Anda di halaman 1dari 12

DWIFUNGSI ABRI DALAM SISTEM

POLITIK INDONESIA PADA MASA


PEMERINTAHAN SOEHARTO
Written by :

Ajeng Dwiyani Khoirunnisa


Detin Novitasari
Dyah Intan
M. Irfan Ardhani
Meilinda Sari Yayusman
Reynaldo Apriyandi Litobing
Rizca Hikmah Hijria
Yoga Tri Waskito

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peran tentara memang tidak bisa terlepas dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia karena
pada faktanya mereka-lah yang merupakan ujung tombak kedaulatan dan memperjuangkan
kebebasan dari penindasan penjajah di masa lampau. Transformasi lembaga militer di
Indonesia pada era pasca kemerdekaan sangat dinamis, contohnya saja kehadiran TKR yang
selanjutnya berubah menjadi TRI, AURI, ALRI, dll. Sejak awal berdirinya Republik
Indonesia sendiri sebenarnya para perwira militer sudah mempunyai kecenderungan untuk
berpolitik sebagai prajurit revolusioner . Pada bulan Juli 1958, militer diakui sebagai
kekuatan politik dan tidak sedikit dari mereka yang mampu menempati singgasana-
singgasana birokrat dan terjun dalam politik kenegaraan.

Dengan meletusnya kudeta Gerakan 30 September PKI, peran serta militer dalam dunia
politik semakin mantap. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri sebenarnya sejak awal sangat menentang
kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai ancaman yang sangat potensial terhadap
kelangsungan bangsa terkait dengan sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan
menganut doktrin perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini
tentunya melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut
merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya telah
menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI sendiri. Kemudian, hal
tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar” yang menandakan turunnya
Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat
Soeharto yang notabene memiliki latar belakang militer yang kental, maka tidak heran
apabila sepak terjang ABRI dalam sektor politik semakin pesat di era-era berikutnya.

Dari asumsi di atas, ABRI sebenarnya memiliki dua peranan yang cukup signifikan dan
seringkali dikenal dengan “dwifungsi ABRI”, yakni selain sebagai kekuatan pertahanan dan
keamanan, ABRI juga merupakan kekuatan sosial-politik . Istilah dwifungsi yang menjadi
dasar legitimasi bagi peran sosial-politik angkatan bersenjata sendiri mulai berkembang dan
populer pada masa Orde Baru. Ini diawali dari konsepsi Nasution tentang “Jalan Tengah”
ABRI pada 1958, yang intinya tentang pemberian kesempatan kepada ABRI, sebagai salah
satu kekuatan politik bagsa untuk berperan serta di dalam pemerintahan atas dasar “Asas
Negara Kekeluargaan” . Ditambah lagi dengan fakta pada Agustus tahun 1966, ABRI
menyatakan kepeduliannya untuk ikut mengatasi tiga masalah nasional, yakni stabilitas sosial
politik, stabilitas sosial ekonomi, dan kedudukan serta peran ABRI dalam revolusi Indonesia
sebagai kekuatan revolusi, alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan
negara . Dengan kata lain, ABRI ingin mengutarakan etikatnya untuk tidak sekedar berperan
dalam dunia militer-hankam saja, namun meluas pada bidang sosial-politik karena keduanya
saling berkesinambungan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengapa konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto?
2. Bagaimanakah dampak dari Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto
terhadap sistem sosial politik Indonesia pada masa itu?

1.3 Landasan Konseptual

Pembahasan dalam paper ini merupakan pembahasan yang berkaitan dengan rezim militer di
masa Orde Baru dibawah pemerintahan Soeharto yang memiliki basis sebagai Jenderal
Angkatan Darat sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Maka, berkaitan
dengan hal tersebut landasan konseptual yang kami gunakan adalah :

a.Patrimonialisme

Permasalahan stabilitas merupakan karakteristik mendasar negara-negara dunia ketiga.


Berbagai macam kegaduhan dalam system politik seperti demonstrasi hingga kudeta tak
henti-hentinya membayangi negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang
cukup drastis dalam waktu yang relative singkat di pemerintahan negara-negara itu.Namun
demikian, hal ini tidak berlaku bagi negara yang mampu menyelaraskan modernisasi dengan
tradisi yang telah terbina di suatu negara.

Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat fenomena penyelarasan modernisasi dengan tradisi
yang dilakukan oleh penguasa. Presiden Soeharto sebagai pemimpin orde baru menerapkan
patrimonialisme yang telah mengakar dalam budaya Jawa untuk menjalankan
pemerintahannya. Di negara patrimonial, kekuasaan penguasa tergantung pada kapasitas
penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan elit politik kunci. Di samping
itu, patrimonialisme juga dapat dimaknai sebagai suatu pendekatan yang dilakukan untuk
menciptakan sebuah situasi dimana sang pemimpin dapat mengendalikan orang lain dengan
menggunakan cara-cara seperti adu domba guna menjunjung tinggi sang penguasa.

Dengan menggunakan pendekatan ini, Soeharto dapat mengendalikan sistem politik


Indonesia yang bersifat hierarkis dengan lebih mudah. Gaya kepemimpinan Soeharto pada
tahun-tahun awal Orde Baru dengan pasti meningkatkan kepercayaan bahwa ia mengikuti
dasar pendekatan patrimonial. Dalam hal ini, Soeharto mencoba untuk menciptakan
hubungan yang saling menguntungkan dengan bawahannya dengan memuaskan keinginan
mereka yang biasanya dalam bentuk materi untuk ditukar dengan loyalitas.
Dengan adanya dwifungsi ABRI, tentu saja pendekatan ini semakin mudah dilakukan oleh
Soeharto mengingat karakteristik militer yang tunduk pada atasan. Di samping itu, Soeharto
ingin memberikan imbal balik bagi kaum militer yang telah berhasil untuk menumpas PKI,
nasionalis sayap kiri, dan Soekarnois dengan member mereka posisi yang strategis dalam
kalangan elit. Oleh karena itu, Soeharto lebih dipandang sebagai pemimpin yang legal dan
rasional yang mengarah kepada neopatrimonialisme, karena caranya untuk melakukan
pendekatan ini adalah membangun sistem pemerintahan yang padu.

b.Nepotisme

Nepotisme merupakan salah satu istilah yang sering berada diantara dua kata lainnya yaitu
korupsi dan kolusi sehingga kerap disebut KKN. Istilah ini lebih banyak muncul setelah
reformasi terjadi di Indonesia mengingat saat itulah hak kebebasan berpendapat bisa
diperoleh masyarakat Indonesia, terutama pers yang kritis. Sejak itu, pemerintah banyak
dituding melakukan tindak KKN yang tentunya merugikan rakyat Indonesia.
Nepotisme sendiri dapat dimaknai sebagi suatu tindakan pelanggaran hukum karena telah
memanfaatkan kedudukan yang dimiliki untuk menarik masuk pihak lain yang memiliki
hubungan darah atau ikatan kekerabatan lainnya ke sebuah jabatan. Di masa Orde Baru,
Soeharto dituding melakukan tindakan KKN, terutama nepotisme karena kabinet maupun
pemerintahannya kebanyakan berasal dari keluarga besarnya maupun orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengannya.

c.Sistem Politik

Konsep sistem politik mulai muncul di tahun 1950-an sebagai bentuk penelitian dari tingkah
laku politik. Konsep sistem yang ada di bidang politik sendiri merupakan konsep yang
dipinjam dari konsep sistem yang ada di ilmu biologi. Dianggap bahwa sistem politik terdiri
dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling bergantung pada yang lain dan
saling mengadakan interaksi . Perbedaannya, konsep ini digunakan dalam konteks negara,
bangsa, kota, atau konteks lainnya.

Dalam penerapannya yang berkaitan dengan konteks negara, konsep sistem politik
mendasarkan studi tentang gejala politik dalam tingkah laku masyarakat. Sistem politik ini
bersifat terbuka yang berarti masih bisa dipengaruhi dari sistem-sistem yang lain, biasanya
juga dipengaruhi sejarah perkembangan, kesukuan, status sosial, atau konsep tentang
kekuasaan. Dalam sistem politik juag terdapat empat variable antara lain kekuasaan,
kepentingan, kebijaksanaan, dan budaya politik.

d.Dwifungsi ABRI

ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang terdiri dari TNI (Tentara Nasional
Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia) memang dikenal dengan kemampuan
manajemen yang sangat baik dan diakui masyarakat Indonesia karena sistem hierarkinya
yang sangat kental. Sapta Marga yang merupakan pedoman tatanan hidup yang dipegang oleh
TNI pun dengan jelas menyatakan pada pasal kelima bahwa mereka memegang teguh
kepatuhan dan ketaatan kepada pimpinan mereka.
Bahkan ABRI yang muncul sejak masa revolusi, sejak awal memang sudah menjalankan
fungsi sosial maupun politiknya, disini fungsi yang dijalankan dapat diterima masyarakat.
Dwifungsi ABRI dapat diartikan sebagai pengesahan pelaksanaan fungsi sosial politik oleh
anggota ABRI. Namun untuk mewujudkan landasan hukum yang tepat dan mantap harus
melalui tahapan yang tidak sebentar.

Sejak diberlakukannya UU No.80 tahun 1958, fungsi sosial politik ABRI memperoleh
pengakuan yuridis. Sedangkan landasan konstitusionalnya berasal dari UUD 1945 Pasal 2
ayat (1) yang memposisikan ABRI sebagai golongan fungsional. Bahkan di awal Orde Baru,
landasan yang dimiliki ABRI bertambah dengan dikeluarkannya TAP MPR yang menjamin
kelangsungan kekaryaan anggota ABRI.

e.Profesionalisme Baru

Profesionalisme baru merupakan sebuah aliran yang menjadi cabang dari profesionalisme
militer. Konsep profesionalisme baru pada dasarnya menganggap negara-negara berada
dalam keadaan perang semesta. Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana
negara tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam.
Permasalahan sosial dan politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri. Untuk
memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh potensi yang ada
dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi itu adalah bersatu-padunya dan
interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak
terpisahnya dimensi hankam dan dimensi non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasar
pada kunci dari strategi tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu
mengemban tugas untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena
kecakapannya baik dalam bidang hankam maupun non-hankam.

1.4 Hipotesis

Dalam menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, kelompok kami
memiliki dua hipotesis, antara lain ;
1.Konsepsi Dwifungsi ABRI sangat kental pada era Soeharto karena pada dasarnya scope
kewenangan ABRI yang bisa masuk dalam sektor militer-hankam dan sosial-politik
dimaksudkan untuk memperkuat posisi pemerintahan Orde Baru itu sendiri.
2.Implementasi Dwifungsi ABRI pada era Soeharto ini memberikan banyak dampak bagi
negara baik dampak positif maupun negatif.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dwifungsi ABRI


Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem
ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan social
dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh
rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem
kenegaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Hal
tersebut ditunjukkan oleh pelbagai peranan ABRI dalam menghadapi situasi-situasi genting,
Mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam
menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang
politik. Sebagai contoh ialah Instruksi Bekerja Pemerintah Militer seluruh Jawa No.
I/MBKD/1948 dari Kolonel Nasution.
Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian
ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan
tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun di
bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila
dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa
tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan
hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas
di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.” Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsure dalam kehidupan politik di
lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif
melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.

Lebih lanjut mengenai ABRI sebagai kekuatan social, setidaknya ada dua fungsi yang
dimiliki oleh ABRI. Fungsi tersebut ialah fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. Identitas
ABRI sebagai pejuang dan kemanunggalannya dengan rakyat secara otomatis mendorong
serta menjadikan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator dalam kehidupan bangsa dan
negara kita. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua fungsinya dalam
tindakan-tindakan berikut ini.
a.ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika
masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan
rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong
masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan.
2.Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut
merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata
cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-
proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai
penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan
untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin
nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah
Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka
pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
4.Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju,
memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.

b.ABRI sebagai stabilisator :


1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika
masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat
ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan social.
2.Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu
penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-
nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3.Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam
menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada
kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi
kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-
prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4.Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan
keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya
melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.
Satu aspek yang sangat esensial dalam memahami dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita
mengenai profesionalisme militer (ABRI). Dalam hal ini, terdapat dua aliran profesionalisme
militer, yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Profesionalisme lama sendiri
berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam urusan hankam. Di sisi lain,
profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman baru dimana militer tidak hanya
berperan dalam bidang hankam, namun juga non-hankam.

Konsep profesionalisme baru pada dasarnya menganggap negara-negara berada dalam


keadaan perang semesta. Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana negara
tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam.
Permasalahan social dan politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri. Untuk
memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh potensi yang ada
dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi itu adalah bersatu-padunya dan
interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak
terpisahnya dimensi hankam dan dimensi non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasar
pada kunci dari strategi tersebut, militer (ABRI) menjadi kelompok yang diyakini mampu
mengemban tugas untuk memberikan kemenangan dalam perang semesta karena
kecakapannya baik dalam bidang hankam maupun non-hankam. Ketika kita melihat strategi
dari ABRI sendiri, kita akan menemui bahwa mereka menganut konsep pertahanan semesta.
Di samping itu, kita bisa melihat bahwa hal ini sangat sesuai dengan konsep Dwifungsi
ABRI.

Dalam pelaksanaannya, Dwifungsi ABRI didasarkan pada beberapa undang-undang yang


menjadi landasan legal formal berlakunya konsep tersebut. Pengaturan Dwifungsi ABRI
dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya
beberapa peraturan perundangan telah menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan
fungsional seperti umpamanya UU No. 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No. 80
Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.
Pada era orde baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS
Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan
Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.

Adapun penjelasan lebih lanjut tentang beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara
lain mengatakan :
“Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan social harus kompak bersatu
dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUG 1945 yang kuat
dan sentosa.”
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan
Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :

“Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan


kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa
dan negara.”

UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara,


pasal 16 berbunyi :
“Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan kemanan negara dan
sebagai kekuatan social.”

Dalam Penjelasan Pasal ini dirumuskan :

“Fungsi Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social sudah ada sejak kelahirannya serta
merupakan bagian dari hasil proses perjuangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah
dirumuskan dalam marga kesatu sampai marga ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai
salah satu modal dasar pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978).

Selanjutnya dalam pasal 28 dikatakan :

“(1) Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social bertindak selaku dinamisator dan
stabilisator yang bersama-sama kekuatan social lainnya memikul tugas dan tanggung jawab
mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan bersenjata
diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional
dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan
pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan
nasional.”

Penjelasan Pasal ini berbunyi :

“Sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia terbukti angkatan bersenjata merupakan


pengawal dan pengamal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang setia, sehingga
dalam peranannya sebagai kekuatan social, angkatan bersenjata mendayagunakan
kempuannya selaku dinamisator dan stabilisator dalam menunaikan tugas dan tanggung
jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, angkatan bersenjata
diarahkan agar mampu secara aktif dan positif ikut serta memupuk serta memantapkan
perseatuan dan kesatuan bangsa dan mampu berpersan dalam pembangunan nasional ke arah
terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh.”

Terakhir, UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI menegaskan dalam Pasal 6-nya :

“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan


Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan
kekuatan social politik.”

2.2 Pelaksanaan Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki
dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di
bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai
kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran
ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden
Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor
militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran
dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia
dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini
muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling
penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya,
struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik dari
kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih rendahnya level
sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada
bidang non-politis saja.

Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang
mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer
di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak
seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana
mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR
tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI
juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi
penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-
daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).

Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya
bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan.
Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya “Militer dan Politik di Indonesia” menerangkan
bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduanya tetap
menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A.H. Nasution. Kelompok pertama
adalah kelompok berhalauan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem
dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat
yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan
perubahan dilaksanakan secara bertahap dan alami.

Contoh kasus yang nyata dari kelompok militan adalah pada tahun 1967, Panglima Divisi
Siliwangi HR Dharsono, didukung oleh Panglima Kostrad Kemal Idris, menyiarkan suatu
rencana menjalankan sistem dwipartai di Jawa Barat. Mereka mengusulkan pembubaran
partai-partai yang ada. Namun usulan-usulan pembubaran partai ini ditolak oleh kelompok
moderat yang berada di sekililing Soeharto pada tahun 1967 dan 1968.

Perbedaan pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah
bahwa pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orda Baru bersifat
diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan
demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi
antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru.

Pertama yaitu Golkar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelahiran Golkar tidak
lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap
meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah kudeta PKI tahun
1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai politik. Selain itu, seperti kita
tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian menjatuhkan pilihannya pada Golkar. Jadi,
peran ABRI bagi Golkar cukup prominen.
Kedua yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk
melakukan penyederhanaan partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi partai politik.
Hal ini juga dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan Mei 1971. Beliau
berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai politik.
Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh golongan Islam. Oleh karena itu,
lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan
Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.

Ketiga yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang terbentuk
pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat
nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak
dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian
mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI
atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang
mengikuti pemilihan umum.

Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan
ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersift simbiosis mutualisme. Contohnya
pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan
perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I
dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya
Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga
menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.

Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor
Legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum,
mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi
Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak
dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol
DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan
Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja
DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR
sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam
formulasi kebijakan oleh MPR.

2.3 Dampak dari Implementasi Dwifungsi ABRI


Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan
dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui
bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang
berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi system politik di
Indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.

Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi
ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat.
Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang
terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari
Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota
ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen,
ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang
punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada
waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan
menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

Hal ini pada dasarnya bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan
patrimonialisme yang dilakukan oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya.
Sebagaimana kita ketahui, pada awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang
cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan
goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi
yang cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian Indonesia terpuruk sangat
dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto
waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini
adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan penghargaan di mana Soeharto
menempatkan banyak Jendral dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan
menempatkan jendral-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan, Soeharto sedang
berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan di mana dia ingin
menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi
strategis tersebut, aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan
lebih mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto menjadi lebih
stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil
dilakukan dengan efektif.

Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak yang
lebih buruk. Dampak tersebut antara lain adalah: (a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak
represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang
terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif
dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun
masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI
yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut, (b). Menjadi alat penguasa, yakni
dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di
pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan
oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan (c). Tidak
berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena
ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan
kontrol terhadap bawahannya.

Lebih dari itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, prakter-praktek nepotisme makin tumbuh
subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI
memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingannya masing-masing. Dengan pengaruh
yang dimilikinya mengingat jabatannya baik di bidang militer maupun politik, anggota ABRI
ini berusaha untuk meperluas usaha istrinya, saudaranya, bahkan sepupunya.
Namun demikian, Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagai mana
ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer
dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari
tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui
pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang disponsori militer dan menyedot dana
dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer. Otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada
waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan
oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi
ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan,
bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan
di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para Jendral ABRI memiliki kesejahteraan
yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posis-posisi strategis itu.

Di sisi lain, banyaknya anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan,
bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan
di bidang pemerintahan berimplikasi pada banyaknya dari masyarakat yang ingin menjadi
anggota ABRI. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyaknya orang yang
ingin menjadi anggota ABRI maka seleksi bagi orang-orang yang ingin tergabung dalam
militer Indonesia lebih kompetitif.

Pada akhirnya, keberhasilan Presiden Soeharto untuk menjalankan berbagai macam program
pembangunannya menjadi dampak positif diberlakukannya konsep Dwifungsi ABRI di era
orde baru. Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegiatan politik
masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada
di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi
pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini
bisa kita lihat dengan kiprah Fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan
dirinya sebagai partai pendukung pemerintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja
setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan mulus tidak
seperti apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

BAB III
KESIMPULAN

Kontribusi tentara bagi bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia
tidak dapat terhitung besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu ujung tombak dari
kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Seiring berjalannya
waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan Soekarno menjadi Soeharto dengan ditandai
oleh sistem pemerintahan Orde Baru di Indonesia, peran tentara Indonesia yang kemudian
disebut dengan ABRI semakin besar. Dahulu, ABRI yang hanya bergerak dibidang keamanan
dan pertahanan di Indonesia, namun pada era pemerintahan Soeharto, peranan ABRI
merangkap kearah bidang sosial dan politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan
konsep Dwifungsi ABRI.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan status Soeharto sebagai seorang pemimpin
yang berasal dari golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai terjun dalam bidang
politik pemerintahan Indonesia. Hal ini juga didukung oleh beberapa statement bahwa
element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional adalah
dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang hankam tetapi
bidang non-hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota ABRI yang menjadi
anggota DPR, DPRD, atau posisi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Banyaknya anggota ABRI yang duduk di kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif
maupun negatif. Implikasi positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota ABRI
yang mendominasi kursi pemerintahan di Indonesia pada era Soeharto. Disisi lain, dampak
negatif cenderung banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan
sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi ABRI yang memicu
banyaknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa dampak yang
merugikan untuk bangsa Indonesia sebagai komponen yang seharusnya dilindungi dan
dipenuhi kebutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Basari, Hasan., Seperti yang dikutip dari Huntington, Political Order… ,dalam Ulf
Sandhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwifungsi ABRI, trans, LP3ES,
Jakarta, 1998.
Budiarjo, Miriam., Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Jenkins, David., Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim militer Indonesia 1975-1983.,
Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.
Muhaimin, Yahya., Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1982.
Notosusanto, N., Pejuang dan Prajurit ,Sinar Harapan, Jakarta, 1984.
Samego, Indria, Bila ABRI Menghendaki : Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi
ABRI, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.
Soebijono, Dwifungsi ABRI : Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
Sumarsono, Tatang., A.H. Nasution di Masa Orde Baru: Lewat Kesaksian Tokoh Eksponen
66, Bakri Tianlean, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
Tambunan, A.S.S., Dwifungsi ABRI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta , 1993.
Yulianto, Arif., Hubungan Sipil dan Militer di Indonesia Pasca ORBA; Di Tengah Pusaran
Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Makalah/Jurnal
Markas Besar ABRI, Makalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Dalam
Seminar Nasional IV Asisuasi Ilmu Politik Indonesia/AIPI, pada tanggal 13-16 Februari
1991.

Sumber Online
Luna, E., Hapus Dwifungsi Partai Politik!, , diakses pada 30 April 2012.
Nurul, C., Praktek Fungsi dan Peran Intelejen di Masa Orde Baru’, , diakses pada 30 April
2012.
Partai Golkar, Sejarah, , diakses pada 1 Mei 2012.
Scribd, Dwifungsi ABRI Sebagai Bentuk Praktek Politik Praktis Militer di Indonesia, ,
diakses pada 1 Mei 2012.
Scribd, Sejarah Partai Politik PPP, , diakses pada 1 Mei 2012.
Scribd, Dwifungsi ABRI Sebagai Bentuk Praktek Politik Praktis Militer di Indonesia, ,
diakses pada 1 Mei 2012.
Siar News, ABRI Hujat dan Lecehkan Dirinya Sendiri, , diakses pada 26 April 2012.

Anda mungkin juga menyukai