-acid (GABA). Neurotransmitter ini disintesis dari glutamat oleh aksi dari

enzim glucose acid decarboxylase (GAD) dan dengan bantuan kofaktor vitamin

B6/Piridoxin di pre-sinaptik. Lalu Influks ion kalsium dari ekstra menuju intrasel

menyebabkan vesikel mengeluarkan GABA melewati celah sinaptik menuju ke

post-sinaptik dan berikatan dengan reseptor spesifik GABAA. Akibatnya, terjadi

influks ion cl- dari ekstra ke intrasel sehingga ion negatif pada intrasel meningkat

dan terjadi hiperpolarisasi. Perubahan pada potensial membran sel ini disebut

Inhibition Post Synaptic Potential (IPSP) (Carl, 1998).

6
2.1.2 Neurotransmisi Eksitatori

Neurotransmitter eksitatori dimediasi sebagian besar oleh asam amino

glutamate. Neurotransmitter ini memiliki dua jenis subtipe reseptor yaitu tipe

NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan Non-NMDA. Reseptor tipe Non-NMDA

memediasi transmisi neuron secara cepat sekitar 5 milisec. Ikatan glutamate

terhadap reseptor ini menyebabkan influks ion Na+ dari ekstra menuju intrasel

sehingga menyebabkan terjadinya EPSP (Exitatory Post Synaptic Potential) yang

cepat. Sedangkan untuk reseptor tipe NMDA, aktivasi dari reseptor ini terdapat 3

syarat yaitu pertama, berikatannya glutamat dengan reseptor NMDA, lalu kedua

berikatannya ko-agonis glycine dengan bagian lain di dekat kompleks reseptor

NMDA, dan ketiga ion Mg2+ yang memblok pori-pori saluran ion harus terlepas.

Tugas dari ion Mg2+ adalah ketika terjadi EPSP cepat yang dimediasi oleh reseptor

tipe NMDA, voltase dari membrane terdepolarisasi sehingga ion Mg 2+ menjadi

terlepas sehingga terjadi influks ion Na+ dan Ca++. Akibatnya terjadi EPSP yang

lama atau prolonged EPSP (Carl, 1998).

2.1.3 Aksi Potensial

Depolarisasi yang disebabkan oleh karena EPSP cepat dan lambat dari

reseptor NMDA dan Non-NMDA juga akan mengaktifkan saluran ion voltage gated

seperti Na+ dan K+ pada membran sel. Saluran ion ini berbeda dengan saluran

yang teraktivasi oleh karena berikatnya neurotransmitter dengan reseptor, pada

saluran ion ini aktivasi terjadi oleh karena membrane potensial yang mencapai titik

tertentu. Jika penjumlahan dari depolarisasi reseptor glutamate dengan saluran

7
ion voltage gated cukup, maka ambang batas untuk aksi potensial tercapai dan

terjadilah aksi potensial.

Ketika aksi potensial terjadi, terjadi upstroke yang disebabkan oleh influks

ion Na+ kedalam intra sel lewat saluran voltage gated. Sedangkan downstroke

terjadi oleh karena efluks ion K+ dari dalam sel menuju ke luar sel. Pada akhir dari

aksi potensial, potensial membran mengalami hiperpolarisasi jauh dari potensial

membran istirahat pada normalnya, hal ini dinamakan after-hyperpolarization

(AHP). Fenomena ini dimediasi oleh saluran ion Ca++-dependent pada intraseluler,

ion Ca++ pada intrasel mengatur waktu yang tepat untuk sel kembali lagi

melakukan aksi potensial dengan menjalankan periode refrakter (Carl, 1998).

2.1.4 Homeostasis Ion-ion

Setelah aksi potensial terjadi, banyak ion Na+ yang berlebihan di dalam sel,

dan ion K+ yang berlebihan pada ekstra seluler. Oleh karena itu, butuh suatu

mekanisme supaya ion-ion ini kembali ke tempat semula sehingga terjadi

homeostasis ion-ion. Mekanisme tersebut adalah dengan pompa Na-K ATPase,

pompa ini membutuhkan ATP untuk berfungsi dengan tujuan untuk memompa ion

Na+ keluar sel dan ion K+ ke dalam sel. Selain itu juga dapat dibantu oleh sel glia

disektiar dengan cara menarik ion-ion K+ yang berlebihan di luar sel ke dalam sel

(Carl, 1998).

8
2.2 Kejang

2.2.1 Definisi Kejang

Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku atau perubahan fungsi otak

yang mendadak dan bersifat sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang

abnormal dan pelepasan listrik yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat fokal

atau umum, jika gangguan aktivitas listrik terbatas pada area otak tertentu, maka

dapat menimbulkan kejang yang bersifat parsial atau fokal, namun jika gangguan

aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang

bersifat umum.

Disfungsi otak tersebut dapat disertai dengan gejala motorik, sensorik dan

gangguan otonom tergantung pada daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri

atau pun penyebaran ke organ yang lain.

Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran dari nilai normal yang

menyeimbangkan mekanisme eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat.

Gangguan pada mekanisme ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti

gangguan metabolisme seperti uremia, hipoglikemia, hiperglikemia, dan gagal

hati, toksik seperti overdosis dan sindrom withdrawal, dan infeksi seperti meningitis

dan ensepalitis (Goldenberg, M.M., 2010).

2.2.2. Etiologi Kejang

Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan

ekstrakranial (Breton A. N, 2013):

9
1. Intrakranial

Penyebab intrakranial dapat dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.

Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik atau penyebabnya tidak

diketahui. Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial,

kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis,

dan trauma kepala.

2. Ekstrakranial

Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme

seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia,

hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial

dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak.

2.2.3. Patofosiologi Kejang

Pada setiap serangan kejang, terjadi kegagalan mekanisme normal untuk

mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi apabila rangsangan bangkitan kejang,

yaitu neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan asetilkolin melebihi

kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak

efektif sehingga terjadi kegagalan untuk mencegah kejang.Pada lebel neurokimia,

bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan

kurangnya inhibisi. Neurotransmitter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah

glutamat dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtipe NMDA (N-methyl-

D-aspartat). Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-

aminobutyric acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme

utama pada status epileptikus. Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA

berperanan dalam terminasi bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

10
sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan.

Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler yang

menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian

menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit

dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABA inhibisi

yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan (Schweich dan

Zempsky , 2007).

Suatu lepasan muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah

dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang

mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat

bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme

autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun bila kejang

berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi yang selanjutnya

menyebabkan iskemik pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan

menyebabkan hipoksia pada sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan

otot pernafasan selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga

menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Disamping itu

pelepasan muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan

aspirasi mengakibatkan gangguan difusi oksigen melalui dinding alveolus.

Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan energi

yang sangat banyak.

Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan bertambahnya

metabolisme otak secara berlebihan sehingga persediaan senyawa fosfat energi

tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir

dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia

11
jantung, hipoksia otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan

autoregulasi lain juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan

nekrosis tubuler mendadak (Schweich dan Zempsky , 2007). Status epileptikus

yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang

terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami

iskemik selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6

korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje (Schweich

dan Zempsky , 2007)

2.2.4 Klasifikasi Kejang

Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE)

membuat suatu sistem klasifikasi internasional kejang yang membagi kejang

menjadi dua kelompok besar yaitu Kejang Parsial (fokal) dan Kejang Generalisata

(Umum). Kejang parsial kemudian dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial

Kompleks, dan Parsial yang menjadi Generalisata sekunder. Adapun yang

termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau Atipikal), mioklonik, klonik,

tonik, tonik-klonik, dan kejang atonik.

1. Kejang Parsial (Partial-onset Seizure)

Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri

2. Kejang Generalisata (Generalized-onset Seizure)

Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri. Bisa bermula dari

talamus dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara

serentak pada kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi

bilateral pada tubuh dan ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata

12
diklasifikasikan menjadi atonik, tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure.

Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan

sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Seizure).

2.2.5 Gejala Klinis Kejang

a. Tanda Khas Kejang Parsial Sederhana

Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada kejang parsial

sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron,

dan cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang terdiri atas pemutaran

kepala dan gerakan mata gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata kejang

berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial sederhana dapat terancukan

dengan gerenjit (tic), namun gerenjit ditandai dengan pengangkatan bahu, mata

berkedip – kedip dan wajah menyeringai serta terutama melibatkan wajah dan

bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang parsial tidak dapat

dikendalikan.

Jenis kejang ini mempunyai prognosis yang baik. Serangannya mudah

diobati, dicegah dengan antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur

15 tahun. Anak mempunyai inteligensi, tingkah laku, dan kemampuan bersekolah

yang tidak berbeda dengan populasi umum.

b. Tanda Khas Kejang Parsial Kompleks

Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat didahului

oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai dengan gangguan

kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat bersama

dengan keadaan kesadaran yang berubah.

13
Aura terdiri dari rasa tidak enak, di epigastrium, dada atau kepala. atau

disertai perasaan yang tidak enak seperti ketakutan. Gangguan kesadaran pada

anak dan bayi sukar dinilai, namun kejang tipe ini dapat dinilai dengan lebih lanjut

menggunakan modalitas EEG. Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang

tajam atau paku – paku setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan

paku multifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak

dengan kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin normal.

Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan

kejang parsial sederhana dan biasanya didahului dengan aura.

c. Tanda Khas Kejang Parsial Kemudian Menjadi Umum (Secondary

Generalized Seizure)

Bentuk kejang ini disebut juga kejang fokal atau parsial kontinu. Bentuk

kejang biasanya kejang klonik. Tiap bagian tubuh dapat terlibat, misalnya tangan,

muka, dan kaki. Kejang ini dapat terbatas dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh

lainnya. Bila kejang bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya, kemudian

ke pergelangan tangan, ke lengan bawah, lengan atas, muka, kemudian ke tungkai

dan kaki. Sehabis kejang sesekali dijumpai bahwa otot yang terlibat lemah.

Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa menit atau jam.

d. Tanda Khas Kejang Tonik Klonik Umum

Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau bangkitan

mayor (serangan besar). Bangkitan grandmal merupakan jenis kejang yang sering

dijumpai. Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai kejang

tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku), yang kemudian diikuti oleh kejang

klonik (badan dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan). Bila penderita sedang

14
berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik

badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan kuat dari

paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut sebagai jeritan

epilepsy (epileptic cry). Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi

biru (sianosis) karena pernafasan terhenti dan terdapat pula kongesti

(terbendungnya) pembuluh darah balik vena. Biasanya fase kejang tonik ini

berlangsung selama 20 – 60 detik.

Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang klonik yang

bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak termasuk otot pernafasan dan

otot rahang. Pernafasan menjadi tidak teratur, tersendat - sendat, dan dari mulut

keluar busa. Lidah dapat tergigit waktu ini dan penderita dapat pula mengompol.

Bila penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang klonik

dapat mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan sehingga

terantuk – antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik,

tetapi dapat lebih lama.

Setelah fase klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini biasanya

berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur, yang lamanya

bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada saat tidur ini

dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak bengong. Lama

keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada penderita yang keadaan mentalnya

segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai. Ada pula yang lebih lama,

sampai beberapa jam atau hari. Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat,

pegal otot, gelisah, mudah tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku

merupakan gejala pasca serangan yang sering dijumpai. Gangguan pasca

serangan ini dapat berlangsung beberapa saat, namun dapat juga sampai

15
beberapa jam. Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan grandmal timbul

secara beruntun, berturut – turut sebelum penderita pulih dari serangan

sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat, dan disebut status

epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan dan dapat pula mengakibatkan

terjadinya cacat pada penderitanya.

e. Tanda Khas Kejang Tonik Umum

Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan kurang dari

34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya perdarahan

intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu

ekstremitas, atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai

yang menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah

dengan bentuk dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk kejang

tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap opistotonus

yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi selaput otak atau

kernicterus.

f. Tanda Khas Kejang Klonik Umum

Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan permulaan

fokal dan multifokal yang berpindah – pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal

berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan

kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat

disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup

bulan, atau oleh ensefalopati metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga sebagai

suatu keadaan gemetar (jitteriness). Pada BBL dengan kejang klonik fokal

hendaknya dilakukan pemeriksaan USG dan penatahan kepala untuk mengetahui

16
apakah terjadi perdarahan otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal tetapi

terdapat kelumpuhan salah satu tungkai setelah kejang berhenti, penatahan

kepala harus diulangi 1 minggu kemudian untuk mencari kemungkinan terjadinya

infark serebri. Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada satu atau lebih

anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya

kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang

yang satu dengan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah memberi

kesan sebagai kejang umum.

g. Tanda Khas Absans

Absans dikenal juga dengan nama Petit mal. Jenis ini jarang dijumpai. Nama

lainnya ialah lena khas, lena sederhana (simple absence) atau lena murni (pure

absence). Serangan petit mal berlangsung singkat hanya beberapa detik 5-15

detik. Pada serangan petit mal terdapat hal berikut:

1. Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan

(misalnya makan, bermain, berbicara, membaca)

2. Penderita memandang kosong atau staring. Pada saat ini penderita tidak

bereaksi bila diajak bicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.

3. Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan melanjutkan lagi apa yang

sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.

Jadi pada serangan petit mal didapatkan menghilangnya kesadaran yang

berlangsung mendadak dan singkat. Waktu serangan terjadi penderita tidak

jatuh, biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak

ngompol sewaktu serangan.

17
h. Tanda Khas Kejang Atonik

Kejang Atonik disebut juga dengan bangkitan akinetik (serangan jatuh), yang

biasanya mulai antara 2 – 5 tahun. Pada jenis ini, penderita tiba – tiba jatuh secara

mendadak sewaktu serangan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya keadaan

yang tidak diinginkan seperti gigi patah dan luka di kepala. Bila misalnya penderita

sedang duduk di depan meja sewaktu serangan datang, maka ia dapat secara

mendadak tidak berdaya dan kepala terbentur pada meja. Pada serangan atonik

ini didapatkan menghilangnya secara mendadak tenaga otot – otot yang

mempertahankan sikap. Pada serangan ini tenaga otot – otot yang

mempertahankan sikap secara mendadak hilang yang berlangsung singkat. Bila

penderita kebetulan sedang berdiri pada waktu serangan datang, maka ia akan

jatuh. Serangan ini disebut juga serangan jatuh (drop – attack).

i. Tanda Khas Kejang Mioklonik

Kejang Mioklonik pada anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari

kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus

tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan.

18
2.2.6 Tatalaksana Kejang

Penatalaksanaan awal pada pasien yang mengalami kejang adalah menilai

dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Penilaian awal terdiri

dari (McBrien, D. and Bonthius, D.,2000).

1. Airway

Penilaian patensi jalan napas dilakukan dengan metode look, listen, dan

feel. Jika jalan napas tidak bebas, maka jalan napas dibuka dengan cara head tilt-

chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-

mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan kejang

dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan napas.

2. Breathing

Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara

napas, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi

oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oksimetri. Jika anak menderita

hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-

valve – mask.

3. Circulation

Penilaian sirkulasi dapat dilakukan dengan palpasi denyut nadi. Capillary

refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral yang dingin

menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian

cairan intravena. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long

acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis

benzodiazepin. Normal salin 20 mL/kg BB bolus cepat diberikan untuk setiap

19
pasien dengan tanda – tanda syok, lalu tekanan darah diperiksa

segera setelah pemberian normal saline atau setelah kejang selesai.

4. Disability

Penilaian fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice,

Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang

disertai dengan penurunan kesadaran. Namun, ukuran dan reaksi pupil serta

deficit neurologis yang lain harus diperhatikan.

Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan dengan pemberian pengobatan

untuk kejang setelah penilaian awal ABCD distabilkan.

20
Gambar 2.1 : Rekomendasi berdasarkan UKK Neurologi IDAI 2016

21
Keterangan Gambar:

Pada 10 menit pertama, pasien dengan kejang diberikan Diazepam

rektal berdasarkan berat badan, yaitu kurang dari 12 kg diberikan 5 mg

suppositorial dan diatas 12 kg diberikan 10 mg suppositorial, sebanyak dua kali

maksimal dengan jarak 5 menit.

Pada menit ke 10 – 20, apabila kejang masih terjadi setelah pemberian

diazepam suppositorial, diberikan Diazepam 0.2- 0.5 mg/kg berat badan secara

intravena dengan kecepatan 2 mg/menit dan dosis maksimal 10 mg. Selain

diberikan Diazepam, Midazolam juga boleh diberikan secara Intramaskular (IM)

atau Intravena (IV) atau secara buccal dengan dosis sebanyak 0.2 mg/kg berat

badan/menit, maksimal 10 mg. Cara pemberiannya adalah dengan cara

menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya dan teteskan pada buccal

kanan selama 1 menit. Dosis yang digunakan untuk buccal berdasarkan usia, pada

anak usia 6 – 12 bulan, dosisnya 2,5 mg, pada anak usia 1 – 5 tahu, dosisnya 5

mg, pada anak usia 5 – 9 tahun, dosisnya 7,5 mg, dan 10 mg pada anak usia lebih

dari 10 tahun. Apabila masih kejang setelah 5 hingga 10 menit, yang pertama

boleh diberikan Fenitoin 20 mg/kg berat badan secara intravena, diencerkan dalam

50 ml NaCl 0.9% selama 20 menit (2 mg/kg/menit) dengan dosis maksimal 1000

mg. Apabila kejang berlanjut selama 5 – 10 menit setelah diberikan fenitoin,

berikan 20 mg/kg secara intravena dengan kecepatan 10 – 20 mg/menit dengan

dosis maksimal 1000 mg. Kedua, Fenobarbital 20 mg/kg secara intravena dengan

kecepatan 10 – 20 mg/menit dengan dosis maksimal 1000 mg. Apabila kejang

berlanjut selama 5 – 10 menit, berikan Fenitoin 20 mg/kg/ berat badan secara

intravena diencerkan dalam 50 ml NaCl 0.9% selama 20 menit (2 mg/kg/menit)

22
dengan dosis maksimal 1000 mg. Bila kejang berhenti, pertimbangkan rumatan

Fenitoin 5 – 10 mg/kg dibagi 2 dosis atau 3 – 5 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.

Apabila kejang masih berlanjut setelah 60 menit pertolongan pertama

atau lebih dikenali sebagai Refrakter Status Epileptikus, harus diberikan

Midazolam atau Propofol atau Pentobarbital. Midazolam diberikan bolus 100 – 200

mcg/kg berat badan secara intravena, dilanjutkan dengan infus kontinyu 100

mcg/kg berat badan/jam dapat dinaikkan 50 mcg/kg berat badan setiap 15 menit

(maksimal 2 mg/kg berat badan/jam). Propofol diberikan bolus 1 – 3 mg/kg berat

badan dilanjutkan dengan infus kontinyu 2 – 10 mg/ kg berat badan/jam.

Pentobarbital diberikan bolus 5 – 15 mg/kg berat badan, dilanjutkan dengan infus

kontinyu 0.5 – 5 mg/kg berat badan/jam.

Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian Midazolam, maka

pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0.1

mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

2.3 Status Epileptikus

2.3.1 Definisi Status Epileptikus

Definisi Status Epileptikus berdasarkan International League against

Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode

waktu tertentu atau berulang dengan interval waktu yang singkat tanpa disertai

pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut

adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Penelitian terhadap hewan

oleh Meldrum et al. menyatakan bahwa kejang yang berlangsung lebih dari 82

menit terhadap akan menyebabkan kecederaan neuron yang ireversibel. Oleh

23
sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah

selama 30 menit atau lebih.

2.3.2 Epidemiologi Status Epileptikus

WHO memperkirakan bahwa delapan orang per 1000 di seluruh dunia

memiliki penyakit ini. Beberapa peneliti melaporkan tingkat kejadian epilepsi dan

status epileptikus di negara berkembang biasanya lebih tinggi daripada di negara

maju. Status Epileptikus di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu setiap

tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda (Sirven dan Waterhouse, 2003).

Berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2016, Insidens Status

Epileptikus di Indonesia pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak.

Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama anak usia

kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pakistan dan India menunjukkan

tingkat kejadian epilepsi dan status epileptikus yang lebih tinggi di daerah

pedesaan daripada daerah perkotaan dengan perbandingan 5.5 per 1000 di desa

dan 5.1 per 1000 kejadian, sedangkan tingkat kejadian status epileptikus

berdasarkan jenis kelamin tidak berbeda secara signifikan (Tu Luong Mac, Duc-Si

Tran et al., 2007)

2.3.3 Etiologi Status Epileptikus

DeLorenzo et al (2009) melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16

tahun, penyebab paling umum terjadinya SE adalah infeksi, yaitu sebanyak 36%.

Namun, pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya serta ketidakteraturan dalam

24
meminum obat antikonvulsan mempunyai risiko yang lebih tinggi terjadinya status

epileptikus. Secara umum, status epileptikus dapat terjadi disebabkan oleh:

1. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

2. Simtomatis:

a. Infeksi

i. Meningitis Bakterial Akut

Bakteri penyebab status epileptikus bervariasi tergantung pada umur, kondisi

imunitas seseorang, dan jalur masuk dari bakteri tersebut. Namun pada umumnya,

bakteri yang dapat menyebabkan meningitis memiliki jalur masuk lewat darah dari

tempat infeksi di lain lokasi selain otak. Bakteri penyebab paling sering adalah 78%

oleh karena streptokokus beta-hemolitik, 44% oleh karena H. Influenza, 25% oleh

karena D. Pneumonia, dan 10% oleh karena N. Meningitidis. Organisme-

organisme ini yang bersifat pyogenik akan berkolonisasi di celah sub-arachnoid

dan memproduksi eksudat yang purulent dan bersamaan dengan toxin yang

dikeluarkan nantinya dapat menginduksi reaksi inflamasi dan menyebabkan

kejang atau bahkan status epilepticus (Vezzani, et al 2016).

ii. Ensefalitis Virus

Awalnya virus paling banyak memasuki lewat jaringan perifer tubuh seperti kulit

atau saluran gastrointestinal. Kemudian virus bereplikasi secara lokal, setelah itu

virus yang bereplikasi akan memasuki ke sistem peredaran darah sistemik dan

terjadi viremia sekunder di dalam darah. Pada saat inilah kemudian virus bisa

memasuki kedalam otak. Virus masuk ke otak melewati dua cara sebagai

“kendaraannya”, yang pertama virus masuk ke dalam sel monosit yang masuk ke

25
sistem saraf pusat, atau dapat juga dengan cara bertindak sebagai partikel yang

merusak sel endothelial sistem saraf pusat. Setelah masuk ke dalam sistem saraf

pusat, maka virus akan berkolonisasi di parenkim otak dan bereplikasi di otak

sehingga timbulah reaksi inflamasi di otak dan munculah ensefalitis.

Proses inflamasi dalam otak oleh karena virus dapat melalui dua mekanisme

yaitu mekanisme virus menimbulkan reaksi inflamasi langsung di sel neuron

sistem saraf pusat dengan menghasilkan sitokin proinflamasi dan sel-sel yang

bertindak sebagai tanda bahaya. Yang kedua adalah sitokin proinflamasi dan sel-

sel tanda bahaya tersebut mengaktivasi sistem imun seluler dan humoral yang

mengakibatkan reaksi imunopatologis. Hasil akhir dari kedua mekanisme ini

adalah terjadinya kematian sel neuron dan juga kejang yang berakibat status

epileptikus (Vezzani, et al 2016).

Ketika sel saraf pusat mengalami cidera, sel yang terkena adalah neuron

dan glia, sel-sel ini kemudian akan berespon dengan memproduksi danger

signals/alarmins/DAMPS secara cepat. Lalu DAMPS akan mengaktivasi Pattern

Recognition Receptors (PRR) seperti contoh toll-like receptors, diekspresikan oleh

sel sel glia dan neuron yang terkena penyakit. Hal ini mengakibatkan disfungsi dari

sel-sel tersebut. Disfungsi sel yang dimaksud adalah DAMPS menginduksi

upregulasi dari mediator inflamasi pada sel glia, akibatnya terjadi beberapa hal

yaitu hilangnya ion K+ dari ekstraseluler, gangguan homeostasis air dan

glutamate, dan terjadi pengeluaran mediator toksik yaitu reactive oxygen species,

serta aktivasi reseptor glutamate oleh neurotransmitter glutamate. Selain itu

respon pengeluaran sitokin proinflamasi (IL-1β, TNF-α, IL-6) juga dapat terjadi

mengakibatkan perubahan komposisi subunit reseptor glutamate. Keadaan yang

terjadi ini berkontribusi untuk terjadinya hipereksitabilitas jaringan saraf dan

26
mengurangi ambang batas dari kejang. Hasil patologis dari kejadian ini yaitu terjadi

dalam bentuk kejang simtomatis akut, hilangnya sel, dan epilepsi (Vezzani et al,

2016).

b. Hipoksia

Keadaan hipoksia yang berarti aliran oksigen untuk metabolisme otak

menjadi berkurang, mengakibatkan hilangnya ATP. Hilangnya ATP dapat

menonaktifkan pompa natrium kalium yang bergantung pada ATP di membran sel

neuron otak. Akibatnya, terjadi hilangnya integritas dari membrane sel di neuron

dan hipereksitabilitas dari neurotransmitter glutamate dan diikuti dengan

overstimulasi reseptor NMDA, karena pada saat kejang kebutuhan energi di otak

semakin meningkat bukan semakin menurun sehingga mengakibatkan

hipereksitabilitas. Karena hipereksitabilitas ini maka neurotransmitter inhibisi

GABA semakin berkurang karena tidak dapat mengkompensasi dan akhirnya

mekanisme untuk menghambat kejang tidak ada sehingga terjadilah status

epileptikus (Drislane FW and Kaplan PW, 2018).

c. Kelainan metabolik

Gangguan metabolik yang biasanya menyebabkan kejang pada anak

adalah hipoglikemia, hipokalsemia, dan gangguan elektrolit. Hipoglikemia sering

terjadi pada bayi kecil masa kehamilan atau BBLR, bayi dari ibu penderita

diabetes, atau bayi dengan penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis.

Hipokalsemia jarang menjadi penyebab tunggal kejang pada neonatus. Biasanya

hipokalsemia disertai dengan gangguan lain, misalnya hipoglikemia,

hipomagnersemia, atau hipofosfatemia. Diagnosis hipokalsemia dapat ditegakkan

bila kadar kalsium dalam darah kurang dari 7 mg%. Hipokalsemia terjadi pada

27
masa dini dijumpai pada bayi berat lahir rendah, ensefalopati hipoksik-iskemik,

bayi dari ibu dengan diabetes melitus, dan bayi yang lahir akibat komplikasi berat

terutama karena asfiksia.

Gangguan keseimbangan elektrolit terutama natrium dapat menyebabkan

hiponatremia ataupun hypernatremia, di mana kedua-duanya merupakan

penyebab terjadinya kejang. Hiponatremia dapat terjadi bila ada gangguan sekresi

dari anti diuretik hormon (ADH). Hal ini sering terjadi bersamaan dengan

meningitis, meningoensefalitis, sepsis, dan perdarahan intrakranial. Hiponatremia

dapat terjadi pada diare akibat pengeluaran natrium berlebihan, kesalahan

pemberian cairan pada bayi, dan akibat pengeluaran keringat berlebihan.

Sedangkan, hipernatremia terjadi bila pemberian natrium bikarbonat berlebihan

pada koreksi asidosis dengan dehidrasi (Ahmed Z dan Spencer S.S, 2004).

d. Trauma kepala

Cidera kepala bertanggungjawab terhadap 26% dari kejadian status

epilepticus, namun insiden ini merupakan gabungan dari kejadian akut dan riwayat

trauma sebelumnya. Namun munculnya kejang yang menyebabkan status

epilepticus bergantung dari keparahan trauma kepala yang dialami dan onset dari

trauma tersebut. Trauma kepala ringan dengan episode tidak sadar dan amnesia

sementara namun tidak ada kaitan dengan perdarahan intracranial, gagar otak,

atau fraktur tidak menyebabkan munculnya kejang ataupun hingga status

epilepticus (Drislane FW and Kaplan PW, 2018).

e. Stroke

Stroke (Hemoragik atau Iskemik) lebih sering pada orang dewasa

dibanding anak-anak karena penyakit vaskuler lebih sering ditemui pada dewasa.

28
Lebih dari 50% status epilepticus dewasa disebabkan oleh stroke. Status

epileptikus oleh karena stroke dibagi menjadi dua berdasarkan waktu antara stroke

dan onset SE, yaitu onset awal dan akhir. Onset awal biasanya muncul 7 hari

setelah gejala stroke sedangkan onset akhir muncul 8 hari setelah gejala stroke.

Penyebabnya untuk onset awal merata dari semua jenis stroke sedangkan onset

akhir yang paling sering adalah stroke akut, iskemik, dan stroke arteri cerebralis

posterior (Drislane FW and Kaplan PW, 2018).

f. Tumor otak

Tumor pada otak yang paling sering pada anak yaitu adalah glioma,

mekanisme yang dapat mengakibatkan kejang yaitu ketika sel tumor glioma

tumbuh secara abnormal dan meluas, sel ini melepaskan neurotransmitter

glutamate ke jaringan otak sekitar dalam jumlah yang cukup untuk mematikan sel

neuron. Normalnya glutamat berada pada jalur sinaps glutamaterik, yaitu hanya

bertransmisi terbatas hanya pada celah sinaptik dan peri-sinaptik saja. Namun

pada kejadian tumor ini, glutamate bertransmisi hingga ke jalur post-sinaptik dan

berikatan dengan reseptor glutamate post sinaptik serta mengirim sinyal dengan

cepat sekali. Aktivasi dari reseptor neuron glutamate terutama subtipe NMDA (N-

methyl-D-aspartat) yang terlalu lama dapat menyebabkan influx ion Ca2+ dari

ekstraseluler ke dalam intra-seluler dan mengakibatkan kematian sel saraf

(Sontheimer H, 2008).

g. Epilepsi

Epilepsi adalah kejang yang terjadi tanpa provokasi, kejang berulang

sebanyak dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Menurut

DeLorenzo et al (2009) ditinjau dari penyebabnya, epilepsi disebabkan oleh:

29
a. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan

kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan

keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang

abnormal.

b. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada

jaringan otak. Kelainan ini disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya

jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa

perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama / sebelum

kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,

fenilketonuria), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia),

ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

2.3.4 Fase Status Epileptikus

Perubahan fisiologis dalam status epileptikus dapat dibagi menjadi dua

fase, transisi dari fase 1 ke 2 terjadi setelah kejang terus menerus terjadi sekitar

30-60 menit. Pada fase 1, mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk

mencegah kerusakan otak terjadi. Namun, pada fase 2, mekanisme ini rusak, dan

ada peningkatan risiko kerusakan otak saat status epileptikus berlangsung.

Kerusakan serebral disebabkan oleh gangguan sistemik dan metabolik (misalnya,

hipoksia, hipoglikemia, peningkatan tekanan intrakranial) dan juga oleh efek

eksitotoksik (Shorvon S.D, 2000).

30
Fase 1: Selama fase ini, metabolisme otak sangat meningkat karena

aktivitas kejang, tetapi mekanisme fisiologis masih cukup memadai untuk

memenuhi tuntutan metabolik, dan jaringan serebral dilindungi dari hipoksia atau

kerusakan metabolik. Perubahan fisiologis utama adalah terkait dengan aliran

darah dan metabolisme yang sangat meningkat, yaitu hiperglikemia dan asidosis

laktat, aktivitas otonom masif, dan perubahan kardiovaskular seperti takikardia dan

disritmia.

Fase 2: Selama fase ini, tuntutan metabolisme otak yang sangat meningkat

tidak dapat dipenuhi sepenuhnya, mengakibatkan hipoksia dan perubahan otak

dan pola metabolisme sistemik, seperti hipoglikemia, hiponatremia, hipokalemia

atau hiperkalemia, metabolik dan respiratorik asidosis. Perubahan otonom

menetap dan fungsi kardiorespirasi dapat semakin gagal untuk mempertahankan

homeostasis (Shorvon S.D, 2000).

2.3.5 Diagnosis Status Epileptikus

2.3.5.1 Anamnesis

Menurut Wisconsin Medical Journal, anamnesis perlu dilakukan pada

pasien dan juga secara heteroanamnesa, untuk mengetahui sebelum, semasa dan

setelah terjadi reaksi kejang. Diagnosis akan sulit ditegakkan apabila tidak ada

saksi atau ahli keluarga yang memberi keterangan. Beberapa pertanyaan untuk

mengetahui riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu adalah seperti

berikut (Ahmed dan Spencer, 2004):

1. Usia pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini

karena usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab

31
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya

merupakan penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan

metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung

muncul pada usia anak – anak dan remaja.

2. Perasaan yang tidak menyenangkan atau peringatan pada waktu serangan

atau sebelum serangan kejang terjadi. Gejala peringatan yang dirasakan

pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana

suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana

berarti ada fokus di otak. Sebagian “aura” dapat membantu dimana letak

lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis

dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di

lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis.

Dan gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien

dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak

didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua

hemisfer.

3. Perkara yang terjadi selama serangan kejang berlangsung. Ditanyakan

juga apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi, lidah tergigit,

mengompol, aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh, mata

berkedip secara berlebihan pada serangan kejang terjadi, adanya gerakan

“automatism” atau sikap tertentu pada satu sisi anggota gerak tubuh.

4. Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat

menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan

kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan

32
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang

dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang

berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin

kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat

dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.

5. Perkara yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung atau

“post ictal period”. Biasanya sesudah mengalami serangan kejang umum

tonik klonik, pasien akan tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang

menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan

kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan

kejang disebut “Todd’s Paralysis” yang menggambarkan adanya fokus

patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran

menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada

“Absens”, tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

6. Waktu kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari. Serangan kejang

tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga

dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,

sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu

malam hari.

7. Faktor yang menyebabkan terjadinya kejang atau faktor pencetus.

Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang

berkedip, menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,

konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas,

kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “reading &

33
eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling

dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah

serangan kejang.

8. Frekwensi terjadinya serangan kejang untuk mengetahui bagaimana

respon pengobatan bila sudah mendapat obat-obat anti kejang.

9. Ada atau tidaknya periode bebas kejang sejak awal serangan kejang.

Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah

mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat

tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat.

10. Ada atau tidaknya jenis serangan kejang yang lebih dari satu macam?

Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan

menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

11. Ada atau tidaknya luka ditubuh pasien sehubungan dengan serangan

kejang. Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka

ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak

ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh

akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini

informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi

bahaya terjadinya luka.

12. Selama serangan kejang sebelumnya, apakah pasien pernah dibawa ke

unit gawat darurat untuk mengatasi kejangnya. Dengan mengetahui

gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat

mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin

34
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan

minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

13. Riwayat kehamilan dan persalinan pasien, yaitu umur kehamilan sewaktu

melahirkan, berat badan lahir, riwayat penyakit kongenital dan penyakit

yang dialami oleh ibu seperti hipertensi dan diabetes mellitus.

14. Ada atau tidaknya asfiksia atau distres pernafasan semasa lahir.

15. Riwayat tumbuh kembang dan gizi sesuai umur.

16. Riwayat kejang demam atau infeksi CNS (Central Nervous System) seperti

meningitis, encephalitis atau Lyme Disease.

17. Riwayat trauma kepala seperti fraktur tulang tengkorak, pendarahan

intraserebri, penurunan kesadaran dan amnesia yang berpanjangan.

18. Riwayat tumor di otak atau cerebrovascular accident.

19. Riwayat ahli keluarga dengan kejang berulang atau penyakit – penyakit

yang kejang menrupakan salah satu manifestasi klinisnya.

20. Riwayat alergi pengobatan anti - epilepsi

2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang direkomendasikan adalah pemeriksaan neurologi

meliputi status mental, “gait“, koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan

sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese,

distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat

menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.

35
Adanya nystagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari

obat anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin

terjadi pada waktu serangan kejang terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar

mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,

mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan

neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus

di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan

kelainan fokus kontralateral dilobus temporal.

2.3.5.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Neurocritical Care Society’s Guideline merekomendasikan untuk

melakukan pemeriksaan Darah Lengkap, Serum Elektrolit (glukosa, calcium,

natrium, magnesium), Kadar obat Anti – Konvulsan dalam darah pada 5 menit

pertama saat pertolongan diberikan. Seterusnya, Lumbal Pungsi harus dilakukan

pada semua pasien yang demam walupun tanpa tanda – tanda meningitis,

Neuroimaging, Urinalisis, Liver Function Test (SGPT, SGOT), dan PCR untuk viral

ensefalitis direkomendasikan dilakukan pada satu jam pertama setelah

pertolongan awal diberikan (Brophy G.M et al, 2012)

b. Neuroimaging

Berdasarkan The American Academy of Neurology’s Practice Parameter

dan Neurocritical Care Society’s Guideline, neuroimaging harus dilakukan setelah

pasien stabil dan status epileptikus sudah terkontrol, atau direkomendasikan 60

menit setelah pertolongan pertama diberikan. Sebagaimana dicatat dalam

36
rekomendasi International League Against Epilepsy, hampir 50% dari studi

pencitraan individu pada anak-anak dengan kejang onset baru terkait lokalisasi

dilaporkan menjadi tidak normal; 15% -20% dari studi pencitraan memberikan

informasi yang berguna mengenai etiologi kejang dan / atau fokus kejang, dan 2%

-4% memberikan informasi yang berpotensi membaik dengan manajemen medis

segera. Dalam kasus di mana penyebab terjadinya status epileptikus jelas

terbentuk, tidak perlu melakukan neuroimaging dengan segera.

CT Scan lebih sering digunakan berbanding MRI karena lebih banyak

tersedia secara luas, lebih murah, dan cenderung tidak membutuhkan sedasi

untuk anak-anak yang lebih muda. Namun, jika tidak ada etiologi yang terungkap

dengan CT Scan, MRI harus tetap dipertimbangkan. Dalam satu penelitaan, 12%

anak-anak dengan status epileptikus dan CT normal memiliki kelainan pada MRI

(Singh R.K et al, 2010)

c. EEG

Continuous EEG (cEEG) sangat berguna pada penatalaksanaan Status

Epileptikus di ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam 60 menit sejak

onset jika kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis

obat antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya kejang (Sirven dan

Waterhouse, 2003). Selain itu, tujuan EEG adalah untuk mengevaluasi status

epileptikus non-konvulsif untuk pasien yang tidak kembali ke baseline dalam 10

menit upaya penghentian kejang atau dalam 60 menit untuk pasien yang dicurigai

kejang secara berterusan. Selanjutnya, pedoman merekomendasikan

Pemantauan EEG selama 48 jam pada pasien ensefalopati, koma, memiliki

37
perdarahan intracerebral, atau pasien yang mengalami perubahan status mental

dengan dugaan kejang non-konvulsif (Brophy G.M et al, 2012).

38
2.3.6 Tatalaksana Status Epileptikus

Gambar 2.2: Rekomendasi berdasarkan UKK Neurologi IDAI 2016

39
Gambar 2.3 : Rekomendasi berdasarkan Neurocritical Care Society and American

Epilepsy Society

40
Keterangan Gambar:

Pada 10 menit pertama, pasien dengan kejang diberikan Diazepam

rektal berdasarkan berat badan, yaitu kurang dari 12 kg diberikan 5 mg

suppositorial dan diatas 12 kg diberikan 10 mg suppositorial, sebanyak dua kali

maksimal dengan jarak 5 menit.

Pada menit ke 10 – 20, apabila kejang masih terjadi setelah pemberian

diazepam suppositorial, diberikan Diazepam 0.2- 0.5 mg/kg berat badan secara

intravena dengan kecepatan 2 mg/menit dan dosis maksimal 10 mg. Selain

diberikan Diazepam, Midazolam juga boleh diberikan secara Intramaskular (IM)

atau Intravena (IV) atau secara buccal dengan dosis sebanyak 0.2 mg/kg berat

badan/menit, maksimal 10 mg. Cara pemberiannya adalah dengan cara

menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya dan teteskan pada buccal

kanan selama 1 menit. Dosis yang digunakan untuk buccal berdasarkan usia, pada

anak usia 6 – 12 bulan, dosisnya 2,5 mg, pada anak usia 1 – 5 tahu, dosisnya 5

mg, pada anak usia 5 – 9 tahun, dosisnya 7,5 mg, dan 10 mg pada anak usia lebih

dari 10 tahun. Apabila masih kejang setelah 5 hingga 10 menit, yang pertama

boleh diberikan Fenitoin 20 mg/kg berat badan secara intravena, diencerkan dalam

50 ml NaCl 0.9% selama 20 menit (2 mg/kg/menit) dengan dosis maksimal 1000

mg. Apabila kejang berlanjut selama 5 – 10 menit setelah diberikan fenitoin,

berikan 20 mg/kg secara intravena dengan kecepatan 10 – 20 mg/menit dengan

dosis maksimal 1000 mg. Kedua, Fenobarbital 20 mg/kg secara intravena dengan

kecepatan 10 – 20 mg/menit dengan dosis maksimal 1000 mg. Apabila kejang

berlanjut selama 5 – 10 menit, berikan Fenitoin 20 mg/kg/ berat badan secara

intravena diencerkan dalam 50 ml NaCl 0.9% selama 20 menit (2 mg/kg/menit)

41
dengan dosis maksimal 1000 mg. Bila kejang berhenti, pertimbangkan rumatan

Fenitoin 5 – 10 mg/kg dibagi 2 dosis atau 3 – 5 mg/kg/hari dibagi 2 dosis.

Apabila kejang masih berlanjut setelah 60 menit pertolongan pertama

atau lebih dikenali sebagai Refrakter Status Epileptikus, harus diberikan

Midazolam atau Propofol atau Pentobarbital. Midazolam diberikan bolus 100 – 200

mcg/kg berat badan secara intravena, dilanjutkan dengan infus kontinyu 100

mcg/kg berat badan/jam dapat dinaikkan 50 mcg/kg berat badan setiap 15 menit

(maksimal 2 mg/kg berat badan/jam). Propofol diberikan bolus 1 – 3 mg/kg berat

badan dilanjutkan dengan infus kontinyu 2 – 10 mg/ kg berat badan/jam.

Pentobarbital diberikan bolus 5 – 15 mg/kg berat badan, dilanjutkan dengan infus

kontinyu 0.5 – 5 mg/kg berat badan/jam.

Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian Midazolam, maka

pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0.1

mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

2.3.7 Komplikasi Status Epileptikus

Menurut IDAI 2016, Kejang dan status epileptikus menyebabkan

kerusakan pada neuron dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas

sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan

sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan

metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan

komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE

konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan

gagal ginjal.

42
Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan

memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan

fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme

otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan

katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring

dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan

bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat

terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar

darah-otak.

43
2.4 Kejang Demam

2.4.1 Definisi Kejang Demam

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu diatas 38 °C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

(Pusponegoro dkk, 2006). Kejang demam ini terjadi tanpa adanya infeksi

intrakranial, gangguan elektrolit atau gangguan metabolic (IDAI, 2016).

2.4.2 Klasifikasi Kejang Demam

Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi kejang demam sederhana (simple

febrile seizure) dan Kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang

demam sederhana merupakan kejang demam yang berlangsung singkat, kurang

dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendriri. Kejang berbentuk tonik dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Kejang demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejadian kejang demam).

Sedangkan kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah

satu ciri kejang lama yang berlangsung > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu

sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, atau berulang lebih dari 1 kali

dalam 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit

atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak

sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro, 2006).

2.4.3 Epidemiologi Kejang Demam

Angka kejadian kejang demam pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5

tahun, anak laki-laki dibanding anak perempuan, dengan perbandingan sekitar 1,4

44
: 1. Kejang demam paling sering terjadi pada usia 1 hingga 2 tahun (Pusponegoro

dkk, 2006, Lumbantobing, 2007).

2.4.4 Faktor Risiko Kejang Demam

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu :

demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat

preeklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor

perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)

dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).

2.4.4.1 Faktor demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai diatas 37,8°C

rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab terutama infeksi dan yang

salah satu terbanyak yaitu infeksi virus (80%).

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang

kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada

kanal ion dan metabolism seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu 1°C

akan meningkatkan metabolism karbohidrat 10-15%, sehingga dengan adanya

peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan

oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk

jaringan otak (Munir, 2009)

2.4.4.2 Faktor Usia

Anak dengan kejang usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko

bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih besar dibandingkan yang lebih dari dua

tahun (Fuadi, 2010)

45
2.4.4.3 Faktor riwayat kejang dalam keluarga

Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor

risiko untuk terjadinya kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun

saudara kandung (first degree relative), bila kedua orangtua tidak pernah

menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%, apabila

salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam

mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20-22%, apabila kedua

orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam

maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%.

Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan oleh ayah, 27%

berbanding 7% (Fuadi, 2010)

2.4.4.4 Faktor perinatal dan pascanatal

Kehamilan pada umur lebih dari 35 tahun dan berat lahir sangat rendah

atau amat sangat rendah memudahkan timbulnya bangkitan kejang demam

(Fuadi, 2010)

2.4.5 Patofisiologi Kejang Demam

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan

listrik yang berlebihan disel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron

tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti sel

pada umumnya yang mempunyai potensial membrane yang merupakan selisih

poensial antara intrasel dan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial

membrane berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap

sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi

akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na, K dan Ca. Bila sel

46
saraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan

menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membrane ini akan

menyebabkan permeabilitas mebran terhadap ion Na akan meningkat, sehingga

Na akan lebih banyak masuk kedalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan

potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport ion Na dan K,

sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial

demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon local. Bila rangsangan

cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka

permeabilitas membrane terhadap Na akan meningkat secara besar pula,

sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan

menghantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia

yang dikenal dengan neurotransmitter. Bila rangsangan telah selesai, maka

permeabilitas membrane kembali kekeadaan istirahat, dengan cara Na akan

kembali keluar sel dan K masuk kedalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang

membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (Wang et al., 2011).

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori gangguan pembentukan

ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia,

dan hipoglikemia, sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP

dan terjadi hipoksemia. Mekanisme lain seperti perubahan permeabilitas

membrane saraf, misalnya hipokalsemia dan hypomagnesemia, perubahan

relative neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan

neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.

Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan

kejang. Pada kejang demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh, dengan

demikian reaksi reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan

47
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan

ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan

menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf

meningkat (Munir, 2015).

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energy di otak,

jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengaturan suhu. Demam akan

menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak semakin

bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa

hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktivitas motoric dan

hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena

kegagalan metabolism diotak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme seperti demam

dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur,

minimbulkan dehidrasi sehingga terjadi gangguan eletrolit yang menyebabkan

gangguan permeabilitas membrane sel, metabolisme basal meningkat, sehingga

terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron. Demam

meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen

dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan

meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)

biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya

kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat

(disebabkan oleh metabolism anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan

selanjutnya menyebabkan metabolism otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas

48
menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia

dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Singh et al., 2015).

2.4.6 Tanda dan gejala klinis Kejang Demam

Tanda dan gejala klinis kejang demam sebagai berikut. Kejang demam

berlangsung singkat, serangan kejang klinik atau tonik klonik bilateral, seringkali

kejang berhenti sendiri, setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi

apapun untuk sejenak, setelah bebrapa detik atau menit anak terbangundan sadar

kembali tanpa defisit neurologi, peningkatan suhu tubuh mendadak hingga ≥ 38°c

2.4.7 Pemeriksaan fisik Kejang Demam

Batas suhu yang bias mencetus kejang demam 38°c atau lebih, tetapi suhu

sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui (Soetomenggolo, 1999).

Pemeriksaan fisik lainnya bertujuan untuk mencari sumber infeksi dan

kemungkinan adanya infeksi intracranial meningitis atau ensafalitis (Basuki, 2009).

2.4.8 Pemeriksaan penunjang Kejang Demam

a. Laboratorium darah

Untuk mencari etiologi kejang demam, darah lengkap, kultur darah,

glukosa darah, elektrolit, magnesium, kalsium, fosfor, urinalisa, kultur urin (The

Barbara, 2011)

b. Urinalisis

Urinalisis direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak ditemukan

fokus infeksi (Guidelines, 2010)

c. Pungsi lumbal

49
Untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.

Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan lumal tidak dilakuakn secara

rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana

dengan keadaan umum baik.

Indikasi pungsi lumbal yaitu terdapat tanda dan gejala rangsang

meningeal, terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinisi, pertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam

yang sebelumnya telah mendapat antibiotic dan pemberian antibiotic tersebut

dapat mengeliminasi tanda dan gejala meningitis (IDAI, 2016).

d. Radiologi

Neuroimaging (CT Scan atau MRI kepala) tidak diindikasikan setelah

kejang demam sederhana. Dipertimbangkan jika terdapat gejala klinis gangguan

neurologis

e. Elektroensefalopati (EEG)

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila

bangkitan bersifat fokal.

Berdasarkan kriteria Livingstone diagnosis untuk kejang demam adalah

umur anak ketika kejang 6 bulan sampai 4 tahun, kejang berlangsung sebentar

(tidak lebih dari 15 menit), kejang bersifat umum, kejang timbul dalam 16 jam

pertama setelah timbulnya demam, pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1

minggu setelah suhu normal tidak menunjukkan kelainan dan frekuensi bangkitan

kejang dalam 1 tahun tidak lebih dari 4 kali

50
2.4.9 Diagnosis Banding Kejang Demam

Diagnosis banding kejang demam antara lain meningitis, ensefalitis,

gangguan elektrolit, hipoglikemi, trauma kepala.

2.4.10 Penatalaksanaan

2.4.10.1 Tatalaksana saat kejang

Pada umunya kejang berlangsung sangat (singkat rerata 4 menit) dan pada

waktu pasien dating, kejang sudah berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan

kejang, obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena.

Dosis diazepam intravena 0,2-0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan

2mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10mg. Secara

umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umunya

(Apleton et al., 2008)

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua dirumah (prehospital)

adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau

diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan <12 kg dan 10 mg dengan

anak berat <12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat

diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila

setelah 2x pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah

sakit dan dirumah sakit diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut

lihat algoritma tatalaksana status epileptikus (Fukuyama et al, 1996)

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari

indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.

51
2.4.10.2 Pemberian obat saat demam

a. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko

terjadinya kejang demam (level of evidence I, derajat rekomendasi A). meskipun

demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat

diberikan. Dosis paracetamol yang digunakan adalah 10-15mg/kg/kali diberikan

tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali sehari (IDAI, 2016)

b. Antikonvulsan

a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten

Yang dimaksud dengan antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsn

yang diberikan hanya pada saat demam.

Profilaksis intermitten diberikan pada kejang demam dengan salah satu

faktor risiko, antara lain kelainan neurologi berat (misalnya palsy serebral),

berulang 4 kali atau lebih dalam setahun, usia <6bulan, bila kejang terjadi pada

suhu tubuh 39 derajat celcius dan apabila pada episode kejang demam

sebelumnya suhu tubuh meningkat dengan cepat (Guidelines, 2009)

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali peroral atau

rektal 0.5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan

>12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali.

Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu

diinformasikan pada orang tua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat

menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi (IDAI, 2016).

52
b. Pemberian obat antikonvulsan rumat

Indikasi pengobatan rumatan adalah kejang fokal, kejang lama >15 menit,

terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelumnya, atau sesudah kejang

misalnya pada palsi serebral, hidrosefalus hemiparesis. Dan perlu diperhatikan

bahwa kelainan neurologis yang tidak nyata misalnya keterlambatan

perkembangan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat, kejang fokal atau

fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai focus organic yang

bersifat fokal, pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan

edukasi untuk dilakukan pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu,

jika tidak berhasil/ orangtua khawatir dapat diberikan antikonvulsan rumat (IDAI,

2016)

Jenis antikonvulsan yaitu fenobarbital atau asam valproate setiap hari dan

efektif untuk menurunkan risiko kejang berulang. Pemakaian fenobarbital tiap hari

dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.

Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama

pada umur yang kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan

gangguan fungsi hati. Dosis asam valproate adalah 15-40mg/kg/hari dibagi dalam

2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis (American Academy of

Pediatrics, 1999)

Pengobatan diberikan selam 1 tahun, penghentian pengobatan rumat

untuk kejang demam tidak dibutuhkan tapering off namun dilakukan padaa saat

anak tidak demam (IDAI, 2016)

53
2.4.11 Prognosis Kejang Demam

a. Kecacatan atau kelainan neurologis

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan

sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental

dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.

Kelainan neurologis dapat terjadi pada kejang yang lama dan berulang, baik umum

maupun fokal (American of Pediatrics, 2011).

b. Kemungkinan berulang kejang demam

Kejang demam akan berulan kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko

berulang kejang demam adalah riwayat kejang demam atau epilepsy dalam

keluarga, usia kurang dari 12 bulan, suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius saat

kejang, interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya

kejang, dan apabila kejang demam pertama adalah kejang demam kompleks. Bila

seluruh faktor tersebut ada, kemungkinanberulang kejang demam adalah 80%,

sedangkan bila tidak ada hanya 10-15%

c. Faktor risiko epilepsi

Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari antara lain terdapat kelainan

neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama,

kejang demam kompleks, riwayat epilepsy pada orangtua atau saudara kandung,

dan kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam setahun.

Masing – masing meningkatkan 4-6% kemungkinan epilepsi dan kombinasi akan

meningkatkan 10-49% (IDAI, 2016)

54
d. Kematian

Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka

kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan

perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.

2.4.12 Edukasi pada orang tua tentang Kejang Demam

Yang diedukasikan terdahap orang tua yaitu meyakinkan orangtua bahwa

kejang demam mempunyai prognosis yang baik, memberitahu cara penanganan

kejang, memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali, pemberian

obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi harus

diingat adanya efek samping obat.

55
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Status epileptikus

Secara klasik, definisi dari status epileptikus yang telah digunakan yaitu

adalah kejang yang terjadi secara terus menerus selama lebih dari 5 menit, kejang

terjadi lebih dari 2 kali, dimana diantara periode dua kejang tersebut terdapat

gangguan pemulihan kesadaran (Loweinsten et al, 1999). Sedangkan untuk

batasan waktunya, para ahli membuat kesepakatan batasan waktu dari status

epilepticus yaitu adalah selama 30 menit (IDAI, 2016). Namun, definisi ini hanya

terbatas pada satu jenis status epilepticus saja, yaitu status epilepticus general

tonik klonik. Oleh karena itu pada tahun 2015, International League Against

Epilepsy (ILAE) mengajukan definisi yang melingkupi dari jenis status epileptikus

yang lainnya.

Faktor Resiko dari SE yaitu sangat berhubungan dengan etiologinya, pada

anak-anak penyebab utama dari SE adalah infeksi dengan demam yang

disebabkan dari proses ekstrakranium (52% dari semua kasus), dilanjutkan

dengan riwayat penyakit pada sistem saraf pusat (39% dari semua kasus), dan

terakhir oleh karena obat anti-kejang yang rendah (21%) (Sebastian Sanchez dan

Fred Nichon, 2016).

Prognosis dari status epileptikus pada anak memiliki tingkat mortalitas

yang cenderung rendah yaitu <5%. Penyebab utama dari munculnya mortalitas

56
adalah etiologi yang mendasari dari status epilepticus tersebut. Etiologi utama

yaitu acute symptomatic seizure (meningitis, trauma,dll) (Maytal et al, 1989). Hal

ini menimbulkan gejala sisa berupa, deficit neurologi permanen sebanyak 37% dari

jumlah kejadian, dan 48% disabilitas intelektual (IDAI,2016). Selain itu etiologi

buruk yang muncul pada usia 1 tahun pertama meningkatkan morbiditas dan

mortalitas pasien (Maytal et al, 1989).

3.1.2 Kejang demam

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta

didapatkan infeksi ekstrakranial. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 38°C

rektal atau di atas 37,8°C aksila dan kejang demam banyak terjadi pada waktu

anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5

tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita

kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan

kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22

bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benign. Angka

kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh

sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2% - 7%. Kejang

demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi

dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara

bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.

Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup

menkhawatirkan bagi orangtuanya.

57
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S. (2018). An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and

Epilepsy. Wisconsin Medical Journal, 103(1), pp.49-55.

Brophy, G., Bell, R., Claassen, J., Alldredge, B., Bleck, T., Glauser, T., LaRoche,

S., Riviello, J., Shutter, L., Sperling, M., Treiman, D. and Vespa, P. (2012).

Guidelines for the Evaluation and Management of Status

Epilepticus. Neurocritical Care, 17(1), pp.3-23.

Drislane, F. and Kaplan, P. (2018). Status epilepticus. Cham: Springer.

Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a

Simple Febrile Seizure. (2011). PEDIATRICS, 127(2), pp.389-394.

Ferro, M., Chin, R., Camfield, C., Wiebe, S., Levin, S. and Speechley, K. (2014).

Convulsive status epilepticus and health-related quality of life in children with

epilepsy. Neurology, 83(8), pp.752-757.

Handryastuti, S. (2007). Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis

dan Tata laksana, 9(2), pp 112-120.

Ismet, I. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 1(1), pp.41.

Lowenstein, D., Bleck, T. and Macdonald, R. (1999). It's Time to Revise the

Definition of Status Epilepticus. Epilepsia, 40(1), pp.120-122.

Mac, T., Tran, D., Quet, F., Odermatt, P., Preux, P. and Tan, C. (2007).

Epidemiology, aetiology, and clinical management of epilepsy in Asia: a

systematic review. The Lancet Neurology, 6(6), pp.533-543.

58
Maytal, J. (1989). Low Morbidity and Mortality of Status Epilepticus in

Children. American Academy of Pediatrics, 83(3), pp.323-329.

Meyer, P., Ducrocq, S., Carli, P. (2001). Pediatric neurologic emergencies. Current

Opinion in Critical Care, 7(2), pp.81-87.

Misra, U., Kalita, J. and Nair, P. (2008). Status Epilepticus in Central Nervous

System Infections: An Experience from a Developing Country. The American

Journal of Medicine, 121(7), pp.618-623.

Murthy, J., Jayalaxmi, S. and Kanikannan, M. (2007). Convulsive Status

Epilepticus: Clinical Profile in a Developing Country. Epilepsia, 48(12),

pp.2217-2223.

Newton, C. (2009). Status epilepticus in resource-poor countries. Epilepsia,

50(12), pp.54-55.

Ogutu, B., Newton, C., Crawley, J., Muchohi, S., Otieno, G., Edwards, G., Marsh,

K. and Kokwaro, G. (2002). Pharmacokinetics and anticonvulsant effects of

diazepam in children with severe falciparum malaria and convulsions. British

Journal of Clinical Pharmacology, 53(1), pp.49-57.

Riviello, J., Ashwal, S., Hirtz, D., Glauser, T., Ballaban-Gil, K., Kelley, K., Morton,

L., Phillips, S., Sloan, E. and Shinnar, S. (2006). Practice Parameter:

Diagnostic assessment of the child with status epilepticus (an evidence-based

review): Report of the Quality Standards Subcommittee of the American

Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology

Society. Neurology, 67(9), pp.1542-1550.

Sadarangani, M., Seaton, C., Scott, J., Ogutu, B., Edwards, T., Prins, A., Gatakaa,

H., Idro, R., Berkley, J., Peshu, N., Neville, B. and Newton, C. (2008).

59
Incidence and outcome of convulsive status epilepticus in Kenyan children: a

cohort study. The Lancet Neurology, 7(2), pp.145-150.

Sánchez, S. and Rincon, F. (2016). Status Epilepticus: Epidemiology and Public

Health Needs. Journal of Clinical Medicine, 5(8), p.71.

Scott, R., Lhatoo, S. and Sander, J. (2001). The treatment of epilepsy in developing

countries: where do we go from here?.World Health Organisation, 79 (4),

pp.344-351.

Singh, R., Stephens, S., Berl, M., Chang, T., Brown, K., Vezina, L. and Gaillard,

W. (2010). Prospective study of new-onset seizures presenting as status

epilepticus in childhood. Neurology, 74(8), pp.636-642.

Sirven, J. and Waterhouse, E. (2003). Management of status epilepticus. Am fam

Physician, 68(3), pp.469-576.

Sontheimer, H. (2008). A Role for Glutamate in Growth and Invasion of Primary

Brain Tumors. Journal of Neurochemistry, 105(2), pp.287-295.

Stafstrom, C. (1998). Back to Basics: The Pathophysiology of Epileptic Seizures:

A Primer For Pediatricians. Pediatrics in Review, 19(10), pp.342-351.

Trinka, E., Cock, H., Hesdorffer, D., Rossetti, A., Scheffer, I., Shinnar, S., Shorvon,

S. and Lowenstein, D. (2015). A definition and Classification of Status

Epilepticus - Report of the ILAE Task Force on Classification of Status

Epilepticus. Epilepsia, 56(10), pp.1515-1523.

Vezzani, A, et al. (2017). Infections, Inflammation, and Epilepsy. Acta

Neuropathologica, 131(2), pp.211-234.

60
Shelov, SP. (1998). The Complete and Authoritative Guide Caring for Your Baby

and Young Child Birth to Age 5. The American Academy of Pediatrics. 3rd

Edition., New York, Bantam Books, pp 600.

Soetomenggolo, TS, Ismael, S. (1999). Kejang demam. Buku Ajar Neurologi

Anak. Edisi ke – 1. Jakarta: BP IDAI; pp. 244-51.

Yunita, VE, Afdal. Syarif, I. (2016). Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan

Timbulnya Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di Poliklinik

Anak RS. DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 – Desember 2012.

Jurnal Kesehatan Andalas. 5(3).

61

Anda mungkin juga menyukai