Anda di halaman 1dari 22

METODE BARU/RASIONAL (GLASS BOX)

 Merupakan metode perancangan rasional


 Disebut sebagai kotak transparant (glass box)
 Merupakan kebalikan dari metode tradisional
 hasil ciptaan dapat ditelusuri bagaimana proses terjadi maupun proses kreatifnya.

CIRI METODE RASIONAL

 Tujuan, Variable dan Kriteria ditentukan dengan matang


 Analisis lengkap
 Evaluasi bermakna dan logis
 Strategi ditentukan dengan matang.
Perpustakaan singapur

Entrance

Sejak mengerjakan Perancangan Arsitektur 5 semasa kuliah mengikuti prinsip desain Ken Yeang,
aku selalu bermimpi bisa mengunjungi bangunan karyanya yang berprinsip bioclimatic ecodesign. Ken
Yeang, arsitek berkebangsaan Malaysia ini, selalu menerapkan konsep bangunan hemat energi, dengan
memanfaatkan sinar matahari yang berlimpah di negara-negara tropis ini. Setelah gagal mengunjungi
Menara Mesiniaga di Kuala Lumpur karena hujan deras di kunjungan beberapa bulan sebelumnya,
ternyata saat ini kesempatanku adalah mengunjungi National Library of Singapore, yang berlokasi di
daerah Bras Basah, hanya 5-10 menit berjalan kaki dari National Museum of Singapore dan Singapore
Art Museum.

facade depan dengan sun shading

Yang membuatku lebih bahagia lagi, bukan saja perjalanan ini gratis karena dibayari oleh
Skyscanner, tapi karena fungsi bangunan ini adalah perpustakaan. Buat yang kenal banget
denganku, tentu tahu kalau separuh duniaku adalah buku. Bisa dibilang aku ini bookfreak, yang
selalu tergila-gila pada apa pun yang berkaitan dengan buku. Sehingga kunjungan ke tempat ini
seperti hadiah luar biasa, mengunjungi sepotong surga buku, gudang ilmu untuk pengetahuan.

Bangunan ini terdiri dari dua massa bangunan di barat yang berbentuk kotak dan timur yang
berbentuk melengkung, dihubungkan oleh lorong promenade dan jembatan di atasnya. Lorong
sebagai jalur masuk utama ini membujur dari Victoria Street sampai North Bridge Road. Di
depan terdapat kanopi gantung dari kaca yang menaungi kedua bangunan. Dominasi material
kulit bangunan adalah kaca dan metal yang merupakan material yang bisa di-recycle. Kusen
alumunium, cladding alumunium, rangka baja, dan kaca anti silau, terpampang jika aku
mendongakkan kepala memandang langit di area 11.304 m2. Hijau taman di kaki bangunan
berlantai 15 ini menyejukkan mata dari panasnya udara Singapura siang itu.

di antara dua massa bangunan

kanopi kaca pada dua sisi

Perpustakaan nasional seluas 58.783 m2 ini menampung buku-buku untuk Central Public
Library di lantai basemen 1, dan Lee Kong Chiat Reference Library dari lantai 7 hingga 13. Di
lantai 2-5 terdapat Drama Center dibawah naungan National Art Council, sementara di lantai
paling atas terdapat area kaca tertutup yang dinamakan The Pod, untuk event dan pameran-
pameran tertentu. Ada dua taman di dalam bangunan yaitu The Courtyard di lantai 5 dan The
Retreat di lantai 10. Sayang aku hanya 2 jam di dalam bangunan ini sehingga tidak menjangkau
semua lantai.

Ken Yeang, adalah seorang arsitek yang menerapkan prinsip bioklimatik di bangunan-bangunan
desainnya. Dengan memecah bangunan menjadi dua bagian dan dihubungkan dengan skybridge,
maka bangunan tidak menjadi bulky dan masif dan menciptakan ruang-ruang penuh cahaya
matahari tropis yang bersinar sepanjang tahun. Ruang-ruang baca ditempatkan di tepian yang
terang sementara buku-buku yang butuh perlindungan ditempatkan di tengah. Fungsi-fungsi
servis seperti toilet, tangga darurat diposisikan di pinggir untuk mendapatkan sinar matahari dan
pengudaraan tanpa bantuan kipas pendorong. Memang di ruangan-ruangan koleksi masih
menggunakan pengudaraan buatan untuk melindungi kondisi buku dari perubahan cuaca.

taman bawah dan paving block yang menyerap air

Aku memasuki promenade bangunan yang ramai juga digunalan orang untuk berlalu lalang ke
jalan sebelah sananya. Di massa bagian barat digunakan sebagai ruang eksebisi, sedang ramai
oleh event Singapore Biennale. Satu sudutnya terdapat kios 24 hours bookdrop di mana kita bisa
menyumbangkan buku-buku untuk perpustakaan Singapura ini. Tidak ada petugasnya di sini,
hanya jika memasukkan buku mendapat resi otomatis.
lorong antara

Udara di lorong penghubung ini mengalir bagus, sehingga apabila ada kerumunan orang yang berlalu
lalang juga tidak akan terasa gerah. Aku melangkah ke bangunan sebelah timur. Pintu kaca dengan
kusen alumunium menjadi penghubung antara promenade dan bagian lobby perpustakaan ini. Di dalam
juga terdapat satu instalasi dari kardus yang merupakan bagian dari Singapore Biennalle juga. Seluruh
ruangan berdinding kaca, sehingga cahaya matahari masuk menerangi tanpa pencahayaan buatan.

Setelah melewati screening gate, aku naik eskalator sampai lantai 2 dan lanjut ke lantai 3, yang
merupakan prefunction dari ruang teater di dalamnya. Dindingnya berlapis oak natural dengan pintu
berlubang-lubang. Selain eskalator, menuju lantai-lantai atas juga ada lift. Karena tidak bisa masuk ke
teater, aku melanjutkan sampai lantai 4. Ada cafe dan hall serbaguna, dan juga jembatan penghubung
ke gedung barat ruang audio visual.

Di lantai 1 kaca dipasang dengan spider glass system, sementara di lantai-lantai atas, selain
dengan curtain glass dengan back mullion yang disangga oleh struktur pipa besi. Sisi tepi
eskalator ini selalu terang hingga lantai atas, sehingga tak memerlukan pencahayaan buatan.
spider glass

sisi eskalator dengan jendela curtain glass dan back mullion


sun shading pada sisi bangunan

Aku naik lagi ke satu lantai di atasnya. Rupanya sedang ada eksebisi sejarah perpustakaan
nasional ini. Dipamerkan di panel-panel berbentuk buku, aku mempelajari berdirinya
perpustakaan ini sejak masih bersatu dengan National Museum of Singapore. Eksebisi ini
mungkin tidak selalu ada, cukup beruntung aku bisa melihat sejarah perpustakaan yang dulu
berada di Stamford Road bagian dari Raffles Museum.

Perpustakaan Singapura yang sudah berdiri sejak tahun 1830 ini awalnya hanya terdiri dari satu lemari
buku saja. Kemudian perlahan-lahan dikembangkan hingga menjadi perpustakaan referensi yang besar,
hingga kini dengan jaringan ke perpustakaan publik dan perpustakaan digital dengan layanan online.
Bangunan ini yang diproyeksikan sebagai learning hub
Di depan ruang eksebisi yang terang ini terdapat taman kering yang dinamakan The Courtyard. Melalui
pintu kaca, aku melangkahkan kaki menginjak panel-panel kayu yang disusun memanjang. Taman ini
langsung menuju udara terbuka sehingga aku bisa melihat-lihat suasana sekitar dari atas. Ada tanaman-
tanaman di pot maupun rambatan. Beberapa bangku taman dan satu area yang ditinggikan dengan kayu
berisi orang-orang yang asyik menekuni buku maupun laptop. Di sudut-sudut tersedia kabel power
untuk mencharge baterai.
saluran air dan tanaman merambat yang menjadi ornamen

Area ini termasuk dalam bagian yang disebut Ken Yeang “passive mode” yaitu pencahayaan
matahari dioptimalkan, konfigurasi yang ditentukan orientasi matahari, sun shading, ventilasi
alami, lansekap dan desain fasad yang responsif. Kisi-kisi bangunan yang jauhnya bisa sampai 6
meter, membantu membuat naungan di bawahnya, juga membelokkan cahaya sehingga bisa
mencapai ke bagian dalam perpustakaan.

Angin berhembus cukup besar untuk pengudaraan di situ. Terdapat sirip-sirip untuk menghindari
silau. Selain menghadap ke open gallery, taman ini juga menjadi pemandangan dari study
lounge, sebuah ruang baca dan diskusi yang cukup ramai. Aku tidak masuk ke sana karena takut
mengganggu.

Memang, suasana di ruang koleksi ini sangat tenang. Orang-orang membaca di meja besar, dengan
setumpuk buku di dekatnya atau laptop yang terbuka dengan koneksi wi-fi gratis. Di beberapa sudut ada
ruang baca dengan sofa-sofa empuk yang nyaman. Aku berjalan di antara rak-rak itu dengan perasaan
senang melihat berbagai judul di bidang teknologi berbaris dalam sistem desimal Dewey. Di tengah
ruangan terdapat kumpulan bangku dengan tanda : researcher. Diam-diam aku mengambil foto dengan
ponsel.

ruang membaca dan area koleksi audio


lorong koleksi

Aku mengambil satu buku art tentang desain sampul buku lalu mengambil tempat di satu sofa di
pojokan yang menghadap langsung ke gedung timur. Jendela besar curtain glass menerangi ruang baca
sehingga meminimalkan pencahayaan buatan. Di sudut timur terdapat roof garden juga yang bisa
diakses dari dalam ruang baca. Usai membaca, aku mengembalikan buku ke meja bertuliskan returned
books, kemudian keluar.
Area koleksi reference library termasuk dalam fitur “full mode” karena menggunakan energi listrik dan
pengudaraan secara penuh. Di lantai-lantai tinggi memang lebih baik tertutup karena hembusan angin
sangat besar. Meskipun demikian, secara keseluruhan bangunan ini menghabiskan energi sebesar 172
kwh per meter, lebih rendah daripada rata-rata bangunan di Singapura yaitu 250 kwh per meter. Di
beberapa area seperti lobby dan foyer, yang dimasukkan dalam fitur “mixed mode” dilakukan
penghematan-penghematan energi seperti lampu dengan sensor cahaya, eskalator dengan sensor
pengguna, juga air toilet yang juga dengan sensor gerak. Sehingga penghematan didapat karena benda
mekanis ini hanya bekerja jika ada penggunanya.

Aku sempat naik lagi melalui eskalator ke lantai di atasnya yang berisi buku-buku sosial politik
namun tidak kumasuki karena takut tidak mengerti. Aku masuk lift dan langsung turun hingga
lantai basemen, yang terdapat perpustakaan publik di situ. Ketika masuk sini, aku yakin teman-
temanku sesama pencinta buku akan menjerit-jerit kegirangan apabila diijinkan.

Begitu masuk di samping kanan terdapat deretan rak buku fiksi dengan urutan abjad penulisnya.
Ada belasan rak di sini yang disusun alfabetik dan membuat mata berbinar-binar. Belasan orang
mengisi kursi-kursi sambil membaca buku favoritnya. Suasana di sini jauh lebih ramai daripada
di ruang koleksi atas sana. Orang masih bercakap dengan volume normal. Tingkat ramainya
setara percakapan di toko buku. Terdapat inner garden juga di tengahnya yang memasukkan
sinar matahari langsung dari permukaan tanah.
koleksi multimedia, ruang membaca, bahkan bercengkrama

Sebuah perpustakaan anak yang cantik dan lucu sekaligus. Didesain untuk kebutuhan anak, dengan rak-
rak rendah dan ruang membaca yang intim, bisa dipastikan di sini anak akan meraih buku tanpa disuruh.
Tepat di depan gerbang pohon tadi, ada satu island besar ruang membaca berbentuk pohon 3 dimensi,
di mana anak-anak asyik bermain dan membaca buku di bawahnya.

Aku mengamati rak-rak berbentuk pepohonan juga. Di salah satu lorong ada seorang ibu yang
membacakan cerita untuk anaknya. Seperti di ruang perpustakaan publik, di sini pun buku disusun
berdasarkan alfabetikal penulisnya. Sayang aku lupa memeriksa apakah karya Shel Silverstein atau buku
anak Marjane Satrapi ada di segmen ini. Dinding ruangan ini dicat berwarna hijau, dengan hiasan di sana
sini, sementara lantainya berkarpet tebal yang memungkinkan anak tidak terluka jika jatuh.

Anda mungkin juga menyukai