Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

Perforasi kandung empedu adalah jarang namun biasanya komplikasi


kolesistitis akut. Telah dilaporkan 2-15% dari pasien dengan kolesistitis akut,
biasanya berhubungan dengan adanya batu. Kolesistitis adalah inflamasi akut dan
kronis dari kandung empedu, biasanya berhubungan dengan batu kandung empedu
yang tersangkut pada duktus sistikus dan menyebabkan distensi kandung empedu.
Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi, sekitar 90% kasus berkaitan
dengan batu empedu, sedangkan 10% sisanya tidak.

Peritonitis adalah radang selaput peritoneum yang berada di rongga


peritoneum dan melapisi organ-organ di abdomen. Berdasarkan cara terjadinya,
peritonitis dibedakan menjadi tiga, yaitu peritonitis primer, sekunder dan tersier.
Peritonitis ada yang disebabkan oleh satu/beberapa bakteri yang menginfeksi
lapisan peritoneum sehingga menimbulkan reaksi radang tetapi ada juga peritonitis
yang disebabkan karena adanya suatu proses komplikasi dari penyakit lain.
Komplikasi yang ditakutkan dari peritonitis adalah jika bakteri penyebab menyebar
ke organ-organ lain atau bahkan ke seluruh tubuh sehingga meyebabkan sepsis
yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan yang tepat dan adekuat terhadap
peritonitis tentu dapat mencegah komplikasi tersebut.

1
II. LAPORAN KASUS

Perempuan usia 67 tahun datang dengan keluhan utama perut terasa


kembung dan sulit buang air besar, dari riwayat penyakit sekarang pasien mengeluh
3 (tiga) hari sebelum masuk rumah sakit tidak bisa buang air besar, pasien juga
mengeluh perut terasa kembung sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak ada
keluhan mual, muntah, diare dan obstipasi. Pasien tidak ada riwayat perasaan tidak
nyaman pada perut, minuman jamu, obat – obatan NSAID, dan riwayat trauma, pada
pemeriksaan vital sign tidak didapatkan peningkatan suhu tubuh (37,3 derajat
celcius), tekanan darah masih dalam batas normal (120/80mmHg), peningkatan
denyut nadi (107x/menit). Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut distensi dengan
peningkatan bising usus, nyeri tekan pada kuadran kanan atas. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan leukosit (14.200 ul), pada pemeriksaan
laboratorium lainnya didapatkan dalam kondisi dalam batas normal. Pada
pemeriksaan radiologi (abdomen 3 posisi) didapatkan gambaran ileus paralitik
(Gambar 1), pada gambaran abdomen 3 posisi ditemukan

Gambar 1. Rontgen Abdomen 3 Posisi

2
distribusi gas dalam usus halus/besar meningkat dengan gambaran hearing bone
appearance dan coil spring, psoas shadow kanan dan kiri menghilang. Setelah
dilakukan pemeriksaan dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi, sebelumnya
diberikan cairan parenteral, analgesik dan antibiotok profilaksis. Pada saat durante
operasi didapatkan gall blader perforasi dengan diameter sebesar 1 cm (Gambar 2)

Gambar 2. Durante Operasi ditemukan perforasi Gall Blader

Selanjutnya dilakukan cholesistektomi (Gambar 3), perforasi terletak di bagian


corpus dari gall blader

Gambar 3. Gall blader post cholesistektomi

3
III. DISKUSI

3.1 Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir,
yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus
kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung
empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih
kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar,
yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung
empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum1.

Gambar 4. Letak Anatomi Gall Blader

Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke


duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan
kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.

Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus


hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris
komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati
duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri1.

4
Gamabar 5. Anatomi Gall Blader

Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap-tiap
orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan2.

Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena-
vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan
bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya
menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya.
Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan
masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada
akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh
cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka.
Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik
simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik
dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf para simpatetik berasal dari cabang
nervus vagus2.

5
3.2. Fisiologi Kandung Empedu
Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut:

1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di


antara dua periode makan.
2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan
kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga
membantu proses pencernaan lemak3.
Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air,
elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik
terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan
empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel
kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organic 2.

Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan


dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan
makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK).
Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi,
sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan
penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan
akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam
duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu
diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum
terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati,
yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses pendaurulangan
antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik (Sherwood,
2001).

Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam
empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di
usus halus3.

6
3.3. Perforasi Kandung Empedu
1. Definisi Perforasi Kandung Empedu
Kandung empedu perforasi (GBP) merupakan komplikasi yang jarang tetapi
mengancam kehidupan dari kolesistitis akut. Kadang-kadang GBP mungkin tidak
berbeda dari kolesistitis akut tanpa komplikasi dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi karena keterlambatan diagnosis. Jadi GBP masih terus
menjadi masalah penting bagi ahli bedah. Kebanyakan kasus hanya dapat
didiagnosis selama operasi. Pria kasus kolesistitis akut dengan demam tinggi, sel
darah putih tinggi (WBC) count, dan penyakit sistemik terkait harus cermat
diselidiki9.

2. Etiologi Perforasi Kandung Empedu

A. Batu empedu

1. Definisi Batu empedu


Batu empedu adalah suatu bahan keras berbentuk bulat, oval, ataupun
bersegi-segi yang terdapat pada saluran empedu dan mengandung
kolesterol, kalsium karbonat, kalsium bilirubin, ataupun campuran dari
elemen-elemen tersebut11.

Gambar 6. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

2. Epidemiologi Batu empedu

7
Prevalensi batu empedu meningkat seiring dengan perjalanan usia,
terutama untuk pasien diatas 40 tahun. Perempuan berisiko dua kali lebih
tinggi mengalami batu empedu dibandingkan dengan pria. Kejadian batu
empedu bervariasi di negara berbeda dan di etnis berbeda pada negara yang
sama. Perbedaan ini menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting
dalam pembentukan batu empedu. Prevalensi tinggi batu empedu campuran
di Negara Barat, sedangkan di Asia umumnya dijumpai batu pigmen 10.
Batu pigmen sering diasosiasikan dengan penyakit hemolitik dan
sering dijumpai di daerah endemik anemia hemolitik dan malaria. Batu
pigmen hitam merupakan penyebab batu empedu di Negara barat sekitar
25%, terdiri dari polimer bilirubin tanpa kalsium palmitat, sedikit kolesterol dan
matriks dari bahan organik. Batu pigmen hitam biasanya multipel, kecil,
ireguler, dan berwarna hijau-kehitaman. Batu pigmen coklat mengandung
kalsium bilirubinat, kalsium palmitat, dan hanya sedikit jumlah kolesterol yang
terikat pada matriks bahan organic10.
Faktor gaya hidup , seperti obesitas, kurangnya beraktivitas, diet, dan
obat-obatan juga berperan penting dalam kejadian batu empedu baik
simtomatik ataupun asimtomatik. Diet tinggi karbohidrat, rendah protein
nabati, dan rendah serat juga dihubungkan dengan batu empedu simpomatik.
Obat-obatan diuretic seperti thiazid dan terapi estrogen juga meningkatkan
resiko batu empedu10.
3. Patogenesis Batu empedu
a. Batu kolesterol: adanya ketidakseimbangan antara kolesterol, garam
empedu, dan fosfolipid yang menyebabkan terbentuknya empedu
litogenik.
b. Batu bilirubinat : dikaitkan dengan hemolisis kronik, infeksi bakteri yang
memproduksi beta glukuronidase.
c. Batu campuran : dikaitkan dengan abnormalitas anatomi, stasis,
riwayat operasi sebelumnya, dan riwayat infeksi terdahulu 8.
4. Manifestasi Klinis Batu empedu
Hanya 20-25% pasien dengan batu empedu yang menunjukkan gejala klinis.
Biasa batu empedu dijumpai ketika dilakukan pemeriksaan USG dan dijumpai
asimtomatik pada 80% pasien12.
1) Kolik bilier
8
Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu empedu
merupakan keluhan utama pada 70-80% pasien. Nyeri kolik
disebabkan oleh spasme fungsional di sekitar lokasi obstruksi. Nyeri
kolik mempunyai karakteristik spesifik; nyeri yang dirasakan bersifat
episodik dan berat, lokasi di daerah epigastrium, dapat juga dirasakan
di daerah kuadran kanan atas, kuadran kiri, prekordium, dan abdomen
bagian bawah. Onset nyeri tiba-tiba dan semakin memberat pada 15
menit pertama dan berkurang hingga tiga jam berikutnya. Resolusi
nyeri lebih lambat. Nyeri dapat menjalar hingga region interskapular,
atau ke bahu kanan1.
2) Kolesistitis kronik
Diagnosis yang tidak pasti yang ditandai dengan nyeri perut atas
kanan yang bersifat intermiten, distensi, flatulens, dan intoleransi
makanan berlemak, atau apabila mengalami kolesistitis episode ringan
yang berulang1.
3) Kolesistitis obstruktif akut
Ditandai dengan nyeri konstan pada hipokondrium kanan, pireksia,
mual, dapat atau tidak disertai dengan jaundice, Murphy sign positif
(nyeri di kuadran atas kanan), leukositosis1.
4) Kolangitis
Ditandai dengan nyeri abdominal, demam tinggi, obstruktif jaundice
(Charcot’s triad), nyeri hebat pada kuadran atas kanan1.
5) Jaundice obstruktif
Ditandai nyeri abdominal atas, warna feses pucat, urin berwarna gelap
seperti teh pekat, dan adanya pruritus. Jaundice obstruktif dapat
berujung ke kolangitis bila saluran bersama tetap terjadi obstruksi1.
5. Pemeriksaan Batu empedu
a. Ultrasonografi (USG): merupakan pemeriksaan yang banyak digunakan
untuk mendeteki batu empedu. USG memiliki sensitivitas 95% dalam
mendiagnosis batu kandung empedu yang berdiameter 1,5mm atau lebih.
b. Computed Tomography (CT) : berguna untuk mendeteksi atau
mengeksklusikan batu empedu, terutama batu yang sudah terkalsifikasi,
namun lebih kurang sensitif dibandingkan dengan USG dan
membutuhkan paparan terhadap radiasi.
9
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography
(MRCP) : lebih berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan
saluran empedu yang terdilatasi.
d. Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) : lebih untuk
mendeteksi batu pada saluran empedu
6. Penatalaksanaan Batu empedu
Penatalaksanaan non operatif untuk batu empedu yaitu terapi
pengenceran dengan asam empedu dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy). Penatalaksanaan oral dengan asam empedu hanya dapat
dilakukan untuk batu kolesterol, namun tetap memiliki angka rekuren yang
tinggi sehingga zaman sekarang jarang digunakan. ESWL merupakan terapi
yang cocok untuk pasien dengan batu soliter berdiameter 0.5-2 cm, dan
angka rekurennya lebih rendah dibandingkan terapi oral. Namun hanya
sebagian kecil orang yang cocok dengan terapi ini. Tindakan operatif yaitu
kolesistektomi merupakan penalataksanaan yang telah menjadi baku emas
untuk batu empedu saat ini12.

a. Kolesistektomi
Kolesistektomi atau pengangkatan kandung empedu merupakan salah
satu prosedur abdominal yang paling umum. Kolesistektomi adalah
penatalaksanaan yang definitif untuk batu empedu simtomatik1.

Kolesistektomi terbuka merupakan penatalaksanaan yang aman dan


efektif untuk kolesistitis akut dan kronik. Namun, dua decade terakhir
kolesistektomi laparoskopi telah mengambil alih peran kolesistektomi terbuka,
dengan prosedur minimal invasive1.

Indikasi Kolesistektomi

Urgensi (dalam 24-72 jam)

•Kolesistitis akut

•Kolesistitis emfisema

•Empiema kandung empedu

10
•Perforasi kandung empedu

•Riwayat koledokolitiasis

Elektif

•Diskinesia biliaris

•Kolesistitis kronik

•Kolelitiasis simpomatik

 Kolesistektomi Laparoskopi
Kontraindikasi untuk kolesistektomi laparoskopi antara lain pasien yang
tidak bisa menoleransi anestesi umum atau bedah mayor. Kondisi seperti
koagulopati, kehamilan dan sirosis tidak lagi dianggap sebagai kontraindikasi
namun memerlukan perhatian dan persiapan lebih dan evaluasi resiko
beserta keuntungannya1.

Kolesistektomi laparoskopi merupakan pengangkatan total dari


kandung empedu tanpa insisi yang besar. Insisi kecil 2-3 cm dilakukan di
umbilikus dan laparoskop dimasukkan. Dokter bedah mengembangkan
abdomen dengan cara memasukkan gas yang tidak berbahaya, seperti
karbon dioksida (CO2), agar tersedia ruang untuk dilakukan operasi. Dua
potongan kecil 0,5 –1 cm dilakukan dibawah batas iga kanan. Insisi keempat
di abdomen bagian atas dekat dengan tulang dada. Insisi ini dilakukan untuk
memasukkan instrument seperti gunting dan forsep untuk mengangkat dan
memotong jaringan. Klip surgikal ditempatkan pada duktus dan arteri yang
menuju kandung empedu untuk mencegah kebocoran ataupun perdarahan.
Kandung empedu kemudian diangkat dari dalam abdomen melalui salah satu
dari insisi tersebut. Bila batu yang dijumpai berukuran besar, maka insisi
dapat diperlebar. Pada beberapa keadaan, dapat juga dilakukan X-ray yang
disebut kolangiogram bila dicurigai terdapat batu di saluran empedu. Operasi
umumnya berlangsung 30 hingga 90 menit, tergantung dari ukuran kandung
empedu, seberapa berat inflamasinya, dan tingkat kesulitan operasi.

11
 Kolesistektomi terbuka
Indikasi Kolesistektomi Terbuka

•Keadaan jantung dan paru yang buruk

•Dicurigai adanya kanker kandung empedu

•Sirosis dan hipertensi portal

•Kehamilan semester ketiga

•Digabung dengan prosedur lain

Kolesistektomi terbuka telah menjadi prosedur yang jarang dilakukan


biasanya dilakukan sebagai konversi dari kolesistektomi laparoskopi (Chari &
Shah, 2007).

Kolesistektomi terbuka dilakukan dengan melakukan insisi sekitar 6cm-


8cm pada bagian abdomen kanan atas menembus lemak dan otot hingga ke
kandung empedu. Duktus-duktus lainnya di klem, kemudian kandung empedu
diangkat1.

b. Efek Operasi Laparoskopi


Operasi secara laparoskopi membutuhkan pengangkatan dinding
abdomen dari organ abdominal, salah satu caranya adalah dengan
pneumoperitoneum, yaitu dengan cara menginsuflasi abdomen dengan
Nitrous Oksida (N2O) dan karbon dioksida (CO2)1.

Efek penekanan akibat pneumoperitoneum pada sistem kardiovaskular


antara lain pada pasien hipovolemik, penekanan vena kava inferior pada
posisi Tredelenburg dapat menyebabkan penuruan aliran balik vena kava dan
cardiac output. Namun hal ini tidak dialami pasien normovolemik. Peningkatan
dari intra-abdominal pressure (IAP) mengurangi aliran darah ke ginjal,
penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR), dan output urin yang
disebabkan oleh tekanan pada arteri renalis dan ginjal. Efek-efek ini bersifat
sementara namun oligouria dapat terjadi hingga 1 jam setelah operasi
berakhir. Konsekuensi hemodinamik dan metabolik akibat pneumoperitoneum
dapat ditoleransi oleh individu yang sehat. Masalah dapat muncul bila pasien

12
mengalami gangguan fungsi kardiovaskular, sehingga diperlukan alternatif
lain ataupun pengurangan dari tekanan insuflasi12.

Sama halnya dengan perubahan pada ginjal, fungsi hati juga


dipengaruhi oleh peningkatan IAP. Gangguan fungsional mungkin terjadi
sehingga serum transaminase dapat meningkat, dan parenkim hati dapat
mengalami perubahan morfologikal4.

B. Kolesistitis

1. Definisi Kolesistitis
Kolesistitis adalah inflamasi akut dan kronis dari kandung empedu,
biasanya berhubungan dengan batu kandung empedu yang tersangkut pada
duktus sistikus dan menyebabkan distensi kandung empedu.

2. Etiologi Kolesistitis
Penyebab tersering kolesistitis akut adalah obstruksi terus-menerus
duktus sistikus oleh batu empedu yang mengakibatkan peradangan akut
kandung empedu. Pada hampir 90% kasus disertai dengan kolelitiasis4.

3. Patofisiologi Kolesistitis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah; 7

a) Stasis cairan empedu


b) Infeksi kuman
c) Iskemia dinding kandung empedu
Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan
empedu menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan
seterusnya akan merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi
dan supurasi. Dinding kandung empedu akan meradang, kasus yang lebih
berat akan terjadi nekrosis dan ruptur7

4. Epidemiologi Kolesistitis
Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens
kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut

13
Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di negara
kita5.

5. Penatalaksanaan Kolesistitis

Tindakan Umum

Tirah baring, pemberian cairan intravena, diet ringan tanpa lemak dan
menghilangkan nyeri dengan petidin (demerol) dan buscopan4.

Antibiotika

Diberikan untuk mengobati septikemia serta mencegah peritonitis dan


empiema. Mikroorganisme yang sering ditemukan adalah Eschteria coli,
Stretococcus faecalis, dan Klebsiella, sering dalam kombinasi. Dapat juga
ditemukan kuman anaerob seperti Bacteriodes dan Clostridia4.

Bedah
Pada kolestisistitis akut sebaiknya dilakukan kolesistektomi
laparoskopik secepatnya pada 1-2 hari perawatan. Beberapa dokter bedah
lebih menyukai menunggu dan mengobati pasien dengan harapan menjadi
lebih baik selama perawatan, dan mencadangkan tindakan bedah bila kondisi
pasien benar-benar hampir pulih, dengan dasar pemikiran bahwa aspek
tekhnik kolesistektomi akan lebih mudah bila proses inflamasi telah mulai
menyembuh. Masalahnya sekitar 25% pasien gagal mengalami perbaikan
atau malah memburuk sehingga memerlukan tindakan bedah yang
mendesak. Pada saat itu kecenderungannya ialah dengan melakukan
tindakan bedah segera setelah diagnosis sudah pasti dan keadaan umum
pasien secara keseluruhan sudah stabil4.
Dibandingkan kolesistektomi konvensional, pada kolesistektomi
laparoskopik, pasien dapat keluar rumah sakit dalam 1-2 hari pascaoperasi
dengan jarigan parut minimal dan dapat berkativitas lebih cepat. Sekitar 10%
kolesistektomi laparoskopik harus diubah menjadi operasi terbuka
(kolesistektomi konvensional) di kamar operasi karena adanya inflamasi yang
luas, perlekatan, atau adanya komplikasi, seperti cedera saluran empedu
yang memerlukan perbaikan. Pada pasien yang memerlukan penanganan

14
secepatnya, namun dalam keadaan sakit keras atau sangat berisiko tinggi
untuk kolesistektomi, pasien harus diterapi secara medis dengan pemberian
cairan, antibiotika dan analgesik, bila terapi ini gagal, perlu dipertimbangkan
suatu kolesistotomia perkutan. Di sini, isi kandung empedu dikeluarkan dan
lumen didrainase dengan kateter yang ditinggalkan. Pada pasien yang
mengalami kolesistosomia dan telah sembuh dari keadaan akut, harus
dilakukan kolesitektomi 6-8 minggu kemudian bila kondisi medisnya cukup
baik4.

6. Prognosis Kolesistitis

Sekitar 75% pasien yang ditangani secara medis akan mengalami remisi
dari gejala akut dalam kurun waktu 2-7 hari perawatan rumah sakit.
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung
empedu menjadi tebal,fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren Pada 25% kasus, timbul penyulit,
gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum Bila hal ini terjadi, angka kematian dapatmencapai 50 – 60%.
Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yangadekuat pada awal
serangan. Dalam hal ini, diperlukan segera tindakan bedah 4.

Dari 75% pasien kolesistitis akut dengan gejala yang mereda, hampir
seperempatnya akan kambuh dalam kurun waktu satu tahun, dan 60% setidaknya
akan mendapat satu kali serangan kekambuhan dalam waktu enam tahun. Oleh
karena itu, bila mungkin, tindakan terbaik adalah tindakan bedah dini4.

7. Komplikasi Kolesistitis

Kolesistitis akut tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren, kadang dapat


berkembang dengan cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung
empedu, fistel, abses hati, dan peritonitis.5

15
3. Klasifikasi Perforasi Kandung Empedu

1. Tipe I perforasi pasien disajikan dengan keluhan nyeri perut umum. Yang
awalnya berlokasi di hipokondrium kanan kemudian menyebar keseluruh
bagian perut, dan nyeri lepas positif.
2. Tipe II perforasi pasien disajikan dengan keluhan nyeri hypochondrial kanan
yang berkisar dalam durasi dari 3 hari sampai 15 hari.
3. Tipe III perforasi disajikan dengan gejala mirip seperti cholecystits akut.
Namun, pasien ini memiliki gejala durasi yang lebih lama dan berulang.
Pasien mengalami demam pada tipe I dan tipe II. Massa pada abdominal dan kuning
juga telah dilaporkan9.

Pasien dengan type I gallbladder perforasi memiliki tanda-tanda iritasi


peritoneum seperti nyeri perut yang luas, menjaga, dan nyeri lepas. Pasien dengan
type II gallbladder perforasi memiliki nyeri yang terlokalisir, menjaga, Murphy sign
positif, dan memiliki massa subcostal, dan memiliki penyakit kuning dengan tingkat
bilirubin total 28 mg / dL. Pasien dengan tipe III kandung empedu perforasi memiliki
kelembutan epigastrium dan salah satu dari mereka juga memiliki distensi abdomen.
Empat pasien memiliki sindrom respon inflamasi sistemik, dari mereka dua pasien
dengan type I gallbladder perforasi dan dua dengan jenis type II and III perforasi
kandung empedu9.

4. Diagnosis Perforasi Kandung Empedu

Leukositosis, demam tinggi, serum kreatinin meningkat pada pasien. Tidak


ada perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok sehubungan dengan parameter
ini. Pada pemeriksaan abdomen, nyeri umum hadir terutama di daerah kuadran
kanan atas. Kekakuan hadir di perut kanan bagian atas tapi tidak ada massa
dirasakan10.

Ultrasonografi abdomen dilakukan pada semua pasien dan berhasil


mengidentifikasi patologi empedu dalam hal identifikasi batu empedu. Selain itu,
membantu dalam mencurigai perforasi pada delapan dari 14 pasien (57%) dengan
tipe II perforasi. Pada Ultrasonografi tampak batu pada kandung empedu. Pada 3
pasien ditemukan pericholescystic yang besar dengan dinding kandung empedu
menebal10.

16
Pemeriksaan fisik :

Palpasi : Nyeri tekan abdomen, Refleks spasme otot perut rigiditas(+), Murphy
Sign(+), Pembesaran kandung empedu

Auskultasi : Bising usus (-)

Inspeksi : Jalan membungkuk

Pemeriksaan penunjang :

- Foto polos abdomen


Ada 3 posisi :
1. terlentang (di foto dari anterior ke posterior secara vertikal)
2. duduk atau setengah duduk (di foto dari anterior ke posterior secara
horizontal)
3. tiduran miring ke kiri (di foto dari anterior ke posterior dari
horizontal)
- USG
- CT scan
- Tes faal hati (untuk menyingkirkan diagnosis banding)

17
5. Diagnosis banding Perforasi Kandung Empedu

- Cholecystitis
- Cholangitis
- Pancreatitis akut
- Ulcus peptikum
- Abses hati
6. Penatalaksanaan Perforasi Kandung Empedu

1. Pra bedah
- Mengembalikan keadaan umum, seperti mengkoreksi cairan dan
elektrolit tubuh dengan cara pemberian cairan secara intravena. Cairan
yang diberikan bisa berupa ringer laktat untuk memulihkan tekanan
darah dan urin kembali ke keadaan normal.
- Pemberian antibiotik berspektrum luas9
2. Bedah
- Laparotomi untuk mengeksplorasi dan mengkoreksi kerusakan
anatomi penyebab peritonitis serta melakukan lavage (pencucian
rongga peritoneum).
- Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu.
- Jika terdapat batu, dilakukan koledokolitotomi yaitu pengangkatan batu
empedu
- Kolesistotomi yaitu drainase pada kandung empedu. Tindakan ini
dilakukan pada kasus empiema atau bila pasien berada dalam
keadaan buruk9.
3. Post bedah
- Monitor pasien untuk menjaga agar tidak terjadi komplikasi.
- Pemberian analgesik untuk mengurangi rasa sakit.
- Menjaga asupan nutrisi.
- Istirahat yg cukup9.
Tujuan dilakukan tindakan pembedahan adalah penting untuk menghilangkan
sumber infeksi. Hal ini penting sebagai pencegahan infeksi intra abdominal yang
berlebihan.

18
7. Prognosis Perforasi Kandung Empedu

Prognosis dari pasien ini adalah dubia ad bonam, selama dilakukan


penatalaksanaan yang benar, tepat dan secara dini10.

19
Daftar Pustaka

1. Costanza Chiapponi, Stephan Wirth and Matthias Siebeck, Acutergallbladder


perforation with gallstones spillage in a cirrhotic patient, World Journal of
Emergency Surgery, 2010
2. https://wjes.biomedcentral.com/articles/10.1186/1749-7922-5-11 (cited 15
desember 2017)
3. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I et al. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009
4. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS. Buku ajar ilmu penyakit
hati. Ed 1. Jakarta: CV Sagung Seto; 2012. H 175-7, 184, 603-7
5. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid I. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
6. Bickley LS, Szylagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history
taking. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.
7. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi
Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013. h 194.
8. Nurman A. Batu empedu. Dalam: Sulaiman HA, Akbar NA, Lesmana LA, Noer
HMS. Buku ajar ilmu penyakit hati. Jakarta: Jaya Abadi; 2007. H 161.
9. Derici H, Kara C, Bozdag AD, et al. Diagnosis and treatment of Gallbladder
perforation. World Journal of Gastroentrology. 2006
10. Menakuru RS, Kaman L, Behera A, et al.Current Management of Gall Bladder
Perforations. 2004
11. Lesmana L. Batu empedu. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000

20

Anda mungkin juga menyukai