Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Depresi

2.1.1. Definisi Depresi

Depresi merupakan sebuah penyakit yang popular dalam masyarakat, depresi itu sendiri

merupakan sebuah syndrome yang banyak terdapat dalam masyarakat Indonesia yang

berhubungan dengan keadaan sedih, putus asa maupun kehilangan minat dan semangat. Depresi

pada mulanya sering diabaikan banyak pihak dikarenakan gajala awalnya yang tidak terlihat

namun ketika orang itu sudah merasakan kumpulan dari beberapa gejala yang menunjukan

adanya gangguan psikis barulah mereka mulai terpikir untuk mencari pertolongan akan kondisi

mereka.

Sebenernya apa yang dimaksud dengan depresi, depresi adalah Depresi merupakan satu

masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala

penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,

anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).

Gangguan depresi merupakan gangguan yang kompleks yang dapat disebabkan oleh

banyak hal diantaranya menurut Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat

secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikosial.
2.1.2. Etiologi dan Patofisiologi Depresi

Faktor yang pertama yang terkait dengan patologi depresi adalah faktour biologi, yaitu

Mekanisme terjadinya depresi berkaitan dengan kadar nurotransmitter terutama norepinefrin dan

serotonin di dalam otak. Kadar norepinefrin dan serotonin yang rendah dapat menyebabkan

depresi (Prayitno, 2008). Reseptor serotonin atau 5-Hydroxytriptamine (5-HT) merupakan

senyawa neurotransmitter monoamine yang terlibat pada penyakit depresi. Patofisiologi depresi

dijelaskan dalam beberapa hipotesis. hipotesis yang pertama tentang Amina biogenik

menyatakan, depresi disebabkan menurunnya atau berkurangnya jumlah neurotransmitter

norepinefrin (NE), serotonin ( 5 – HT ) dan dopamine (DA) dalam otak ( Sukandar dkk., 2009 ).

Hipotesis sensitivitas reseptor yaitu perubahan patologis pada reseptor yang dikarenakan terlalu

kecilnya stimulasi oleh monoamine dapat menyebabkan depresi. Hipotesis desregulasi, tidak

beraturannya neurotransmitter sehingga terjadi gangguan depresi dan psikiatrik. Dalam teori ini

ditekankan pada kegagalan hemeostatik sistem neurotransmitter, bukan pada penurunan atau

peningkatan absolute aktivitas neurotransmitter( Teter et al.,2007 ).

Faktor genetic Pengaruh genetik terhadap depresi bahwa ada keterkaitan yang kuat dan

konsisten bahwa depresi adalah salah satu penyakit yang herediter, misalnya dapat disebabkan

karena perilaku sosial orang tua dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres akan

diikuti oleh sang anak bahkan depresi yang diakibatkan oleh pengaruh genetic jumlahnya dapat

mencapai 30-40%. (Sullivan PF 2000).

Dan yang terakhir adalah faktor yang merupakan penyebab terbesar dalam kejadian

depresi adalah faktor psikososial Masalah psikososial dalam PPGDJ III dikategorikan dalam

aksis IV yang terdiri dari masalah dengan “primary support group”atau keluarga, masalah
dengan lingkungan sosial, masalah pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, masalah akses

ke pelayanan kesehatan, masalah yang berkaitan dengan hukum/ kriminal dan lainnya, setiap

keadaan atau peristiwa tersebut menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga

orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.Namun

sayangnya tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor tersebut,

sehingga timbulah keluhan – keluhan antara lain stres, cemas dan depresi.

2.1.3.Faktor Resiko Depresi

1. Jenis Kelamin

Secara umum dikatakan bahwa gangguan depresi lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan pada pria. Pendapat-pendapat yang berkembang mengatakan bahwa perbedaan dari

kadar hormonal wanita dan pria, perbedaan faktor psikososial berperan penting dalam gangguan

depresi mayor ini (Kaplan, et al, 2010).

Spesifiknya pria lebih banyak yang mengalami depresi karena hal hal seperti perceraian,

perpisahan, pekerjaan, sedangkan wanita lebih sensitive akan hal hal seperti pergaulan sosial

mereka, misalnya susah menyesuaikan diri terhadap lingkungan, penyakit seius dan ketakutan

terhadap kematian . (Kendler KS 2001)

2. Umur

Depresi dapat terjadi dari berbagai kalangan umur. Serkitar 7,8% dari setiap populasi

mengalami gangguan mood dalam hidup mereka dan 3,7% mengalami gangguan mood

sebelumnya. (Weissman et al,(1991) dalam Barlow (1995)). Depresi mayor umumnya

berkembang pada masa dewasa muda, dengan usia rata-rata onsetnya adalah pertengahan 20

(APA, (2000) dalam Nevid et al, (2005)). Namun gangguan tersebut dapat dialami bahkan oleh
anak kecil, meski hingga usia 14 tahun resikonya sangat rendah (Lewinsohn, et al, (1986), Nevid

et al, (2005).

3) Pendidikan

Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia dewasa-tua.

Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik.Penelitian di Inggris

menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko

terhadap depresi 2,2 kali lebih besar.

4) Status pernikahan

Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak

memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang tercerai atau berpisah.

2.1.4. Klasifikasi Depresi

Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai

berikut:

Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang, dan berat) :

1) Afek depresif

2) Kehilangan minat dan kegembiraan

3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah

lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan

menurunnya aktivitas.
Gejala Lainnya :

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang

2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik

5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri

6) Tidur terganggu

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-

kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat

dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya

digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya harus

diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

2.1.5. Pedoman Diagnostik

F32.0 Episode Depresif Ringan

-Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas

-Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: 1 sampai dengan 2.

-Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.

-Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.


-Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang

-Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode depresi

ringan.

-Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.

-Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.

-Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah

tangga,.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

-Semua 3 gejala utama depresi harus ada.

-Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya harus

berintensitas berat.

-Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka

pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.

Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat

dibenarkan.

-Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika

gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan

diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

-Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan

rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.


F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

-Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut diatas.

-Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang mengancam dan

pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya

berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi

psikomotor yang berat dapat menuju stupor.

Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan

afek (mood-congruent). (PPDGJIII)


2.2 NARKOTIKA

2.2.1. Definisi Narkotika

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditegaskan bahwa

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

2.2.2. Jenis –jenis Narkoba

Berkaitan dengan penggolongan Narkotika, diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :

a Narkotika digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu :

Narkotika golongan I, adalah narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi.

Golongan ini digunakan untuk penelitian dan ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, heroin, kokain,

morfin, dan opium.

Narkotika golongan II, adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat

untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin, benzetidin, dan betametadol.

Narkotika golongan III, adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat

untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : kodein dan turunannya

Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Akhir - akhir ini telah terjadi penyalahgunaan narkoba. Banyak narkoba beredar di pasaran,

misalnya ganja, sabu-sabu, ekstasi, dan pil koplo. Penyalahgunaan obat jenis narkoba sangat
berbahaya karena dapat mempengaruhi susunan syaraf, mengakibatkan ketagihan, dan

ketergantungan, karena mempengaruhi susunan syaraf.

Narkoba menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, persepsi,dan kesadaran. Pemakaian

narkoba secara umum dan juga psikotropika yang tidak sesuai dengan aturan dapat menimbulkan

efek yang membahayakan tubuh.

Berdasar efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba dibedakan menjadi 3 (Budianto :

1989 ) , yaitu:

1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem saraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional tubuh

sehingga pemakai merasa tenang, Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan kematian. Jenis

narkoba depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin.

2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis

stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-

shabu dan Ekstasi. 3. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau

mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari

kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. contoh haslusinogen yang paling banyak dipakai

adalah marijuana atau ganja.

2.2.3. Faktor faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terjerumus dalam narkoba

bahwa menurut (Libertus Jehani & Antoro dkk : 2006) penyebab terjerumusnya remaja dalam

penyalahgunaan Narkoba disebabkan karena banyak faktor, baik faktor internal maupun

eksternal.

1. Faktor Internal : Adalah faktor yang berasal dari diri seseorang. Faktor internal itu sendiri

terdiri dari :
a. Kepribadian : Kepribadian merupakan faktor utama yang ada dalam diri yang dapat

menyebabkan kita terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, apabila kepribadian seseorang

labil, mudah dipengarhi dan tidak memiliki komitmen maka lebih mudah terjerumus dalam

penyalahgunaan narkoba.

b. Keluarga : Keluarga merupakan tempat dimana kita dapat berkeluh kesah terhadap

permasalahan yang kita alami, jika hubungan dengan keluarga kurang harmonis maka seseorang

tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah sehingga akan mudah merasa putus asa dan Frustasi.

Akibatnya seseorang akhirnya mencari kompensasi diluar rumah dengan menjadi pengguna

narkoba.

c. Ekonomi :. Kesulitan dalam hal ekonomi juga dapat menyebabkan orang terjerumus dalam

narkoba, mereka menganggap bahwa narkoba dapat menyelesaikan masalahnya,

2. Faktor Eksternal : Adalah faktor penyebab yang berasal dari luar diri seseorang yang

mempengaruhinya dalam melakukan suatu tindakan, dalam hal ini penyalahgunaan narkoba,

adapun faktor eksternal itu sendiri antara lain :

a. Pergaulan : Teman sebaya mempunyai pengaruh cukup kuat terjadinya penyalahgunaan

narkoba, biasanya hal ini disebabkan berawal dari fase coba coba/ ikut-ikutan teman. Terlebih

bagi seseorang yang memiliki pergaulan buruk dan mental seseorang yang lemah dan mudah

terjerumus sehingga faktor pergaulan ini merupakan faktor yang benar benar berpengaruh

dengan penyalahgunaan narkoba.


b. Sosial /Masyarakat : lingkungan sosial/masyarakat yang apatis, tidak mempedulikan keadaan

dan lingkungan sosial yang buruk dapat menyebabkan maraknya penyalahgunaan narkoba di

kalangan remaja karena pada saat usia remaja, seseorang rentan terkena pengaruh lingkungan

sekitarnya dan ingin mulai menunjukan jati dirinya dalam lingkungan sosial bila dalam

lingkungan tersebut memberi pengaruh yang buruk maka dengan mudah seseorang dapat

terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.

2.2.4. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Ada 5 bentuk penanggulangan masalah narkoba

1. Promotif ( pembinaan)

Upaya promotive ditujukan kepada masyarakat yang belum pernah mengunakan narkoba,

upaya promotive ini dilakukan dengan prinsip meningkatkan peranan seseorang dalam suatu

kelompok, sehingga seseorang merasa lebih sejahtera sehingga tidak pernah berpikir untuk

memperoleh kebahagiaan semu dengan memakai narkoba. Upaya ini dapat diselenggarai oleh

lembaga kemasyarakatan yang difasilitasi dan diawasi oleh pemerintah.

2. Preventif (program pencegahan)

Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum pernah mengenal narkoba agar

mengetahui tentang bahaya dan bagaimana narkoba dapat merusak manusia sehingga seseorang

tidak tertarik untuk mengunakanya. Selain dilakukan oleh pemerintah dengan lembaga BNN,

program ini juga banyak dibantu oleh instansi instansi baik instansi negeri maupun swasta,

mulai dari instansi pendidikan, kesehatan hingga kepolisian. Program preventif ini diharapkan

dapat memberikan pengetahuan yang cukup supaya masyarkat dapat menjauhi narkotika dan
diharapkan mereka bisa memberikan/menyebarluaskan informasi tersebut kepada mayarakat di

sekitar mereka.

3. Kuratif (pengobatan)

Program ini ditujukan kepada para penguna narkoba. tujuannya adalah untuk mengobati

ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakai narkoba. Pengobatan

harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari narkoba secara khusus. Bentuk kegiatan kuratif.

a. Penghentian pemakaian narkoba.

b. Penggobatan gangguan kesehatan akibat penghentian dan pemakaian narkoba.

c. Penggobatan terhadap organ tubuh akibat penggunaan narkoba.

d. Penggobatan terhadap penyakit yang masuk bersama narkoba (penyakit tidak langsung yang

disebabkan oleh narkoba) seperti : HIV/AIDS, hepatitis B/C, sifilis, pnemonia, dan lain – lain.

4. Rehabilitatif

Upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkoba yang

sedang menjalanin program kuratif program rehabilitasi sendiri dibagi menjadi rehabilitasi

sosial maupun rehabilitasi medis. Tujuanya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit

ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakai narkoba, Pemakai narkoba dapat mengalami

penyakit ikutan/penyakit penyerta juga yang memerlukan perawatan, perawatan rehabilitative ini

memerlukan waktu yang cukup lama untuk memastikan orang benar benar lepas dari

penyalahgunaan narkoba, disamping itu upaya rehabilitative ini memerlukan tingkat pengobatan

dan pemantauan yang intensif supaya seseorang tidak kembali terjerumus lagi ke dalam narkoba,
selain itu juga rehabilitasi sosial berupa pemberian support moril dari luar seperti keluarga dan

lingkungan masyarakat sekitarnya untuk keberhasilan upaya rehabilitative ini.

5. Represif

Program penindakan atau pemberantasan ini diteruntukan terutama bagi para pengedar,

bandar dan produsen sehingga jaringan atau sindikat narkotika ini dapat berkurang,ini

merupakan pogram instasi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan

produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba (Martono, 2006).

Dari sedemikian banyaknya proses penanggulannya narkoba kenapa angka narkoba

sangat sulit untuk diturunkan seperti diketahui Menurut data dari BNN prevelensi orang yang

menyalahgunaan narkotika sebanyak 3.376.115 orang, pada kelompok usia 10-59 tahun selama

di tahun 2017, data tersebut menunjukan bahwa prevelensi pengguna narkoba di Indonesia masih

sangat tingggi jumlahnya, dan itu disebabkan karena banyaknya kegagalan dalam rangkaian

pengobatannya sehingga membuat jumlah pemakai narkoba jumlahnya masih relative tinggi dan

banyak dari mereka yang mengalami depresi selama masa pengobatan dikarenakan stressor yang

semakin meningkat pada seorang pecandu narkoba hal ini bisa disebabkan karena misalnya

lamanya proses rehabilitasi yang membuat seseorang akhirnya putus asa dan dapat menyebabkan

terjadinya depresi atau karena seringnya peristiwa relapse yang terjadi sehingga menyebabkan

orang putus asa dan akhirnya menjadi depresi dan bisa juga karena saat fase pengobatan

rehabilitasi kehilangan support moril baik dari keluarga, kerabat maupun lingkungan sekitarnya

yang membuat seseeorang merasa ditinggalkan dan akhirnya menjadi depresi. Menurut data
BNN konsekuensi akibat penyalahgunaan narkoba yang pertama adalah depresi sebanyak 25%

dari jumlah keseluruhan pemakai narkoba.

2.2.5 Hubungan kejadian depresi dan proses rehabilitasi

2.2.5.1. depresi dan kejadian relapse dalam proses rehabilitasi

Relapse pada pengguna narkoba yang telah menjalani proses pengobatan dan proses

rehabilitasi yang sukses merupakan permasalahan global yang sekarang sedang banyak dihadapi,

disini disebutkan bahwa faktor psikososial lebih menunjukan hubungan yang lebih bermakna

dengan kejadian relapse dibandingkan dengan faktor sosial, relapse adalah sebuah terjadinya

kembali pola lama penyalahgunaan (adiksi) dimana pemakaian narkoba berlangsung kembali

secara rutin (bnn, 2013) dan terdapat faktor faktor yang menyebabkan terjadninya relapse

diantaranya adalah lamanya proses rehabilitasi yang membuat seseorang jenuh dan akhinya

menjadi relaps terlebih lagi menjadi depresi, kekhawatiran, tekanan sosial dan stressor yang

tinggi dan rendahnya support sosial yang menyebabkan perasaan menjadi buruk.

(Hammerbacher & Lyvers, 2006).

Dan penyebab paling banyak terjdinya relapse adalah karena faktor ketangkasan dari diri

seseorang, diartikan sebagai kepercaya diri dan kemampuan dalam menghadapi segala situasi,

seseorang dapat mengalami relapse karena merasa tidak memiliki kekuatan dan kepercayaan diri

dalam diri mereka bahwa mereka dapat hidup tanpa menggunakan narkoba. (M. A. Nurhazlina,

A. Azlinda, 2009) . Dan oleh karena seseorang merasa kehilangan kekuatan serta kepercayaan

diri sehingga membuat seseorang menjadi kembali lagi terjerumus ke dalam narkoba dan hal itu
merupakan faktor resiko yang besar yang dapat membuat orang terkena depresi dikarenakan oleh

kejadian relapse yang terus berulang.

Kebanyakan dari pecandu narkoba memiliki sikap yang rendah diri oleh karena itu

mereka mudah menyerah dan tidak menyelesaikan masalahnya dengan pikiran yang positive,

sehingga mereka mudah terpengaruh oleh hal hal yang mereka anggap dapat menyelesaikan

masalah mereka da n akhrinya mereka mencoba memakai narkoba sehingga terjadilah relapse.

(Fauziah Ibrahim, Bahamah Abu Samah, Mansor Talib, Mohamad Shatar Sabran, 2009).dan

menurut banyak dari pecandu narkoba dapat bertahan menjauhkan diri mereka dari narkoba

karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi karena ditunjang dengan perkerjaan yang baik dan

penghasilan yang cukup membuat mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi. (C. K. Cheung,

T. Y. Lee, C. M. Lee, 2003)

Dari segalanya teori tersebut sudah disebutkan bahwa relapse selama masa rehabilitasi

dapat disebabkan oleh faktor dari dalam diri (psikososial) seseorang seperti rendahnya kekuatan

diri, kurangnya kepercayaan diri dan lemahnya ketangkasan diri seseorang tersebut dalam

memerangi narkoba dimana hal hal tersebut menyebabkan seseorang mengalami relapse kembali

dan akhrinya depresi karena faktor faktor psikososial tersebut merupakan penyebab depresi pada

umunya. (PPDGJ III)


2.2.5.2. Depresi dan faktor sosial dalam proses rehabilitasi

Support keluarga merupakan hal yang penting yang berkntribusi dalam masa pengobatan

narkoba, menurut noor zalifah, dalam the National Anti-Drug Agency (NADA), faktor keluarga

berperan penting dalam kesuksesan terapi ataupun kegagalan terapi (relapse), tekanan dari

keluarga yang menginginkan pecandu narkoba sembuh dan berubah dengan cepat yang malah

membuat itu menjadi suatu tekanan pada pecandu narkoba yang dapat menyebabkan terjadinya

relapse maupun depresi. Dan faktor keluarga seperti sejarah penggunaan narkoba oleh orang tua

juga sangat berperan dalam terjadinya ke relapse an (S. K. Matttoo, S. Chakrabarti, M. Anjaiah,

2009)

Dan dari survey yang terhadap 60 keluarga di barat peninsula menunjukan masih banyak

keluarga yang menganggap bahwa seorang pengguna narkotika itu adalah sebagai seseorang

yang tidak berguna bagi negara dan hanya sedikit keluarga yang beranggapan bahwa pengguna

narkoba harus mendapatkan pengobatan supaya dapat sembuh dan sisanya berpendapat bahwa

pengguna narkoba harus dijauhkan dari lingkungan sosial karena perbuatan yang mereka perbuat

.(N. M. Mahmood 1996). Maka dari itu support keluarga sangat penting untuk menunjang

keberhasilan terapi pada pecandu narkoba dan bila seorang pecandu yang sedang mengalami

masa rehabilitasi ditinggalkan oleh keluarganya mereka akan kehilangan primary group support

dimana hal itu merupakan faktor yang besar yang dapat menyebabkan seseorang terkena depresi

(PPDGJIII)

support dari teman sebaya/senasib juga ternyata sangat berperan dalam mendukung

keberhasilan terapi dan menurunkan angka relapse, dimana support dari teman senasib dapat

meningkatkan harga diri, kepercayaan diri dan perasaan yang positive sehingga dapat membuat
mereka bisa mengatasi masalah mereka dengan baik (Reif S, Braude L, Lyman DR, et al. 2014),

tetapi bila terjadi permasalahan dengan lingkungan sosial atau lingkungan sosial yang buruk

dapat menyebabkan terjadi kegagalan terapi yang dimana lebh buruk dapat berujung pada

kejadian depresi karena factor lingkungan sosial sangat berperan dalam faktor terjadinya depresi.

(PPDGJIII)

KERANGKA KONSEP????

HIPOTESIS???

Anda mungkin juga menyukai