Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

”Manfaat Informed Consent dalam Meningkatkan Mutu dan


Keselamatan Pasien”

Disusun Oleh:
KELOMPOK UNPATTI I

DEPARTEMEN/INSTALASI ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Pentingnya Informed Consent dalam Meningkatkan


Mutu dan Keselematan Pasien” telah disetujui dan disahkan oleh Departemen
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya pada:
Hari : Jumat,
Tanggal : 27 April 2018
Tempat : Ruang Kuliah Dokter Muda Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya
Pembimbing : dr. H. Edy. Suyanto, Sp.F., S.H., MH. Kes
Penyusun : Kelompok UNPATTI I (Periode 02 April – 13 Mei 2018)
1. Revoldy Moenandar (201183032)
2. Natalia J. Tetelepta (201183033)
3. Luses Shantia Haryanto (201183034)
4. Jeffly Varro Gilbert (201283037)
5. Riqqah U. Sallatalohy (201383052)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya referat
yang berjudul “Pentingnya Informed Consent dalam Meningkatkan Mutu dan
Keselematan Pasien” dapat diselesaikan tepat waktu. Pembuatan referat ini
merupakan salah satu tugas dalam menempuh masa dokter muda di Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Ucapan terima kasih karena bimbingan, dukungan dan bantuan
dalam pembuatan makalah ini disampaikan kepada :
1. H. Edi Suyanto, dr., Sp.F, SH, MH. Kes selaku Ketua Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas Airlangga dan Kepala
Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, serta selaku pembimbing refarat ini
2. Nily Sulistyorini, dr.,Sp.F selaku Koordinator Pendidikan Dokter Muda Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya
3. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
FK Universitas Airlangga,
4. Seluruh PPDS Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas
Airlangga.
Penulis menyadari sungguh bahwa pembuatan referat ini masih belum
sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan
untuk perbaikan referat ini kedepan. Besar harapan penulis agar referat ini dapat
memperluas wawasan dan menambah pengetahuan khususnya bagi para praktisi ilmu
kedokteran forensik dan medikolegal serta pembaca pada umumnya.

Surabaya, 27 April 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………... iv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
1.1. Latar belakang …………………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………… 4
1.3. Tujuan …………………………………………………….... 4
1.4. Manfaat …………………………………………………….. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Informed Consent …………………………………. 5
2.2 Fungsi Informed Consent …………..…………………….. 7
2.3 Tujuan Pelaksana Informed Consent …………………….. 7
2.4 Aspek-aspek penting dalam Informed Consent …………. 9
2.5 Tata laksana Informed Consent ………………………….. 16
2.6 Informasi yang wajib diberikan dalam Informed Consent … 17
2.7 Ketentuan Informed Consent …………………………….. 17
2.8 Aspek Hukum Informed Consent ………………………… 18
2.9 Hak dan kewajiban dokter ………………………………… 19
2.10 Hak dan kewajiban pasien …………………………....... 21
2.11 Sanksi hukum Informed Consent ………………………. 22
2.12 Contoh Surat Penolakan Informed Consent ……........... 24
2.13 Contoh Surat Persetujuan Informed Consent ………….. 25

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ……………………………………………....... 26
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………........ 27

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kedokteran
yang dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi
mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur
hukum. Gejala ini tampak menjalar ke mana-mana, baik di dunia Barat yang
memeloporinya maupun Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak
akan adanya perlindungan untuk pasien maupun dokternya. Salah satu tujuan dari
hukum atau peraturan atau deklarasi atau kode etik kesehatan adalah untuk
melindungi kepentingan pasien di samping mengembangkan kualitas profesi dokter
atau tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga
kesehatan, merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem
kesehatan. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan
itu harus diutamakan1.
Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus (lex
spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak asasi
manusia memperoleh kesehatan (the Right to health care). Masing-masing pihak,
yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan
(medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Seiring
dengan pergeseran pola hubungan hukum antara dokter dan pasien dari hubungan
paternalistik menjadi hubungan horizontal kontraktual, maka kedudukan pasien
menjadi sederajat dengan dokter, bukan hanya sebagai obyek penyembuhan tetapi
berperan sebagai subyek. Perubahan hubungan inilah yang menjadikan setiap upaya
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya memerlukan
persetujuan dari si pasien itu sendiri. Persetujuan ini didasarkan mengenai informasi
tentang penyakit, alternatif serta upaya penyembuhan dan akibat yang mungkin
terjadi dari upaya penyembuhan tersebut. Dengan semakin berkembangnya

1
masyarakat hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan.
Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap
keampuhan ilmu kedokteran dan teknologi. Agar dapat menanggulangi masalah
secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek di bidang
kedokteran, perlu diungkap hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan
kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang
cermat dan hati-hati dari tenaga kedokteran1.
Secara harfiah informed consent merupakan padanan kata dari: informed
artinya telah diberikan penjelasan/informasi, dan consent artinya persetujuan yang
diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Informed consent terdiri dari dua
kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan
(informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed
consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang
berkaitan dengannya1,2.
Persetujuan tindakan adalah kesepakatan yang dibuat seorang pasien untuk
menerima rangkaian terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk
risiko terapi dan fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh
dokter. Oleh karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan
dokter. Biasanya, pasien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi.
Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan
tindakan itu sendiri1.
Dalam penyelenggaraan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan
terlaksana hubungan yang lancar antara pasien dan tenaga kesehatan, akan tetapi
dapat terjadi masalah diantara 2 prinsip, yaitu prinsip memberikan kebaikan kepada
pasien yang bertolak dari sudut pandang nilai etika dan ilmu kesehatan berdasarkan
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman tenaga kesehatan, dan prinsip

2
menghormati hak menentukan diri sendiri dari sudut pandang pasien. Sehingga
terdapat benturan yang dilematis antara tanggung jawab moral profesi dan hak asasi
manusia yang universal dalam hubungannya dengan kesehatan. Dengan demikian
informed consent dibuat dengan tujuan untuk (1) memberikan perlindungan kepada
pasie atas segala tindakan medis dan (2) memberikan perlindungan tenaga kesehatan
terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga yang dianggap merugikan pihak lain1.
Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan penjelasan
mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien yang tertera dalam
Permenkes No 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 1 Ayat (1). Tujuan Informed
Consent adalah melindungi hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri (self-
determination)3.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan
diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar hukum. Dalam
pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun
2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang
melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik3.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum
perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan3.
Oleh karena itu, sangat diperlukan bagi dokter, tenaga kesehatan serta
masyarakat untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu
perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent yang
sah secara hukum3.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui apa
manfaat informed consent dalam meningkatkan mutu dan keselematan pasien.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui manfaat informed consent dalam meningkatkan mutu dan
keselematan Pasien

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Untuk mengetahui definisi, fungsi dan tujuan pelaksana informed consent
1.3.2.2 Untuk mengetahui aspek-aspek penting dalam informed consent
1.3.2.3 Untuk mengetahui informasi yang wajib di berikan dalam informed consent
1.3.2.4 Untuk mengetahui tata laksana informed consent
1.3.2.5 Untuk mengetahui dasar hukum serta sanski terhadap informed consent

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: manfaat
bagi institusi dan manfaat bagi tenaga kesehatan.
1.4.1 Manfaat penulisan ini bagi institusi terkait, dalam hal ini SMF medikolegal dr.
Soetomo FK UNAIR adalah untuk menambah kepustakaan terutama dalam
bidang rekam medis
1.4.2 Manfaat penulisan ini bagi tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dan dokter
muda, adalah memiliki landasan ilmu pengetahuan serta tambahan informasi
terhadap pentingnya informed consent

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Informed consent


Informed consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Consent dibagi menjadi 2 yaitu expressed yang berarti
dapat secara lisan atau tulisan, implied yang berarti yang dianggap telah diberikan.
Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat
didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
serta risiko yang berkaitan dengannya4.
Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya
tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam
bentuk lisan maupun tertulis. Persetujuan yang paling sederhana adalah persetujuan
secara lisan, misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan yang lebih
kompleks yang lebih berisiko yang kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan
yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau kecacatan permanen, memperoleh
persetujuan yang tertulis supaya suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat
digunakan sebagai bukti. Pada hakikatnya Informed consent adalah suatu proses
komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan
dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter),
sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan
formulir Informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang
telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang
akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien5,6.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI No.29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran serta Manual Persetujuan Tindakan
Kedokteran KKI tahun 2008, maka Informed consent adalah persetujuan tindakan

5
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut6.
Paragraf 2 Pasal 45 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
berisi lebih khusus mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran
Gigi. Adapun isi Pasal 45 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
adalah:
Pasal 45
(1). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3).Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(4).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5).Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(6).Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.

2.2 Fungsi Informed Consent

6
Perlunya meminta informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :3
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien.
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter.
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional.
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan.
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.

2.3 Tujuan Pelaksana Informed Consent


Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan untuk melindungi
pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang
dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis
yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi
pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang
memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan
tidak ada alasan medisnya3
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan
standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka
tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian
(negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan
dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya. Perlunya memberi inform consent
pada pasien adalah untuk:3
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien

7
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal
mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.
Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun
informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan
emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia
tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar
menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga
tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien,
walaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter,
maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan
medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergensi tidak
diperlukan informed consent.4
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum
yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed
consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal,
ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga
derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek
dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :4
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi
dokter tetap melakukan tindakan tersebut
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan
akibat dari tindakan medis yang diambilnya

8
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
2.4 Aspek-Aspek penting dalam Informed Consent
Beberapa aspek-aspek penting terkait pelaksanaan informed consent ialah
sebagai berikut:3,4
1. Informasi
Bagian yang terpenting dalam informed consent adalah mengenai informasi
atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Yaitu informasi
mengenai apa yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan tentunya prosedur tindakan yang
akan dijalani baik diagnostik maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien/keluarga
dapat memahaminya. Ini mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang
akan dilaksanakan dan alternatif terapi. Mengenai kapan disampaikan, tergantung
pada waktu yang tersedia setelah dokter akan memutuskan akan melakukan tindakan
invasif dimaksudkan.
Pasien/keluarganya harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya. Siapa yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan yang akan
dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif
lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Dalam keadaan
tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang
bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat
disampaikan oleh dokter atau perawat. Mengenai informasi yang mana yang harus
disampaikan, dalam Permenkes dijelaskan haruslah yang selengkap-lengkapnya,
kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan
pasien atau pasien menolak memberikan informasi. Bila perlu informasi dapat
diberikan kepada keluarga pasien.3,4

9
Dalam UU No. 36 tahun 2009 menyatakan bahwa dokter harus menyampaikan
informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi
informasi harus disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu
tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik yang berupa diagnostik maupun
terapeutik. Fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum pasien memberikan
consent-nya, dapat dibedakan atas :3,4

a. Fungsi informasi bagi pasien


Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri.
Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medis
atau tidak.

b. Fungsi informasi bagi dokter


Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed consent pun
mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (1991) mengemukan ada 5 hal pentingnya
fungsi informasi terlebih dokter:
1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi,
keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan
maka terjalin hubungan yang baik antara dokter dan pasien. Sementara pasien
pun akan menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi,
sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalani oleh kedua pihak
karena keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu.

2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi


Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang baik
dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan terapi. Misal
dokter sebelum menyuntik pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien
alergi terhadap penisilin? Bila pasien memang alergi maka akibat/risiko yang

10
besar jika terjadi anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar itu akan
menimpa pasien bila dokter tidak bertanya kepada pasien.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat adanya
pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan
kedokteran yang akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit akan lebih cepat. Keadaan yang demikian juga jelas akan
menguntungkan dokter, karena dapat mengurangi beban kerja.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai akibat dari
lancarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi
serta cepatnya proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila disuatu pihak, tindakan
dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah apapun, dan dilain
pihak, kalaupun kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat
sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kelalaian dan ataupun kesalahan tindakan (malpractice). Timbulnya masalah
tersebut semata–mata hanya karena berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari
setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua tindakan
kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan
profesi (standar profesi medis) yang telah ditetapkan.

Menurut Guwandi (2004), informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan


tindakan operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang berkenaan
dengan :
a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan
b. Manfaat dilakukan operasi tersebut
c. Resiko yang terjadi pada operasi tersebut
d. Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga kalau mungkin
dilakukan)
e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.

11
2. Persetujuan
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat
informasi yang adekuat. Berpedoman pada UU No. 36 tahun 2009 tentang
persetujuan tindakan medik maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien
sendiri yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan
sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medik yang ada selama ini,
penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi
lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan
kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima penjelasan tindakan
operasi dan tindakan medis yang invasiv tadi serta keberanian untuk menandatangani
surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien.3,4
Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien terlebih
dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan secara etika
kedokteran dan hukum, sebagaimana telah ditegaskan oleh IDI tentang informed
consent (dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri).3
Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam keadaan
gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya
serta dilakukan dalam rangka life saving. Dalam keadaan-keadaan seperti ini dokter
dapat melakukan tindakan medis tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu.4

Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :


1. Persetujuan Tertulis
Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari pasien/keluarganya jika
dokter akan melakukan suatu tindakan medik invasif yang mempunyai resiko besar.
Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585 tahun 1989.
Persetujuan–persetujuan tertulis itu dalam bentuk formulir–formulir persetujuan
bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan tulisan tangan. Dan
dari sudut hukum positif, formulir persetujuan ini sangat penting sebagai bukti tertulis

12
yang dapat dikemukan oleh para pihak kepada hakim bila terjadi kasus malpraktek.
Oleh karena itu, pengisian data pada formulir itu haruslah tepat dan benar sehingga
tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari bagi para pihak.4

2. Persetujuan Lisan
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko besar
maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada dokter. Segi
praktis dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan
alasan dari penyampaian persetujuan itu secara tertulis. Meski persetujuan lisan itu
diperbolehkan untuk tindakan, dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat
persetujuan lisan pasien itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena segala
kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat dalam rekam medis termasuk
persetujuan pasien secara lisan.4

3. Penolakan (Informed Refusal)


a. Penolakan Pemeriksaan/Tindakan
Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan
tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut
berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak
dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi
situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi
tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek
sampingnya.3

13
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi
pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti
kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan
dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian
setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.3

b. Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh
pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat
anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.3

c. Pembatalan Persetujuan yang telah diberikan


Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan
membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.
Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien
harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan
persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat
membatalkan persetujuan.3
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan
dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan
memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus
menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang
keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan
menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa
persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang
didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi

14
apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter
harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan
menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah
berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan
apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.3

d. Lama Persetujuan Berlaku


Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru
muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru,
maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila
terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya
tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan
tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama
bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki
pertanyaan.4

2.5 Tata Laksana Informed Consent


Pada umumnya, keharusan adanya informed consent secara tertulis yang
ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik tertentu itu,
dilakukan di sarana kesehatan yaitu di Rumah Sakit atau Klinik, karena erat kaitannya
dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical Record). Hal ini
disebabkan, rumah sakit atau klinik tempat dilakukannya tindakan medik tersebut,
selain harus memenuhi standar pelayanan rumah sakit juga harus memenuhi standar
pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan
No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah
Sakit. Dengan demikian, rumah sakit turut bertanggung jawab apabila tidak
dipenuhinya persyaratan informed consent. Apabila tindakan medik yang dilakukan
tanpa adanya informed consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan

15
sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktik, berarti, keharusan adanya
informed consent secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi rumah
sakit yang bersangkutan.7
Dengan demikian, penandatanganan informed consent secara tertulis yang
dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan
dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya. PERMENKES No.
585/MENKES/PER/IX/1989 Pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa penandatangan
informed consent secara tertulis dilakukan oleh yang berhak memberikan persetujuan
yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien atau keluarganya mendapat
informasi yang lengkap.7
Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya informed consent secara tertulis
tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam
menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter
yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Untuk itu,
tindakan medik yang ditentukan oleh dokter harus dapat dipertanggung jawabkan
sesuai dengan standar profesinya.7
2.6 Informasi yang wajib diberikan dalam informed consent
1. Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran. Penjelasan mengenai diagnosis
dapat meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya
tindakan kedokteran
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan. Penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik, ataupun rehabilitatif

16
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan
sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin
terjadi.
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya.
a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan
dengan tindakan yang direncanakan
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif
tindakan
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan
darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga
lainnya.
4. Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. Penjelasan tentang risiko
dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang
dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Penjelasan tentang prognosis
meliputi :
a. Prognosis tentang hidup matinya (ad vitam)
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
6. Perkiraan pembiayaan

2.7 Ketentuan Informed Consent


Ketentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES 290
Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang dimaksud adalah suami atau istri,
ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-suadara kandung atau
pengampunya.7

17
Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui
terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik
atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed
consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang
memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa
pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas
terhadap pasien. Dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera
mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.7
Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri, yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.7
Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada
pasien yang melepaskan haknya memberikan consent)
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent

2.8 Aspek Hukum Informed Consent


1. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum” yakni orang yang mempunyai
hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum”
yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum,
dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh
hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.7

18
2. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukum
perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata,
tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika
terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka
sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah
hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa
lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan
sanksi pidana.
3. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana
jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan
mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan
medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya
4. Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasif (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasif) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya
izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 351 KUHP

19
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya
hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini
sifatnya relatif, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit
untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

2.9 Hak dan Kewajiban Dokter


Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi mempunyai
hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam
Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :7
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya dan
menerima imbalan jasa.

Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :

20
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.

2.10 Hak Dan Kewajiban Pasien


Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun mempunyai
hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini diatur dalam
Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :7

Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Menolak tindakan medis
e. Mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya

21
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

2.11 Sanksi Hukum Informed Consent


a. Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan
pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351
KUHP.8

b. Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat
digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHP.8
c. Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.8

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Informed consent adalah lebih daripada hanya sekedar mendapatkan tanda
tangan seorang pasien pada suatu formulir persetujuan. Informed consent adalah suatu
proses komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh
pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu. Dalam proses komunikasi
ini, dokter sebagai orang yang memberi terapi atau melakukan tindakan mediklah
yang harus menjelaskan dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini.
Proses komunikasi ini tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus
dibicarakan :
1. Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui
2. Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan
3. Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan
4. Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa melihat
biayanya maupun apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh
asuransi)
5. Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain yang tersedia

23
6. Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan atau tindakan
tidak dilakukan

Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai kesempatan untuk bertanya


untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu pengobatan atau
tindakan. Dengan demikian dia akan dapat membuat keputusan yang berdasarkan
pemahaman yang baik mengenai suatu intervensi medik. Keputusan yang dia ambil
bisa berupa persetujuan maupun penolakan akan intervensi tersebut. Informed
consent baru dianggap sah kalau diberikan oleh seorang pasien/klien yang kompeten
dan diberikan secara sukarela.
SURAT PENOLAKAN TINDAKAN MEDIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
1. N A M A :
2. Umur / Jenis Kelamin :
3. Alamat Jelas :
4. Nomor Identitas Diri :

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan PENOLAKAN Untuk dilakukan
tindakan medis berupa: Terhadap diri saya sendiri/istri/suami/anak/ayah/ibu saya dengan :
1. N A M A :
2. Umur / Jenis Kelamin : ..........tahun, Laki-laki / Perempuan
3. Alamat Jelas :
4. Dirawat di ruang rawat :

Saya juga telah menyatakan dengan sesungguhnya dengan tanpa paksaan bahwa saya:
a. Telah diberikan informasi dan penjelasan serta peringatan akan bahaya, risiko serta
kemungkinan-kemungkinan yang timbul apabila tidak dilakukan tindakan medis berupa
……………………………………………………………………………………………….
b. Telah saya pahami sepenuhnya informasi dan penjelasan yang diberikan dokter.
c. Atas tanggung jawab dan risiko saya sendiri tetap menolak untuk dilakukan tindakan
medis yang dianjurkan dokter
d. Tujuan, sifat dari penolakan tindakan medis tersebut di atas telah saya mengerti akan
berdampak pada proses penyembuh, sehingga saya tidak akan menuntut secara pidana
maupun perdata
e. Dan Saya bertanggungjawab secara penuh atas segala akibat yang mungkin timbul sebagai
akibat tidak dilakukannya tindakan kedokteran tersebut.

Demikian surat penolakan ini saya buat dan tandatangani dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari
paihak manapun.
Surabaya, 20

24
Dokter/Pelaksana, Yang membuat pernyataan,

(dr. …………………) (……………………)

Saksi – saksi

(…………………………………..……)
(…………………………………..……)
* Coret yang tidak perlu
SURAT PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
(Informed Consent)

Yang bertanda tangan di bawah ini, suami/istri/anak dari penderita yang bernama :
Nama:………………………………………………………( Pria / Wanita )
Usia: ……………………………………………………….
Alamat: ……………………………………………………

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa setelah mengetahui tujuan dari tindakan


khusus yang di lakukan berupa: ………………………………………………………..

Maka kami menyatakan tidak keberatan untuk dilakukan tindakan tersebut di atas,
setelah mendapat keterangan secukupnya tentang faedah dan juga akibatnya.

Demikian persetujuan ini kami buat dengan sebenar-benarnya dan tidak ada paksaan
dari pihak manapun juga

Surabaya, 20

Pelaksana tindakan medis Yang membuat peryataan

25
( ) ( )

DAFTAR PUSTAKA

1. Guwandi, J. Informed Consent & Informed Refusal 4th edition. Fakultas


Kedokteran Indonesia:Jakarta. 2004
2. Zulfiqar A. Bhutta, Beyond Informed Consent, Bulletin of the World Health
Organization, Oct 2004.
3. Dr Leslie Gelling. Informed consent in health and social care research, RCN
guidance for nurses, 2nd Ed, Royal College of Nursing. London. 2011
4. Patricia A. Marshall, Ethical challenges in study design and informed consent
for health research in resource-poor settings, World Health Organization on
behalf of the Special Programme for Research and Training in Tropical
Diseases. 2007
5. E. Sakellari, Patient's autonomy and informed consent, ICUS NURS WEB J.
Maret, 2003
6. https://www.academia.edu/6608171/Informed_Consent_dan_Rahasia_Medis.ht
ml
7. http://www.Unsu.ac.id/makalah Informed consent Chapter II.html
8. http://www.Undip.ac.id/daftar pustaka informed consent.html
9. Koeswadji. H.H, Hukum Kedokteran, cetakan ke-1, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998
10. Hoediyanto, Hariadi A. Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal.
Edisi 8. Departemen ilmu kedokteran forensic dan medikolegal. Fakultas
kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. 2012.

26

Anda mungkin juga menyukai