Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

Setiap tahun lebih dari 2 juta anak di dunia meninggal karena infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), khususnya pneumonia. Menurunkan angka kematian pada
anak melalui penurunan angka kematian karena infeksi saluran napas akut, dalam
hal ini pneumonia, menjadi prioritas di dunia. Menurut laporan Badan Kesehatan
Dunia (World Health Organization/WHO), hampir 1 dari 5 balita di negara
berkembang meninggal disebabkan oleh pneumonia.1
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan intertisial. Klasifikasi pneumonia dibagi menjadi 3 yaitu berdasarkan klinis
dan epidemiologisnya, berdasarkan kuman penyebab dan berdasarkan predileksi
infeksi.2,3
Berdasarkan klinis dan epidemiologisnya, pneumonia dibagi menjadi 4,
Community Acquired Pneumonia (CAP) yaitu pneumonia yang didapat dari
masyarakat, Hospital Acquired Pneumonia yaitu pneumonia yang didapat di rumah
sakit, pneumonia aspirasi yaitu pneumonia yang terjadi karena masuknya benda
asing dalam saluran pernapasan dan pneumonia pada penderita imunokompromis
yaitu pneumonia yang terjadi pada penderita dengan pertahanan tubuh yang
menurun.3
Di negara maju seperti Amerika, insiden CAP adalah 12 kasus per 1000
orang. Sedangkan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, CAP menduduki peringkat
keenam dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat pertahun. Angka kematian
CAP yang dirawat inap berkisar antara 20-35%.3
Beberapa faktor resiko yang menyebabkan peningkatan insidensi
pneumonia pada anak adalah defisit imunologi, gizi buruk, adanya saudara serumah
yang mengalami batuk dan kamar tidur yang padat penghuninya.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Bayi Prematur
a. Definisi bayi prematur
Menurut WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia
kehamilan minggu ke-37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). The
American Academy of Pediatric, mengambil batasan 38 minggu untuk
menyebut prematur. Bayi prematur adalah bayi yang lahir di bawah dari 37
minggu atau berat bayi kurang dari 2.500 gram (Manuaba, 2008). Bayi
prematur merupakan bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang atau sama
dengan 37 minggu, tanpa memperhatikan berat badan lahir (Wong, 2008).
Bayi prematur adalah bayi yang lahir setelah 24 minggu dan sebelum 37
minggu kehamilan, dengan berat badan 2500 gram atau kurang saat lahir,
terlepas dari usia kehamilan tepat atau dibawah 37 minggu (Brooker, 2008).
Secara patofisiologis menurut Nelson (2010), bayi BBLR ini berhubungan
dengan usia kehamilan yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu
juga disebabkan dismaturitas. Bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38
minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil dari masa kehamilannya,
yaitu tidak mencapai 2.500 gram.

II. EPIDEMIOLOGI
Menurut UNICEF dan WHO (tahun 2006), pneumonia merupakan pembunuh
anak paling utama yang terlupakan (major “forgotten killer of children”).
Pneumonia merupakan penyebab kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Setiap tahun, lebih dari 2
juta anak meninggal karena pneumonia, berarti 1 dari 5 orang balita meninggal di
dunia.Pneumonia merupakan penyebab kematian yang paling sering, terutama di
negara berkembang dengan angka kematian tinggi. Hampir semua kematian akibat
pneumonia (99,9%), terjadi di negara berkembang dan kurang berkembang (least

2
developed). Jumlah kematian tertinggi terjadi di daerah Sub Sahara yang mencapai
1.022.000 kasus per tahun dan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun.
Diperkirakan setiap tahun lebih dari 95% kasus baru pneumonia terjadi di negara
berkembang. Menurut laporan WHO, lebih dari 50% kasus pneumonia berada di
Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa tiga per empat kasus
pneumonia pada balita di seluruh dunia berada di 15 negara. Indonesia merupakan
salah satu diantara ke 15 negara tersebut dan menduduki tempat ke-6 dengan jumlah
kasus sebanyak 6 juta. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dari Departemen
Kesehatan tahun 1992, 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa pneumonia mempunyai
kontribusi besar terhadap kematian bayi dan anak. Sedangkan pada penelitian
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia menduduki tempat ke-2
sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat ke-
3 sebagai penyebab kematian pada neonatus.1

III. ETIOLOGI

IV. KLASIFIKASI
1) Berdasarkan klinis dan epidemiologis9
 Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
 Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
 Pneumonia aspirasi
 Pneumonia pada penderita Immunocompromised
pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.

2) Berdasarkan bakteri penyebab9


 Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.

3
 Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
 Pneumonia virus
 Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)

3) Berdasarkan predileksi infeksi9


 Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
 Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
 Pneumonia interstisial

4) Klasifikasi pneumonia (berdasarkan WHO):9


 Bayi kurang dari 2 bulan
o Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
o Pneumonia sangat berat tidak mau menetek/minum, kejang, letargis,
demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler
 Anak umur 2 bulan-5 tahun
o Pneumonia ringan: napas cepat
o Pneumonia berat: retraksi
o Pneumonia sangat berat tidak dapat minum/makan,kejang, letargis,
malnutrisi.

V. PATOGENESIS
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Dalam keadaan normal saluran

4
respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru
terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan
barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier
anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan
aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk,
pembersihan ke arah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang
terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated

immunity.10

Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami


gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah.
Inokulasi patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut
pada penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya.10
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat
patchy dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa
kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi
awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular.
Sejumlah kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. . Bila
proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi
yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik
parsial maupun total.10
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen,
kadang-kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses
pneumonia tergantung dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas
penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme
pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan
dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung
opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi
imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag
alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan
komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena

5
bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme
ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas
fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi
respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan
edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena
pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari
alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus ini
akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri
dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini
secara histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi merah).11
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis
aktif oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin
melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek
sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya
struktur seluler paru.11
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul
dan lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan
membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi
keterlibatan instertitial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan
epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru

minimal.10

Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan


jaringan disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman.
Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang
terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari
fibrinogen, fibronektin, kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari
Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda
pula. dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan
dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh penjamu, melokalisir infeksi,
menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang
mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus

6
aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi
dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan Staphylococcus
aureus yang memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau clumping factor
akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen
dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan
abses, pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan membentuk
beberapa enzim seperti catalase (meng-nonaktifkan hidrogen peroksida,
meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penicillinase atau ß lactamase
(mengnonaktifkan penisilin pada tingkat molekular dengan membuka cincin beta

laktam molekul penisilin) dan lipase. 10

Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi


akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat
gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara
meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat
takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan
ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang
disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya sehingga
terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu dengan berkurangnya
volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan mengganggu
proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat terjadinya

hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.12

VI. DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Gejala pneumonia bervariasi tergantung pada umur penderita dan penyebab


infeksinya. Pneumonia karena infeksi bakteri biasanya menyebabkan anak sakit
berat mendadak dengan demam tinggi dan napas cepat. Infeksi karena virus
umumnya lebih gradual dan bisa memburuk setiap saat. Gejala - gejala yang sering
ditemui pada anak dengan pneumonia adalah batuk yang awalnya kering kemudian
menjadi produktif dengan dahak yang purulen bahkan bisa berdarah, napas cepat
dan sulit bernapas, demam, menggigil, sakit kepala, nafsu makan hilang, lemah dan

7
mengik. Balita yang menderita pneumonia berat bisa mengalami kesulitan bernafas,
sehingga dadanya bergerak naik turun dengan cepat atau tertarik ke dalam saat
menarik napas/inspirasi yang dikenal sebagai “lower chest wall indrawing”. Gejala
pada anak usia muda bisa berupa kejang, kesadaran menurun, suhu turun
(hipotermia), tidak bereaksi (letargi), nyeri kepala, nyeri abdomen, minum
terganggu dan disertai muntah.13

2. Pemeriksaan fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok
umur tertentu. Pada neonates sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada,
grunting dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.
Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, demam dan
irritable.
Pada usia anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi
dinding dada. Pada kelompok anak sekolahan dan remaja, dapat dijumpai demam,
batuk (non produktif / produktif) nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pada semua kelompok umur akan dijumpai adanya napas cuping hidung.
Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernapasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar, tidak ditemukan pada bayi. Gejala
lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vocal fremitus menurun,
suara napas menurun, dan terdengar fine crackles (ronki basah halus) di daerah yang
terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri dada. Bila berat gerakan dada
menurun waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki fleksi.
Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.13

8
3. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan
untuk membantu menentukan pemberian antibiotik
2) Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang
baik direkomendasikan dalam tatalaksana anak dengan pneumonia yang
berat.
3) Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan,
tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan
pada setiap anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.
4) Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi
antigen virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia.
5) Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika
fasilitas tersedia) untuk penegakkan diagnosis dan menentukan mulainya
pemberian antibiotik.
6) Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase akut
lain tidak dapat membedakan infeksi viral dan bakterial dan tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.
7) Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan
riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa.
8) Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.9,13

b) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto thorax direkomendasikan pada anak dengan pneumonia


yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan. 2 Pada
Foto thorax, bagian paru yang terkena menunjukkan adanya peningkatan densitas
dengan eksudat dan cairan inflamasi yang menempati ruang alveolus. Eksudat
alveolar menggambakan gambaran perselubungan. Udara yang tetap mengisi

9
bronkus yang terlibat tampak sebagai lusensi berbentuk garis (konsolidasi dengan
bronkogram udara). Konsolidasi dapat menetap, seringkali setelah gejala pasien
membaik.14,15

Gambar 3. Gambaran radiologi pneumonia12

c) Pemeriksaan lain
Pada setiap anak yang dirawat karena pneumonia, seharusnya dilakukan
pemeriksaan pulse oxymetri.2

VII. PENATALAKSANAAN
1) Kriteria Rawat Inap
a. Bayi:
 Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
 Frekuensi napas >60 x/menit
 Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
 Tidak mau minum/menetek
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah
b. Anak:
 Saturasi oksigen <92%, sianosis
 Frekuensi napas >50 x/menit
 Distres pernapasan
 Grunting
 Terdapat tanda dehidrasi

10

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

2) Tatalaksana umum

Pasien dengan saturasi oksigen ≤92% pada saat bernapas dengan udara
kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
 Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat
 Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien dan mengontrol batuk
 Nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance
 Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya
setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.9

3) Medikamentosa
Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan sehingga
pemberian antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan pola kuman
tersering yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae.
Pemberian antibiotik sesuai dengan kelompok umur. Untuk bayi di
bawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan aminogikosida. Untuk usia
≥3 bulan, ampisilin dipadu dengan kloramfenikol menupakan obat pilihan
pertama. Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema, antibiotik
pilihan adalah golongan sefalosporin.
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga
penyebab pneumonia adalah S. aureus, kloksasilin dapat segera diberikan.
Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau
vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokok adalah 3-4 minggu. 12

4) Rekomendasi UKK Respirologi

11
Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
 Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
 >2 bulan:
o Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan
dapat ditambahkan kloramfenikol
o Lini kedua Seftriakson

Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.9

5) Nutrisi
 Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT)
atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat
menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran lubang
hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran
yang terkecil.
 Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi hormon antidiuretik.9

6) Kriteria pulang
 Gejala dan tanda pneumonia menghilang
 Asupan per oral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
 Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.9

VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi :
 Efusi pleura.

12
 Empiema.
 Abses Paru.
 Pneumotoraks.
 Gagal napas.
 Sepsis.9

IX. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis baik tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang kuat serta adekuat.3

X. PENCEGAHAN
 Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
 Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini
masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitasnya. Pemberian vaksin
tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut,
penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah >2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi
yaitu hipersensitivitas tipe 3.3

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah


vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae type
b) dan Pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan
campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh
WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah kematian
1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak negara
yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.
1. Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
campak. Penyakit ini dapat dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan

13
sendirinya, namun dapat dikatakan berat dengan berbagai komplikasi
seperti pneumonia yang bahkan dapat mengakibatkan kematian, terutama
pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem imun. Komplikasi
pneumonia yang timbul pada anak yang sakit campak biasanya berat.
Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan memberikan
vaksinasi dapat menurunkan kematian akibat pneumonia. Sejak 40 tahun
lalu telah ada vaksin campak yang aman dan efektif, cakupan imunisasi
mencapai 76%, namun laporan tahun l2004 menunjukkan penyakit campak
masih menyerang 30 – 40 juta anak.
2. Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus
hari. Penyakit ini masih sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi
bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi terhadap penyakit ini sudah lama
masuk ke dalam program imunisasi nasional di Indonesia, diberikan dalam
sediaan DTP, bersama difteri dan tetanus. Pada negara yang cakupan
imunisasinya rendah, angka kematian masih tinggi dan mencapai 295.000
– 390.000 anak pertahun.
3. Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b
(Hib) merupakan penyebab pneumonia dan radang otak (meningitis) yang
utama. Diduga Hib mengakibatkan penyakit berat pada 2 sampai 3 juta anak
setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih dari 10 tahun, namun
penggunaannya masih terbatas dan belum merata. Pada beberapa negara,
vaksinasi Hib telah masuk program nasional imunisasi, tapi di Indonesia
belum. Di negara maju, 92% populasi anak sudah mendapatkan vaksinasi
Hib. Di negara berkembang, cakupan mencapai 42% sedangkan di negara
yang belum berkembang hanya 8% (2003). Hal ini dimungkinkan karena
harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO
menganjurkan agar Hib diberikan kepada semua anak di negara
berkembang.
4. Vaksin Pneumococcus

14
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama pneumonia pada
anak di negara berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia
untuk anak usia diatas 2 tahun dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus
untuk bayi dan anak dibawah 3 tahun sudah tersedia, yang dikenal sebagai
pneumococcal conjugate vaccine (PCV). Hasil penelitian di Amerika
Serikat setelah penggunaan vaksin secara rutin pada bayi, menunjukkan
penurunan bermakna kejadian pneumonia pada anak dan keluarganya
terutama para lansia. Saat ini yang beredar adalah vaksin PCV 7, artinya
vaksin mengandung 7 serotipe bakteri pneumokokus dan dalam waktu dekat
akan tersedia vaksin PCV 10. Hasil penelitian di Gambia (Afrika), dengan
pemberian imunisasi PCV 9 terjadi penurunan kasus pneumonia sebesar
37%, pengurangan penderita yang harus dirawat di rumah sakit sebesar
15%, dan pengurangan kematian pada anak sebesar 16%. Hal ini
membuktikan bahwa vaksin tersebut sangat efektif untuk menurunkan
kematian pada anak karena pneumonia.

15

Anda mungkin juga menyukai