Anda di halaman 1dari 11

Essay

Oleh : Didi Karyadi.,S.IP


(Kordinator Tim Pemetaan Sosial DPG Desa Kuala Sugihan, Kabupaten Banyuasin
Sumsel Tahun 2017 )

“ Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat desa dalam Kerangka Program Desa


Peduli Gambut di Badan Restorasi Gambut ( BRG ) Republik Indinesia ’’

A. Kondisi Umum dan Latar belakang Program DPG Badan Restorasi Gambut.

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi tahun 2015 merupakan peristiwa
yang luar biasa. Peristiwa ini memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan menimbulkan
kerugian negara mencapai 221 Triliun rupiah1 dan World Bank memperkirakan kerugian
tersebut senilai $16 Milyar2. Kebakaran tersebut banyak terjadi dalam areal perkebunan/hutan
monokultur, salah satunya perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada di lahan gambut.
Kerusakan hidrologi gambut merupakan salah satu pemicu lahan gambut mudah terbakar dan
sulit dipadamkan.

Dalam rangka percepatan pemulihan fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan
dan lahan, Presiden Republik Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut melalui
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016. Badan Restorasi Gambut yang selanjutnya
disingkat BRG bertugas mengkoordinasi dan memfasilitasi restorasi gambut pada tujuh
provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan dan Papua.
Penyelenggaraan upaya pemulihan ekosistem gambut yang rusak menjadi tanggung
jawab pemerintah cq. BRG. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Dalam menyelenggarakan
upaya memulihkan fungsi ekosistem gambut untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan
dan lahan serta dampak asap, BRG mempunyai tugas memfasilitasi dan mengkoordinasi
restorasi ekosistem gambut seluas 2 (dua) juta hektar.

1 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/20/nzms82359-bnpb-catat-kerugian-akibat-kebakaran-hutan-2015-rp-
221-triliun dilihat pada tanggal 20 Oktober 2016
2 http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis dilihat pada tanggal 20 oktober 2016
Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa dalam
menyelenggarakan tugas dan fungsinya, Badan Restorasi Gambut didukung dengan
perangkat organisasi yang terdiri dari: (1) Sekretariat Badan; (2) Deputi Bidang Perencanaan
dan Kerjasama; (3) Deputi Bidang Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan; (4) Deputi Bidang
Edukasi, Sosialiasi, Partisipasi dan Kemitraan; (5) Deputi Penelitian dan Pengembangan.

BRG mempunyai fungsi untuk pelaksanaan koordinasi dan penguatan kebijakan


pelaksanaan restorasi gambut, perencanaan, pengendalian dan kerja sama , pemetaan
kesatuan hidrologis gambut; penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar; penetapan
zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya; pelaksanaan konstruksi infrastruktur pembasahan
(rewetting) gambut dan segala kelengkapannya; penataan ulang pengelolaan areal gambut
terbakar; pelaksanaan sosialisasi dan edukasi restorasi gambut; pelaksanaan supervisi dalam
konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi; dan pelaksanaan fungsi
lain yang diberikan oleh Presiden.
Berdasarkan isu-isu strategis di internal dan eksternal BRG, lingkungan strategis BRG
dapat dipetakan menurut kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada. Dari hasil
analisis tersebut, disimpulkan bahwa sasaran strategis BRG termasuk meliputi kawasan
lindung dan kawasan budidaya dalam kesatuan hidrologis gambut agar dikelola secara
berkelanjutan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia dan lingkungan.

Badan Restorasi Gambut bertugas mencapainya tiga sasaran restorasi, yaitu: (1)
pemulihan hidrologi, vegetasi dan daya dukung sosial-ekonomi ekosistem gambut yang
terdegradasi; (2) perlindungan ekosistem gambut bagi penyangga kehidupan; (3) penataan
ulang pengelolaan [pemanfaatan] ekosistem gambut secara berkelanjutan. Dari tugas tersebut,
objek yang dikelola oleh BRG adalah Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).

Restorasi gambut adalah bagian dari pemulihan lingkungan hidup. Indonesia memiliki
hampir 15 juta hektar lahan gambut tropis. Dari luas itu, sebanyak 12,9 juta hektar berada di
tujuh provinsi yang menjadi prioritas restorasi gambut. Kerusakan ekosistem gambut pada
umumnya terjadi karena pembukaan dan pengeringan gambut. Akibatnya, lahan dan rawa
gambut menjadi rentan terbakar. Pada tahun 2015, kebakaran gambut mencapai 875 ribu
hektar. Jumlah ini kurang lebih 33% dari luas seluruh areal hutan dan lahan yang terbakar.
Sementara itu, ada sekitar 2,8 juta hektar kubah gambut yang telah dibuka dengan kanal-
kanal buatan. Areal gambut tipis kurang dari tiga meter dan tidak berkubah namun juga telah
mengalami pembukaan mencapai 3,1 juta hektar. Di luar itu masih ada 6,2 juta hektar kubah
gambut yang masih baik, karenanya perlu dilindungi.
Melihat pada luasnya areal gambut yang rusak atau terancam rusak itu, BRG
mengidentifikasi ada kurang lebih 2.492.527 hektar areal gambut rusak yang perlu
diprioritaskan restorasinya hingga tahun 2020. Pelaksanaan restorasi dilakukan melalui
beberapa cara. Di antaranya adalah penataan fungsi, pembasahan kembali melalui penyekatan
atau penimbunan kanal serta pembangunan sumur bor, penanaman kembali lahan gambut
dengan jenis-jenis tanaman yang ramah terhadap ekosistem gambut serta jenis-jenis tanaman
lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa-desa gambut. Dengan kegiatan tersebut
maka restorasi gambut dapat dilihat sebagai pelaksanaan kerangka pengamanan lingkungan
dalam pembangunan. Berbagai proyek pembangunan lain di dalam dan sekitar ekosistem
gambut harus sejalan dengan upaya restorasi gambut. Namun demikian, untuk memastikan
bahwa kegiatan restorasi gambut, khususnya di tingkat tapak, tidak menimbulkan keberatan
atau konflik akibat hilang atau berkurangnya hak dan akses masyarakat, diperlukan upaya
sistematis untuk melakukan mitigasi dampak sosial dari pelaksanaan restorasi itu. Upaya
inilah yang disebut dengan kerangka pengaman sosial (social safeguard).
Pengelolaan ekosistem gambut bertujuan untuk mencapai multi- manfaat, yaitu
manfaat ekonomi, sosial, serta manfaat ekologi. Mengacu pada tujuan itu, rumusan program
yang menjadi tanggung jawab BRG adalah Program Fasilitasi dan Koordinasi Restorasi
Gambut di 7 Provinsi. Sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program adalah
percepatan pemulihan ekosistem gambut di 7 provinsi untuk memberikan pemanfaatan yang
berkelanjutan bagi kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi. Upaya pencapaian sasaran
program, serta pencapaian indikator kinerja program akan dilaksanakan melalui lima
kegiatan. Setiap kegiatan menggambarkan pelaksanaan tugas dan fungsi dari masing-masing
kedeputian di lingkup BRG.

Berdasarkan kondisi di atas, untuk mencegah, memperbaiki, dan menjaga ekosistem


gambut Maka dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden
Nomor 1 Tahun 2016. Upaya restorasi gambut yang dilakukan haruslah melihat satu
Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) yang secara umum terdiri dari tanah gambut dan tanah
mineral yang berada diantara dua sungai (atau antara sungai dan laut). Ekosistem gambut
merupakan ekosistem yang rapuh sehingga pengelolaannya harus direncanakan dengan baik
dan hati-hati. Dalam proses pengelolaan tersebut, kesatuan hidrologi gambut tidak bisa
dipecah-pecah. Setiap orang atau komunitas yang berada di dalam atau di sekitar KHG atau
yang memiliki kepentingan di dalam KHG tersebut harus dilibatkan dalam pengelolaannya.
Restorasi pada lahan gambut yang telah rusak perlu dilakukan dengan perencanaan yang baik
dan hati-hati.
Untuk memperkuat upaya restorasi tersebut, diperlukan suatu basis data berupa sistem
tenurial masyarakat, kondisi sosial ekonomi dan tata kelola gambut masyarakat. Data ini
diharapkan dapat berguna bagi pengambil kebijakan terutama Badan Restorasi Gambut,
Pemerintah Pusat, Kabupaten dan Desa dalam merencanakan restorasi gambut.
Program Desa Peduli Gambut (DPG) adalah kerangka program untuk intervensi
pembangunan pada desa-desa/kelurahan di dalam dan sekitar Kesatuan Hidrologis Gambut
(KHG), yang menjadi target restorasi gambut. DPG bukan program yang berdiri sendiri tetapi
mengkoordinasi dan memfasilitasi program-program pembangunan di lokasi-lokasi prioritas
restorasi gambut. Desa Peduli Gambut sebagai kerangka penyelaras untuk program-program
pembangunan yang ada di perdesaan gambut, khususnya di dalam dan sekitar areal restorasi
gambut. Pendekatan yang digunakan adalah merajut kerjasama antar desa yang ada dalam
satu bentang alam Kesatuan Hidrologis Gambut. Pembentukan kawasan perdesaan gambut
menjadi pintu masuk bagi perencanaan pengelolaan gambut oleh desa-desa tersebut.
Program Desa Peduli Gambut meliputi kegiatan fasilitasi pembentukan kawasan perdesaan,
perencanaan tata ruang desa dan kawasan perdesaan, identifikasi dan resolusi konflik,
pengakuan dan legalisasi hak dan akses, kelembagaan untuk pengelolaan hidrologi dan lahan,
kerja sama antar desa, pemberdayaan ekonomi, penguatan pengetahuan lokal dan
kesiapsiagaan masyarakat desa dalam menghadapi bencana kebakaran gambut.
Pendekatan DPG adalah pembangunan desa berbasis lansekap ekosistem gambut.
DPG bekerja pada kawasan-kawasan perdesaan di dalam KHG. Desa-desa yang berdekatan
akan dirajut kerja samanya dalam sebuah kawasan perdesaan. Kawasan perdesaan gambut
yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam,
perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi berbasis paludikultur lahan/rawa gambut.

B. Kondisi ruang dan wilayah Gambut dalam upaya restorasi.

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya
penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di
atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi
dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah/ tergenang
tersebut. Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang
umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase. Beberapa ahli
mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa definisi yang sering
digunakan sebagai acuan antara lain: Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan
organik lebih dari 65 % (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen,
1978).
Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik
dibandingkan dengan ekosistem-ekosistem lainnya. Itulah sebabnya, setiap pelaku
pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus memahami sifat-sifat unik ini agar
program-program yang dikembangkan bersama masyarakat tidak berujung pada kerusakan
lahan gambut. Sifat unik gambut dapat dilihat dari sifat kimia dan fisiknya. Gambut memiliki
warna yang bervariasi pula. Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau
kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap
(Nurhayati dkk, 1986) sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna
gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin
berwarna gelap. Kebakaran di tanah gambut sangat sulit untuk dipadamkan karena dapat
menembus di bawah permukaan tanah . Bara api yang dikira sudah padam ternyata masih
tersimpan di dalam tanah dan menjalar ke tempat-tempat sekitarnya tanpa disadari. Bara di
lahan gambut dalam biasanya hanya dapat dipadamkan oleh air hujan yang lebat. Oleh sebab
itu, kebakaran gambut harus dicegah dengan cara tidak membakar lahan, tidak membuang
bara api sekecil apapun seperti puntung rokok secara sembarangan terutama di musim
kemarau, dan menjaga kelembaban tanah gambut dengan tidak membuat drainase secara
berlebihan.

Pemberdayaan masyarakat di lahan gambut harus dapat meningkatkan kemampuan


masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi dan sumberdaya alam
tanpa merusak lingkungan. Keterbatasan daya dukung ekonomi lahan gambut dari sisi
pertanian, harus menjadi tantangan dalam mencari solusi agar masyarakat memiliki pilihan
sumber penghidupan yang layak dan ramah lingkungan. Dengan demikian, peningkatan
kemampuan ekonomi juga harus disertai dengan peningkatan kesadaran terhadap kelestarian
lingkungan. Tanpa hal itu, peningkatan kondisi ekonomi justru dapat berbalik menjadi faktor
perusak karena dapat menjadi modal bagi sebagian masyarakat yang tidak sadar untuk lebih
banyak lagi melakukan kerusakan lingkungan.
Masyarakat di lahan gambut hidup dalam ekosistem yang rapuh. Namun, ekosistem
tersebut memiliki peran penting bagi lingkungan, terutama dalam mengendalikan perubahan
iklim dunia. Oleh karenanya, diperlukan konsep dan metode pemberdayaan bagi masyarakat
di lokasi tersebut yang berorientasi pada upaya konservasi lahan gambut. Tujuannya, agar
ekosistem yang rapuh ini dapat tetap menopang kehidupan masyarakat secara layak dan
berkesinambungan, sementara masyarakat dengan penuh kesadaran mampu menjaganya dari
proses pengrusakan. Artinya, peningkatan keberdayaan masyarakat harus disertai dengan
peningkatan kesadaran dan kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan. Mengapa
demikian? Karena masyarakat diharapkan tidak terpancing pada kegiatan-kegiatan yang
bersifat destruktif.

C. Pendampingan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Program DPG dengan


pendekatan partisipatif.
Restorasi gambut akan berjalan baik jika berpijak pada partisipasi masyarakat. Dengan
demikian, restorasi gambut tidak boleh menghilangkan hak, mengurangi akses ataupun
merugikan masyarakat yang ada di sekitar kegiatan restorasi. Untuk itu, mendahului
pelaksanaan restorasi gambut diperlukan kerangka pengaman sosial. Dokumen ini merupakan
pedoman tentang pelaksanaan Kerangka Pengaman Sosial yang harus dirujuk setiap pihak
yang akan melaksanakan kegiatan restorasi gambut di tingkat tapak. Pelaksana restorasi
gambut meliputi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; masyarakat hukum adat atau
masyarakat lokal; instansi Pemerintah atau pemerintah daerah; atau pihak ketiga yang
ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau Pemerintahan Daerah.

Konsep pemberdayaan dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an yang bergulir
dan mengalami berbagai penyesuaian. Konsep ini berasal dari pemikiran masyarakat Barat
yang lahir karena adanya ketimpangan kekuasaan, dimana sebagian manusia sangat berkuasa
terhadap sebagian lainnya.(homo homini lupus). Menurut Priono dan Pranarka (1997),
konsep pemberdayaan perlu disesuaikan dengan alam pikiran dan budaya Indonesia.
Pemberdayaan merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi persoalan kemiskinan,
ketidakberdayaan, dan kerentanan masyarakat lemah. Konsep Pemberdayaan Masyarakat di
lahan gambut ditujukan untuk membangun kesadaran, motivasi, kompetensi, dan
kemandirian masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dan pelestarian lingkungan.
Aktivitas tersebut harus merupakan tindakan sistematis dan terencana yang dimaksudkan
untuk mengembangkan kapasitas dan kompetensi masyarakat agar mampu menolong dirinya
sendiri sehingga secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus mampu
menjaga lingkungannya dengan penuh kesadaran.

Pemberdayaan masyarakat memerlukan sebuah “pendampingan”, yaitu kegiatan


memfasilitasi proses pembelajaran secara nonformal untuk mencapai keberdayaan
masyarakat. Selama proses pendampingan, masyarakat belajar, berlatih sambil bekerja (on
the job training), dan berlatih terus-menerus (on going process) seiring dengan perkembangan
kegiatan pemberdayaan. Dalam proses tersebut mereka akan berkembang, semakin berdaya,
dan memperoleh pengetahuan serta keterampilan dari pengalamannya.

Tujuan pendampingan pada dasarnya mencakup 2 elemen pokok, yaitu tumbuhnya


kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat. Kemandirian merupakan kemampuan untuk
pelepasan diri dari keterasingan, atau kemampuan untuk bangkit kembali pada diri manusia
yang mungkin sudah hilang karena adanya ketergantungan, exploitasi, dan sub ordinasi.
Kemandirian merupakan cermin adanya kepercayaan seseorang pada kemampuan sendiri
yang menjadi suatu kekuatan pendorong untuk kreativitas manusia, otonomi untuk
mengambil keputusan, bertindak berdasarkan keputusan sendiri, dan memilih arah tindakan
yang tidak terhalang oleh pengaruh luar seperti keinginan orang lain. Kemandirian dapat
dikategorikan menjadi tiga yaitu kemandirian material, intelektual, dan pembinaan.
Kemandirian material tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri.
Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar
dan cadangan serta mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian
intelektual adalah kemampuan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat
yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus dari
luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Kemandirian pembinaan adalah kemampuan otonom
masyarakat untuk membina diri mereka sendiri, menjalani, serta mengelola tindakan kolektif
agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.

Partisipasi merupakan proses aktif dalam pelaksanaan kegiatan dan pengambilan


keputusan yang dibimbing oleh cara berpikir masyarakat sendiri, sehingga mereka dapat
melakukan kontrol efektif. Partisipasi aktif merupakan proses pembentukan kekuatan untuk
keluar dari masalah yang bertolak dari kemampuan memutuskan, bertindak, dan berefleksi
atas tindakan mereka sebagai subyek yang sadar. Berbeda dengan partisipasi aktif, dalam
partisipasi pasif, masyarakat dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan, dirancang, dan
dikontrol oleh orang lain.
Pendamping dalam program-program pengembangan masyarakat atau sering pula
disebut “Community Development (CD) worker” memiliki fungsi yang kompleks, yakni
sebagai edukator, motivator, fasilitator, dinamisator, mediator, dan konselor. Peran mana yang
perlu lebih ditonjolkan sangat bergantung dari kondisi masyarakat. Namun, dalam segala
peran yang dimainkannya, pendamping harus memposisikan dirinya sejajar atau setara
dengan masyarakat. Beberapa fungsi pendamping sebagai berikut:

1. Fungsi edukator
Inti pendampingan adalah mendidik masyarakat dengan cara yang tidak otoriter,
dengan memberikan ruang gerak bagi berkembangnya pemikiran dan kreativitas
masyarakat untuk secara aktif belajar dan berlatih atas dasar kesadaran yang
tumbuh dari dalam. Pada saat memotivasi masyarakat, pendamping sedang
melatih pola pikir, kesadaran, dan kepercayaan diri masyarakat. Ketika sedang
menjembatani hubungan antara masyarakat dengan instansi teknis, lembaga
keuangan, dan mitra usaha, pendamping sedang melatih masyarakat untuk
memanfaatkan potensi layanan pemerintah dan melatih kemampuan masyarakat
dalam menjalin kerja sama. Semua itu dilakukan agar pada saatnya masyarakat
mampu secara mandiri memanfaatkan seluruh potensi yang ada bagi
pengembangan dirinya. Kemudian pendamping secara perlahan dan terencana
akan menyerahkan pada masyarakat untuk mengorganisir diri dalam menghadapi
permasalahannya.
2. Fungsi motivator
Sebagai motivator, pendamping berperan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan diri masyarakat. Pendamping memotivasi
masyarakat untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang direncanakan,
seperti melakukan pengembangan usaha, pelestarian lingkungan, membangun
kelompok, memupuk modal, menabung, dan sebagainya. Karena itu, pendamping
harus peka terhadap kondisi dan karakter masyarakat. Kapan masyarakat
membutuhkan motivasi sangat tergantung pada kepekaan dan kemampuan
menangkap kondisi masyarakat secara tepat. Tidak jarang pendamping
menghadapi daya tolak yang tinggi dari masyarakat, karena ia tidak mampu
menangkap sinyal-sinyal yang tepat untuk memotivasi masyarakat. Belum lagi
dibarengi dengan teknik yang tidak tepat pula.
3. Fungsi konselor
Dalam hal-hal tertentu, masyarakat akan berkonsultasi dan meminta bimbingan
pendamping. Misalnya dalam hal mengelola kelompok, melakukan aktivitas
usaha, atau melakukan pekerjaan. Sejauh menguasai materinya, pendamping dapat
langsung membimbing masyarakat. Apabila permasalahan itu berada di luar
kapasitas atau kompetensi pendamping, maka ia pun perlu berendah hati dan
memfasilitasi masyarakat untuk bisa memperoleh jawaban, misalnya dengan
berkonsultasi dengan pihak lain atau menghadirkan seorang atau beberapa
narasumber.

Keberhasilan program desa peduli gambut tidak terlepas dari kompetensi Fasilitator
sebagai pendamping itu sendiri. dapat dilihat dari dua sisi yaitu atitude atau sikap serta
penguasaan ilmu dan keterampilan. Sikap seorang Fasilitator harus mampu menumbuhkan
motivasi dan meraih kepercayaan masyarakat. Untuk itu, Fasilitator sebagai pendamping
harus mempunyai sifat dasar dan kemampuan sebagai berikut:

a. . Jujur dan ikhlas


Kesuksesan pertama seorang pendamping adalah memperoleh kepercayaan dari
komunitas dampingannya. Untuk memperoleh kepercayaan itu, pendamping harus
memiliki sifat dasar jujur dan ikhlas dalam mendampingi masyarakat.
Pendamping harus menunjukkan komitmennya untuk kegiatan pemberdayaan,
misalnya dengan bersedia hadir dalam pertemuan sesuai waktu yang disepakati
bersama warga dan bersedia membagi pengalaman suksesnya kepada masyarakat.

b. Ramah, tapi tegar dan tegas Di lapangan ,


Fasilitator sebagai pendamping endamping akan dihadapkan pada masyarakat
yang memiliki perilaku dan sifat beraneka ragam. Dalam banyak kasus,
masyarakat akan banyak bertanya, curiga, bahkan tak jarang menolak kedatangan
pendamping. Penolakan biasanya dilakukan oleh sebagian orang yang merasa
terancam kepentingannya oleh aktivitas pendamping. Para pelaku illegal loging
biasanya curiga terhadap pendamping yang membawa bendera pelestarian
lingkungan. Para tengkulak (biasa juga disebut pengijon, rentenir, atau bang
plecit) merasa terancam dengan kehadiran pendamping, karena bisa saja
masyarakat meninggalkan jasa mereka. Kondisi semacam ini, biasanya ditemui
pendamping selama proses orientasi dan penyadaran, ketika masyarakat belum
memahami maksud dan manfaat pendampingan. Kecurigaan dan penolakan dalam
bentuk sikap maupun perilaku dapat menyebabkan pendamping yang tidak tegar
mengalami keputusasaan. Bila ia tidak sabar dalam menghadapi persoalan
semacam itu, ketegangan-ketegangan pun akan muncul. Sifat ramah dan sabar
terhadap masyarakat akan memudahkan pendamping untuk berkomunikasi,
bersosialisasi, dan melayani pertanyaan masyarakat. Sedangkan ketegaran akan
menjadikan pendamping tidak cepat putus asa, sehingga terus-menerus mencari
solusi dan kiat-kiat tertentu untuk menyadarkan masyarakat. Dalam kondisi
semacam itu, improvisasi pendamping untuk terus mengembangkan teknik-teknik
penyadaran dan penumbuhan motivasi sangat diperlukan. Terkadang kesabaran
pendamping “dimanfaatkan” oleh masyarakat untuk tidak mematuhi komitmen.
Contohnya, masyarakat sudah berjanji untuk menanam tanaman tahunan sebelum
memperoleh bantuan modal stimulan. Sering kali yang terjadi justru masyarakat
sudah meminta modal, sementara tanaman belum juga ditanam. Disini ketegasan
pendamping diuji. Pendamping harus tegas agar kebiasaan masyarakat yang tidak
mematuhi komitmen tersebut tidak terulang dan ditiru oleh yang lain.
c. Mengenali dan menghormati adat-istiadat setempat.
Norma atau adat-istiadat yang berkembang di masyarakat merupakan warisan
leluhur dan sudah berkembang secara turuntemurun. Beberapa komunitas
cenderung mensakralkan secara fanatik beberapa norma sehingga mudah
tersinggung apabila orang luar tidak menghormatinya. Pendamping perlu
mengenali normanorma semacam ini agar tidak terjadi kesalahpahaman di
kemudian hari. Sebagai contoh, masyarakat Dayak biasa membuat ritual bagi
anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Mereka meyakini bahwa roh
keluarganya masih ada di sekitar lingkungan mereka. Maka mereka pun
“mengantarnya” ke “gunung lumut” dengan sebuah upacara khusus. Mereka
melakukan selamatan bagi orang yang meninggal karena jatuh dari pohon atau
musibah lain. Mereka juga membuat upacara penerimaan tamu dengan berbagai
tarian dan tabuh-tabuhan. Dengan mengenali dan sekaligus menghormati norma
dan budaya masyarakat, dengan sendirinya pendamping akan memperoleh simpati
dari masyarakat. Selama tinggal di lokasi, pendamping harus dapat menyesuaikan
diri dengan gaya hidup masyarakat. Sejauh tidak melanggar larangan agama,
kebiasaaan sehari-hari sedapat mungkin mendekati pola yang digunakan oleh
masyarakat. Perbedaan mencolok yang menimbulkan kesan ekslusif hanya akan
menjauhkan pendamping dari masyarakat. Artinya, pendamping juga harus dapat
memilih waktu dan frekuensi interaksi yang paling tepat dan sesuai dengan siklus
kehidupan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai