Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN TB MDR

Disusun Oleh :

TATI ZULAICHAH

G3A0172194

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG
TAHUN AJARAN 2017/2018
A. Pengertian TB MDR
TB MDR atau TB dengan resistensi yaitu TB yang terjadi dimana basil
Mibacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau
tanpa OAT lainnya (World Health Organization, 1997). TB resistensi dapat berupa
resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang
terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer
ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi
sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya
sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003). Terdapat empat jenis kategori resistensi
terhadap OAT yaitu :
 Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT
 Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
 Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampicin.
 Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT
injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)

B. Etiologi
Basil mengalami mutasi resisten terhadap satu jenis obat dan mendapatkan
terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan
oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya
satu saja yang sensitive terhadap basil tersebut. selanjutnya, resistensi sekunder
terjadi mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil yang menyebabkan resistensi
obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. transmisi difasilitasi
oleh adanya infeksi HIV, dmana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur
control nfeksi yang tidak adekuat, dan terlambatnya penegakan diagnose. beberapa
hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu sebagai berikut :
 penggunaan panduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang
kurang atau karena llingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap OAT yang digunakan missal rifampisin atau INH
 fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
panduan pengobatan yang tidak berhasil. bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada panduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat
yang resisten
 masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resistendi obat.
 penyediaan obat yang tidak regular, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan
 pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberculosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah
banyak OAT yang resisten. hal ini akan menyebabkan seleksi mutasi resisten
karena penambahan obat yang tidak multiple dan tidak efektif
 pengobatan TB jangka waktu yang lama > 6 bulan sehingga pasien merasa
bosan dan ditambah dengan defek samping dari OAT
 edukasi yang kurang baik, sehingga pasien tidak mengetahui cara menggunakan
OAT, sehingga pasien meminum rifampisin setelah makan. hal ini dapat
meyebabkan penyerapan obat tidak maksimal.
 HIV akan mempercepat terjadinya infeksi TB menjadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksius.

C. Mekanisme
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada
resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa
resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994). Analisa secara
genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa
mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat
(Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB
menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat
tabel 1).
Tabel 1. Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium
tuberkulosis

 Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide) Isoniazid merupakan


hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga mudah untuk
masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis
dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi
katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006). Mutasi mikobakterium tuberkulosis
yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1
dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh
adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau
promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau
delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase
(Wallace, et al. 2004).
 Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin Rifampisin merupakan turunan
semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid
intraseluler maupun ekstraseluler (Riyanto, et al. 2006. Wallace, et al. 2004).
Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara
khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro
pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan
poxvirus. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya
permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi
rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation),
tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin
berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi
dengan kecepatan mutasi yang tinggi akibat terjadinya perubahan pada RNA
polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA
polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat
tersebut (Riyanto, et al. 2006).
 Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide Pyrazinamid merupakan turunan
asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek
terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri
tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral,
pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et al. 2006).
Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme
yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat
tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pyrazinoat (Wallace, et al. 2004). Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan
dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak
yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi
pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan
pyrazinamidase (Wallace, et al. 2004).
 Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol Ethambutol merupakan turunan
ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol
ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya
dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding
sel. Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan
mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk
arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten
dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar
90% kasus (Wallace, et al. 2004).
 Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin Streptomysin merupakan
golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini
bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi
ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap
streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua
target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin
ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah
diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan
mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan
adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107
organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak
mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace,
et al. 2004).

D. Manifestasi klinis
 Gejala Respiratorik :
- Batuk kering yang berangsur-angsur menjadi produktif lebih dari 3 minggu,
kadang-kadang bercampur dengan dahak
- Sesak napas dan nyeri dada

 Gejala Sistemik :
- Demam terutama dimalam hari
- Berkeringat dingin malam hari tanpa aktivitas atau sebab yang jelas
- Penurunan napsu makan
- Penurunan berat badan

E. Penatalaksanaan
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi
DOTS.
 Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
 Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung
OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi
perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang
ditetapkan oleh TAK.
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, sebelum pengobatan dimulai, akan
dilakukan persiapan awal, termasuk pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati,
jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
sama dengan jenis pemeriksaan untuk pemantauan efek samping obat. Persiapan
sebelum pengobatan dimulai adalah:
 Pemeriksaan fisik:
- Anamnesa ulang untuk memastikan kemungkinan adanya riwayat dan
kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti
sakit kuning (hepatitis), diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan
kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati
perifer).
- Pemeriksaan fisik diagnostik termasuk berat badan, fungsi penglihatan,
pendengaran, tanda-tanda kehamilan. Bila perlu dibandingkan dengan
pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai suspek TB MDR.
- Pemeriksaan kejiwaan.
Pastikan kondisi kejiwaan pasien sebelum pengobatan TB MDR dimulai, hal ini
berguna untuk menetapkan strategi konseling yang harus dilaksanakan
sebelum, selama dan setelah pengobatan pasien selesai.
 Pemeriksaan penunjang :
- Pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis.
- Pemeriksaan darah tepi lengkap, termasuk kadar hemoglobin (Hb), jumlah
lekosit.
- Pemeriksaan kimia darah:
 Faal ginjal: ureum, kreatinin
 Faal hati: SGOT, SGPT.
 Serum kalium
 Asam Urat
 Gula Darah
- Pemeriksaan hormon bila diperlukan: Tiroid stimulating hormon (TSH)
- Tes kehamilan.
- Foto dada/ toraks.
- Tes pendengaran ( pemeriksanaan audiometri)
- Pemeriksaan EKG
- Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

F. Pengkajian fokus
 Pemeriksaan Radiologi : Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa
infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis, konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan
kavitas.
 Bronchografi : Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronchus atau kerusakan paru karena TB.
 Laboratorium :
- darah : leukositosis/leukopenia, LED meningkat
- sputum : BTA A/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST,
Gene-Xpert
- test tuberculin : mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat (rapid test) sudah
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan. Metode yang
tersedia adalah:
 Line probe assey ( LPA )
- Pemeriksaan molekuler yang di dasarkan pada PCA
- Dikenal dengan Hain test/ Genotiype MDRTB plus
- Hasil pemeriksaan dapat di peroleh dalam waktu kurang lebih 24 jam
- Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosiss yang
resisten terhadap rifampisi (R) ternyata juga resisten terhadap isoniasis (H)
sehingga tergolong MDR
 Gene Xpert
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam
 Pengkajian
- Aktivitas /Istirahat
 Kelemahan umum dan kelelahan.
 Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
 Sulit tidur gn. Demam/kerungat malam.
 Mimpi buruk.
 Takikardia, takipnea/dispnea.
 Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
- Integritas Ego :
 Perasaan tak berdaya/putus asa.
 Faktor stress : baru/lama.
 Perasaan butuh pertolongan
 Denial.
 Cemas, iritable.
- Makanan/Cairan :
 Kehilangan napsu makan.
 Ketidaksanggupan mencerna.
 Kehilangan BB.
 Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
- Nyaman/nyeri :
 Nyeri dada saat batuk.
 Memegang area yang sakit.
 Perilaku distraksi.

- Pernapasan :
 Batuk (produktif/non produktif)
 Napas pendek.
 Riwayat tuberkulosis
 Peningkatan jumlah pernapasan.
 Gerakan pernapasan asimetri.
 Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
 Suara napas : Ronkhi
 Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
- Kemanan/Keselamatan :
 Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
 Demam pada kondisi akut.
- Interaksi Sosial :
 Perasaan terisolasi/ditolak

G. Pathways keperawatan
H. Fokus intervensi dan rasional
No Diagnosa keperawatan Intervensi Rasional
1 Ketidakseimbangan Nutrition Management  untuk mengetahui apakah
nutrisi kurang dari  Kaji adanya alergi makanan pasien alergi suatu makanan
kebutuhan tubuh  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk atau tidak
menentukan jumlah kalori dan nutrisi  untuk menentukan diet yang
tepat
yang dibutuhkan pasien.
 untuk memenuhi kebutuhan
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan nutrisi pasien
intake Fe, protein, dan vitamin  untuk mengetahui
 timbang BB perkembangan pasien
 Berikan informasi tentang kebutuhan  agar pasien dapat memenuhi
nutrisi kebutuhan nutrisi dengan
tepat

2 Hipertermi  untuk mengetahui perubahan


Fever treatment
status suhu pasien
 Monitor suhu minimal tiap 2 jam  untuk mengetahui
 Monitor TD, nadi, dan RR perkembangan pasien
 Monitor warna dan suhu kuliT  untuk mengetahui adanya
tanda-tanda hipertermi
 Tingkatkan intake cairan
 Jika pasien mengalami
 Kompres pasien pada lipat paha dan dehidrasi, kehilangan cairan
aksila berkontribusi terhadap
 kolaborasi pemberian antipiretik demam.
 untuk membantu
menurunkan suhu pasien
 Obat antipiretik menurunkan
suhu tubuh dengan
menghalangi sintesis
prostaglandin yang bekerja di
hipotalamus.

3 Bersihan jalan nafas  untuk membantu agar pasien


tidak efektif Airway Management: dapat bernapas
 Buka jalan nafas, guanakan teknik  posisi memaksimalkan
chin lift atau jaw thrust bila perlu ekspansi paru dan
 Posisikan pasien untuk menurunkan upaya
memaksimalkan ventilasi pernapasan. Ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya maksimal membuka area
pemasangan alat jalan nafas buatan atelektasis dan meningkatkan
 Auskultasi suara nafas, catat adanya gerakan sekret ke jalan nafas
suara tambahan besar untuk dikeluarkan
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu  untuk mengetahui perlu
 Keluarkan sekret dengan batuk atau tidaknya pemasangan alat
suction jalan napas
 Monitor respirasi dan status O2  adanya bunyi ronchi
menandakan terdapat
penumpukan sekret atau
sekret berlebih di jalan nafas.
 Fisioterapi dada/ back
massage dapat membantu
menjatuhkan secret yang ada
dijalan nafas.
 untuk mencegah obstruksi
atau aspirasi. suction dapat
dilakukan bila pasien tidak
dapat mengeluarkan secret
 untuk mengetahui status
respirasi dan O2 pasien
4 Gangguan pertukaran  Untuk membuat klien agar
gas Managemen Asam-Basa
 Pertahankan kepatenan jalan napas. bernafas dengan baik tanpa
 Pantau gas darah arteri (AGD), serum adanya gangguan.
dan tingkat elektrolit urine.  Untuk mengetahui tekanan
 Monitor hilangnya asam (misalnya gas darah (O2 dan CO2)
muntah, output nasogastrik, diare dan sehingga kondisi pasien tetap
diuresis). dapat dipantau.
 Berikan posisi untuk memfasilitasi  Agar klien tidak mengalami
ventilasi yang memadai (misalnya alkalosis akibat kekurangan
membuka jalan napas dan asam yang berlebihan dari
mengangkat kepala tempat tidur) tubuh.
 Pantau gejala gagal pernafasan  Posisi yang tepat
(misalnya PaO2 rendah, PaCO2tinggi menyebabkan berkurangnya
dan kelelahan otot pernafasan). tekanan diafragma ke atas
 Pantau pola pernapasan. sehingga ekspresi paru
 Berikan terapi oksigen, jika perlu maksimal sehingga klien
dapat bernafas dengan
leluasa.
 Agar perawat cepat
· mengetahui jika terjadinya
gagal nafas sehingga tidak
membuat kondisi klien
menjadi semakin buruk.
 Sebagai indikator adanya
gangguannafas dan indikator
dalam tindakanselanjutnya.
 Untuk mempelancar
pernafasan klien dan
memenuhi kebutuhan oksigen
klien.

Anda mungkin juga menyukai