Anda di halaman 1dari 53

TEXT BOOK READING

EPILEPSI

Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Saraf RSUD Prof. Dr Mragono
Periode 16 Oktober – 23 Desember 2017

Pembimbing :
Dr. Tutik Sp.S

Disusun oleh :
Niswati Handayani
1710221024

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN


NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


EPILEPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Departemen Saraf RSUD Prof. Dr Margono

Oleh :

Niswati Handayani
1710221021

Purwokerto, Juli 2018


Telah dibimbing dan disahkan oleh :
Pembimbing

(dr. Tutil, Sp.S)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga Text Book Reading (TBR) ini telah berhasil diselesaikan. TBR ini tidak
akan terselesaikan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak terkait yang ikut serta
membantu dalam penyelesaian TBR ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Tutik Sp.S, selaku pembimbing
yang sabar dalam membimbing dan memberikan pengarahan serta mengorbankan
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan, serta koreksi
demi tersusunnya TBR ini, serta semua pihak terkait yang telah membantu proses
pembuatan TBR ini.
Penulis menyadari TBR ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis
mohon maaf jika terdapat kekurangan. Penulis berharap TBR ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Purwokerto, Juli 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i


HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….... 3


II.1 Definisi.................................................................................................. 3
II.2 Epidemiologi …..…..………………………………………………... 9
II.3 Klasifikasi ... ……....………………..……...……………………….... 10
II.4 Etiologi …...……………………………………….………………… 10
II.5 Patofisiologi ……………………………………..………………....... 11
II.6 Manifestasi Klinis .............................. ……………………………….. 12
II.7 Diagnosis ……………………………………………………............... 13
II.8 Tatalaksana ……………………………………………………............ 17
II.9 Prognosis ...............................................................................................
II.10 Pencegahan ............................................................................................
BAB III KESIMPULAN ……….………………………………………........ 23

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...... 25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa


hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini
dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik. Haid yang tidak
teratur pada masa 3-5 tahun setelah menars dan pramenopause (3-5 tahun
menjelang menopause) merupakan keadaan yang lazim dijumpai. Tetapi pada masa
reproduksi (umur 20-40 tahun), haid yang tidak teratur bukan merupakan keadaan
yang lazim, karena selalu dihubungkan dengan keadaan abnormal. Perdarahan
abnormal dari uterus tanpa disertai kelainan organik, hematologik, melainkan hanya
merupakan gangguan fungsional disebut sebagai perdarahan uterus disfungsional.

Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam


bentuk akut dan kronis.1,3 Sedangkan secara kausal perdarahan uterus
disfungsional mempunyai dasar ovulatorik (10%)k dan anovulatorik (70%).
Perdarahan uterus disfungsional akut umumnya dihubungkan dengan keadaan
anovulatorik, tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis dapat terjadi pula pada
siklus anovulatorik. Walaupun ada ovulasi tetapi pada perdarahan uterus
disfungsional anovulatorik ditemukan umur korpus luteum yang memendek,
memanjang atau insufisiensi. Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik,
akibat tidak terbentuknya korpus leteum aktif maka kadar progesteronnya rendah
dan ini menjadi dasar bagi terjadinya perdarahan.
Di Amerika serikat dan inggris, perdarahan uterus disfungsional merupakan
10% dari kunjungan rumah sakit, dan 90% dari kasus perdarahan uterus abnormal.
Berdasarkan golongan usia 3-4% perdarahan uterus disfungsional terjadi pada
remaja. Dalam hubungannya dengan siklus haid, perdarahan uterus disfungsional
lebih sering ditemukan pada siklus anovulatorik yaitu sekitar 85-90%.
Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan perdarahan
uterus disfungsional ini secara menyeluruh. Kebanyakan penulis memperkirakan
kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu 10% dari kunjungan ginekologik.

5
Di RSCM/ FKUI pada tahun 1989 ditenukan 39% kasus perdarahan uterus
disfungsional dari kunjungan poliklinik endokronologi dan reproduksi

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh
kejang epileptik berulang (recurrent epileptic seizure) yang tidak dipicu oleh
penyebab langsung yang dapat diidentifikasi, hal tersebut disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi (Sander & Shorvon dalam NICE 2012).
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari
bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Infonesia (PERDOSSI), yaitu:
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut
(Kusumastuti, 2014).:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa pemicu atau 2 bangkitan
refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua
lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa pemicu atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke
depan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan
tanpa provokasi/bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama
yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama
pada anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform
dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

II.2 Epidemiologi
Prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi dari pada negara maju.
Dilaporkan prevalensi dinegara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000

7
orang dinegara berkembang. Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang
aktif (bangkitan dalam 5 tahun terakhir) adalah 4,9/1000 orang (antara 2,3-
10,3/1000), sedangkan pada negara berkembang dipedalaman 12,7 /1000 orang
(antara 3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2). Di Asia, prevalensi epillepsi aktif
tertinggi dilaporkan di Vietnam 10,7/1000 orang, dan terendah di Taiwan 2,8/1000
orang (Kusumastuti, 2014)
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan
sekitar >0,9%, lebih dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi
meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi
pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya
adalah insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih
tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara Asia,
dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita (Kusumastuti, 2014)
Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota
pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru
dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan
rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien
berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum,
sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat. (Kusumastuti, 2014)
Insidensi rata-rata epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6).
Insidens epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak
pertama pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun. Angka insiden di
negara maju dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun,
160/100.000 orang/tahun pada usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan
sebesar 60- 80/100.000 orang/tahun setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas
2 kali lebih besar dibandingkan dewasa muda. Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru
ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status epileptikus. Pada negara
berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100- 190/100.000 orang/tahun).
Beberapa negara berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada
usia dewasa muda, tanpa peningkatan pada usia tua (Kusumastuti, 2014).

8
II.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
berdasarkan International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri atas dua jenis
klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsi (Kusumastuti, 2014).
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
A. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana
i. Dengan gejala motorik
ii. Dengan gejala somatosensorik
iii. Dengan gejala otonom
iv. Dengan gejala psikis
2) Bangkitan parsial kompleks
i. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
ii. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
i. Parsial sederhana yang menjadi umum
ii. Parsial kompleks menjadi umum
iii. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi
umum
B. Bangkitan umum
1) Lena (absence)
i. Tipikal lena
ii. Atipikal lena
2) Mioklonik
3) Klonik
4) Tonik
5) Tonik-klonik
6) Atonik/astatik
C. Bangkitan tak tergolongkan

9
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi
A. Fokal/partial (localized related)
1) Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
i. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsi with centrotemporal
spikesI)
ii. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital.
iii. Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)
2) Simtomatis
i. Epilepsi parsial kontinu yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
ii. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
iii. Epilepsi lobus temporal
iv. Epilepsi lobus frontal
v. Epilepsi lobus parietal
vi. Epilepsi oksipital
3) Kriptogenik
B. Epilepsi umum
1) Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
i. Kejang neonates familial benigna
ii. Kejang neonates benigna
iii. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
iv. Epilepsi lena pada anak
v. Epilepsi lena pada remaja
vi. Epilepsi mioklonik pada remaja
vii. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat
terjaga
viii. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu
di atas
ix. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik

10
2) Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
i. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
ii. Sindrom Lennox-Gastaut
iii. Epilepsi mioklonik astatik
iv. Epilepsi mioklonik lena
3) Simtomatis
i. Etiologi nonspesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst
suppression
 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak
termasuk di atas
ii. Sindrom spesifik
iii. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
C. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
1) Bangkitan umum dan fokal
i. Bangkitan neonatal\
ii. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
iii. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
iv. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
v. Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
2) Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
D. Sindrom khusus
1) Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
i. Kejang demam
ii. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
iii. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
nonketotik.
iv. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi
refrektorik)

11
II.4 Etiologi
Berikut ini merupakan beberapa penyebab (etiologi) dari epilepsi (NICE,
2012).
a. Genetik: Konsep epilepsi genetik adalah bahwa epilepsi merupakan hasil
langsung dari kelainan genetik yang diketahui atau diduga, di mana kejang
adalah gejala utama dari gangguan ini. Pengetahuan mengenai peran genetik
mungkin berasal dari studi genetika molekuler tertentu yang telah
direplikasi baik dan bahkan menjadi dasar tes diagnostik (misalnya SCN1A
dan sindrom Dravet) atau bukti untuk peran utama dari komponen genetik
mungkin berasal dari penelitian rancangan familial dengan tepat. Hasilnya,
sifat dasar dari gangguan seperti genetik tidak mengecualikan kemungkinan
bahwa faktor lingkungan (di luar individu) dapat menyebabkan terjadinya
penyakit ini. Pada saat ini hampir tidak ada pengetahuan untuk mendukung
spesifik lingkungan berpengaruh sebagai penyebab atau kontributor untuk
bentuk-bentuk epilepsi
b. Struktur / metabolik: Secara konseptual, ada kondisi struktural atau kondisi
metabolik atau penyakit berbeda yang terbukti berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya epilepsi. Lesi struktural termasuk gangguan
yang diperoleh, seperti stroke, trauma, dan infeksi. Terdapat kemungkinan
pula berasal dari genetik (Misalnya tuberous sclerosis, malformasi
perkembangan kortikal); Namun, masih terdapat celah gangguan yang
terpisah antara cacat genetik dan epilepsi.
c. “Unknown cause”: Unknown dimaksudkan untuk terlihat netral dan untuk
menunjuk bahwa penyebab alamiahnya belum diketahui; mungkin memiliki
cacat genetik yang mendasar pada intinya atau mungkin konsekuensi dari
terpisah sebagai gangguan belum diketahui.

12
Gambar 2.1 Etiologi epilepsi pada berbagai usia (Dekker, 2002)

Etiologi epilepsi menurut PERDOSSI 2014 adalah sebagai berikut


(Kusumastuti, 2014):
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi structural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.

b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.


Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural


pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolic, kelainan neurodegeneratif.

II.5 Patofisiologi
Pada dasarnya mekanisme kejang dapat dirangkum sebagai berikut (Lang,
2008):

13
a) Depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal menyebabkan kanal ion Ca2+
aktif sehingga ion Ca2+ masuk. Masuknya ion Ca2+ membuka kanal kation
yakni Na+ sehingga menyebabkan depolarasasi yg berlebihan. Depolarisasi
akan terhenti oleh adanya pembukaan kanal K+ dan Cl- yg diaktivasi oleh
Ca2+, dimana ion Cl- akan masuk sedangkan ion K+ akan dikeluarkan.
b) Kanal ion Ca2+ dapat dihambat oleh oleh ion Mg2+, sedangkan pada
hipomagnesemia akan terjadi peningkatan aktivitas kanal Ca2+ sehingga
menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi. Peningkatan konsentrasi K+
ekstrasel mengurangi efluk K+ melalui kanal K+. Hal ini berarti K+ memiliki
efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang bersamaan meningkatkan
pengaktifan kanal Ca2+.
c) Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps
eksitatorik. Glutamat bekerja pada kanal kation yg tidak permeable terhadap
Ca2+ (kanal AMPA) dan pada kanal yang permeable terhadap Ca2+ (kanal
NMDA). Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal
AMPA akan menghilangkan penghambatan Mg2+ pada kanal NMDA. Jadi
defisiensi Mg2+ dan depolarisasi akan memudahkan pengaktifan kanal
NMDA.
d) Potensial membrane neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K+. Syarat
: gradient K+ yg melewati membrane sel harus adekuat. Gradien ini
dihasilkan oleh Na+/K+- ATPase. Kekurangan energy (baik karena
penurunan oksigen atau hipoglikemia) akan menghambat Na+/K+-ATPase
sehingga memudahkan depolarisasi sel.
e) Depolarisasi umumnya dikurangi oleh beurin inhibitorik yang mengaktifkan
kanal K+ dan/atau Cl- diantaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh
glutamat dekarboksilase yakni enzim yang memnbutuhkan piridoksin
(vitamin B6) sebagai ko-faktor. Defesiensi vitamin B6 atau berkurangnya
afinitas enzim terhadap vitamin B6 (kelainan genetik) memudahlan
terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi neuron talamus dapat meningkatkan
kesiapan kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan dengan memudahkan serangan
absans.

14
Gambar 1. Patofisiologi Kejang Diambil dari Lang, F. Neuromuscular and Sensosr System :
Epilepsy. Dalam : Color Atlas of Pathophysiology. New York : Thieme. 200 : 339

Fenomena pemicu terjadinya epilepsi adalah depolarisasi paroksismal pada


neurin tunggal. Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal ion Ca2+. Ca2+ yang
masuk mula mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga
menyebabkan depolarisasi berlebihan yang kaan terhenti oleh pembukaan kanal ion
K+ dan Cl- yang diaktivasi oleh Ca2+ .Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron
yang terangsang terdaoat dalam jumlah yang cukup. Penyebab atau faktor yang
merangsang terjadinya epilepsi adalah kelainan genetik, malformasi otak, kelainan
jaringan otak (jaringan parut di sel glia), tumor, perdarahan, atau abses. Kejang juga

15
dapat dipicu atau dipermudah oleh keracunan (misal alkohol), hipoglikemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia, kurang tidur, iskemia atau hipoksia, dan
perangsangan berulang (misal : kilatan cahaya). Hiperventilasi dapat menyebabkan
hipoksia serebri melalui vasokonstriksi serebri dan hipokapnia, dan karena itu
memudahkan terjadinya kejang. Kejang epileptik memiliki insiden yang lebih
tinggi pada wanita hamil (Lang, 2008).
Penelitian terbaru tentang epilepsi mengungkapkan bahwa faktor genetik
berpengaruh terhadap kejadian epilepsi. Pada pasien epilepsi didapatkan adanya
suatu mutasi yang mempengaruhi fungsi dari kanal ion, sehingga didapatkan
adanya suatu aritmia cardiac, episodic ataxia, periodic weakness,dan familial
hemiplegic migraine (Lowenstein, 2006).

II.6 Manifestasi Klinis


Terdapat empat komponen dari sebuah kejang, namun tidak semua jenis
kejang akan memiliki semua tahapan ini. Ada atau tidak adanya dan sifat alaminya
penting untuk mendiagnosis jenis kejang. Berikut adalah komponen-komponen
dalam sebuah kejang (Dekker, 2002).
a. Fase prodromal
Fase ini dimulai beberapa jam atau bahkan berhari-hari sebelum
kejang sebenarnya dan tidak boleh dikacaukan dengan aura. Gejala
prodromal adalah: sakit kepala, lekas marah, insomnia, temperamen buruk,
depresi atau peningkatan aktivitas.
b. Aura
Aura terjadi mendahului kejang dalam beberapa detik atau beberapa
menit. Aura adalah permulaan dari sebuah kejang dan menandakan awal
terjadinya fokus kejang. Gejalanya tergantung pada lokasi fokus ini.
Perasaan aura sering kabur dan tak terlukiskan, yang dapat menyebabkan
ketakutan ekstrim. Sensasi aneh epigastrium, pengalaman seperti mimpi,
bau tak sedap, dll., mungkin terjadi. Pasien akan mengingat aura dengan
sangat baik, dan meskipun tidak akan selalu dapat menceritakan hal itu,
namun pasien dapat menegaskan kehadirannya, seperti yang terjadi sebelum
kesadaran hilang.

16
c. Kejang (ictus)
Karakteristik penting untuk mengetahui klasifikasi epilepsi. Dalam
kebanyakan kejang terdapat kehilangan kesadaran, dan oleh sebab itu pasien
tidak mampu memberikan informasi tentang ictus yang sebenarnya. Untuk
ini kita tergantung pada saksi yang telah melihatkejadian kejang yang
sebenarnya. Pasien tidak memiliki memori dari kejang.
d. Fase post ictal
Fase ini mungkin tidak ada, singkat atau bisa berlangsung beberapa
jam, dan kadang-kadang bahkan berhari-hari. Biasanya pasien tertidur
nyenyak dan bangun dengan sakit kepala, kelelahan, lekas marah, muntah,
kebingungan, nyeri otot atau ataksia. Kelumpuhan sementara dari bagian
tubuh, yang dikenal sebagai paresis Todd mungkin terjadi selama beberapa
jam atau hari. Gaya bicara yang berubah atau aphasia mungkin terjadi saat
belahan dominan otak telah terlibat. perubahan perilaku dan ledakan
emosional dapat terjadi, dan jika ini mengganggu, perilaku kekerasan
mungkin terjadi.
Berikut dijelaskan epilepsi pada beberapa tipe kejang, seperti :
1. Epilepsi Umum (Generalized)
Pada kelompok epilepsi ini, perubahan EEG menunjukkan bahwa dari awalnya
cetusan epileptik melibatkan kedua hemisphere dengan serentak.
a. Epilepsi Grandmal (Tonic-clonic seizure)
 Bentuk yang paling sering dijumpai.
 Dapat didahului gejala prodromal seperti jeritan, sentakan,
mioklonik, tegang, perubahan emosi, cepat tersinggung,dll.
 Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30
detik, diikuti gerakan kejang kelonjotan pada kedua lengan dan
tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut
berbusa
 Selesai serangan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan
tampak bingung.
 Pasien sering tidur setelah bangkitan.

17
 Fase tonik  semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita
tampak mengejan sehingga wajahnya merah. Kemudian
penderita menahan napas ±30 detik, pada akhir fase ini terjadi
sianosis, tekanan darah meningkat, pupil melebar, refleks
cahaya negatif, refleks patologi positif, kadang-kadang terjadi
inkontinensia karena kontraksi involunter
 Fase klonik  terjadi kejang ritmik, penderita bernapas
kembali, kadang lidah tergigit, ludah bercampur darah (buih
kemerahan). Pada fase ini wajah menjadi normal kembali,
tekanan darah menurun, tanda gejala vital normal.
 Fase post iktal  setelah kejang penderita tertidur. Waktu
terbangun mula-mula terjadi disorientasi, tetapi beberapa menit
setelah ini penderita menjadi normal kembali dan dapat berjalan
seperti biasa.
b. Epilepsi Petit mal (Absence seizure)
 Tidak terjadi kejang. Terjadi gangguan kesadaran dalam waktu
singkat (6-10 detik).
 Penderita berhenti dari aktivitas yang sedang dilakukan, seakan-
akan melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali
 Serangan kadang-kadang dapat 10-20 kali dalam sehari. Karena
singkat biasanya tidak diketahui orang sekitarnya.
 EEG menunjukkan gambaran yang sangat jelas yaitu 3 Hz spike
slow wave.
 Banyak terjadi pada anak-anak usia sekolah.
c. Epilepsi mioklonik
 Banyak terjadi pada anak-anak
 Terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan
involunteer yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada
tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut myoclonic
jerking.
d. Epilepsi Atonik
 Secara mendadak penderita kehilangan tonus otot.

18
 Dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun otot seluruh
badan, misalnya tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan
tonus otot leher atau secara tiba-tiba penderita terjatuh karena
hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat
disebut drop attack.
2. Epilepsi Parsial (Fokal)
Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas muatan
listrik disuatu daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus dikorteks serebri)
A. Epilepsi parsial sederhana (simple)
Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang
terkena. Biasanya dengan gejala motorik, sensorik, autonom, maupun
psikis. Tidak terjadi gangguan kesadaran.
 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala motorik
Fokus epilepsi biasanya terdapat di gyrus presentralis lobus frontalis
(pusat motorik). Kejang dimulai di daerah yang mempunyai
representasi yang luas di daerah ini. Dimulai di ibu jari, meluas
keseluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai. Kadang-kadang
berhenti di satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat kuat dapat meluas
ke lengan/tungkai yang lain sehingga menjadi kejang umum.
Disebut sebagai jackson motoric epilepsy.
 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik
Fokus epilepsi terdapat di gyrus postsentralis lobus parietalis.
Penderita merasa kesemutan didaerah ibu jari, lengan, muka, dan
tungkai, tanpa kejang motorik yang dapat meluas ke sisi yang lain.
Disebut sebagai jackson sensoric epilepsy.
B. Epilepsi parsial kompleks
Bangkitan fokal disertai gangguan kesadaran. Sering diikuti automatisme
stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa, dan kegiatan motorik
lainnya tanpa tujuan yang jelas. Tanda tanda yang menonjol adalah gejala
psikis dan automatisme. Disebut juga epilepsi psikomotor. Sering
didapatkan penderita dengan gangguan pikiran yaitu de javu dan
jamaisvu. Bila epilepsi ini sudah lama timbul, maka dapat timbul afasia

19
sensorik dan hemianopsia, oleh karena kelainan di lobus temporalis. Pada
rekaman EEG terdapat spikes dan kadang-kadang slow-wave daerah
temporal.
3. Epilepsi umum sekunder
 Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang
dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum.
 Bangkitan parsial dapat berupa aura
 Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat tonik-klonik

II.7 Diagnosis
Ada 3 langkah untuk mendiagnosa epilepsi, yaitu :
1. Pastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
2. Bila bangkitan tersebut merupakan suatu bangkitan epilepsi, kemudian
tentukan bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan apa (klasifikasi
epilepsi)
3. Pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tersebut atau
epilepsi jenis apa yang diderita oleh pasien serta tentukan etiologisnya.
Diagnosa epilepsi ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinis berupa
bangkitan epilepsi berulang minimal 2 kali yang ditunjang dengan gambaran
epileptiform pada EEG (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).

a. Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun, apabila
pemeriksa secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka
diagnosis epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. Hal demikian ini bermanfaat
bagi pemeriksa yang tidak didukung fasilitas yang lengkap (Harsono, 2001).
Penderita dan/atau orangtuanya perlu dimintai keterangan tentang adanya
riwayat epilepsi pada keluarga. Seorang ayah yang menderita epilepsi hanya sedikit
meningkatkan kemungkinan epilepsi pada anaknya. Bila ibu menderita epilepsi
maka kemungkinan mewariskan epilepsi pada anaknya lebih besar, namun
kemungkinan tersebut di bawah 5%. Bila kedua orangtuanya menderita epilepsi

20
maka kemungkinan untuk mewariskan kepada anaknya hanya meningkat sedikit.
Epilepsi umum lebih banyak diwariskan daripada epilepsi parsial (Harsono, 2001).
 Kecermatan anamnesis
Karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami
penderita maka anamnesis harus dilakukan secara rinci, cermat dan menyeluruh.
Laporan penderita dan saksi mata sangat bermanfaat untuk mengarahkan diagnosis.
Penjelasan mengenai segala sesuatu yang terjadi, sebelum, selama dan sesudah
serangan meliputi gejala dan lamanya serangan merupakan informasi yang sangat
berarti dan merupakan kunci diagnosis. Sementara itu, anamnesis juga harus
mengarah kepada faktor pencetus serangan (Harsono, 2001).
 Mode of onset
Merupakan gambaran klinis yang harus dirinci secara jelas. Serangan
merupakan kejadian yang mulai dan berakhir secara cepat. Suatu episoda yang
mulai secara lambat (beberapa menit) dengan gejala berikutnya yang terjadi secara
bertahap pada umumnya bukan gambaran serangan. Namun, pada kasus tertentu
baik epilepsi parsial atau umum dapat didahului tanda atau gejala awal yang
berlangsung beberapa menit, jam atau bahkan beberapa hari sebelum serangan
terjadi. Gejala-gejala yang tidak spesifik, sebagai pendahulu serangan meliputi,
nyeri kepala, iritabilitas, labilitas emosional, letargi dan perasaan letih. Serangan
parsial kompleks dan serangan umum tonik-klonik sekunder seringkali didahului
oleh aura selama beberapa detik-menit. Bagaimanapun juga, aura bermula secara
mendadak dan jangan sampai dirancukan dengan gejala yang berkembang secara
bertahap penyakit lain seperti migrain atau serangan panik (Harsono, 2001).
 Aura
Pemeriksa harus mengajukan pertanyaan secara sistematik, baik kepada
penderita maupun saksi mata tentang aura, yang mungkin bersifat samar atau tidak
menentu gambarannya. Beberapa penderita mengatakan bahwa ada sesuatu yang
salah atau tidak seperti biasanya; sementara itu penderita lain menceritakan tentang
keluhan spesifik tetapi tidak dapat merinci secara tepat. Bentuk aura yang dapat
digambarkan lebih jelas antara lain: sensasi aneh dalam perut, dada, atau kepala,
perasaan kesemutan atau seperti ditusuk jarum, halusinasi atau ilusi, vertigo atau
perasaan seperti dirinya mengambang di udara, distorsi waktu, kesulitan untuk

21
menemukan kata-kata, de ja vu, serta perasaan takut atau cemas yang luar biasa.
Sensasi abdominal dan kepala terasa ringan dapat mendahului terjaddinya sinkop
(Harsono, 2001).
 Kejadian selama dan sesudah serangan
Kejadian selama serangan harus dirinci atau dideskripsikan secara tepat;
bila perlu saksi mata menirukan gerakan atau kejadian yang dilihatnya. Pemeriksa
harus menelusuri secara cermat selagi penderita menunjukkan sikap responsif:
apakah tubuh terasa kaku atau menyentak-nyentak, apakah ada gerakan otomatis
pada mulut, kepala, lengan, atau tungkai; apakah mulut penderita berkomat-kamit;
apakah ada perubahan warna kulit dan apakah ada inkontinensia urin atau lidah
tergigit. Lamanya serangan, sebisa mungkin diperhitungkan (Harsono, 2001).
Kondisi penderita sesudah serangan bermanfaat untuk menentukan
perjalanan serangan. Sesudah serangan tonik-klonik, penderita tampak koma
sejenak kemudian siuman secara bertahap dan tampak bingung, mengantuk atau
bahkan mengamuk. Pada serangan parsial kompleks, penderita tampak sedikit
bingung dan lelah, tetapi gejala pascaserangan dapat minimal atau bahkan tidak ada
sama sekali. Pada absence dan mioklonus tidak diikuti oleh gejala pasca serangan
(Harsono, 2001).
 Lain-lain
Anamnesis harus memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, stroke, tumor otak, malformasi
vaskular, gangguan metabolik, metastase, AIDS dan obat-obat tertentu (Harsono,
2001).
Sehingga dapat disimpulkan pada anamnesa harus digali untuk
mendapatkan informasi mengenai : (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).
1. Pola atau bentuk bangkitan
2. Lama bangkitan
3. Gejala sebelum, selama maupun pasca bangkitan
4. Frekuensi bangkitan
5. Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita saat ini
6. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

22
7. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran dan
perkembangaan saat bayi/anak
8. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
9. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi


Pemeriksaan fisik harus menyingkirkan sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada penderita
yang lebih tua, auskultasi di daerah leher penting untuk mendeteksi penyakit
vaskular. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
pertumbuhan, adenoma sebasea, dan organomegali (storage disease). Perbedaan
ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral (Harsono, 2001).
Penilaian neurologi meliputi status mental, gait, koordiansi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta reflesks tendon. Penderita yang menunjukkan
tanda-tanda kelainan neurologis yang tidak jelas perlu diperiksa lebih teliti. Harus
diingat bahwa kelainan neurologis yang samar atau ringan dapat menunjukkan lesi
otak, sehingga harus dilakukan secara hati-hati (Harsono, 2001).
Pemeriksaan secara hati-hati dari status mental (termasuk memori, fungsi
bahasa, dan berpikir abstrak) dapat menunjukkan lesi di lobus anterior frontal,
parietal atau lobus temporal. Uji lapang pandang dapat membantu menyaring lesi
di jalur optik dan lobus oksipital. Uji penyaringan dari fungsi motorik seperti
pronator drift, deep tendon reflexes, gait dan koordinasi dapat menunjukkan lesi di
korteks motorik (frontal), dan uji sensori kortikal (contoh: double simultaneous
stimulation) dapat mendeteksi lesi di korteks parietal (Hauser, 2006).
Perhatikan adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan kongenital,
gangguan neurologi fokal atau difus, kecanduan alkohol maupun obat terlarang dan
kanker (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).
.

23
c. Pemeriksaan penunjang
a) Elektro-ensefalografi (EEG)
Elektroda yang ditempelkan ke kulit kepala dapat mendeteksi
aktivitas listrik spontan di otak. EEG mengkonduksikan aktivitas di otak
sebagai gelombang; frekuensi gelombang diukur per detik (Hz). EEG dapat
mendeteksi berbagai jenis abnormalitas baik yang bersifat fokal maupun
difus. Ada dua jenis kelainan utama, ialah aktivitas yang lambat dan
epileptiform (Harsono, 2001).
Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi
serangan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal yang
bersumber pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi secara
sinkron. Gambaran epileptiform antar cetusan yang terekam pada EEG
muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali dengan morfologi khas.
Perlu diketahui bahwa pola epileptiform ini dapat muncul pada orang yang
tidak menderita epilepsi sekitar 1-2%. Sebaliknya, rekaman EEG pada
penderita epilepsi dalam keadaan sadar dan istirahat dapat menunjukkan
gambaran yang normal. Perlu diperhatikan bahwa hasil pemeriksaan EEG
saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosa
epilepsi (Harsono, 2001).
EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun tidur, dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada
orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan ulang
gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77% (Machfoed &
Hamdan & Machin, 2012).
Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan dugaan epilepsi
sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah
bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus seperti dengan
mengurangi tidur (sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti
epilepsi (OAE) (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).
Indikasi EEG : (Machfoed & Hamdan & Machin, 2012).
1. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural

24
2. Adanya perubahan bentuk bangkitan
3. Terdapat defisit neurologi fokal
4. Epilepsi dengan bangkitan parsial
5. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
6. Untuk persiapan tindakan pembedahan

EEG juga digunakan untuk mengklasifikasikan gangguan kejang dan


membantu menseleksi pengobatan OAE. Seperti contohnya episodic
generalized spike-wave activity seringkali terlihat pada pasien dengan
epilepsi tipe absans dan dapat terlihat dengan sindroma epilepsi menyeluruh
lainnya. Focal interictal epileptiform discharge akan mendukung diagnosis
dari gangguan kejang parsial seperti kejang epilepsi lobus temporalis atau
frontalis (Hauser, 2006)
Rekaman EEG rutin pada kulit kepala dapat juga digunakan untuk menilai
prognosis gangguan kejang; pada umumnya suatu EEG normal menyatakan
prognosis yang lebih baik, mengingat suatu latar belakang abnormal atau
aktivitas epileptiform yang profus menunjukkan hasil yang buruk (Hauser,
2006).
b) Rekaman video-EEG
Rekaman EEG dari video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video-EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
ini bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara
pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi (Harsono, 2001).
c) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging studies
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila

25
dibandingkan dengan CT-Scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci (Harsono, 2001).
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. Selain
itu, MRI dapat mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang
berukuran kecil, malformasi vaskular tertentu, dan penyakit demielinisasi
(Harsono, 2001).
Secara teori, semua kasus epilepsi parsial (kecuali anak dengan epilepsi
rolandik benigna) harus diperiksa dengan MRI. Indikasi yang lain adalah
adanya kelainan neurologis fokal, gelombang lambat fokal pada EEG,
epilepsi refrakter (untuk mencari sklerosis temporal mesial dan glioma
derajat rendah), dan penderita yang serangannya makin sering serta makin
berat (Harsono, 2001).
Sementara itu PET mengukur metabolisme otak regional dengan
menggunakan molekul radioaktif. PET (positron emission tomography)
antarcetusan bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi terutama pada penderita
dengan epilepsi lobus temporalis (fokusnya menunjukkan gambaran
hipometabolisme atau disebut juga a cold spot), single photon emission
computed tomography (SPECT) mengukur aliran darah otak regional
dengan menggunakan molekul radioaktif. SPECT digunakan selama dan
sesudah serangan, bermanfaat untuk evaluasi pra-operasi penderita dengan
fokus baik di temporal maupun di luar daerah temporal (Harsono, 2001).
d) Pemeriksaan Laboratorium
Uji darah rutin diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab
metabolik yang lebih sering menjadi penyebab kejang seperti abnormalitas
elektrolit, glukosa, kalsium atau magnesium dan penyakit hepar maupun
ginjal. Pemeriksaan toxin pada darah dan urin juga harus diperoleh dari
semua pasien yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi, terutama ketika
faktor pemicunya tidak jelas. Pungsi lumbar diindikasikan bila ada
kecurigaan meningitis atau encephalitis dan pada semua pasien yang
terinfeksi dengan HIV, walaupun tidak ada gejala atau tanda yang
menunjukkan infeksi (HARRISON).

26
II.8 Penatalaksanaan
Macam-macam terapi epilepsi
Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan
nonfarmakologi(Kusumastuti, 2014).
A. Terapi Farmakologi
Prinsip terapi farmakologi
 OAE diberikan bila(Kusumastuti, 2014):
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan/ atau keluarganya sudah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan.
o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.
o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari (misalnya:alcohol, kurang tidur, stress, dll)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan(tabel 2.1) dan jenis sindrom epilepsi (Tabel 2.2)
(Kusumastuti, 2014).
 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 2.3)
(Kusumastuti, 2014).
 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila(Kusumastuti, 2014):
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh
kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat


mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila
OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan

27
bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE
pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila respons yang didapat
buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan
OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua,
tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal(Kusumastuti, 2014).
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
OAE pertama(Kusumastuti, 2014).
 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu
bila(Kusumastuti, 2014):
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma,
neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes.
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan
orang tua)
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan
tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran stroke, infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
 Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 2.4), demikian pula
halnya dengan profil farmakologis tiap OAE (Table 2.5) dan interaksi
farmnakokinetik antar-OAE(Kusumastuti, 2014).
 Strategi untuk mencegah efek samping(Kusumastuti, 2014):
o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil
mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

28
Jenis obat antiepilepsi dan mekanisme kerjanya
 Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE,
efek samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE(Kusumastuti,
2014).
a) Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan

29
a) Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan
Table 2.1a Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan((Lowenstein,2006).
No Pemilihan obat antiepilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan
Kejang umum tonik Parsial* Absence Atipikal absence, myoclonic dan
klonik atoniv
First line Valproic acid Carbamazepine Valproic acid Valproic acid
Lamotrigine Phenytoin Ethosuximide
Lamotrigine
Valproic acid
Second line Phenytoin Topiramate Lamotrigine Lamotrigine
Carbamazepine Levetiracetam Clonazepam Topiramate
Topiramate Tiagabine Clonazepam
Zonisamide Zonisamide Felbamate
Felbamate Gabapentine
Primidone Primidone
Phenobarbital Phenobarbital

Note: Termasuk : Bangkitan parsial, Bangkitan parsial kompleks, bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

30
Table 2.1b Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari jenis bangkitan.( Machfoed, 2012)
No Jenis Bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua OAE lain yang dapat di pertimbangkan
1 Bangkitan Lena Sodium valproate Ethosuximide Levetiracetam
Lamotrigine Zonisamide
2 Bangkitan myoklonik Sodium Valproate Topiramate Lamotrigine
Levetiracetam Clobazam
Zonisamide Clonazepam
Phenobarbital
3 Bangkitan Tonik klonik Sodium Valporate Lamotrigine Topiramate
Carbamazepin Oxcarbazepine Levetiracetam
Phenytoin Zonisamide
phenobarbital Primidon
4 Bangkitan Atonik Sodium Valproate Lamotrigine Felbamate
Topiramate
5 Bangkitan fokal dengan/tanpa Carbamazepine Sodium valproate Tiagabine
umum sekunder Phenytoin Levetiracetam Vigabatrin
Phenobarbital Zonisamide Felbamate
Oxcarbazepine Pregabalin Primidone
Topiramate

31
Lamotrigine
6 Tidak terklasifikasikan Sodium Valporate Lamotrigine Topiramate
Levetiracetam
Zonisamide

32
33
b) Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari sindroma epilepsi
Tabel 2.2 Pemilihan obat anti-epilepsi berdasarkan dari sindroma epilepsy (Kusumastuti, 2014).
Sindrom Epilepsi Lini pertama OAE Tambahan Lini ketiga Dapat memperburuk bangkitan
Childhood absence Etosuksimid, Etosuksimid, Clobazam, Carbamazepin, gabapentin,
epilepsy (CAE) atau Lamotrigin, Sodium Lamotrigin, klonazepam, Okskarbazepin, phenytoin,
sindroma absence valproat, Sodium valproat, Levetirasetam, pregabalin, tiagabin, vigabatrin
lainnya topiramat zonisamid
Juvenile absence Etosuksimid, Etosuksimid, Clobazam, Carbamazepin, gabapentin,
epilepsy (JAE) atau Lamotrigin, Sodium Lamotrigin, klonazepam, Okskarbazepin, phenytoin,
sindrom absence lainnya valproat, Sodium valproat, Levetirasetam, pregabalin, tiagabin, vigabatrin
topiramat zonisamid
Juvenyl mioclonic Lamotrigin, Lamotrigin, Clobazam, Carbamazepin, gabapentin,
epilepsy (JME) Levetirasetam, Sodium Levetirasetam, klonazepam, zonisamid Okskarbazepin, phenytoin,
valproat, topiramat Sodium valproat, pregabalin, tiagabin, vigabatrin
topiramat
Epilepsi dengan Carbamazepin, Clobazam,
bangkitan umum tonik Lamotrigin, Levetirasetam,
klonik saja Okskarbamazepin, Sodium valproat,
Sodium valproat topiramat

34
Epilepsi umum idiopatik Lamotrigin, Sodium Lamotrigin, Clobazam, Carbamazepin, gabapentin,
valproat, topiramat Levetirasetam, klonazepam, zonisamid Okskarbazepin, phenytoin,
Sodium valproat, pregabalin, tiagabin, vigabatrin
topiramat
Spasme infantil yang Rujuk ke ahli
tidak disebabkan neuropediatri
sklerosis tuberous Vigabatrin, atau steroid
(prednisolon atau
tetrakosasid)
Spasme infantil yang Rujuk ke ahli
disebabkan sklerosis neuropediatri
tuberous Vigabatrin, atau steroid
(prednisolon atau
tetrakosasid)
Epilepsi benigna dengan Carbamazepin, Carbamazepin, Esilkarbazepin asetat,
gelombang paku Lamotrigin, Clobazam, lakosamid,
didaerah sentrotemporal Levetirasetam, gabapentin, fenobarbital,
(benign epilepsy with Okskarbamazepin, Lamotrigin, phenytoin, pregabalin,
sentrotemporal spikes) Sodium valproat Levetirasetam,

35
Okskarbamazepin, tiagabin, vigabatrin,
Sodium valproat, zonisamid
topiramat
Sindrom Carbamazepin, Carbamazepin, Esilkarbazepin asetat,
panayiotopoulos Lamotrigin, Clobazam, lakosamid,
Levetirasetam, gabapentin, fenobarbital,
Okskarbamazepin, Lamotrigin, phenytoin, pregabalin,
Sodium valproat Levetirasetam, tiagabin, vigabatrin,
Okskarbamazepin, zonisamid
Sodium valproat,
topiramat
Late onset childhood Carbamazepin, Carbamazepin, Esilkarbazepin asetat,
occipital epilepsy (tipe Lamotrigin, Clobazam, lakosamid,
gastaut) Levetirasetam, gabapentin, fenobarbital,
Okskarbamazepin, Lamotrigin, phenytoin, pregabalin,
Sodium valproat Levetirasetam, tiagabin, vigabatrin,
Okskarbamazepin, zonisamid
Sodium valproat,
topiramat

36
Sindrom dravet Rujuk ke ahli Clobazam, Carbamazepin, gabapentin,
neuropediatri Siripentol Lamotrigin, Okskarbazepin,
Sodium valproat, phenytoin, pregabalin, tiagabin,
Topiramat vigabatrin
Epilepsi dengan Rujuk ke ahli
gelombang paku kontinu neuropediatri
selama tidur dalam
(continues spikes and
wave during sleep)
Sindrom lennox gastaut Rujuk ke ahli Lamotrigin Felbamat, rufinamid, Carbamazepin, gabapentin,
neuropediatri topiramat Okskarbazepin, pregabalin,
Sodium valproat tiagabin, vigabatrin
Sindrom landau-kleffner Rujuk ke ahli
neuropediatri
Epilepsi astatik Rujuk ke ahli
mioklonik neuropediatri

37
38
c) Dosis obat anti-epilepsi untuk orang dewasa
Tabel 2.3 Dosis obat anti-epilepsi untuk orang dewasa(Kusumastuti, 2014).
OAE Dosis Dosis rumatan Jumlah dosis per Titrasi OAE Waktu
awal (mg/hari) hari tercapainya
(mg/hari) steady state (hari)

Carbamazepin 400-600 400-1600 2-3x (untuk yang Mulai 100-200 mg/hari  2-7
CR 2x) sampai target dalam 1-4
minggu
Fenitoin 200-300 200-400 1-2X Mulai 100mg/hari  sampai 3-15
target dalam 3-7 hari

Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3X untuk yang Mulai 500mg/hari  bila perlu 2-4
CR 1-2X setelah 7 hari

39
Fenobarbital 50-100 50-200 1 Mulai 30-50mg/malam hari  8-30
bila perlu setelah 10-15 hari

Klonazepam 1 4 1 atau 2 2-10


Klobazam 10 10-30 1-2X Mulai 10mg/hari  bila perlu 2-6
sampai 20 mg/hari setelah 1-2
minggu
Okskarbazepin 600-900 600-3000 2-3X Mulai 300mg/hari  sampai 2-4
target dalam 1-3 minggu
Levetirasetam 1000- 1000-3000 2X Mulai 500/1000 mg/hari  bila 2
2000 perlu setelah 2 minggu
Topiramat 100 100-400 2X Mulai 25 mg/hari  25-50 2-5
mg/hari tiap 2 minggu
Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3X Mulai 300-900mg/hari  2
sampai target dalam 5-10 hari
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2X Mulai 25mg/hari selama 2 2-6
minggu  sampai 50 mg/hari

40
selama 2 minggu,  50mg/2
minggu
Zonisamid 100-200 100-400 1-2X Mulai 200-400mg/hari  7-10
sampain 1-2 minggu
Pregabalin 50-75 50-600 2-3X 1-2

Note: CR : Controlled release waktu paruh tertera diatas adalah pada penyandang yang tidak menggunakan enzyme inducers

41
42
d) Tabel efek samping obat antiepilepsi
Table 2.4 Tabel efek samping obat-antiepilepsi(Kusumastuti, 2014).
No Obat Efek samping yang mengancam Efek samping minor
jiwa
1 Carbamazepine Anemia aplastik, hepatotoksisitas, Dizziness, ataksia, diplopia, mual, kelelahan, agranulositosis,
sindrom steven-johnson, lupuslike leukopenia, trombositopenia, hyponatremia, ruam, gangguan perilaku,
syndrome tiks, peningkatan berat badan, disfungsi seksual, disfungsi hormone
tiroid, neuropati perifer
2 Phenytoin Anemia aplastik, gangguan fungsi Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia, nystagmus, diplopia, ruam,
hati, sindrom steven-johnson anoreksia, mual, macroxytosis, neuropati perifer, penurunan absorpsi
calcium pada usus
3 Phenobarbital Hepatotoksik, gangguan jaringan Mengantuk, ataksia, nystagmus, ruam kulit, depresi, hiperaktif( pada
ikat dan sumsum tulang, sindrom anak), gangguan belajar( pada anak), disfungsi seksual
Steven-Johnson
4 Valproate Hepatotoksisitas, hiperamonemia, Mual, muntah, rambut menipis, tremor, amenorre, peningkatan berat
lekopeni, trombositopeni, badan, konstipasi, hirsutisme, alopesia pada perempuan, POS(polycystic
pankreatitis ovarii syndrome)
5 Levetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala, Dizziness, tremor, kelemahan, mengantuk,
gangguan perilaku, agitasi, ansietas, trombositopenia, leukopenia

43
6 Gabapentine Teratogenik Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, peningkatan berat badan,
gangguan perilaku(pada anak)
7 Lamotrigine Sindrom Steven-Johnson, Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, pandangan kabur, nyeri
gangguan hepar akut, kegagalan kepala, mual, muntah, insomnia, trombositopenia, nystagmus, truncal
multi organ, teratogenik ataxia, tics
8 Oxcarbazepine Ruam, Teratogenik Dizziness, ataksia, nyeri kepala, mual, kelelahan, hyponatremia,
insomnia, tremor, disfungsi visual
9 Topiramate Batu ginjal, hipohidrosis, gangguan Gangguan kognitif, kesulitan menemukan kata, dizziness, ataksia, nyeri
fungsi hati, teratogenik kepala, kelelahan, mual, penurunan berat badan, paresthesia, glaukoma
10 Zonisamide Batu ginjal, hipohidrosis, anemia Mual, nyeri kepala, dizziness, kelelahan, paresthesia, ruam, gangguan
aplastic, skin rash berbahasa, glaucoma, letargi, ataksia
11 Pregabalin Belum diketahui Peningkatan berat badad

44
45
e) Profil farmakologi Obat-anti epilepsi
Tabel 2.5 Profil farmakologi obat-anti epilepsi(Kusumastuti, 2014).
No Nama Obat Mekanisme kerja Absorpsi( Ikatan Waktu Rute eliminasi
bioavailabilitas dengan paruh
%) protein (jam)
(%)
1 Karbamazepine MEnghambat kanal sodium( Lambat( 75-80) 70-80 24-45 ( Metabolisme aktif
inaktivasi cepat) tunggal) di hati
8-
24(kronis)
2 Klobazam Bersifat GABA-ergik( membuka Cepat( 90-100) 87-90 10-30 Metabolisme aktif
kanal klorida) di hati
3 Klonazepam Bersifat GABA-ergik( membuka Cepat(80-90) 80-90 30-40 Metabolisme di hati
kanal klorida)
4 Etosuksimid Menghambat kanal kalsium Cepat(90-95) 0 20-60 Metabolisme di hati
25% diekskresikan
dalam bentuk asli
5 Fenobarbital Bersifat GABA-ergik( Lambat( 95-100) 48-54 72-144 Metabolisme di hati
memperpanjang terbukanya kanal 25% diekskresikan
klorida) dalam bentuk asli
6 Fenitoin Menghambat kanal sodium( Lambat( 85-90) 90-93 9-40 Metabolisme di hati
inaktivasi secara cepat)
7 Primidon Bersifat GABA-ergik( Cepat( 90-100) 20-30 4-12 Metabolisme di hati
memperpanjang terbukanya kanal 25% diekskresikan
klorida) dalam bentuk asli
8 Valproat Mekanisme yang bervariasi Cepat(100) 88-92 7-17 Metabolisme aktif
di hati

46
9 Felbamat Mekanisme yang bervariasi Lambat( 95-100) 22-36 13-23 Metabolisme di hati,
ekskresi di ginjal
10 Gabapentine Menghambat kanal kalsium Lambat (60) 0 6-9 Tidak metabolism,
ekskresi di ginjal
11 Lakosamid Menghambat kanal sodium( Cepat ( 95-100) <15 13 Metabolisme di hati,
inaktivasi secara lambat/ikatan 40% diekskresikan
dengan CRMP 2 dalam bentuk asli
12 Lamotrigin Menghambat kanal sodium Cepat ( 95-100) 55 22-36 Glukoronidasi
13 Levetirasetam Berikatan dengan reseptor SV2A Cepat ( 95-100) <10 7-8 Hidrolisis non
hepatic, ekskresi di
ginjal
14 Okskarbazepine Menghambat Kanal Sodium Cepat (95-100) 40 8-10 Konversi di hati
(inkativasi secara cepat) menjadi metabolit
yang aktif
15 Pregabalin Menghambat kanal kalsium Cepat ( 90-100) 0 6 Ekskresi di ginjal
16 Rufinamid Menghambat kanal sodium(inaktivasi lambat 34 6-10 Metabolisme di hati
cepat)
17 Tiagabine Bersifat GABA-erik( menghambat Cepat (95-100) 96 5-9 Metabolisme di hati
reuptake sinaps GABA)
18 Topiramat Mekanisme bervariasi Lambat (80) 9-17 20-24 Metabolisme di hati,
ekskresi di ginjal
19 Vigabatrin Bersifat GABA-ergik( menghambat Lambat (60-80) 0 5-7 Tidak
transaminase GABA) dimetabolisme,
ekskresi di ginjal
20 Zonisamid Mekanisme bervariasi Cepat ( 95-100) 40-60 50-68 Metabolisme di hati,
ekskresi di ginjal

47
Penghentian OAE
 Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat
dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan
bangkitan setelah OAE dihentikan(Kusumastuti, 2014).
 Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut(Kusumastuti, 2014):
o Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG
normal
o Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
o Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan
o Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai
dari 1 OAE yang bukan utama.
 Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut(Kusumastuti, 2014):
o Semakin tua usia, kemungkinan timbul kekambuhan semakin
tinggi
o Epilepsi simtomatis
o Gambaran EEG yang abnormal
o Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
o Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat
jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam
pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena masa
anak kecil,25-75%, epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis,
85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.
o Penggunaan lebih dari satu OAE.
o Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan
kekambuhan lebih kecil pada penyandang yang telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun).

48
 Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.
Rujukan ke spesialis epilepsi perlu dipertimbangkan bila(Kusumastuti,
2014):
o Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama
o Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
o Berencana untuk hamil
o Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

Terapi terhadap epilepsi resisten Obat-antiepilepsi


Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah
mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai
monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan(Kusumastuti,
2014).
Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten
OAE. Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai
berikut(Kusumastuti, 2014):
 Kombinasi OAE
 Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)
 Terapi bedah
 Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.
B. Terapi Non-Farmakologis
Meliputi:
1. Tindakan operasi
Sekitar 20% dari penderita epilepsi resisten terhadap OAE
sehingga perlu beberapa terapi untuk dikombinasikan dengan OAE.
Untuk beberapa penderita, operasi sangat efektif untuk mengurangi
frekuensi kejang dan bahkan dapat mengontrol kejang kompleks.
Pentingnya pembedahan dapat dipahami ketika mendiagnosis pasien
yang mengalami sindrom epilepsi yang dianggap mungkin resisten
terhadap OAE. Pasien harus diupayakan untuk mendapat terapi
medis yang efisien dan relatif singkat kemudian dirujuk untuk

49
dievaluasi dengan pembedahan daripada membiarkan pasien gagal
diterapi dengan obat-obatan selama bertahun-tahun dan mengalami
trauma psikososial juga meningkatkan mortalitas
(Lowenstein,2006).
Prosedur pembedahan yang paling umum untuk pasien
dengan epilepsi lobus temporal meliputi reseksi lobus temporal
anteromedial (temporal lobectomy) atau hanya sebatas mengambil
hipocampus dan amygdala (amygdalohypocampectomy). Kejang
focal yang berasal dari daerah ekstratemporal dapat dihilangkan
dengan reseksi neokortikal fokal dengan mengambil lesi yang sudah
teridentifikasi dengan tepat (lesionectomy). Apabila bagian kortikal
tidak dapat diambil, dapat dilakukan transeksi subpial multiple yang
menghalangi koneksi intrakortikal untuk mencegah penyebaran
kejang. Hemispherectomy atau reseksi multilobar berguna untuk
beberapa pasien dengan kejang yang berat karena kelainan di
hemisfer seperti hemimegaloencephaly, atau kelainan displastik
lainnya, dan corpus callosotomy telah terbukti efektif untuk
menghentikan kejang tonik atau atonik yang biasanya ada pada
kasus kejang campuran contohnya pada lennox-gastaut
syndrome(Lowenstein,2006).
Evaluasi prabedah dirancang untuk mengidentifikasi dasar
fungsional atau struktural pada pasien kejang. Penilaian dengan
Video EEG pasien rawat inap digunakan untuk menentukan lokasi
anatomi dari fokus kejang dan untuk mengkorelasi aktivitas
elektrofisiologi yang abnormal dengan manifestasi kejang.
Rekaman Sclap rutin atau scalp sphenoidal biasanya cukup
digunakan untuk neuroimaging menggunakan pengawasan invasif
elektrofisiologi seperti implant elektrode atau yang lebih umum
dengan sub dural elektroda. Scan MRI resolusi tinggi rutin dipakai
untuk identifikasi lesi struktural. Pencitraan fungsional seperti
SPECT dan PET adalah pemeriksaan tambahan yang membantu

50
memverifikasi lokasi yg tampak dibagian
epileptogenik(Lowenstein,2006).
2. Stimulasi nervus vagus
Stimulasi nervus vagus merupakan salah satu
alternative untuk meredakan serangan pada epilepsy refrakter
yang tidak mungkin untuk dilakukan tindakan operasi. Pada
mulanya dikerjakan pada binatang percobaan dengan memberi
stimulasi kronis secara intermiten terhadap nervus vagus kiri.
Percobaan pada manusia dilakukan sejak tahun 1987. Stimulasi
nervus vagus memperlihatkan efek antikonvulsan pada
binatang percobaan dan kemudian percobaan dilakukan pada
manusia, secara buta-tunggal. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut kemudian dilakukan penelitian di 17 pusat penanganan
epilepsy terhadap 114 penderita secara buta-ganda placebo.
Pada pengamatan jangka pendek maupun jangka panjang,
stimulasi nervus vagus tadi memperlihatkan efek anti-
konvulsan yang bermakna secara statistic(Harsono, 2011).
Mekanisme yang tepat dari fungsi Stimulasi nervus
vagus tidak diketahui, meskipun penelitian experimental telah
menunjukkan bahwa stimulasi pada nucleus nervus vagus
menyebabkan aktivasi yang luas pada jalur cortical dan
subcortical dan berhubungan dengan peningaktan ambang
kejang(Lowenstein,2006).
3. Diet Ketogenik
Diet ketogenik dapat mengendalikan serangan yang ada,
terutama pada anak-anak. Berdasarkan pengetahuan bahwa
ketosis dan asidosis mempunyai efek antikonvulsan maka
Wilder pada tahun 1921 mengenalkan diet ketogenic sebagai
terapi epilepsy. Diet tersebut memerlukan protein 1
gr/kg/BB/hari, ditambah lemak untuk kalori tambahan dan
karbohidrat minimal. Restriksi karbohidrat dan pemasukan
lemak yang tinggi akan menyebabkan rasa yang sangat tidak

51
enak. Efek antiepilepsi bergantung kepada derajat ketosis yang
ditentukan oleh rasio lemak-karbohidrat(Harsono, 2011).
Mekanisme diet ketogenic mengandalkan serangan
atau bagaimana diet ketogenic mempengaruhi proses
epileptogenic belum diketahui secara jelas. Penelitian lebih
lanjut tentang diet ketogenic memungkinkan untuk
pengembangan OAE baru yang efeknya menyerupai diet
ketogenic(Harsono, 2011).
4. Deep brain stimulation
5. Relaksasi, behavioral cognitive therapy dan biofeedback

II.9 Prognosis
Pada sekitar 70 % kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti
epilepsi,sedangkan pada 30-50 % pada suatu saat pengobatan dapat dihentikan.
Namun prognosa tergantung dari jenis serangan, usia waktu serangan pertama
terjadi, saat dimulai pengobatan, ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan
faktor etiologik. Prognosis terbaik adalah untuk serangan umum primer seperti
kejang tonik klonik dan serangan petit mal, sedangkan serangan parsial dengan
simtomatologi kompleks kurang baik prognosisnya. Juga serangan epilepsi yang
mulai pada waktu bayi dan usia dibawah tiga tahun prognosenya relatif buruk
(Bradley, 2005)

II.10 Pencegahan
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
epilepsy antara lain (Bradley, 2008):
a) Upaya sosial luas yang mengembangkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan aktikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan, ibu-ibu
yang mempunyai resiko tinggi harus dipantau ketat selama hamil karena
lesi pada otak atau cidera akhirnya menyebabkan kejang yang terjadi pada
janin selama kehamilan dan persalinan.

52
b) Infeksi pada masa kanak-kanak harus dikontrol dengan vaksinasi yang
benar, orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam
harus diinstruksikan pada metode untuk mengkontrol demam (kompres
dingin, obat anti peuretik).
c) Cidera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah,
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cidera kepala.
d) Untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, pencegahan
kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara
bijaksana dan memodifikasi daya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.

53

Anda mungkin juga menyukai