Anda di halaman 1dari 166

FATWA-FATWA SYAIKH IBNU

BAZZ SEPUTAR RAMADHAN


DAN PUASA SYAWAL

Penyusun: Abul Mundzir


Penerjemah: Yuni Santoso

Yogyakarta, 19 Ramadhan 1439

1
DAFTAR ISI

Untaian Fatwa Berkaitan Bulan Ramadhan Yang


Diambil dari Kitab Fatawa Nur `Ala ad-Darb Atau dari
Kumpulan Fatawa dan Tulisan Yang Beragam Milik
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Bazz
Rahimahullahu Wa Ghafara Lahu

BAB PUASA

۞Pembahasan Pertama:
Puasa Bukanlah Termasuk Ibadah Yang Dikhususkan Untuk Umat
Ini Saja..........................................................................................10
Tidaklah Aku Ketahui Hal Tertentu, di Dalam Menyambut Bulan
Ramadhan.....................................................................................13
۞Pembahasan Kedua:
Penjelasan dari Syarat-Syarat Taubat............................................15
۞Pembahasan Ketiga:
Haramnya Ghibah dan Mengadu Domba di Bulan
Ramadhan.....................................................................................19
Haramnya Mencaci Maki di Bulan Ramadhan dan di
Selainnya.......................................................................................20
Tata Cara Berpuasanya Anggota Badan dari Perbuatan Yang Allah
Ta`ala Haramkan...........................................................................23
۞Pembahasan Keempat:
Tidak Diperbolehkan Berpuasa Pada Hari Yang Diragukan
Meskipun Langit Dalam Keadaan Mendung................................24
Sejauh Mana Keshahihan Hadits: “Barangsiapa Yang Berpuasa
Pada Hari Yang Dia Meragukannya, Maka Sungguh Dia Telah
Durhaka Kepada Abal Qasim (Muhammad Shallallahu Alaihi Wa
Sallam)”........................................................................................26
۞Pembahasan Kelima:
Keutamaan Mempelajari (Mendalami Ilmu) Hukum-Hukum
2
Seputar Ibadah Puasa....................................................................28
Wajibnya Para Ayah Untuk Mengarahkan Anak-Anaknya dalam
Kebaikan.......................................................................................29

۞Pembahasan Keenam:
Tetapnya Bulan Ramadhan Adalah Dengan Melihat Bulan (Hilal),
Atau Menyempurnakan Bilangan Bulan, Jumlah Yang Dituntut
Dalam Persaksian, dan Hukum Persaksiannya Seorang
Perempuan.....................................................................................32
۞Pembahasan Ketujuh:
Hukum Bagi Orang Yang Berpuasa Berdasarkan Penglihatan Alat-
Alat Baru, Seperti Teropong dan Semisalnya...............................38
Hukum Menyampaikan Kabar Gembira, dan Ucapan Selamat
Dengan Datangnya Bulan Ramadhan...........................................41
۞Pembahasan Kedelapan:
Hukum Mengganti Puasa Ramadhan Bagi Orang Yang Tidak
Menunaikan Shalat........................................................................42
Hukum Bagi Orang Yang Berpuasa, Akan Tetapi Tidak
Menunaikan Ibadah Shalat............................................................44
۞Pembahasan Kesembilan:
Hukum Seorang Yang Makan Atau Minum, Sementara Dia
Menyangka Matahari Sudah Terbenam Atau Fajr Belumlah
Terbit.............................................................................................47
۞Pembahasan Kesepuluh:
Hukum Puasanya Seorang Bila Air Masuk ke Dalam Perutnya
Dengan Tanpa Sengaja..................................................................48
Bersungguh-Sungguh Dalam Beristinsyaq (Memasukan Air ke
Dalam Lubang Hidung Ketika Berwudhu) Kecuali Engkau Sedang
Berpuasa........................................................................................50

۞Pembahasan Kesebelas:
Hukum Puasanya Seorang Yang Memakai Sprayer Bagi Penderita
Asma ............................................................................................52
Hukum Puasanya Seorang Yang Mengalami Pendarahan............52
3
Hukum Puasanya Orang Yang Menderita Penyakit Ayan
(Epilepsy)......................................................................................53
Hukum Puasanya Dari Seorang Yang Menderita Koma (Pembuluh
Darahnya Tersumbat)....................................................................54
۞Pembahasan Kedua Belas:
Perkara Wajib Bagi Ibu Hamil dan Menyusui, Jika Keduanya
Berbuka Pada Bulan Ramadhan...................................................55
۞Pembahasan Ketiga Belas:
Hukum Seorang Musafir Yang Menggauli Keluarganya (Istrinya)
Pada Siang Hari Bulan Ramadhan................................................58
۞Pembahasan Keempat Belas:
Apa Yang Diharuskan Bagi Seorang Musafir, Ketika Ia Kembali
ke Negerinya Pada Waktu Siang Hari di Bulan Ramadhan..........60
Tata Cara Penggantian Puasa........................................................62
۞ Pembahasan Kelima Belas:
Sesuatu Yang Menjadi Keharusan Bagi Orang Yang Tidak Mampu
Berpuasa Dikarenakan Lanjut Usia...............................................63

۞Pembahasan Keenam Belas:


Kadar Denda dari Setiap Hari (Puasa Yang Ditinggalkan) dan
Hukum Mengeluarkan Pembayaran Uang Tunai Sebagai Ganti
Makanan........................................................................................66
۞ Pembahasan Ketujuh Belas:
Hukum Menunaikan Puasanya Orang Yang Sudah Meninggal
Yang Memiliki Tanggungan Puasa...............................................68
Apa Saja Yang Termasuk Ganjaran Yang Dapat Diharapkan Bagi
Orang Yang Lemah Menunaikan Puasa Dikarenakan Usia Lanjut
dan Yang Semisalnya....................................................................69
۞Pembahasan Kedelapan Belas:
Hukum Memfokuskan Waktu Untuk Beribadah di Bulan
Ramadhan.....................................................................................71
Berlipat Gandanya Suatu Amalan Yang Dikerjakan di
Makkah.........................................................................................72

4
BAB I`TIKAF

۞ Pembahasan Pertama:
Hukum-Hukum I`tikaf..................................................................74
۞Pembahasan Kedua:
Tempat I`tikaf, Waktunya dan Hukum Memutus I`tikaf...............78
۞Pembahasan Ketiga:
Hukum Keluarnya Seorang Yang Beri`tikaf Karena Suatu
Kebutuhan.....................................................................................81
Hukum Seorang Yang Sudah Bernazar Untuk Beri`tikaf di Bulan
Ramadhan, Akan Tetapi Dia Tidak Memenuhi
Nazarnya.......................................................................................82

BAB LAILATUL QADAR

۞ Pembahasan Pertama:
Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan dan Malam
Lailatul Qadr.................................................................................84
Malam Lailatul Qadar di Sepuluh Hari Yang Terakhir Bulan
Ramadhan.....................................................................................86
۞ Pembahasan Kedua:
Keutamaan Malam Lailatul Qadar.........................................................................88
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar..............................................90
۞Pembahasan Ketiga:
Terkadang Lailatul Qadar Dapat Dilihat Dengan Mata Kepala
(Secara Langsung Dengan Tanda-Tandanya)...............................91.

BAB ZAKAT FITRI.

۞ Pembahasan Pertama:
Siapakah Yang Wajib Atasnya Untuk Membayar Zakat Fitri.......94

5
Zakat Fithri Adalah Kewajiban Atas Setiap Muslim....................96
۞ Pembahasan Kedua:
Kadar Sha` Nabi Dalam Timbangan Hadits..................................98
Hukum Mengeluarkan Zakat Fithri Dengan Selain Jenis-Jenis
Yang Telah Ada Penentuannya Pada Nash Alqur`an /As
Sunnah-.........................................................................................99
۞Pembahasan Ketiga:
Hukum Bayar Zakat Secara Tunai..............................................101
Disyari`atkan Membagikan Zakat Fithri di Tengah Orang-Orang
Fakir Yang Ada di Negerinya......................................................102
۞Pembahasan Keempat:
Allah Ta`ala Mensyari`atkan Zakat Fithri Sebagai Bentuk
Pengurangan Beban Bagi Orang-Orang Miskin dan Orang-Orang
Yang Membutuhkannya..............................................................104
Hukum Orang Yang Lupa Mengeluarkan Zakat Fithri Sebelum
Shalat Ied....................................................................................105

Untaian Fatwa Seputar Hukum-Hukum Shalat Ied


Yang Diambil dari Kitab Fatawa Nur `Ala ad-Darb Atau
dari Kumpulan Fatawa dan Tulisan Yang Beragam
Milik Imam Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Bazz
Rahimahullah Wa Ghafarallahu Lahu

۞ Bagian Pertama:
Hukum Shalat Ied.......................................................................107
Shalat Ied Tidaklah Dikerjakan di Pedalaman (Yang Tidaklah
Mendiami Tempat Tersebut Melainkan Beberapa Orang Saja) dan
di Waktu Safar.............................................................................109
۞Bagian Kedua:
Hukum Pensyaratan Jumlah (Jama`ah) Ketika Shalat Dua Hari
Raya............................................................................................110.

6
Hukum Bagi Orang Yang Menjumpai Shalat Ied, Sedangkan Dia
Dalam Keadaan Jauh dari Kampung...........................................112
۞Bagian Ketiga:
Hukum Menunaikan Shalat Dua Hari Raya di Dalam Masjid
Karena Sebab Hujan....................................................................113
۞Bagian Keempat:
Apa Saja Yang Disyari`atkan Bagi Yang Hadir di Mushalla
Ied................................................................................................115
۞Bagian Kelima:
Penjelasan dan Uraian Seputar Hukum Takbir Secara Berjamaah
Sebelum Pelaksanaan Shalat `ied............................................... 117

۞ Bagian Keenam:
Hukum Takbir (Secara) Jama`ah Pada Hari `Ied dan Bentuk
Lafadznya....................................................................................124
Tata Cara Pengucapan Takbir Pada Shalat `Ied..........................125
۞ Bagian ketujuh:
Hukum Mengangkat Kedua Tangan di Semua Gerakan Takbir
Pada Shalat Ied............................................................................127
۞ Bagian Kedelapan:
Hukum Seruan Lafadz Ash Shalaatul Jami`ah Ketika Shalat
Ied...............................................................................................133
Penjelasan Tata Cara Takbir di Rumah-Rumah (Masjid) Allah
Ta`ala...........................................................................................134
۞ Bagian kesembilan:
Penjelasan Amalan Yang Disyari`atkan Dalam Mengawali
Khutbah Ied.................................................................................135
Penjelasan Tata Cara Khutbah Pada Hari Ied.............................136
Hukum Seorang Yang Lupa Membaca Surat Al Fatihah di Rakaat
Pertama dari Shalat Ied...............................................................138
Hukum Seorang Yang Lupa Membaca Al Fatihah di Raka`at
Pertama dari Shalat Ied...............................................................140

۞ Bagian Kesebelas:
7
Penjelasan Tata Cara Penyempurnaan Makmum Yang Tertinggal
Pada Raka`at Yang Terluput dari Shalat Ied................................142
Penjelasan Diperolehnya Raka`at Dalam Shalat Ied...................143
۞ Bagian Kedua Belas:
Ucapan Selamat Iedul Fithri.......................................................144
Penjelasan Bentuk Pengucapan Selamat di Dua Hari Raya........144

Untaian Fatwa Seputar Hukum-Hukum Puasa Enam


Hari di Bulan Syawal Yang Diambil dari Kitab Fatawa
Nur `Ala ad-Darb Atau dari Kumpulan Fatawa dan
Tulisan Yang Beragam Milik Imam Abdul Aziz Bin
Abdillah Bin Bazz Rahimahullah Wa Ghafarallahu Lahu

۞ Bagian Pertama:
Penjelasan Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan
Syawal.........................................................................................146
۞ Bagian Kedua:
Hukum Niat Berpuasa Sejak Malam Hari..................................148
۞ Bagian Ketiga:
Bulan Syawal Seluruhnya, Merupakan Tempat (Waktunya)
Berpuasa Enam Hari...................................................................151
Tidaklah Dipersyaratkan Untuk Bekelanjutan di Dalam
Pelaksanaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal.........................152
۞Bagian Keempat:
Tidak Disyari`atkan Mendahulukan Qadha Atas Puasa
Sunnah.........................................................................................153
۞ Bagian Kelima:
Hukum Niat Memadukan Antara Puasa Wajib dan Yang
Sunnah.........................................................................................157
Hukum Mendahulukan Puasa Nazar Atas Qadha Ramadhan.....158
Hukum Berpuasa Pada Hari Sabtu Secara Tersendiri.................158

8
۞ Bagian Keenam:
Penjelasan Bahwasanya Puasa Sunnah Tidaklah Menjadi Suatu
Kewajiban Atas Orang Yang Senantiasa
Merutinkannya............................................................................160
۞ Bagian Ketujuh:
Tidak Bolehnya Mendahulukan Puasa Enam Hari Pada Bulan
Syawal Atas Puasa Kafarah........................................................162
Tidaklah Mengapa Menyambung Puasa Qadha Dengan Puasa
Enam Hari dari Bulan Syawal.....................................................162
Ucapan Penilaian Bid`ahnya Amalan Puasa Enam Hari Pada
Bulan Syawal Adalah Ucapan Yang Salah..................................163
۞ Bagian Kedelapan:
Puasa Enam Hari dari Bulan Syawal Adalah Puasa Sunnah Bukan
Puasa Wajib dan Bagi Siapa Saja Yang Tidak Ada Kemampuan
Untuk Menyempurnakanya Karena Alasan Yang Syar`i,
Diharapkan Baginya Mendapatkan Pahala dari Keutamaan Puasa
Enam Hari Pada Bulan Syawal...................................................165
Hukum Seorang Yang Berpuasa Enam Hari dari Bulan Syawal,
Namun Dia Tidak Menyempurnakanya......................................166

9
5
Untaian Fatwa Berkaitan Bulan Ramadhan Yang
Diambil dari Kitab Fatawa Nur `Ala ad-Darb Atau dari
Kumpulan Fatawa dan Tulisan Yang Beragam Milik
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Bazz
Rahimahullahu Wa Ghafara Lahu1

BAB PUASA

۞ Pembahasan Pertama: Puasa Bukanlah Termasuk


Ibadah Yang Dikhususkan Untuk Umat Ini Saja ۞

Pertanyaan(1)
Berkaitan bulan Ramadhan, apakah bulan tersebut termasuk
kekhususan dari umat ini ataukah ada di umat-umat terdahulu ?

Jawaban:
Allah Ta`ala berfirman :

‫ب اع ال ا َل ِذي ان ِمن اق ُب ِلك ُُم ال اع َلك ُُم ات َت ُقون‬ ِ


‫ب اع ال ُيك ُُم ي‬
‫الص ايا ُم ك اام كُت ا‬
ِ ِ
‫ايا اأ َ ايا ا َلذي ان آ امنُوا كُت ا‬

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian


berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian

1
Silsilah (untaian fatwa) ini kami dapat dari Abul Mundzir Abdur Rafi` hafidzahullah,
pada 4 tahunan yang lalu (1435) melalui media pesan whatsapp secara bertahap, yang
kemudian kami memandang penting, baik untuk diterjemahkan dan disebarkan di tengah
kaum muslimin, adapun penomoran fatwa pada tiap pertanyaaan dari kami sendiri, hal ini
dilakukan dalam rangka kemudahan saja.

10
agar kalian bertaqwa“1

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya ibadah puasa


merupakan peribadahan yang sudah lama, telah diwajibkan atas
orang-orang sebelum kita, sebagaimana Allah Ta`ala wajibkan
atas kita, akan tetapi apakah mereka dibatasi/terikat untuk
berpuasa di bulan Ramadhan saja ataukah di selain Ramadhan ?

Yang semisal ini saya tidak mengetahui adanya nash/hadits


dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Adapun berkaitan
keutamaan dan keistimewaanya sangatlah banyak, di antarannya:
yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, dari Abu Hurairah dari nabi
shallallahu `alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:

‫وف فا<< ِم الصَ<< ِائ ِم‬


ُ ‫ ُخ ُل‬:‫ ( ُأ َم بة اق ُب ال ُه ُم‬2) ‫ ال ُ ُت ُع اط اها‬،‫ان‬ ‫خ اس ِخ اصال ِف ار ام اض ا‬ ُ ‫ُأ ُعطِ اي ُت ُأ َمتِي ا‬
‫ او ُي از يي ُن الُ اع َز اوجا<<< َل‬،‫ اوت ُاس ات ُغ ِف ُر ال ُ ُم الُا ال ِئ اك ُة احتَى ُي ُفطِ ُروا‬،‫يح الُِ ُس ِك‬
ِ ‫ب ِعنُدا الِ ِم ُن ِر‬ ُ ‫اأ ُط اي‬
‫ون اأ ُن ُي ُل ُقوا اعن ُُه ُم الُا ُئو ان اة او ُالا اذى او اي ِص ُيوا‬ ِ
‫ال ا‬ ِ ِ ِ ُ ‫ ُث َم اي ُق‬،‫ك َُل اي ُوم اجنَ ات ُه‬
ُ ‫الص‬َ ‫ ُيوش ُك ع ابادي‬:‫ول‬
،‫ون إِ ال ُي ِه ِف اغ ُ ِي ِه‬ ُ ‫( إِ ال اما كاانُوا ا‬3) ‫ي ُل ُصوا فِ ِيه‬
‫ي ُل ُص ا‬ ِ ِ‫الش اياط‬
ُ ‫ اف ال ا‬،‫ي‬ َ ‫ او ُي اص َفدُ فِ ِيه ام ار اد ُة‬،‫إِ ال ُي ِك‬
‫ او الكِ<< َن ا ُل اعامِ<< ال‬،‫ " ال‬:‫ اأ ِه اي ال ُي ال ُة ا ُل اقدُ ِر؟ اق اال‬،ِ‫ول ال‬‫ ايا ار ُس ا‬:‫آخ ِر ال ُي الة " ِق ايل‬
ِ ‫وي ُغ افر الم ِف‬
ُُ ُ ُ‫ا‬
‫إِن اَم ُي او َف اأ ُج ار ُه إِ اذا اق اض اع ام ال ُه‬

“Umatku telah diberikan pada bulan Ramadhan lima keutamaan


yang tidak diberikan pada umat sebelumnya, bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah Ta`ala daripada harumnya kasturi,
para malaikat mendoakan permintaan ampun sampai mereka
berbuka,
Allah Azza Wa Jalla menghiasi surganya di setiap hari, kemudian
berfirman (kepada surga): “Hampir (tiba saatnya) para hamba yang
shalih dibebaskan dari mereka beban dan derita, serta mereka
1
QS. Al Baqarah (2): 183

11
menuju kepada-Mu
di dalam bulan tersebut jin yang durhaka dibelenggu, sehingga
mereka tidaklah bebas di bulan tersebut apa yang mereka mampu
melakukannya pada bulan selain Ramadhan, diberikan untuk mereka
ampunan pada akhir malam”, dikatakan: “Apakah itu malam lailatul
qadar”?
rasul shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Bukan, akan tetapi
orang yang beramal, tentu akan dipenuhi pahalanya ketika telah
menyelesaikan amalannya”1

Maka berkaitan keutamaan ini, nabi shallallahu `alaihi wa


sallam sudah jelaskan bahwa keutamaan ini termasuk di antara
kekhususan umat ini. Keutamaan lainnya di antarannya; Sabda
nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

‫ اوما<< ُن قا<< ا ام ال ُيلا<< اة القا<< دُ ِر إِ ايمنً<<ا‬،‫احتِ اسا ًبا ُغ ِف ار ال ُه اما ات اقدَ ام ِم ُن اذنُبِ ِه‬ُ ‫ان إِ ايمنًا او‬ ‫ام ُن اصا ام ار ام اض ا‬
‫احتِ اسا ًبا ُغ ِف ار ال ُه اما ات اقدَ ام ِم ُن اذنُبِه‬
ُ ‫او‬

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan


dan mengharapkan pahala di sisi Allah, maka baginya ampunan dosa
nya yang telah lalu, dan barangsiapa yang menegakkan malam
lailatul qadr (dengan berbagai amalan ketaatan) dengan penuh
keimanan dan berharap pahala dari Allah Azza Wa Jalla, niscaya
diampunkan baginya dosanya yang telah lalu”2

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda:

‫اخ ِر ِم ُن ار ام اض ا‬
‫ان ال ُي ال اة ال اقدُ ِر‬ ِ ‫ش الاو‬ ‫الت ِام ُس ا‬
‫وها ِف ال اع ُ ِ ا‬

“Carilah oleh kalian malam lailatul qadr di sepuluh terakhir pada


bulan Ramadhan”

1
HR. Ahmad: 7917 dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Bukhari: 2014, Muslim: 760, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

12
‫ او اأ ُي اق اظ اأ ُه اله‬،‫ او اأ ُح ايا ال ُي ال ُه‬،‫ش اشدَ ِم ُئ از ار ُه‬ ِ ِ
ُ ُ ‫اان النَبِ َي اص َل الُ اع ال ُيه او اس َل ام إ اذا اد اخ ال ال اع‬
‫ك ا‬

“Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dahulu ketika memasuki sepuluh hari


terakhir pada bulan Ramadhan beliau mengencangkan sarungnya,
menghidupkan malamnya dan beliau pun membangunkan keluarganya.

Tidaklah Aku Ketahui Hal Tertentu, di Dalam Menyambut


Bulan Ramadhan.

Pertanyaan(2)
Apakah di sana ada perkara-perkara khusus yang disyariatkan
bagi seorang muslim ketika berjumpa dengan bulan Ramadhan ?

Jawaban:
Bulan Ramadhan merupakan seutama-utamanya bulan dalam
setahun, dikarenakan Allah khususkan bulan Ramadhan dengan
Allah jadikan amalan puasa sebagai suatu kewajiban dan rukun
yang keempat dari rukun-rukun islam, dan Allah Azza Wa Jalla
syariatkan bagi umat islam untuk menunaikan shalat malam
(tarawih), sebagaimana sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

،‫ اوإِقا<< ا ِم الصَ<< ل ِاة‬،َِ‫ول ال‬


ُ ‫ اش اها اد ِة اأ ُن لا إِ ال اه إِ َل الَُ او اأ َن ُم ا َمدً ا ار ُس‬:‫خس‬ُ ‫ل ُم اع ال ا‬ ِ ‫ُبنِ اي‬
‫ال ُس ا‬
‫ او اص ُو ِم ار ام اضان‬،‫ل يج‬ ِ َ ‫ااء‬ِ ‫وإِيت‬
‫ اوا ا‬،‫الزكااة‬ ‫ا‬

“Islam dibangun di atas lima hal, bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Azaa Wa Jalla,
bersaksi bahwasanya Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji
(ke baitullah), dan berpuasa Ramadhan“1
1
HR. Bukhari: 8, dari Ibnu `Umar -radhiyallahu `anhuma-

13
Dan sabda nabi shallallahu `alaihi wassallam

‫ ُغ ِف ار ال ُه اما ات اقدَ ام ِم ُن اذنُبِ ِه‬،‫احتِ اسا ًبا‬


ُ ‫ان إِ ايمنًا او‬
‫ام ُن اقا ام ار ام اض ا‬

“Barangsiapa yang menegakkan shalat malam di bulan Ramadhan


dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah
Ta`ala, maka akan diampuni baginya dosa yang telah lalu”1

Aku tidaklah mengetahui hal tertentu dalam menyambut bulan


Ramadhan, melainkan seorang muslim menyambutnya dengan
kegembiraan, kebahagiaan dan suka ria, dan bersyukur kepada
Allah Azza Wa Jalla yang telah mengantarkannya sampai pada
bulan Ramadhan dan memberikan taufiq kepadannya, sehingga
Allah Azza Wa Jalla ingin jadikan ia termasuk orang-orang yang
berlomba-lomba di dalam amalan shalih, karena sesungguhnya
sampainya bulan Ramadhan merupakan nikmat yang besar dari
Allah Ta`ala.

Oleh karena itu nabi shallallahu `alaihi wa sallam


memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya dengan
datangnya bulan Ramadhan, beliau jelaskan keutamaannya, dan
apa yang Allah Ta`ala siapkan di dalamnya, bagi orang yang
berpuasa dan bagi orang-orang yang menegakkan shalat malam
berupa pahala yang besar.

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk menyambut bulan


yang mulia ini dengan taubat yang murni, dan bersiap-siap untuk
puasa dan menegakkan shalat malamnya dengan niat yang shalih
dan maksud yang jujur.

1
HR. Bukhari: 37, Muslim: 759, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

14
۞ Pembahasan Kedua: Penjelasan dari Syarat-Syarat
Taubat ۞

Pertanyaan(3)
Apa syarat-syarat bertaubat dari dosa-dosa, baik yang besar
dan yang kecil ? Dan bagaimana seorang dapat memanfaatkan
bulan Ramadhan sebagai penghapus dosa-dosa.

Jawaban:
Bertaubat dari semua dosa-dosa, harus tercakup padanya tiga
perkara, sebagaimana ahli ilmu telah menyebutkannya:
1).Adanya penyesalan atas dosa yang telah lalu, menyesali atas
dosanya dan bersedih dari perbuatan dosa itu.
2).Menjauhkan diri dari dosa itu dan meninggalkannya, karena
takut kepada Allah dan mengagungkan kedudukan Allah.
3).Bertekad dengan jujur agar tidak kembali kepada dosa itu.

Demikian inilah syarat-syarat taubat, dengan ini Allah akan


hilangkan kesalahan-kesalahanya dan Allah Ta`ala hapuskan
kejelekan-kejelekannya, sebagaimana Allah Ta`ala firmankan:

‫اوتُو ُبوا إِ ال الَِ اجِي ًعا اأ َ ايا الُ ُؤ ِمن ا‬


‫ُون ال اع َلك ُُم ُت ُف ِل ُح ا‬
‫ون‬

”Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah Ta`ala, wahai orang-orang


yang beriman, agar kalian beruntung”1

Allah Ta`ala juga berfirman :

ِ ِ ِ
‫اوإِ ين ال اغ َف بار ال ُن ت ا‬
ً ‫ااب اوآ ام ان او اعم ال اص‬
‫الا ُث َم ُاهتادا ى‬

1
QS. An Nuur (24): 31

15
“Dan sesungguhnya aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang
yang bertaubat dan beramal shalih, kemudian Allah Ta`ala berikan
petunjuk kepadanya.”1

Ayat ini umum mencakup semua jenis dosa, baik kesyirikan


dan dosa yang ada dibawahnya, ketika seorang (berniat jujur) mau
bertaubat kepada Allah Ta`ala dari dosa itu.

Taubat mencakup penyesalan atas dosa yang lalu, menjauhkan


diri dari dosa itu dan meninggalkannya, serta bertekad dengan
jujur untuk tidak kembali kepada dosa itu, karena takut kepada
Allah dan dalam rangka mengagungkan Allah Ta`ala, dengan
taubat yang semisal ini, maka seorang akan teranggap sebagai
orang yang bertaubat, dan keadaan orang tadi sebagaimana orang
yang tidak berdosa.

Akan tetapi jika dosanya itu berkaitan dengan hak para hamba
(yang seorang telah bertaubat darinya), maka harus juga ada syarat
yang keempat: Yaitu mengembalikan hak kepada pemiliknya, atau
meminta penghalalan dari mereka dari hak-hak yang dia langgar,
sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh ahli ilmu dan telah ada
hadits nabi yang menunjukan hal itu.

Shahih dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya


beliau bersabda:

‫ا<<<ار اولا‬ ِ ‫ اقب ال اأ ُن لا يك ا‬،‫ اف ُليتاح َل ُله ِمنُه اليوم‬،‫ات اله م ُظ الم بة ِلا ِخ ِيه ِمن ِعر ِض ِه اأو اشء‬
‫ُون دين ب‬ ‫ا‬ ُ ‫ا ا ُ ُ اُ ا‬ ُ ُ ُ ُ ‫ام ُن كاان ُ ُ ا ا‬
ِ ‫اات ُأ ِخ اذ ِمن س ي ائ‬
‫ات‬ ‫ اوإِ ُن ال ُ ات ُك ُن ال ُه اح اسن ب‬،‫اان ال ُه اع ام بل اصالِ بح ُأ ِخ اذ ِمنُ ُه بِ اقدُ ِر ام ُظ ال امتِ ِه‬ ‫ إِ ُن ك ا‬،‫ِد ُر اه بم‬
‫ُ ا<<< ي‬
‫احبِ ِه اف ُح ِم ال اع ال ُي ِه‬
ِ ‫ص‬
‫ا‬

1
QS. At Taha (20): 82

16
“Barangsiapa yang ada padanya kedzaliman terhadap saudaranya dari
kehormatannya atau bentuk kedzaliman apapun, hendaknya dia meminta
agar dihalalkan dari saudarannya pada hari itu juga, sebelum datangnya
suatu hari yang tidak ada padanya dinar dan tidak pula dirham,
jika ada padanya amalan shalih, maka akan diambil dari amalan tersebut
sesuai kadar kedzalimannya, namun jika tidak ada padanya kebaikan-
kebaikan yang dimiliki, maka akan diambilkan dari kejelekan-kejelekan
yang telah didzaliminya, kemudian Allah Ta`ala pikulkan kepadanya” 1

Maka sudah menjadi kewajiban atas orang yang padanya ada


hak-hak milik orang lain agar mengembalikan hak itu kepada
mereka, atau meminta dihalalkannya dari hak-hak itu, hingga
taubatnya sempurna, dan telah lengkap syarat-syarat taubatnya.

Namun jika seorang tidak mengerjakannya, yang tersisa


atasnya adalah balasan, di hari kiamat nanti darinya diambil qishas
kepada pemilik hak itu, boleh jadi dengan diberikan kebaikan
-kebaikannya, boleh jadi dipikulkan kepadannya berupa kejelekan
orang yang telah didzaliminya sesuai keadaanya. Di dalam hadits
yang lainya, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda kepada
para sahabat:

‫ون اما الُ ُف ِل ُس؟‬


‫اأتادُ ُر ا‬

“Apakah kalian tau orang yang bangkrut itu?”

Mereka pun menjawab:


‫الُ ُف ِل ُس فِيناا ام ُن ال ِد ُر اه ام ال ُه او ال امتااع‬

“Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak ada
padanya dirham dan tidak pula ada suatu kenikmatan”

1
HR. Bukhari: 2449, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

17
Kemudian rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

،‫ف ها<< اذا‬ ‫ اوقا<< اذ ا‬،‫ او اي ُأ ِت اقدُ اشت اام اه اذا‬،‫ او ازكااة‬،‫ او ِص ايام‬،‫إِ َن الُ ُف ِل اس ِم ُن ُأ َمتِي اي ُأ ِت اي ُو ام ا ُل ِق ايا ام ِة بِ اص الة‬
‫ افإِ ُن‬،‫ او اه اذا ِم ُن اح اسنااتِ ِه‬،‫ اف ُي ُع اطى اه اذا ِم ُن اح اسنااتِ ِه‬،‫ض اب اه اذا‬ ‫ او ا ا‬،‫ او اس اف اك اد ام اه اذا‬،‫او اأك اال ام اال اه اذا‬
‫ ُث َم ُط ِر اح ِف النَار‬،‫اه ُم اف ُط ِر اح ُت اع ال ُي ِه‬
ُ ‫افنِ اي ُت اح اسناا ُت ُه اق ُب ال اأ ُن ُي ُق اض اما اع ال ُي ِه ُأ ِخ اذ ِم ُن اخ اطا اي‬

“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku itu, yang datang pada
hari kiamat membawa pahala ibadah shalat, puasa, zakat, dan dia datang
pada hari itu bersamaan dia telah memukul si ini, mencela ini, menuduh
perbuatan keji pada si fulanah, memakan harta fulan, menumpahkan
darah fulan dan telah memukul si alan, maka diberikanlah si alan dari
kebaikan-kebaikannya, dan si fulan juga diberikan dari kebaikan-
kebaikannya,
kemudian jika kebaikannya telah habis, sebelum orang tadi mengganti
apa yang sudah menjadi kewajibannya, maka diambilkanlah dari
kejelekan-kejelekan mereka untuk diberikan kepadanya, kemudian dia
dilemparkan ke dalam neraka”1

Kita (semua) berlindung kepada Allah Ta`ala dari hal


demikian, maka sudah menjadi kewajiban atas siapa saja yang
memiliki beban (kedzaliman) terhadap orang lain, baik berupa
harta, darah atau kehormatan, agar dia meminta untuk dihalalkan.

Meminta dari mereka untuk menghalalkannya, memberikan


maaf kepadanya, atau meridhai mereka dari hal itu dengan sesuatu
yang dikehendaki, hingga dia selamat dari pertanggungjawaban
atas kedzalimannya, apabila dia tidak lakukan demikian, yang
tersisa adalah janji dan pertanggung jawaban hingga hari kiamat.

Adapun dosa-dosa lainnya semisal yang lalu, cukup taubatnya


dengan penyesalan, upaya meninggalkan, menjauhkan diri, dan
bertekad jujur untuk tidak kembali kepada dosa itu.
1
HR. Muslim: 2581, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-

18
۞ Pembahasan Ketiga: Haramnya Ghibah dan Mengadu
Domba di Bulan Ramadhan ۞

Pertanyaan(4)
Seorang penanya berkata: Wahai syaikh yang mulia, pada
bulan Ramadhan, berkaitan ghibah dan mengadu domba, apakah
keduanya membatalkan puasa ?
Dan apakah sebab-sebab yang membantu seorang dapat tadabbur
dan khusyuk ketika shalat ?

Jawaban:
Ghibah dan mengadu domba adalah dua kemaksiatan yang
besar, tidaklah membatalkan orang yang berpuasa, akan tetapi dia
berdosa besar, dikarenakan kedua perkara ini termasuk di dalam
dosa-dosa besar, baik di bulan Ramadhan ataukah di selainnya,
akan tetapi tidaklah membatalkan orang yang berpuasa.

Adapun sebab-sebab yang dapat membantu untuk tadabbur


dan khusyuk ketika shalat, di antaranya: Fokus menghadap Allah
Ta`ala, merenungkan bahwasanya dia akan berdiri di hadapan
Allah, dan bahwasannya Allah melihatnya, kemudian dia pikirkan
kebesaran Allah, pikirkan bahwasannya dia sedang berada di
hadapan Allah, dan Allah mewajibkan agar seorang tenang ketika
shalat hingga didapatkan kekhusyuan.



19
Haramnya Mencaci Maki di Bulan Ramadhan dan di
Selainnya.

Pertanyaan(5)
Apa hukum laknat di bulan Ramadhan ?

Jawaban:
Melaknat ketika bulan Ramadhan dan di selainnya hukumnya
haram, tidaklah dibolehkan caci makian, Allah Ta`ala mewajibkan
kepada hambanya untuk menjaga lisannya dari perkara yang telah
Allah Ta`ala haramkan atasnya, Allah Ta`ala berfirman :

‫يب اعتِيدب‬ ِ ِ ِ ِ
‫اما اي ُلف ُظ م ُن اق ُول إِ َل الدا ُيه ارق ب‬

“Tidaklah terucap dari satu perkataan pun melainkan di sisinya ada


penjaga (malaikat ) yang senantiasa mengawasi ucapan dan
mencatatnya “1.

Allah Ta`ala juga berfirman :

‫ون اما ات ُف اع ُل ا‬
(12) ‫ون‬ ‫( ِك ارا ًما كااتِبِ ا‬10) ‫ي‬
‫( اي ُع ال ُم ا‬11) ‫ي‬ ‫لافِظِ ا‬
‫اوإِ َن اع ال ُيك ُُم ا ا‬

“Dan sungguh di sisi kalian ada penjaga mulia yang mencatat,


mereka mengetahui apa yang kalian perbuat (baik ataupun buruk)”2

Manusia itu diperintahkan untuk senantiasa melakukan


penjagaan, menjaga lisannya, dan perbuatan anggota badannya
dari perbuatan yang Allah haramkan atasnya, rasul shallallahu
1
QS. Qaf (50): 18
2
QS. Al Infithar (82): 10

20
`alaihi wa sallam bersabda :

‫او ال ُع ُن الُ ُؤ ِم ِن اك اقت ُِله‬

“Melaknat seorang mu`min seperti membunuhnya”1

Laknat diserupakan dengan pembunuhan, Rasul shallallahu


`alaihi wa sallam juga bersabda:

‫ او ال ُش اف اعا اء اي ُو ام ا ُل ِق ايا امة‬،‫ُون ُش اهدا ا اء‬ ‫إِ َن ال َل َعانِ ا‬


‫ي ال ايكُون ا‬

”Sesungguhnya para pelaknat tidaklah diterima persaksiannya, dan


baginya tidak ada syafa`at yang diterima di sisi Allah pada hari kiamat” 2

Sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam lainnya:

‫ش اولا ال اب ِذيء‬ ِ ‫ان ولا ال اف‬


ِ ‫اح‬ ِ ِ ِ
‫ال ُي اس الُ ُؤم ُن بِال َط َعان اولا ال َل َع ا‬

“Bukanlah ciri mu`min yang sejati itu orang yang suka mencela, tidak
juga melaknat, tidak juga melakukan perbuatan keji dan tidak juga
berkata-kata kotor “3

Perbuatan caci maki dan melaknat adalah perkara yang


mungkar, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda

‫ او ِقتاا ُل ُه ُك ُفر‬،‫وق‬
‫اب الُ ُس ِل ِم ُف ُس ب‬ ِ
ُ ‫س اب‬

1
HR. Bukhari: 6105, Muslim: 110, dari Tsabit bin Dhahak -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Muslim: 2598, dari Abu Darda` -radhiyallahu `anhu-.
3
HR, Tirmidzi: 1977, dari `Abdullah bin Mas`ud -radhiyallahu `anhu-.

21
“Mencaci maki seorang mu`min itu adalah tindakan kefasikan dan
pembunuhan terhadap seorang mu`min adalah kekufuran“ 1

Maka yang wajib atas seorang mu`min untuk senantiasa


menjaga lisannya, demikian juga berlaku bagi wanita yang
beriman, wajib atas keduanya untuk menjaga lisan, dari apa saja
yang Allah haramkan dari caci makian, kedustaan, perkataan
palsu, baik di bulan Ramadhan ataukah di selainnya.

Akan tetapi pada bulan Ramadhan, dosanya itu menjadi lebih


besar, caci makian di bulan Ramadhan, ataukah di hari-hari bulan
Zulhijah, sembilan hari (awal) di bulan Zulhijah, keharamannya
menjadi lebih besar, begitu juga dosanya, sekalipun juga caci
makian itu haram di semua waktu dan di segala tempat.

Wajib atas seorang mu`min untuk berhati-hati dari perbuatan


yang Allah haramkan di setiap waktunya, berupa caci makian,
laknat, berkata palsu dan selain dari hal itu, akan tetapi di waktu
semisal bulan Ramadhan dan hari-hari bulan Zulhijah dosanya
lebih besar dan parah. Kita meminta kepada Allah Azza Wa Jalla
keselamatan dan maaf dari-Nya.



1
HR. Bukhari: 48, Muslim: 64, dari `Abdullah bin Mas`ud -radhiyallahu `anhu-

22
Tata Cara Berpuasanya Anggota Badan dari Perbuatan Yang
Allah Ta`ala Haramkan.

Pertanyaan (6)
Bagaimanakah bentuk puasanya anggota badan di bulan
Ramadhan ?

Jawaban:
Puasanya anggota badan adalah dengan menjauhkan anggota
badan dari apa saja yang Allah Ta`ala haramkan atasnya, lisan
berpuasa dari apa saja yang diharamkan, berupa ghibah, adu
domba, berdusta dan semisal dari hal itu, adapun tangan berpuasa
dari perbuatan yang Allah Ta`ala haramkan atasnya; Mencuri,
berbuat dzalim, tindakan permusuhan dan yang semisal dari hal
itu.

Adapun kaki juga hendaknya dia jauhkan dari apa saja yang
Allah haramkan, maka jangan dia melangkah kepada perkara yang
haram, dan tidak juga berjalan menuju perkara yang Allah Ta`ala
haramkan, dan demikian halnya perut, hendaknya dijaga dari
makan-makanan yang haram, maka dia jaga perutnya dari
memakan makanan haram, dan juga dia jaga pendengarannya dari
mendengarkan sesuatu yang Allah haramkan, di antaranya alat-alat
music, dari ghibah, adu domba dan hal-hal lainnya.



23
۞ Pembahasan Keempat: Tidak Diperbolehkan Berpuasa
Pada Hari Yang Diragukan, Meskipun Langit Dalam Keadaan
Mendung ۞

Pertanyaan(7)
Jika cuaca mendung atau berabu, apakah wajib atau
disyariatkan berpuasa pada hari yang diragukan sebagai kehati-
hatian karena ada kemungkinan bulan Ramadhan sudah masuk ?

Jawaban:
Tidaklah boleh berpuasa pada hari yang diragukan, meskipun
langit dalam keadaan mendung, inilah pendapat yang benar,
dikarenakan rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

‫ان اثلاثِ ا‬
‫ي‬ ‫ افإِ ُن ُغ يب اي اع ال ُيك ُُم اف اأك ُِم ُلوا ِعدَ اة اش ُع اب ا‬،‫ُصو ُموا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه او اأ ُفطِ ُروا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه‬

“Berpuasalah kalian dengan melihat (hilal bulan Ramadhan), berbukalah


karena melihatnya (hilal bulal Syawal), maka jika mendung menutupi
kalian, sempurnakanlah bilangan Sya`ban menjadi tiga puluh hari” 1

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda:

‫ اف ُل اي ُص ُمه‬،‫اان اي ُصو ُم اص ُو ًما‬ ِ ُ ‫ان بِ اص ُو ِم اي ُوم او ال اي ُو ام‬


‫ي إِ َل ار ُج بل ك ا‬ ‫ال ات اقدَ ُموا ار ام اض ا‬

“Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan dengan berpuasa satu


hari ataukah dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa dengan
ibadah puasa tertentu, maka tidaklah mengapa baginya untuk berpuasa” 2

Adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu `Umar bahwasanya


1
HR. Bukhari: 1909, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Muslim: 1082, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

24
beliau dahulu berpuasa pada hari ketiga puluh, jika pada hari
tersebut dalam keadaan mendung, maka hal yang semacam ini
merupakan ijtihad beliau rahimahullah.

Adapun pendapat yang benar itu (justru) sebaliknya, bahwa


yang wajib adalah berbuka. Ibnu `Umar berijtihad di dalam posisi
ini, akan tetapi ijtihadnya itu menyelisi sunnah, semoga Allah
Ta`ala memaafkannya, dan yang benar bagi umat muslim adalah
wajib untuk berbuka di hari ketiga puluhnya.

Jika hilal tidak terlihat meskipun dalam keadaan berawan,


maka yang wajib baginya adalah berbuka, dan tidak diperbolehkan
berpuasa hingga telah tetap hilal (bulan Ramadhan) atau manusia
menyempurnakan bilangan bulan Sya`ban menjadi tiga puluh hari,
inilah yang wajib atas umat islam, tidaklah boleh menyelisihi nash
dengan perkataan seorang manusia, tidak perkataan dari Ibnu
`Umar dan tidak juga perkataan selainnya, dikarenakan nash lebih
dikedepankan atas pendapat semua orang, berdasar firman Allah
Ta`ala

ُ ‫الر ُس‬
‫ول اف ُخ ُذو ُه او اما انااك ُُم اعنُ ُه افا ُنت ُاهوا‬ َ ‫او اما آتااك ُُم‬

“Apa saja yang rasul shallallahu `alaihi wa sallam telah bawa maka
ambillah, dan apa saja yang rasul shallallahu `alaihi wa sallam telah
larang untuk (diambil atau dikerjakan) maka berhentilah darinya”1

Firman Allah Ta`ala yang lainnya:

ِ ِ ِ ِ ِ ‫اف ُل اي ُح اذ ِر ا َل ِذي ان ُياالِ ُف ا‬


‫ون اع ُن اأ ُم ِره اأ ُن تُصي اب ُه ُم ف ُتنا بة اأ ُو ُيصي اب ُه ُم اع اذ ب‬
‫اب األ ب‬
‫يم‬

“Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintahnya (perintah


1
QS. Al Hasyr (59): 7

25
Allah dan rasul shallallahu `alaihi wa sallam) takut akan turun
kepada mereka cobaan dan kejelekan, atau akan menimpa mereka
adzab yang menyakitkan di akhirart nanti”1

Sejauh Mana Keshahihan Hadits: “Barangsiapa Yang


Berpuasa Pada Hari Yang Dia Meragukannya, Maka Sungguh
Dia Telah Durhaka Kepada Abal Qasim (Muhammad
Shallallahu Alaihi Wa Sallam)”.

Pertanyaan(8):
Wahai Syaik yang mulia, Kami menginginkan penjelasan
tentang kebenaran hadits `Amar bin Yasir:

ِ ‫من صام ا ُليوم ا َل ِذي ي اش َك فِ ِيه اف اقدُ اعص اأبا ا ُل اق‬


‫اس ِم‬ ‫ا ا‬ ُ ‫ا ُ ا ا اُ ا‬

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang dia meragukan padanya,


maka sungguh dia telah durhaka kepada Abal Qasim (Muhammad
shallallahu `alaihi wa sallam)?

Jawaban:
Hadits tersebut shahih, dan hadits tersebut hukumnya marfu`,

ِ ‫من صام ا ُليوم ا َل ِذي ي اش َك فِ ِيه اف اقدُ اعص اأبا ا ُل اق‬


‫اس ِم‬ ‫ا ا‬ ُ ‫ا ُ ا ا اُ ا‬

“Barangsiapa berpuasa pada suatu hari yang dia ragu padanya maka
sungguh dia telah durhaka kepada Abal Qasim (Muhammad
shallallahu `alaihi wa sallam)”2

Hadits ini diriwayatkan oleh pemilik kitab-kitab sunan,


1
QS. An Nuur (24): 63
2
HR. Tirmidzi: 686, An Nasai: 2188, dari `Ammar bin Yasir -radhiyallahu `anhu-

26
sanadnya shahih dan hadits tersebut dikuatkan dengan hadits yang
telah kami sebutkan pada waktu lalu, dan hal ini sebagaimana
yang telah dikatakan oleh para peneliti dari kalangan ulama,
bahwasanya tidaklah diperbolehkan berpuasa pada hari yang
diragukan padannya.

Allah Subhaanahu Wa Ta`ala sematalah yang memberikan taufiq.



27
۞ Pembahasan Kelima: Keutamaan Mempelajari
(Mendalami Ilmu) Hukum-Hukum Seputar Ibadah Puasa ۞

Pertanyaan(9):
Nasihat apa yang dapat engkau berikan kepada orang-orang
secara umum, sehubungan dengan pengetahuan hukum-hukum
ibadah puasa di bulan Ramadhan ?

Jawaban:
Nabi shallallahu`alaihi wasallam bersabda :

‫ام ُن ُي ِر ِد الَُ بِ ِه اخ ُ ًيا ُي اف يق ُه ُه ِف الدي ين‬

“Barangsiapa yang Allah Ta`ala kehendaki padanya kebaikan, Allah


akan berikan pemahaman di dalam ilmu agama”1

Maka yang menjadi suatu kewajiban atas orang muslim untuk


mereka mempelajari ilmu yang masih samar atas mereka, dan agar
bertanya kepada ahli ilmu dari perkara yang tidak jelas atas
mereka, pada perkara yang berkaitan dengan ibadah puasa dan
yang lainnya, dikarenakan Allah Ta`ala telah berfirman:

‫الذك ُِر إِ ُن ُكنُت ُُم ال ات ُع ال ُم ا‬


(43) ‫ون‬ ‫اس اأ ُلوا اأ ُه ال ي‬
ُ ‫اف‬

“Maka bertanyalah kepada ahli dzikr (ahli ilmu) jika kalian tidak
tau”2

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda dalam suatu


hadits yang shahih

1
HR. Bukhari: 71, Muslim: 1037, dari Mu`aiyah bin Abi Sufyan -radhiyallahu `anhu-.
2
QS. An Nahl (16): 43.
28
ِ ‫من د َل اع ال اخي اف اله ِم ُث ُل اأج ِر اف‬
‫اع ِله‬ ُ ُ ُ ‫ا ُ ا‬

“Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan, maka baginyalah


pahala yang semisal orang yang mengerjakannya”1

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda

ِ ‫ اف ال ُي اس لَِ اح ا‬،‫ور اوال اع ام ال بِ ِه‬


ِ ‫الز‬
‫اج بة ف اأ ُن ايدا اع اط اعا ام ُه او ا ا‬
‫شا اب ُه‬ َ ‫ام ُن ال ُ ايدا ُع اق ُو ال‬

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan keji atau palsu


dan (tetap) melakukannya, maka Allah Ta`ala tidaklah butuh
terhadap usaha seorang yang meninggalkan makanan dan
minummya”2

Maka seorang yang beriman hendaknya bertanya, memikirkan


dan mendalami ilmu agama sampai dia mengetahui perkara yang
Allah Ta`ala wajibkan atasnya dan perkara yang Allah larang.

Wajibnya Para Ayah Untuk Mengarahkan Anak-Anaknya ke


Dalam Kebaikan.

Pertanyaan(10):
Apakah ada arahan yang berharga yang ditujukan kepada para
ayah dan ibu, dalam membimbing anak-anak mereka pada usia
dini untuk membiasakan mereka dengan perkara syar'i.

Jawaban:
Iya, wajib atas para ayah dan ibu untuk mengajari anak-anak
1
HR. Muslim: 1893, dari Abu Mas`ud Al Anshariy -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Bukhari: 1903, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.
29
mereka dan memberikan bimbingan kepada mereka ke dalam
kebaikan, pengajaran kepada anak laki-laki dan perempuan,
bimbingan kepada mereka pada perkara yang berkaitan dengan
ibadah puasa, shalat, perkara yang berkaitan haidnya perempuan
dan selain dari hal itu, wajib atas seorang ayah dan ibu untuk
membimbing anak-anak mereka.

Allah Ta`ala telah berfirman:

ِ ِ
ً ‫ايا اأ َ ايا ا َلذي ان آ امنُوا ُقوا اأ ُن ُف اسك ُُم او اأ ُهليك ُُم ن‬
‫اارا‬

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri dan keluarga kalian


dari api neraka”1

Allah Ta`ala telah memerintahkan mereka dengan (suatu)


perintah dalam ayat ini, dan nabi shallallahi `alaihi wasallam
pernah bersabda:

‫الر ُج< ُل اراع ِ<ف اأ ُه ِل< ِه‬ ِ <ِ ِ


َ ‫ او‬،‫ول اع ُن ارع َيت ه‬ ِ ،‫ول اع ُن ار ِع َيتِ ِه‬
‫ال اما ُم اراع او ام ُس ُئ ب‬ ‫ او ُك َلك ُُم ام ُس ُئ ب‬،‫ُك َلك ُُم اراع‬
‫ت از ُو ِج اها او ام ُس ُئو ال بة اع ُن ار ِع َيتِ اها‬
ِ ‫اعي بة ِف بي‬ ِ ِِ ِ
ُ ‫ اوالا ُر اأ ُة ار ا ا‬،‫ول اع ُن ارع َيته‬ ‫او ُه او ام ُس ُئ ب‬

“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya
tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan
ditanya tentang kepemimpinanya, seorang laki adalah pemimpin di
dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang kepemimipinannya,
dan seorang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, dan
akan ditanya tentang kepemimpinannya.”2

Semua dari mereka adalah pemimpin, wajib atas seorang ayah


memiliki perhatian terhadap anak-anaknya, dan wajib untuk
memberikan bimbingan kepada mereka, demikian juga seorang
1
QS. At Tahrim (66): 6
2
HR. Bukhari: 893, dari `Abdullah bin `Umar -radhiyallahu `anhuma-.
30
ibu, semua dari mereka akan ditanya, Allah Ta`ala berfirman:

‫ج ِع ا‬
‫( اع َم كاانُوا اي ُع ام ُل ا‬92) ‫ي‬
(93) ‫ون‬ ‫اف او ار يب اك الن ُاس اأ الن َُه ُم اأ ُ ا‬

“Maka sungguh demi Rabbmu, sungguh kami akan menanyai mereka


seluruhnya dari apa yang telah mereka perbuat”1.

Seorang ayah hendaknya memberikan pengajaran kepada


anak-anak mereka, baik lakinya maupun perempuan, dan seorang
ibu pun demikian juga, sampai mereka (anak-anak) tumbuh di atas
kebaikan, petunjuk dan di atas ilmu.

Kita meminta kepada Allah Subhaanahu Wa Ta`ala petunjuk


untuk semuanya.



1
QS. Al Hijr (15): 92-93
31
۞ Pembahasan Keenam: Tetapnya Bulan Ramadhan Adalah
Dengan Melihat Bulan (Hilal), Atau Menyempurnakan
Bilangan Bulan, Jumlah Yang Dituntut Dalam Persaksian, dan
Hukum Persaksiannya Seorang Perempuan ۞

Pertanyaan(11):
Dengan apakah masuknya bulan Ramadhan itu ditetapkan dan
bagaimana tata-cara mengetahui hilal ?

Jawaban:
Dengan nama Allah Subhaanahu Wa Ta`ala yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang, segala puji hanya milik Allah
Azza Wa Jalla, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah
atas rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, para sahabatnya dan
siapa saja yang mengambil petunjuknya sepeninggal beliau.

Hilal Ramadhan ditetapkan dengan cara melihat (hilal bulan


Ramadhan) menurut semua pendapat ahli ilmu, berdasar sabda
nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

‫ افإِ ُن ُغ َم اع ال ُيك ُُم اف اأك ُِم ُلوا ا ُل ِعدَ اة اث الثِ ا‬،‫ُصو ُموا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه او اأ ُفطِ ُروا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه‬
‫ي‬

“Berpuasalah kalian karena sebab melihat (hilal Ramadhan) dan


berbukalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Syawal), maka jika
mendung menutupi kalian, hendaklah kalian menyempurnakan
bilanganya hingga genap tiga puluh hari”1

Di dalam lafadz hadits yang lain:

‫ فصوموا ثلثي‬،‫ افإِ ُن ُغ َم عليكم‬،‫ او اأ ُفطِ ُروا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه‬،‫ُصو ُموا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه‬

1
HR. An Nasai: 2124, dari Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma-

32
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian
karena melihatnya, maka jika mendung menutupi kalian maka
hendaknya kalian menahannya hingga tiga puluh hari” 1

Dalam lafadz yang lainnya:

‫ان اثلاثِ ا‬
‫ي‬ ‫اف اأك ُِم ُلوا ِعدَ اة اش ُع اب ا‬

“Maka sempurnakanlah bilangan Sya`ban menjadi tiga puluh hari”2

Yang dimaksud dalam sabda nabi ini adalah seorang berpuasa


dan berbuka dengan sandaran melihat (hilal bulan Ramadhan dan
Syawal), jika tidak dapat melihatnya, yang wajib adalah
menyempurnakan bilangan Sya`ban menjadi tiga puluh hari,
kemudian baru berpuasa, wajib juga menyempurnakan bilangan
Ramadhan (jika tidak dapat melihat hilal) menjadi tiga puluh hari
kemudian baru berbuka, ini semua dilakukan jika tidak didapatkan
pandangan hilal.

Adapun jika pandangan terhadap hilal nampak, maka segala


puji bagi Allah Subhaanahu Wa Ta`ala, yang menjadi kewajiban
kaum muslimin berpuasa berdasarkan ru`yah hilal (melihat hilal
bulan Ramadhan) pada malam ketiga puluh dari bulan Sya`ban,
sehingga bilangan Sya`ban berkurang dan mereka berpuasa (jika
hilal sudah terlihat), demikian juga seandainya mereka melihat
hilal pada malam ketiga puluh dari bulan Ramadhan, maka
mereka berbuka di bilangan kedua puluh sembilan.

Adapun jika mereka tidak dapat melihat hilal, wajib bagi


mereka untuk menyempurnakannya bilangan Sya`ban menjadi tiga
puluh hari, dan menyempurnakan bilangan Ramadhan menjadi
1
HR. Ibnu Hibban: 3457, Sunan Baihaqi: 8183, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Bukhari: 1909, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

33
tiga puluh hari juga, beramal dengan hadits:

‫ افإِ ُن ُغ َم اع ال ُيك ُُم اف اأك ُِم ُلوا ا ُل ِعدَ اة‬،‫ اوإِ اذا ار اأ ُيت ُُمو ُه اف اأ ُفطِ ُروا‬،‫افإِ اذا ار اأ ُيت ُُمو ُه اف ُصو ُموا‬

“Maka ketika kalian telah melihat hilal (Ramadhan), berpuasalah,


dan jika kalian telah melihatnya (hilal bulan Syawal), maka
berbukalah, jika mendung menutupi kalian, maka sempurnakanlah
oleh kalian bilangannya (menjadi tiga puluh hari)”1

Nash ini (berlaku) umum untuk bulan Sya`ban dan bulan


Ramadhan, dan di dalam lafadz yang lainnya:

‫افإِ ُن ُغ َم اع ال ُيك ُُم اف ُصو ُموا اث الثِ ا‬


‫ي اي ُو ًما‬

“Dan apabila mendung menutupi kalian, maka hendaknya kalian


menahannya hingga menjadi genap tiga puluh hari” 2.

Hilal itu ditetapkan dengan persaksian seorang sehubungan


dengan masuknya bulan Ramadhan, seorang saksi yang adil
menurut pendapat mayoritas ulama, karena sudah ada riwayat dari
Ibnu `Umar radhiyallahu `anhuma, beliau berkata:

ِ ِ ِ
‫ او اأ ام< ار النَ< ا‬،‫ اأ ين ار اأ ُي ُت ُه اف اص< ا ام ُه‬،‫ول الَِ اص َل الُ اع ال ُيه او اس َل ام‬
‫<اس‬ ُ ‫ اف اأ ُخ ا‬،‫َاس ُال ال ال‬
‫ب ُت ار ُس ا‬ ُ ‫ت اارائى الن‬
‫بِ ِص اي ِامه‬

”Manusia telah memperbincangkan tentang terlihatnya hilal (ada


seorang yang sudah melihat, dan sebagian yang lain tidak melihatnya),
kemudian aku khabarkan berita ini kepada rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam bahwasanya aku telah melihatnya, kemudian rasul shallallahu
1
HR. An Nasai: 2138, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Muslim: 1081, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

34
`alaihi wa sallam berpuasa, dan beliau memerintahkan manusia untuk
berpuasa juga”1.

Dengan riwayat yang sudah tetap (keshahihannya), dari nabi


shallallahu alaihi wasallam, ada seorang arabi bersaksi di sisi
rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia telah melihat
hilal, kemudian nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

‫اأت ُاش اهدُ اأ ُن ال إِ ال اه إِ َل الَُ او اأ َن ُم ا َمدً ا اع ُبدُ ُه او ار ُسو ُل ُه‬

“Apakah engkau bersaksi bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak


diibadahi dengan benar) melainkan Allah Ta`ala semata, dan
sesungguhnya Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-
NYa”2.

Dia menjawab: “Iya, kemudian rasulullah shallallahu `alaihi


wa sallam memerintahkan untuk berpuasa.

Berkaitan hilal (bulan Ramadhan), apabila seorang yang adil


telah melihatnya, maka wajib (kaum muslimin) berpuasa karena
kesaksiannya, adapun berkaitan selesainya bulan Ramadhan (hilal
Syawal), maka harus dengan dua orang saksi yang adil dan
demikian juga dengan bulan-bulan yang lainnya, tidaklah
dipastikan (masuknya bulan tersebut) kecuali dengan dua saksi
yang adil, dikarenakan hal ini ada riwayat yang shahih dari nabi
shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

‫ او اأ ُفطِ ُروا‬،‫ان اف ُصو ُموا‬


ِ ‫اهدا‬
ِ ‫افإِ ُن اش ِهدا اش‬

“Jika dua orang telah bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah

1
HR. Abu Dawud: 2342, dari Ibnu `Umar -radhiyallahu `anhuma-.
2
HR. An Nasai: 2113, dari Ibn `Abbas -radhiyallahu `anhuma-.

35
kalian”1

Shahih juga dari Harits bin Khatib rahimahullah, beliau


berkata:

ِ <‫ و اش< ِهدا اش‬،‫ افإِ ُن ال ان<<ره‬،‫ول الَِ ص َل الُ اع الي ِه وس َلم اأ ُن اننُس اك لِلر ُؤي ِة‬
‫اهدا ا اع< دُ ل‬ ُ ‫اع ِهدا إِ ال ُيناا ار ُس‬
‫ُ< ا ُ ا‬ ‫َ ا‬ ُ ‫ُ ا ا ا‬ ‫ا‬
‫ن ااس ُكناا بِ اش اها اد ِتِ ام‬

“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberikan amanat


kepada kami agar kami berpathokan dengan melihat hilal, kemudian jika
kami tidak melihatnya, sementara dua orang saksi yang adil telah
bersaksi, kami pun bersandarkan (masuknya bulan) dengan persaksian
dua orang tersebut”2,

Maksudnya adalah; Persaksian dari dua orang yang adil itu


dipersyaratkan dalam menentukan keluarnya bulan Ramadhan dan
pada semua bulan yang ada selain bulan Ramadhan,

Adapun berkaitan dengan masuknya bulan Ramadhan maka


cukup di dalam penetapan masuknya dengan seorang saksi yang
adil, berdasar dua hadits yang telah lalu.

Para ulama berselisih akan persaksian seorang perempuan


apakah persaksianya itu diterima, sehubungan dengan masuknya
bulan Ramadhan sebagaimana seorang laki?

Dalam masalah ini ada dua pendapat: Di antara mereka, ada


yang berpendapat diterima persaksian (seorang perempuan)
sebagaimana di dalam hadits yang mulia, riwayat seorang wanita
diterima, jika dia termasuk orang yang terpercaya.

1
HR. An Nasai: 2116, dari `Abdurrahman bin Zaid Ibn Al Khattab -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Abu Dawud: 2338, dari Harits bin Khatib -rahimahullah-.

36
Di antara mereka ada yang berpendapat tidak diterima
(persaksian seorang wanita).

Yang paling rajih (benar) adalah; Pendapat yang mengatakan


tidak diterima sehubungan dengan masalah ini, dikarenakan posisi
ini termasuk bagian dari kedudukannya lelaki dan termasuk dari
bagian yang dengannya itu dikhususkan bagi para lelaki, dan dari
kalangan lelakilah yang menyaksikannya, dikarenakan merekalah
yang lebih tau dalam perkara ini dan mereka jugalah yang lebih
mengenalinya/memahaminya.



37
۞ Pembahasan Ketujuh: Hukum Bagi Orang Yang Berpuasa
Berdasarkan Penglihatan Alat-Alat Baru Seperti Teropong
dan Semisalnya ۞

Pertanyaan(12)
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz kepada yang terhormat
saudara mukaram (yang dimuliakan) selaku pemimpin dan ustadz,
semoga Allah berikan taufiq kepadanya di setiap kebaikan,.amin.
Keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah Azza Wa Jalla
semoga senantiasa menyertai kalian, adapun setelah itu:

Sungguh telah sampai kepada saya tulisan anda, wahai orang


mulia yang tulisan itu tertanggal pada 11-1-1390 H. Semoga Allah
Ta`ala memberikan hidayahnya kepada kalian, dan apa yang
terkandung di dalamnya (dari tulisan) berupa pertanyaan akan
bolehnya menjadikan pertimbangan hisab di dalam penetapan
hilal, apakah penglihatan dengan alat-alat yang baru itu teranggap
ataukah dipersyaratkan dengan penglihatan mata kepala secara
langsung ?

Dan cara manakah yang diterapkan kerajaan saudi arabia di


dalam penetapan hilal, di negeri tersebut dengan perhitungan
hisab, ataukah dengan peralatan (modern), ataukah dengan
penglihatan mata kepala (secara langsung)? cara manakah yang
dikenal ?

Jawaban:
Perhitungan hisab bukanlah sandaran di dalam penglihatan
hilal, baik di bulan Ramadhan atau pun bulan selainnya, berkaitan
hukum-hukum syar`i dengan kesepakatan ahli ilmu, dalam hal itu
Syaikhul Islam, Abul `Abbas Ahmad bin `Abdil Halim bin
Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkannya secara ijma`.

38
Dalil dan keterangan dalam hal itu berupa hadits-hadits shahih
yang datang dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam, bahwasanya
beliau telah bersabda:

‫ افإِ ُن ُغ َم اع ال ُيك ُُم اف اأك ُِم ُلوا ا ُل ِعدَ اة اث الثِ ا‬،‫ُصو ُموا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه او اأ ُفطِ ُروا لِ ُر ُؤ ايتِ ِه‬
‫ي‬

“Berpuasalah kalian karena sebab melihat hilal dan berbukalah


kalian karena sebab melihatnya pula, jika mendung melingkupi
kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi tiga puluh
hari”1.

Adapun peralatan yang ada, maka secara dzahir dari dalil-dalil


syar`i adalah tidak adanya pembebanan kepada manusia dalam
mencari hilal dengan peralatan-peralatan baru, bahkan cukup
dengan pandangan mata saja.

Akan tetapi bagi siapa saja yang memberikan khabar hilal


dengan alat tersebut, dan dia telah memastikan bahwasanya dia
telah melihatnya dengan perantaraan alat itu, setelah terbenamnya
matahari dan dia adalah seorang muslim juga adil, maka aku
tidaklah mengetahui suatu penghalang untuk beramal berdasarkan
penghlihatannya kepada hilal, dikarenakan penglihatannya itu
termasuk dari hasil pandangan mata kepala bukan berdasarkan
hisab (perhitungan).

Adapun kerajaan saudi arabia su`udiyyah, negeri tersebut


bersandarkan dengan penglihatan mata (secara langsung) di semua
hukum-hukum syari`at seperti masuknya bulan Ramadhan, beserta
keluarnya bulan Ramadhan, dan penentuan hari-hari haji, dan
selain dari hal itu dari pembahasan hukum-hukum syar`i

1
HR. An Nasai: 2124, dari Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma-

39
Semoga Allah Ta`ala memberikan taufiq kepada semuannya
untuk mendalami ilmu agama dan kokoh di atasnya, sungguh
Allah Ta`ala Maha Murah lagi Mulia. Wassalaamu`alaikum
warahmatullahi wabarakaatuh.

(Ketua Perguruan Tinggi Universitas Islamiyah Madinah Munawwarah)

Pertanyaan(13):
Apakah dibenarkan wahai syaikh yang mulia, pandangan hilal
melalui teropong perbintangan, apakah tata cara tersebut berlaku ?

Jawaban:
Iya, jika dia melihatnya dengan matanya melalui teropong,
gunung ataukah melalui menara, jika telah pasti bahwa dia telah
melihatnya dengan matanya, maka berlaku baik dari pemakaian
teropong, melalui menara, laut ataukah dari jalan apa saja, akan
tetapi harus dipersaksikan kuatnya (terpercayanya) bahwa dia
melihat dengan matanya.

Pertanyaan (14):
Sehubungan dengan teropong, apa pendapat anda dalam
masalah ini wahai syaikh yang mulia?

Jawaban:
Jika menjadikannya sebagai alat bantu denganya, maka
tidaklah mengapa akan tetapi yang menjadi sandaran berdasarkan
penglihatan mata.

40
Hukum Menyampaikan Kabar Gembira, dan Ucapan
Selamat Dengan Datangnya Bulan Ramadhan.

Pertanyaan (15)
Apa hukum penyambutan bulan Ramadhan dan penyampaian
kabar gembira, begitu juga (hukum) ucapan selamat akan
kedatangannya kepada para teman dan di dalam perkumpulan-
perkumpulan?

Jawaban:
Bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, bulan yang penuh
berkah, dengannya umat islam bersuka cita, dahulu nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya bersuka cita
dengan datangnya bulan Ramadhan, dahulu nabi shallallahu
`alaihi wa sallam juga menyampaikan kabar gembira dengan
datangnya bulan itu kepada para sahabatnya.

Sehingga umat islam bersuka cita dengannya dan mereka pun


merasa senang dengan tibanya bulan Ramadhan, sebagian mereka
mengucapkan selamat terhadap sebagian yang lain.

Maka tidaklah mengapa dalam masalah ini, sebagaimana yang


sudah dilakukan oleh para pendahulu yang shalih, dikarenakan
bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, bulan yang penuh
berkah bahagia dengan kedatangannya, dalam bulan tersebut ada
penghapusan kejelekan dan dikuranginya kesalahan-kesalahan dan
saling berlombanya kepada kebaikan, dan di dalam bulan
Ramadhan juga ada berbagai amalan shalih yang lainnya.

41
۞ Pembahasan Kedelapan: Hukum Mengganti Puasa
Ramadhan Bagi Orang Yang Tidak Menunaikan Shalat ۞

Pertanyaan(16):
Penanya berkata: Saya seorang pemuda berusia dua puluh
tahun, saya pergi untuk belajar di luar saudi arabia, dan sungguh
telah berlalu kepadaku bulan Ramadhan, di salah satu tahun-tahun
pertama di dalam misiku (sebagai pelajar), termasuk hal yang
sangat disayangkan aku tidak berpuasa karena sebab kelalaian,
demikian juga aku tidak menunaikan shalat di tahun itu, akan
tetapi setelah aku kembali, aku pun bertaubat kepada Allah Ta`ala
walhamdulillah.

Lantas apa yang harus saya lakukan berkaitan bulan yang aku
tidak menunaikan puasa? apakah aku harus menggantinya secara
bersambung? ataukah secara terpisah? atau bagaimana pendapat
engkau ?

Jawaban
Selama engkau tidak menunaikan ibadah shalat, maka bagi
orang yang tidak menunaikan ibadah shalat dia (berhukum) kafir,
dan wajib bertaubat atas apa yang telah diperbuat sebelumnya,
sehingga tidaklah ada ganti ibadah puasa dan tidak juga ibadah
shalatnya, dikarenakan siapa saja yang telah meninggalkan ibadah
shalat, maka dia kafir, berdasar sabda nabi shallallahu `alaihi wa
sallam:

‫الص ال ِة‬ ِ ‫ي ي‬
َ ‫الشك اوا ُل ُك ُف ِر ت ُار ُك‬
ُ ‫الر ُج ِل او اب ُ ا‬
َ ‫ي‬ ‫اب ُ ا‬

“Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat


dan merupakan bentuk kekufuran kepada Allah, di antaranya

42
meninggalkan shalat”1

Sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

ِ
َ ‫ا ُل اع ُهدُ ا َلذي اب ُيناناا او اب ُين ُاه ُم‬
‫ اف ام ُن ت اارك ااها اف اقدُ اك اف ار‬،ُ‫الص الة‬

“Perjanjian yang berlaku di antara kami dan mereka (orang orang


munafiq) adalah shalat, maka barangsiapa telah meninggalkan ibadah
shalat, maka sungguh dia telah kafir“2

Akan tetapi jika engkau mengganti puasa (yang telah


ditinggalkan) maka engkau pun tidak masuk dari orang yang
mengucapkan: Sesungguhnya dia tidaklah dihukumi dengan satu
bentuk dari kufur akbar (keluar dari Islam), jika dia tidak
mengingkari akan wajibnya ibadah shalat, maka tidak mengapa.

Namun pendapat yang benar bahwasanya dia dikafirkan


karena meninggalkan ibadah shalat, meskipun dia tidak
mengingkari akan kewajibannya, dan orang yang kafir cukup
baginya dengan bertaubat, Allah Ta`ala berfirman:

‫ُق ُل لِ َل ِذي ان اك اف ُروا إِ ُن اينُت ُاهوا ُي ُغ اف ُر ال ُ ُم اما اقدُ اس الف‬

“Katakanlah bagi mereka yang kafir, jika mereka mau berhenti


diampuni bagi mereka dosa yang telah lalu”3

1
HR. Muslim: 82, dari Jabir -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Ibnu Majah: 1079, Tirmidzi: 2621, dari Buraidah -radhiyallahu`anhu-.
3
QS. Al Anfal(8): 38.

43
Dan firman Allah Ta`ala:

‫ُوب اجِي ًعا‬ َ ‫ح ِة الَِ إِ َن الَا اي ُغ ِف ُر‬


‫الذن ا‬ ‫س ُفوا اع ال اأ ُن ُف ِس ِه ُم ال ات ُقنا ُطوا ِم ُن ار ُ ا‬ ِ ِ ِ
‫ُق ُل ايا ع اباد اي ا َلذي ان اأ ُ ا‬

“Katakanlah (wahai rasul) kepada para hambaku yang mereka telah


melampui batas atas diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari
rahmat Allah Ta`ala, sungguh Allah Ta`ala mengampuni semua macam
bentuk dosa (bagi orang yang bertaubat dari dosa-dosa nya dan kembali
kepada kebenaran bagaimanapun keadaanya).”1

Maka taubat itu wajib hukumnya atas dosa-dosa yang


diperbuat di masa lalu, dan tidak ada kewajiban untuk mengganti
(peribadahan yang ditinggalkan), jika engkau tidak mengerjakan
shalat sebagaimana yang engkau katakan dalam pertanyaan, dan
sehubungan dengan ibadah shalat yang engkau tinggalkan,
tidaklah ada ganti pada ibadah puasa dan tidak pula ibadah shalat,
taubat wajib atas dosa-dosa yang telah lalu.

Hukum Bagi Orang Yang Berpuasa, Akan Tetapi Tidak


Menunaikan Ibadah Shalat.

Pertanyaan (17):
Penannya ini berasal dari Yaman dia berkata: Apa hukum
puasanya seorang, sementara dia tidak menunaikan ibadah shalat ?
Apakah benar bahwasanya puasanya itu diterima, dan seorang
itu menanggung dosa setelah itu, karena sebab meninggalkan
shalat? atau bagaimana, semoga engkau diberikan pahala?

1
QS. AZ Zumar(39): 53.

44
Jawaban
Pendapat yang benar adalah bahwasanya tidaklah diterima,
dikarenakan dia telah kafir, barangsiapa yang telah meninggalkan
ibadah shalat, maka dia telah kafir, amalannya batal, sebagaimana
firman Allah Ta`ala:

‫لبِ اط اعن ُُه ُم اما كاانُوا اي ُع ام ُل ا‬


(88) ‫ون‬ ‫او ال ُو اأ ُ ا‬
‫شكُوا ا ا‬

“Dan seandainya mereka berbuat kesyirikan, sungguh akan terhapus


(amalan amalan) dari mereka apa yang dulu mereka kerjakan”1

Rasul shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

‫الص ال ِة‬ ِ ‫ي ي‬
َ ‫الشك اوا ُل ُك ُف ِر ت ُار ُك‬
ُ ‫الر ُج ِل او اب ُ ا‬
َ ‫ي‬ ‫اب ُ ا‬

“Batas antara seorang dengan kekafiran, adalah ibadah shalat, dan


termasuk bentuk kekufuran kepada Allah Ta`ala ketika seorang telah
meninggalkan shalat”2

Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Nabi


shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda:

ِ
َ ‫ا ُل اع ُهدُ ا َلذي اب ُيناناا او اب ُين ُاه ُم‬
‫ اف ام ُن ت اارك ااها اف اقدُ اك اف ار‬،ُ‫الص الة‬

“Perjanjian di antara kami dan mereka (orang orang munafiq) adalah


ibadah shalat, maka barangsiapa yang telah meninggalkannya maka
sungguh dia telah kafir”3

1
QS. Al An `Am (6): 88.
2
HR. Muslim: 82, dari Jabir -radhiyallahu `anhu-.
3
HR. Ahmad: 22937, Ibnu Majah: 1079, Tirmidzi: 2621, dari Buraidah
-radhiyallahu`anhu-.

45
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan pemilik kitab-kitab sunan
dengan sanad yang shahih dari Buraidah rahimahullah, nabi
shallallahu `alaihi wa sallam juga telah bersabda:

‫الص ال ُة‬ ِ ُ ‫ار ُأ ُس ُالا ُم ِر‬


َ ‫ال ُس ال ُم او اع ُمو ُد ُه‬

“Pokok segala urusan adalah islam, dan tiangnya adalah ibadah


shalat”1

Para sahabat nabi shallallahu `alaihi wa sallam tidaklah


memandang sesuatu apapun yang bila seorang meninggalkannya
dihukumi kafir kecuali shalat, seorang jika meninggalkannya,
maka dia telah melakukan kekufuran besar, dan inilah pendapat
yang benar dari dua pendapat para ulama.

Sebagian ahli ilmu mengatakan: “Tidaklah seorang kafir


dengan pembahasan itu, kecuali jika pelakunya mengingkari akan
wajibnya ibadah shalat, akan tetapi dia telah melakukan tindakan
kekafiran kecil, tidak bentuk kufur besar (yang mengeluarkan
pelakunya dari lingkup Islam).

Pendapat yang benar adalah bahwasanya dia melakukan kufur


besar, berdasar apa yang nampak dari hadits. Kita (semua) meminta
kepada Allah Ta`ala keselamatan (dari hal ini).



1
HR. Tirmidzi: 2616, dari Muadz Ibn Jabal -radhiyallahu `anhu-.

46
۞ Pembahasan Kesembilan: Hukum Seorang Yang Makan
Atau Minum, Sementara Dia Menyangka Matahari Sudah
Terbenam Atau Fajr Belumlah Terbit ۞

Pertanyaan(18)
Apa hukum puasanya seorang yang makan atau minum dalam
keadaan dia meragukan akan terbitnya fajar atau terbenamnya
matahari? berikanlah faidah kepada kami, semoga engkau
diberikan pahala

Jawaban
Seorang yang makan atau minum dalam keadaan ragu akan
terbitnya fajar, maka tidaklah ada masalah baginya dan puasannya
sah, selama tidak tampak jelas bahwasanya dia telah makan atau
minum setelah terbitnya fajar dikarenakan pada asalnya malam
masih tersisa, dan yang disyariatkan bagi orang-orang yang
beriman agar berupaya untuk sahur sebelum diragukannya waktu
sebagai bentuk kehati-hatian untuknya, dan sebagai penyemangat
atas kesempurnaan puasanya (dengan melakukan sahur).

Adapun seorang yang makan dan minum dalam keadaan ragu


akan terbenamnya matahari, maka sungguh dia telah terjatuh ke
dalam kesalahan dan wajib atasnya untuk mengganti puasanya
(pada kesempatan lain), dikarenakan waktu tersebut secara asal
adalah tersisanya waktu siang dan tidaklah diperbolehkan bagi
seorang muslim untuk berbuka kecuali setelah seorang
memastikan akan terbenamnya matahari atau sangkaan itu telah
dominan akan sudah terbenamnya matahari.

Allah Subhanahu Wa Ta`ala-lah yang memberikan taufiq.

47
Pertanyaan (19)
Pada suatu hari, di antara hari di bulan Ramadhan, aku berniat
untuk berpuasa setelahnya, aku pun mengantuk kemudian aku
tersadarkan, lalu aku mendengarkan pembicaraan di radio,
kemudian aku pun menyangka kalau adzan fajar belumlah
dikumandangkan baru-baru itu, aku pun meminum sebagian air,
kemudian aku ketahui setelah itu, bahwa waktu fajar telah
dikumandangkan, apakah puasaku batal?

Jawaban
Iya, wajib bagi engkau untuk menggantinya, dikarenakan
engkau telah memakan dengan sengaja, tidak karena lupa setelah
terbitnya fajar.

Hukum Bagi Orang Yang Melakukan Pembatal Puasa Dalam


Keadaan Lupa.

Pertanyaan(20)
Apa hukum seorang yang makan atau minum di siang hari di
bulan Ramadhan dalam keadaan lupa ?

Jawaban:
Tidaklah mengapa atasnya dan puasanya tetap sah, berdasar
firman Allah Ta`ala di akhir surat Al Baqarah:

‫اخ ُذناا إِ ُن ن ِاسيناا اأ ُو اأ ُخ اط ُأناا‬


ِ ‫ربناا ال ت اُؤ‬
َ‫ا‬

“Wahai Rabb kami, jangan Engkau berikan hukuman kepada kami,


jika kami lupa atau kami terjatuh ke dalam kesalahan (dari

48
mengerjakan sesuatu yang Engkau larang)”1

Shahih dari rasul shallallahu `alaihi wa sallam, bahwasanya


Allah Subhaanahu Wa Ta`ala berfirman:

‫اقدُ اف اع ُل ُت‬

“Sungguh telah Aku lakukan”2.

Riwayat yang shahih dari Abu Hurairah rahimahullah, nabi


shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

‫ افإِن اَم اأ ُط اع ام ُه الُ او اس اقاه‬،‫ اف ُل ُيتِ َم اص ُو ام ُه‬،‫ش اب‬


ِ ‫ اف اأك اال اأ ُو ا‬،‫اس او ُه او اص ِائ بم‬ِ
‫ام ُن ن ا‬

“Barangsiapa yang seorang lupa dalam keadaan dia berpuasa,


kemudian dia makan ataukah minum, maka hendaknya dia
sempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah telah memberikan
makan dan minum kepadanya”3



1
QS. Al Baqarah (2): 286.
2
HR. Muslim: 126, dari Ibn `Abbas -radhiyallahu `anhuma-.
3
HR. Muslim: 1155, Ahmad: 9489, dari Abu hurairah -radhiyallahu `anhu-.

49
۞ Pembahasan Kesepuluh: Hukum Puasanya Seorang Bila
Air Masuk ke Dalam Perutnya Dengan Tanpa Sengaja ۞

Pertanyaan(21)
Seorang laki-laki yang sedang dalam keadaan puasa mandi
mempergunakan air keran (yang dia buka secara berlebihan),
dikarenakan derasnya tekanan air, masuklah air itu ke dalam
perutnya dengan tanpa sengaja (bukan atas kemauannya sendiri),
maka apakah wajib atasnya untuk mengantikan puasanya (di
waktu lain) ?

Jawaban:
Tidaklah wajib baginya untuk mengganti puasanya di hari
yang lain, sebab dia tidak bermaksud melakukannya hal itu, maka
dia hukumnya seperti orang yang dipaksa atau orang yang lupa.

Bersungguh-Sungguh Dalam Beristinsyaq (Memasukan Air ke


Dalam Lubang Hidung Ketika Berwudhu) Kecuali Engkau
Sedang Berpuasa.

Pertanyaan(22):
Apakah diperbolehkan beristinsyaq, dan berkumur-kumur
pada siang hari bulan Ramadhan, bagi siapa saja yang sedang
berpuasa?

Jawaban:
Telah shahih dari rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bahwasanya beliau bersabda kepada Laqith bin Shabirah:

‫ُون اص ِائ ًم‬ ِ ‫الستِن اُش‬


‫اق إِ َل اأ ُن اتك ا‬ ِ ِ
ُ ‫ او ابال ُغ ِف‬،ِ‫ي ُالا اصابِع‬
‫ او اخ يل ُل اب ُ ا‬،‫اأ ُسبِ ِغ ا ُل ُو ُضو اء‬

50
“Sempurnakanlah ketika berwudhu, dan sela-selailah di antara jari-
jemari, dan bersungguh-sungguhlah di dalam beristinsyaq (memasukkan
air kedalam hidung), kecuali engkau sedang berpuasa”1.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkannya


agar menyempurnakan wudhunya, kemudian beliau bersabda:

‫ُون اص ِائ ًم‬ ِ ‫الستِن اُش‬


‫اق إِ َل اأ ُن اتك ا‬ ِ ِ
ُ ‫او ابال ُغ ِف‬

“Bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq, kecuali engkau dalam


keadaan puasa”.

Maka hal itu menunjukkan; Bahwa seorang yang berpuasa, dia


pun berkumur-kumur dan beristinsyaaq, akan tetapi janganlah
kesungguhannya itu berlebihan dalam perbuataannya, karena
dikhawatirkan akan masuknya air kedalam kerongkongannya.

Adapun istinsyaaq dan berkumur-kumur dengan keduanya ini,


seorang berkeharusan ketika hendak berwudhu ataukah mandi,
dikarenakan keduanya merupakan suatu kewajiban di dalam
wudhu dan mandi bagi seorang yang sedang berpuasa dan
selainnya.



1
HR. Abu Dawud: 142, Tirmidzi: 788, dari Shabirah -radhiyallahu `anhu-.

51
۞ Pembahasan Kesebelas: Hukum Puasanya Seorang Yang
Memakai Sprayer Bagi Penderita Asma ۞

Pertanyaan(23)
Penanya berkata: Apa hukum puasanya bagi penderita asma,
bersamaan mereka selalu memakai oksigen? Apakah oksigen ini
memberikan pengaruh atas ibadah puasanya ataukah tidak?

Jawaban:
Fatwa yang ada di dalam pembahasan ini bahwasanya oksigen
itu tidaklah membuat rusak ibadah puasanya, dikarenakan mereka
dalam keadaan terpaksa, dan oksigen (itu) bukanlah sebagaimana
makanan dan minuman, tidak pula menyerupai makanan dan
minuman, hanyalah oksigen itu adalah suatu udara yang dapat
memberikan kepada mereka sesuatu berupa rasa lega.

Sehingga oksigen itu adalah suatu udara yang mengandung


semacam obat ringan (bagi penderita asma) yang dapat
memberikan rasa lega kepada mereka.

Hukum Puasanya Seorang Yang Mengalami Pendarahan

Pertanyaan(24)
Bagaimana hukum puasanya seorang yang mengalami
pendarahan?

Jawaban:
Pendarahan tidaklah juga merusak ibadah puasa seseorang,
seorang yang mengalami pendarahan baik di mulutnya, ataukah
pada bagian tumitnya secara terus-menerus, bersamaan hal itu
bukanlah atas kemauan sendiri, maka pendarahannya itu tidaklah

52
merusak ibadah puasanya semisal apa yang telah lalu pada
seorang yang mandi.

Hukum Puasanya Orang Yang Menderita Penyakit Ayan


(Epilepsy).

Pertanyaan(25):
Bagaimana hukum puasanya seorang yang menderita penyakit
epilepsy?

Jawaban :
Jika mereka berpuasa, kemudian ayan itu kambuh pada
pertengahan siang, maka keadaan dia sebagaimana semisal
seorang yang tidur, puasanya sah.

Adapun apabila mereka tidak tersadarkan, akal mereka tidak


hadir dalam waktu seharian penuh, maka keadaan mereka semisal
keadaannya orang yang gila, sehingga tidaklah ada kewajiban
puasa bagi mereka, dan tidaklah ada dosa atas mereka, dan tidak
pula kewajiban mengganti bagi mereka di waktu lainnya.

Maka seandainya seorang (berubah) menjadi gila pada akhir


malamnya, ataukah penyakit ayannya kambuh di akhir malam,
bersamaan tidaklah teringat kecuali di malam berikutnya, berbeda
halnya dengan pingsan, maka keadaan dia sebagaimana keadaan
seorang yang tidur.

53
Hukum Puasanya Dari Seorang Yang Menderita Koma
(Pembuluh Darahnya Tersumbat).

Pertanyaan(26):
Ada pada kerabatku, seorang kakek yang menderita koma,
hilang akalnya selama tiga bulan, beliau sekarang sudah kembali
sadar, dan beliau ketika teringat ibadah shalat, beliau pun
mengerjakannya, akan tetapi tentu saja dia tidak berpuasa (dalam
keadaannya), maka bagaimanakah arahan anda kepada kami
bersamaan keadaan sebagaimana yang telah disebutkan? semoga
Allah Ta`ala membalas anda dengan kebaikan.

Jawaban:
Tidaklah ada kewajiban untuk mengganti ibadah apa saja yang
telah luput di waktu kesadaran tiada, tidak ada kewajiban untuk
mengganti puasa jika di waktu bulan Ramadhan secara tiba-tiba
dalam rentan waktu tertentu akalnya tidak hadir, dikarenakan
keadaan orang tersebut telah diangkat darinya pena, dan hanyalah
dia (diwajibkan) mengerjakan ibadah shalat di waktu mendatang
setelah akalnya kembali sadar kembali.



54
۞ Pembahasan Kedua Belas: Perkara Wajib Bagi Ibu
Hamil dan Menyusui, Jika Keduanya Berbuka Pada Bulan
Ramadhan ۞

Pertanyaan(27)
Apakah dibolehkan bagi ibu yang hamil atau menyusui untuk
berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan, dan keharusan bagi
keduanya untuk membayar fidyah saja tanpa mengganti puasa
yang telah ditinggalkannya ?

Jawaban:
Masalah ini adalah masalah khilafiyyah (yang diperselisihkan)
di antara para ulama, di antara ahli ilmu ada yang mengatakan:
“Sesungguhnya keharusan bagi keduanya, hanyalah membayar
fidyah saja, dan bagi keduanya boleh berbuka, dikarenakan orang
yang hamil itu terkadang berkesinambungan, dan begitu juga bagi
ibu yang menyusui terkadang berkelanjutan, maka tidaklah ada
pada keduanya kesempatan untuk mengganti (puasa yang telah
ditinggalkannya), pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu `Abbas dan
Ibnu `Umar radhiyallahu `anhuma, dan sejumlah dari ulama salaf
yang lain pun berkata demikian.

Pendapat yang kedua: Bahwasanya keduanya sebagaimana


kedudukannya orang yang sakit, jika berat bagi keduanya untuk
berpuasa, keduanya boleh untuk berbuka dan wajib bagi keduanya
untuk mengganti (sebanyak puasa yang telah ditinggalkannya),
jika tidak memberatkan bagi keduanya, wajib keduanya untuk
berpuasa, dan pendapat ini adalah pendapat yang paling benar dan
pendapat inilah yang lebih kuat dalilnya, tentang pendapat ini ada
hadits shahih dari Anas bin Malik Al Ka`biy, selain Anas bin
Malik Al Anshariy, bahwasanya rasul shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda:

55
ِ ِ ُ ‫ و اع ِن الُسافِ ِر و‬،‫إِ َن الَا اع َز وج َل و اضع اع ِن الُسافِ ِر اش ُطر الص ال ِة‬
َ ‫الام ِل اوالُ ُرض ِع‬
‫الص ُو ام‬ ‫ا ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ َ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا ا ا ا‬

“Sesungguhnya Allah Tabaaraka Wa Ta`aala menggugurkan bagi musafir


setengah shalat (diqashar jika shalatnya empat rakaat) dan bagi orang
yang melakukan perjalanan, orang yang sedang hamil dan orang yang
lagi menyusui, Allah Ta`ala gugurkan untuk mereka ibadah puasa” 1.

Hal ini menunjukkan bahwasanya keduanya itu seperti halnya


orang yang sedang melakukan perjalanan, maka seorang musafir
tergugurkan baginya puasa, sehingga boleh baginya untuk berbuka
dan wajib pula baginya untuk mengganti (sebanyak puasa yang
dia tinggalkan), bagi keduanya (hamil dan menyusui) pun sama
seperti itu, dan bagi seorang musafir dikhususkan dengan
ringkasnya ibadah shalatnya.

Allah Ta`ala telah gugurkan darinya setengah dari shalatnya,


yakni empat di kala shalat dzuhur, ashar, dan `isya, maka tidaklah
ada di kehidupan dunia seorang yang boleh meringkas shalatnya
selain musafir.

Sehingga seorang yang sedang menderita sakit pun tidaklah


diperbolehkan baginya untuk meringkas shalatnya, dan bagi
seorang yang sedang hamil, lagi menyusui keduanya pun sama,
tidak boleh meringkas shalat, dan hanyalah yang boleh meringkas
shalat dari seorang yang sedang melakukan perjalanan, dia
menunaikan shalat empat rakaat hanya dengan dua rakaat: Shalat
dzuhur, ashar, dan `isya saja.

Sebagian manusia telah terjatuh dalam kesalahan dan dia pun


menyangka bahwasanya seorang yang sedang sakit, boleh baginya
untuk meringkas shalat, dan ini adalah kesalahan.

1
HR. Ibnu Majah: 1667, Tirmidzi: 715, dari Anas Ibn Malik -radhiyallahu `anhu-.

56
Seorang yang sedang sakit tidaklah boleh menqashar, dia
harus shalat empat raka`at, maka orang yang sedang hamil dan
orang yang lagi menyusui, terkait keduanya pendapat yang benar
bahwa keduanya sebagaimana seorang yang sedang melakukan
perjalanan, dan sebagaimana orang yang sedang sakit, keduanya
berbuka dan keduanya pun ada kewajiban untuk menggantinya,
dan tidak ada keharusan bagi keduanya untuk membayar fidyah,
dan pendapat inilah yang lebih tepat dan yang benar.

Pendapat inilah yang nampak keluar dari pendapat


kebanyakan dari ahli ilmu, dikarenakan keduanya menyerupai
keadaan seorang yang sedang sakit, terkadang memberatkan atas
keduanya untuk melaksanakan ibadah puasanya, dikarenakan
sedang menyusui atau karena sedang hamil, dan terkadang juga
tidaklah memberatkan pada keduanya, sebagaimana kedudukan
seorang yang sedang sakit ringan, maka keduanya pun berpuasa.



57
۞ Pembahasan Ketiga Belas: Hukum Seorang Musafir Yang
Menggauli Keluarganya (Istrinya) Pada Siang Hari Bulan
Ramadhan ۞

Pertanyaan(28)
Apakah bagi seorang musafir boleh bersenang-senang dengan
segala sesuatu, sampai menggauli istrinya di bulan Ramadhan?

Jawaban:
Iya, bagi seorang musafir boleh baginya untuk berbuka, dan
termasuk dari hal itu adalah datangnya seorang suami kepada
istrinya (jima`), jika istrinya berada bersamanya sebagai seorang
musafir, maka jima` halal bagi keduanya, sebagaimana Allah
Ta`ala menghalalkan bagi keduanya makan, minum selama di
dalam perjalanan.

Pertanyaan(29)
Penanya berkata: Aku melakukan perjalanan pada bulan
Ramadhan dan aku juga berbuka selama satu hari, maka denda
apa atas pelanggaran itu?

Jawaban:
Jika engkau berbuka sewaktu melakukan perjalanan, maka
keharusan engkau hanyalah mengganti (atas puasa yang telah
ditinggalkanya) saja, dan tidak ada denda dalam masalah itu, jika
engkau (benar) berbuka ketika sedang melakukan perjalanan, dan
dikarenakan sebab melakukan perjalanan, maka tidaklah mengapa,
bahkan itu termasuk sunnah, Allah Ta`ala berfirman:

‫يضا اأ ُو اع ال اس افر اف ِعدَ بة ِم ُن اأ َيام ُأ اخر‬


ً ‫اان ام ِر‬
‫او ام ُن ك ا‬

58
“Dan barangsiapa yang sedang sakit atau di waktu perjalanan, maka
baginya keharusan mengganti sebanyak hari yang telah dia
tinggalkan itu pada hari-hari yang lain”1.

Allah Ta`ala telah memberikan kelonggaran dan kemudahan,


Subhanallahu Wa Ta`ala, dan Allah juga berikan keringanan bagi
seorang musafir dan seorang yang lagi sakit untuk keduanya
berbuka.

Maka apabila engkau melakukan perjalanan menuju suatu


tempat (arah) dari tempat-tempat tertentu, sementara engkau pun
berbuka selama satu hari ataukah lebih, maka wajib bagimu untuk
mengganti saja, dan tidaklah ada denda atasmu, kecuali jika
terlambat mengganti (puasa yang ditinggalkan) hingga Ramadhan
lainya (berikutnya), kemudian engkau tidak juga menqadha`nya,

Sehingga keharusan bagimu, mengganti setelah Ramadhan


bersamaan dengan pemberian makan kepada orang miskin, dari
setiap hari (yang telah ditinggalkan) setengah sha` kurma, atau
nasi atau selain dari keduanya dari makanan pokok suatu negeri
karena sebab terlambat dalam mengganti puasa yang telah
ditinggalkan.

Sejumlah dari para shahabat telah memfatwakan dengan


seperti ini radhiyallahu `anhum, dan pendapat inilah yang paling
benar dari dua pendapat ulama, yaitu engkau mengganti hari yang
engkau telah berbuka padanya, dan engkau pun (berkewajiban)
menebus denda, engkau tebus dengan memberikan makan kepada
orang miskin, jika penunaian qadha terlambat sampai Ramadhan
yang lain (berikutnya).

Allah Subhanahu Wa Ta`ala-lah yang lebih Mengetahuinya.

1
QS. Al Baqarah(2): 185.

59
۞ Pembahasan Keempat Belas: Apa Yang Diharuskan Bagi
Seorang Musafir, Ketika Ia Kembali ke Negerinya Pada
Waktu Siang Hari di Bulan Ramadhan ۞

Pertanyaan(30)
Aku telah berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan, pada
waktu itu aku sudah tiba dari safar, dan aku sempurnakan pada
hari yang kedua (berikutnya), kemudian di waktu itu aku juga
berbuka, maka apakah ada kewajiban atasku untuk menggantinya?

Jawaban:
Seorang yang berpuasa di bulan Ramadhan, jika telah tiba di
negerinya di pertengahan siang, maka wajib baginya untuk
menahan (dari hal yang membatalkan puasa) menurut pendapat
yang benar, dikarenakan safarnya telah selesai.

Maka wajib baginya untuk menahan hingga terbenamnya


matahari, dan tidaklah hari itu teranggap (dihiitung) sebagai puasa,
bahkan dia harus menggantinya (di hari lain), akan tetapi pada hari
itu (mulai pertengahan siang hingga terbenamnya matahari) wajib
baginya untuk menahannya (berpuasa).

Demikian juga bagi seorang yang haid dan nifas, jika seorang
wanita suci pada pertengahan siangnya, maka wajib baginya untuk
berpuasa, wajib baginya untuk mandi, menahan (dari pembatal
puasa) dan dia ganti hari itu (di hari-hari yang lain), dikarenakan
puasa adalah suatu kewajiban.

Sehingga tidaklah boleh baginya untuk berbuka kecuali ada


udzur syar`i, seperti orang sakit dan seorang yang mengadakan
perjalanan. Dan selama dia berada di suatu negeri yang itu
merupakan negerinya sendiri, maka wajib baginya untuk menahan

60
(berpuasa), jika seorang (telah) kembali dari safar.

Demikian inilah berlaku di semua hari sampai Ramadhan


selesai, dia berpuasa sebagaimana orang muslim keumuman
berpuasa.

Maka tidaklah ada hak bagi seorang untuk berbuka kecuali


dengan udzur syar`i seperti orang sakit dan seorang yang
mengadakan perjalanan, serta wajib baginya untuk mengganti
hari-hari yang seorang telah berbuka selama perjalanannya, atau di
kala sakit, sebagaimana firman Allah Ta`ala:

‫يضا اأ ُو اع ال اس افر اف ِعدَ بة ِم ُن اأ َيام ُأ اخر‬


ً ‫اان ام ِر‬
‫او ام ُن ك ا‬

“Barangsiapa yang sedang menderita sakit atau dalam keadaan safar


(mengadakan perjalanan), maka (wajib) baginya untuk mengganti
sejumlah hari (yang telah ditinggalkan), pada hari yang lainnya”1.

Dan suatu hari yang ketika seorang telah tiba di negerinya,


maka terhitung pada waktu itu sebagai seorang yang mukim, maka
wajib atasnya untuk berpuasa.

Jika dia kembali (dari safarnya) di kala dhuha atau dzuhur,


wajib baginya berpuasa di sisa siangnya hingga terbenamnya
matahari, dan hari tersebut yang seorang berbuka di sebagian
harinya tidaklah dihitung sebagai puasa, bahkan wajib baginya
untuk mengganti (di hari lain) dan demikian ini berlaku pada
seorang yang sedang haid dan nifas, sebagaimana yang telah lalu,
jika telah suci wajib baginya untuk berpuasa (di sisa hari hingga
terbenam matahari).

Demikian juga berlaku bagi seorang yang sakit, jika Allah


1
QS. Al Baqarah(2): 185.

61
memberikan kesembuhan di awal siang, atau di pertengahan siang,
wajib baginya untuk berpuasa hingga selesai hari itu (terbenam
matahari), dan tidaklah hari itu dihitung (sebagai puasa), akan
tetapi wajib baginya untuk mengganti (di hari lain).

Tata Cara Penggantian Puasa.

Pertanyaan(31)
Penanya berkata: Apabila aku melakukan perjalanan di bulan
Ramadhan menuju suatu daerah, maka boleh bagiku untuk
berbuka pada waktu itu, dan aku telah jalani selama sepuluh hari
di perjalanan itu, bagaimana nasihat anda kepadaku, jika aku ingin
mengganti puasa (yang telah aku tinggalkan)? Semoga Allah
Ta`ala membalasa anda dengan kebaikan.

Jawaban:
Jika mau engkau ganti secara bersambung, dan jika engkau
mau secara terpisah, segala puji bagi Allah, engkau mengganti hari
yang engkau berbuka, baik penggantiannya itu secara bersambung
atau terpisah, perkara ini ada kelonggaran, segala puji bagi Allah
Ta`ala, apabila engkau buat bersambung maka itulah yang lebih
utama, jika engkau buat secara terpisah maka tidaklah mengapa,
dan yang menjadi kewajiban agar diganti sebelum Ramadhan lain
(tiba).

Seandainya seorang mengakhirkan dengan tanpa udzur, wajib


baginya untuk mengganti, bertaubat kepada Allah dan wajib
baginya untuk memberikan makan orang miskin dari setiap hari
sebagai tambahan, setengah sha` dari setiap hari yang disertai
dengan taubat dan penggantian puasa (sejumlah hari yang telah
dia tinggalkan).

62
۞ Pembahasan Kelima Belas: Sesuatu Yang Menjadi
Keharusan Bagi Orang Yang Tidak Mampu Berpuasa
Dikarenakan Lanjut Usia ۞

Pertanyaan (32)
Penanya berkata: Berikanlah fatwa kepada kami, berkaitan
seorang yang sudah tua renta, yang dia tidaklah mampu berpuasa
dan dia seorang yang fakir, tidak dia dapati sesuatu dalam
pendapatannya, maka apa kewajiban atasnya?

Jawaban:
Tidaklah ada kewajiban atasnya sesuatu apapun, apabila dia
lemah untuk melaksanakan puasa dan ketidakmampuan untuk
memberikan makan, tidaklah ada kewajiban sesuatu apapun
atasnya:

‫اس ات اط ُعتُم‬
ُ ‫افا َت ُقوا الَا اما‬

“Maka bertaqwalah kepada Allah semampu kalian”1.

Maka tidaklah ada keharusan atasnya untuk berpuasa dan


tidak juga pemberian makan, dikarenakan ketidakmampuan dari
kedua hal itu dari pelaksanaan puasa dan pemberian makan,
demikian ini apabila akal ada bersamannya.

Adapun jika seorang telah pikun yang akalnya telah berubah,


maka tidak ada keharusan atasnya sesuatu apapun, sekalipun ada
padanya harta, dikarenakan pembebanan syari`at telah terangkat
darinya dengan hilangnya akal, jika akalnya telah berubah menjadi
kacau karena usia tua dan tidak ada padanya beban untuk
1
QS. At Thaqabun(64): 16

63
memberikan makan.

Adapun jika ia masih berakal, akan tetapi dia lemah untuk


berpuasa dan ketidakmampuan memberi makan, maka tidak ada
kewajiban atasnya untuk memberikan makan, dikarenakan Allah
Ta`ala telah berfirman:

‫اس ات اط ُعت ُُم‬


ُ ‫افا َت ُقوا الَا اما‬

“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah Ta`ala semampu kalian”

‫ف الَُ ان ُف ًسا إِلَ ُو ُس اع اها‬


ُ ‫لا ُي اك يل‬

“Tidaklah Allah Azza Wa Jalla memberikan beban kepada jiwa


kecuali jiwa itu mampu mengerjakannya”1.

Pertanyaan(33)
Penanya berkata: Semoga Allah Ta`ala melepaskan aku dari
(penderitaan) rasa sakit, aku meminta kepada Allah agar Dia
memberikan kesembuhan kepadaku dari deritaan itu, dan penyakit
ini datang kepadaku dalam satu bulan sekali atau dua kali, atau
dalam waktu dua bulan sekali, maka apakah boleh bagiku untuk
berbuka, di waktu aku berpuasa sementara penyakit ini datang?
Semoga Allah Ta`ala membalas engkau dengan kebaikan.

Jawaban:
Iya, jika penyakit itu memberatkanmu, sementara engkau
sedang dalam keadaan berpuasa, maka boleh bagimu berbuka,
dikarenakan Allah Ta`ala berfirman:
1
QS. Al Baqarah(2): 286.

64
‫يضا اأ ُو اع ال اس افر اف ِعدَ بة ِم ُن اأ َيام ُأ اخر‬
ً ‫اان ام ِر‬
‫او ام ُن ك ا‬

”Dan barangsiapa yang sedang dalam keadaan sakit atau dalam


perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti sejumlah hari
yang telah dia tinggalkan pada hari lainnya”1.

Sehingga sakit yang dapat memberatkannya untuk berpuasa,


boleh baginya untuk berbuka, sunnah berupa keringanan ada
padanya:

‫ف الَُ ان ُف ًسا إِلَ ُو ُس اع اها‬


ُ ‫لا ُي اك يل‬

“Tidaklah Allah Ta`ala membebani jiwa, kecuali jiwa itu mampu


untuk mengerjakannya”

Demikian juga bagi musafir, boleh baginya untuk berbuka,


adapun sakit ringan yang tidak memberikan bahaya bagimu dan
tidak pula memberatkan atasmu, maka jangan engkau berbuka.



1
QS. Al Baqarah(2): 185.

65
۞ Pembahasan Keenam Belas: Kadar Denda dari Setiap Hari
(Puasa Yang Ditinggalkan) dan Hukum Mengeluarkan
Pembayaran Uang Tunai Sebagai Ganti Makanan ۞

Pertanyaan(34)
Saudari bertanya, dia berkata: Aku tidaklah mampu untuk
berpuasa dikarenakan sebab sakit yang berkepanjangan
menimpaku, dan di waktu lalu aku tidak berpuasa pada hari-hari di
bulan Ramadhan, lalu aku berkeinginan untuk mengetahui kadar
denda dari setiap hari (yang telah ditinggalkan), dan apakah
pengeluaran dengan uang tunai itu dibolehkan secara syariat,
ataukah terlarang?

Jawaban:
Jika penyakit tidak dapat diharapkan kesembuhannya dengan
ketetapan para dokter ahli, maka sah bagimu untuk mengeluarkan
pada setiap harinya berupa makanan yang diberikan kepada orang
miskin, seukuran setengah sha` kurma atau beras atau gandum
atau sesuatu berupa makanan pokok suatu negeri, dan itu semua
seukuran kurang lebih satu setengah kilo.

Tidaklah sah bila dengan uang kontan, bahkan yang wajib


ialah mengeluarkan makanan sebelum puasa ataukah setelahnya,
dan cukup hal itu diserahkan kepada seorang miskin atau lebih
dari satu orang, baik di waktu sebelum puasa ataukah setelahnya,
adapun jika penyakit yang sedang diderita dapat diharapkan
kesembuhannya, yang wajib atasmu, yaitu dengan menggantinya
di hari-hari lainnya, tidaklah mengapa mengakhirkan pergantian
puasa hingga telah sembuh total, sebagaimana firman Allah
Ta`ala:

‫يضا اأ ُو اع ال اس افر اف ِعدَ بة ِم ُن اأ َيام ُأ اخر‬


ً ‫اان ام ِر‬
‫او ام ُن ك ا‬

66
“Dan barangsiapa yang sedang mengalami sakit ataukah dalam
perjalanan, maka kewajibanya mengganti sejumlah hari yang telah
ditinggalkan di hari-hari yang lainnya1”

Maka (di dalam ayat ini) Allah mengharuskan dengan kata


sejumlah, yakni sejumlah hari (yang telah ditinggalkan) pada hari
yang lain, Allah tidak memerintahkan dengan pemberian
makanan, hanya saja Allah mengharuskan dengan kata sejumlah,
yaitu perhitungan hari yang seorang sakit dan yang sedang
melakukan perjalanan berbuka (tidak berpuasa), selama saudari
yang sakit tadi dapat diharapkan kesembuhannya, dan tidak ada
penetapan dari para dokter bahwasanya saudari yang sakit ini
tidak dapat diharapkan kesembuhannya.

Maka sesungguhnya yang menjadi keharusan bagimu, untuk


menggantinya setelah sembuh nanti, jika seandainya (waktu
penyembuhan) lama waktunya, dan kalau pun setelah satu tahun
atau dua tahun atau tiga tahun, hingga Allah memberikan
kesembuhan kepadamu, kemudian engkau ganti puasa yang
menjadi tanggungan engkau sejumlah hari yang ditinggalkan di
hari lainya.

Adapun jika para dokter spesialis juga ahli dalam bidangnya


telah menetapkan kepada seorang yang jatuh sakit ini tidaklah
akan selesai (bisa diobati), dan bahwasanya penyakit itu akan terus
menetap, maka cukup bagimu untuk memberikan makanan kepada
orang miskin, segala puji bagi Allah, dan tidak ada keharusan
atasmu untuk menggantinya.



1
QS. Al Baqarah(2): 185.

67
۞ Pembahasan Ketujuh Belas: Hukum Menunaikan
Puasanya Orang Yang Sudah Meninggal Yang Memiliki
Tanggungan Puasa ۞

Pertanyaan(35)
Penanya berkata: Ayahku telah meninggal di hari-hari akhir
pada bulan Ramadhan, dan memiliki tanggungan hari-hari yang
dia tidak menunaikan puasa karena sebab sakit dan ketuaan, maka
apakah boleh bagiku untuk tunaikan puasa hari-hari (yang telah
ditinggalkannya itu) sebagai ganti darinya?

Jawaban:
Jika kematiannya itu di kala sakitnya, maka tidaklah ada
kewajiban atasmu untuk berpuasa untuknya, dan hal ini pun
tidaklah disyariatkan, keadaan beliau yang seperti itu dimaafkan.

Adapun apabila dia telah sembuh, namun dia bermudah-


mudahan, maka dengan demikian engkau berpuasa untuknya,
berdasar sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

‫ات او اع ال ُي ِه ِص ايا بم اصا ام اعنُ ُه اولِ َيه‬


‫ام ُن ام ا‬

“Barangsiapa yang meninggal dan atasnya memiliki beban puasa


maka hendaknya keluarganya yang menanggung puasanya” 1

Inilah yang lebih utama agar engkau melaksanakan puasa


untuknya, apabila engkau tidak tunaikan puasanya, maka engkau
berikan makan dari setiap hari kepada seorang miskin, adapun jika
kematiannya di kala sakitnya dan karena sebab ketuaan yang
beliau tidak mampu untuk berpuasa, maka engkau (hanya) berikan
1
HR. Bukhari: 1952, Muslim: 1147, dari `Aisyah -radhiyallahu `anha-.

68
makan.

Jika beliau meninggal dalam keadaaan tua, engkau berikan


makan dari setiap hari (yang tidak berpuasa) seorang miskin
seukuran setengah sha` dari setiap harinya, adapun jika
meninggalnya di kala sakit, maka tidaklah ada kewajiban untukmu
memberikan makan dan tidak juga berpuasa.

Apa Saja Yang Termasuk Ganjaran Yang Dapat Diharapkan


Bagi Orang Yang Lemah Menunaikan Puasa Dikarenakan
Usia Lanjut dan Yang Semisalnya.

Pertanyaan(36)
Ada seorang dari Taiz republik Yaman, dia bertanya dengan
berkata: Apakah bagi orang yang tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan karena sebab syar`i semisal usia yang sudah lanjut
misalnya, dan dia tunaikan dengan memberikan makanan saja
(sebagai ganti puasanya), apakah baginya mendapatkan semisal
pahala orang yang berpuasa?

Jawaban:
Diharapkan baginya pun mendapatkan semisal hal itu (pahala
seorang yang berpuasa), dikarenakan keadaan seorang tadi
dimaafkan secara syar`i, dan orang yang seperti ini keadaannya
pun sebagaimana hukum orang yang berpuasa, nabi shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:

ِ ِ ‫ب ال ُه ِم ُث ُل اما ك ا‬ ِ
ً ‫اان اي ُع ام ُل ُمق ًيم اصح‬
‫يحا‬ ‫ كُت ا‬،‫ اأ ُو اسا اف ار‬، ُ‫إِ اذا ام ِر اض ال اع ُبد‬

”Apabila seorang hamba sakit atau sedang mengadakan perjalanan,


maka dicatat baginya semisal pahala seperti yang dia kerjakan di

69
waktu mukim dan dalam keadaan sehat”1

Maka seorang yang sudah lanjut usia, dia lemah untuk


menunaikan puasanya, maka baginya sebagaimana hukum seorang
yang berpuasa, dikarenakan keadaannya dimaafkan,

Apabila seandainya tidak dalam keadaan lemah, tentu dia akan


berpuasa, maka keadaan dia dimaafkan dan wajib atasnya untuk
memberikan makan kepada orang yang miskin dari setiap harinya
(sejumlah puasa yang telah ditinggalkannya) jika dia memiliki
kemampuan untuk hal itu.

Adapun jika dalam keadaan lemah tidak mampu (untuk


menunaikannya), maka dia tidak ada kewajiban apapun atasnya,
tidak ada kewajiban puasa, dan tidak juga kewajiban memberikan
makan, berdasar firman Allah Subhaanahu Wa Ta`ala:

‫اس ات اط ُعت ُُم‬


ُ ‫افا َت ُقوا الَا اما‬

“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah Azza Wa Jalla semampu


kalian“2



1
HR. Bukhari: 2996, dari Abu Musa -radhiyallahu `anhu-.
2
QS. At Taghabun(64): 16

70
۞ Pembahasan Kedelapan Belas: Hukum Memfokuskan
Waktu Untuk Beribadah di Bulan Ramadhan ۞

Pertanyaan(37)
Apakah termasuk sunnah memfokuskan pada bulan
Ramadhan untuk mengerjakan amalan shalih dan meluangkan
waktu serta beribadah (kepada Allah)?

Jawaban.
Bagi seorang muslim, semua amalannya itu merupakan
ibadah, dan kewajiban-kewajibannya yang telah dia laksanakan
jika niatnya itu baik semuanya itu adalah ibadah.

Sehingga bukanlah peribadahan itu semata shalat atau puasa


saja, mencarinya ilmu, mengajarkannya, berdakwah kepada Allah,
pendidikan anak, mengurusi mereka, melaksanakan urusan-urusan
keluarga, berbuat baik kepada sesama, mencurahkan kemampuan
dalam membantu manusia, meringankan orang-orang yang
mengalami kesulitan dan kegelisahan, memberikan manfaat
kepada manusia dengan semua amalan yang dibolehkan, dan
pencarian rizki yang halal semua ini merupakan bentuk ibadah
kepada Allah, (dengan catatan) apabila niatnya baik.

Seorang muslim yang Allah berikan taufiq kepadanya untuk


dapat memadukan antara ibadah yang khusus dan bersifat umum,
maka sugguh dia telah mendapatkan kebaikan yang besar.

Demikian juga penunaian tugas yang disandarkan kepadanya


di waktu Ramadhan dengan ketulusan dan kejujuran, termasuk
bagian dari ibadah yang seorang diberikan pahala atasnya.

Barang siapa yang membatasi peribadahan khusus (saja)

71
dikarenakan ketidakmampuannya menunaikan ibadah selainnya,
maka dia pun berada di atas kebaikan yang besar, jika dia
memurnikan (amalannya) untuk Allah semata dan dia pun jujur di
dalam beramal shalih.

Sungguh telah berlalu kepada nabi shallallahu `alaihi wa


sallam dua Ramadhan yang beliau dahulu bersungguh-sungguh
(beramal shalih) di dalamnya.

Kemudian peperangan Badr besar, yang peperangan tersebut


terjadi di tujuh belas Ramadhan pada tahun kedua hijriyah dan
peristiwa penaklukan kota Makkah terjadi di bulan Ramadhan
pada tahun kedelapan hijriyah.

Sungguh nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika melakukan


perjalanan di waktu bulan Ramadhan dan beliau berbuka di waktu
itu ketika beliau melihat sesuatu yang dibolehkan bagi keumuman
manusia karena adanya rasa berat jika berpuasa.

Yang dimaksud adalah bahwa seorang muslim (hendaknya)


bersungguh-sungguh ketika bulan Ramadhan dengan amalan-
amalan shalih dan tidak menjadikan bulan yang penuh barakah itu
suatu waktu untuk perkara sia-sia, banyak tidur, kelalaian dan
berpaling (dari berbagai amalan shalih).

Berlipat Gandanya Suatu Amalan Yang Dikerjakan di Makkah.

Pertanyaan(38).
Berulangnya ibadah puasa Ramadhan di Makkah mukarramah
pada setiap tahun, apakah di dalam waktu tersebut ada keutamaan
khusus bagi mereka yang (sedang) berada di luar Makkah?

72
Jawaban
Tidaklah diragukan lagi bahwasanya Makkah mukarramah
adalah bumi Allah Azza Wa Jalla yang paling utama, karena shalat
di dalam masjidil haram lebih baik dari shalat sebanyak seratus
ribu di masjid lainnya,

Sebagaimana tidaklah ragu bahwasanya amalan-amalan shalih


pahalanya dilipagandakan di haramain (Makkah dan Madinah)
dua tempat mulia yang kelipatan (pahalanya) tidaklah ada yang
mengetahui kelipatan tersebut melainkan Allah kecuali ibadah
shalat.

Karena sungguh (dalam ibadah shalat) telah teriwayatkan


mengenai penjelasan kadar seberapa banyak kelipatannya, dan
puasa Ramadhan di Makkah mukarramah terkumpul padanya
keutamaan waktu dan keutamaan tempat.

Maka barangsiapa yang diberikan taufiq untuk menunaikan


puasa ketika bulan Ramadhan di Makkah mukarramah dan tidak
berdampak dari puasanya ketika di Makkah dengan terlantarnya
kewajiban yang telah Allah bebankan kepadannya, melalaikan
tanggung jawab yang telah diserahkan kepadanya, kemudian hal
itu disertai niat yang baik maka terkandung di dalamnya kebaikan
yang besar.

Adapun jika seorang muslim yang ia bertempat tinggal di luar


tanah haram (Makkah/Madinah), hal itu lebih bermanfaat baginya
atau bagi kaum muslimin di dalam urusan agama dan berimbas
untuknya berbagai kebaikan yang besar serta faidah-faidah yang
banyak. Maka sesungguhnya (hal demikian) lebih utama bagi
seorang muslim untuk menetap di tempat yang di dalamnya
kemanfaatanya banyak bagi kaum muslimin dan kebaikan-
kebaikan banyak yang dapat ia peroleh di tempat tersebut.

73
BAB I`TIKAF

۞ Pembahasan Pertama: Hukum-Hukum I`tikaf ۞

Pertanyaan(39)
Seorang menanyakan bahasan `itikaf, waktunya dan tata
caranya?

Jawaban :
I`tikaf hukumnya sunnah, yaitu menetapnya seseorang di
dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah,
berkonsentrasi untuk beribadah pada waktu malam hari ataukah di
siang hari, baik selama satu jam saja atau sehari semalaman, atau
beberapa hari ataukah beberapa malam. I`tikaf hukumnya sunnah
sebagaimana Allah Ta`ala berirman:

‫اج ِد‬
ِ ‫ون ِف الُاس‬
‫ا‬
ِ ‫وهن و اأ ُنتُم اع‬
‫اك ُف ا‬ ُ ‫اش ُ َ ا‬
ِ
ُ ‫او ال ُت اب‬

“Dan janganlah kalian mengauli mereka (para istri) jika kalian


beri`tikaf di dalam masjid”1

Dan sungguh telah shahih juga dari rasulullah shallallahu


`alaihi wa sallam, bahwasanya beliau beri`tikaf pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan, dan di sebagian tahun-tahun yang
lainnya beliau meningalkannya dikarenakan beberapa sebab, dan
beliau juga beri`tikaf pada sepuluh hari awal dari bulan Syawal.

Ibadah i`tikaf itu hukumnya sunnah dan di dalam bulan


Ramadhan lebih utama, terlebih lagi pada sepuluh hari akhir dari
1
QS. Al Baqarah(2): 187.

74
Ramadhan lebih utama (lagi), dan seandainnya seorang beri`tikaf
di selain Ramadhan seperti pada bulan Syawal atau Dzulqa`dah
atau Zulhijjah ataukah pada bulan Muharram atau di selain dari itu
maka tidaklah mengapa.

Hukum beri`tikaf adalah sunnah secara mutlak di semua


waktu, akan tetapi i`tikaf dilakukan di dalam masjid secara khusus
yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama`ah.

Apabila seorang mendapati hari jum`at yang waktu i`tikafnya


itu waktunya lebih dari sepekan, maka yang lebih utama engkau
berada di dalam masjid yang di dalamnya ditunaikan shalat
jum`ah, lebih utama i`tikaf itu dilakukan di masjid yang di
dalamnya ditunaikan shalat jum`at, sehingga seorang tidaklah
perlu untuk keluar melaksanakan shalat jum`at, sehingga apabila
seorang beri`tikaf di masjid lain yang dalam masjid tersebut tidak
ditunaikan shalat jum`at, maka tidaklah mengapa.

Apabila tiba hari jum`at, dia keluar untuk melaksanakan shalat


jum`at secara berjama`ah, maka seorang mu`min yang beri`tikaf
(hendaknya) dia maksudkan dengan ibadahnya semata mengharap
wajah Allah Azza Wa Jalla, dan berkonsentrasi untuk beribadah
kepada Allah, menyenangi peribadahan kepada Allah, dan karena
hal inilah, berkatalah sebagian mereka (berkaitan ibadah i`tikaf):
“Sesungguhnya seorang yang sedang beri`tikaf, dia telah
memutuskan hubungannya dari semua makhluq, untuk menjalin
hubungan dengan berkhidmat kepada sang pencipta (Allah Azza Wa
Jalla).

Kesimpulannya; Bahwa orang (yang beri`tikaf) berkonsentrasi


untuk beribadah, berdzikir, berdoa dan berbagai bentuk ibadah
lainnya di dalam masjid, dan tidak mengapa seorang mengunjungi
keluarganya, sebagaimana dahulu mereka mengunjungi nabi

75
shallallahu `alaihi wa sallam.

Tidak mengapa juga, seorang mengunjungi sebagian saudara


(temannya), akan tetapi yang dimaksud; Seorang itu (benar)
berkonsentrasi penuh untuk melaksanakan ibadah berupa shalat,
bacaan (Al Qur`an ataupun ketaatan lainnya), istighfar, doa dan
ibadah-ibadah lainnya semisal itu, dan tidaklah ada baginya
batasan tertentu (waktu i`tikaf) meskipun satu jam dari waktunya.

Tidaklah dipersyaratkan baginya untuk berpuasa, seandainnya


seorang beri`tikaf dalam keadaan tidak berpuasa, maka yang
demikian pun tidaklah mengapa menurut pendapat yang benar.
Sebagian ahli ilmu mengatakan: Haruslah seorang yang beri`tikaf
dalam keadaan puasa, akan tetapi pendapat ini tidaklah benar, hal
ini teriwayatkan dari `Aisyah radhiyallahu `anha bahwasanya
beliau berkata:

‫او ال ا ُعتِك ا‬
‫ااف إِ َل بِ اص ُوم‬

“Tidak lah ada i`tikaf kecuali bagi orang yang berpuasa”1.

Shahih dari Ibnu `Abbas radhiyallahu `anhuma bahwasanya


beliau mengatakan:

‫ي اع ال ُه اع ال ان ُف ِس ِه‬ ِ ِ ِ
ُ ‫ال ُي اس اع ال الُ ُعتاكف ص ايا بم إِ َل اأ ُن ا‬

”Tidaklah ada kewajiban berpuasa bagi seorang yang beri`tikaf,


kecuali seorang yang telah mewajibkan puasa itu untuk dirinya
sendiri2“
1
HR. Abu Dawud: 2473, dari `Aisyah -radhiyallahu `anha-.
2
HR. Daruquthni 2355, Baihaqi (sunan kubra): 8587 , dari Ibn `Abbas -radhiyallahu
`anhuma-.

76
Yaitu seorang bernazar untuk berpuasa, intinya bahwasanya
puasa bukanlah suatu syarat bagi seorang yang hendak beri`tikaf
dan inilah pendapat yang benar, dikarenakan ibadah itu sifatnya
tauqifiyyah (dengan sandaran/dalil).

Maka tidaklah ada persyaratan di dalam ibadah i`tikaf kecuali


syarat yang ditentukan oleh pembuat syari`at, tidak lain syarat
tersebut datangnya dari Allah Ta`ala dan dari rasulnya shallallahu
`alaihi wa sallam, dan tidaklah didapati adanya dalil yang
menunjukkan wajibnya berpuasa ketika i`tikaf, sehingga pendapat
yang benar; Bahwa tidaklah mengapa seorang beri`tikaf meskipun
dia dalam keadaan tidak berpuasa, dan tidak mengapa pula dia
lakukan di malam hari ataukah di siang hari.

Shahih dari `Umar radhiyallahu `anhu, bahwasanya beliau


bertanya kepada nabi shallallahu `alaihi wa sallam, pernah beliau
mengatakan: “Sesungguhnya aku bernazar di masa jahiliyah untuk
aku beri`tikaf pada malam hari di masjidil haram”. Kemudian nabi
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

ِ ‫اأو‬
‫ف بِن ُاذ ِرك‬ ُ

“Tunaikan nazarmu itu”1

Dari keterangan tersebut, menunjukkan bahwa waktu malam


itu bukanlah tempatnya seorang melaksanakan ibadah puasa.

1
HR. Tirmidzi: 1539, dari `Umar -radhiyallahu `anhu-.

77
۞ Pembahasan Kedua: Tempat I`tikaf, Waktunya dan
Hukum Memutus I`tikaf ۞

Pertanyaan (40).
Apa hukum i`tikaf bagi seorang laki-laki dan bagi perempuan,
apakah disyaratkan baginya untuk berpuasa, dan dengan apa
seorang yang i'tikaf itu menyibukkan diri dalam i`tikafnya,
kemudian kapankah seorang memasuki tempat i`tikafnya dan
kapan ia keluar darinya?

Jawaban:
I`tikaf hukumnya sunnah bagi seorang laki dan perempuan
dengan riwayat yang telah shahih dari nabi shallallahu `alaihi wa
sallam, bahwasanya dahulu beliau beri`tikaf di bulan Ramadhan,
dan beliau menetap di tempat i`tikafnya (beri`tikaf) di sepuluh hari
yang terakhir, dan dahulu sebagian istri beliau beri`tikaf
bersamanya, kemudian kami (para sahabat) beri`tikaf sepeninggal
beliau shallallahu `alaihi wa sallam.

Adapun lokasi i`tikaf adalah di masjid-masjid yang didirikan


pada masjid tersebut shalat berjama`ah, dan apabila hari jum`at
berada di tengah-tengah i`tikafnya maka yang lebih utama agar dia
beri`tikaf di masjid jami` (yang ditegakkan shalat jum`ah) jika hal
itu mudah.

Dan tidaklah ada batasan waktu tertentu menurut pendapat


yang paling benar di kalangan ahli ilmu, tidak juga dipersyaratkan
baginya untuk berpuasa, akan tetapi jika disertai dengan puasa
itulah yang lebih utama.

Sunnah baginya untuk memasuki lokasi i`tikafnya ketika dia


meniatkan untuk beri`tikaf, dan dia keluar setelah berlalunya

78
waktu yang dia niatkan. Boleh baginya memutuskan i`tikafnya itu
jika ada kebutuhan yang mendorong dia untuk memutuskan
i`tikafnya, dikarenakan ibadah i`tikaf itu hukumnya sunnah dan
tidaklah wajib melakukannya, jika bukan sesuatu yang telah
dinazarkan untuk Allah Azza Wa Jalla.

Disunnahkan bagi seorang yang hendak beri`tikaf untuk


memasuki tempat i`tikafnya setelah shalat fajr di hari yang kedua
puluh satu, dalam rangka meneladani nabi shallallahu `alaihi wa
sallam dan dia keluar setelah selesai sepuluh hari, dan jika dia
memutuskannya, maka tidaklah mengapa kecuali kalau i`tikafnya
telah dinazarkan untuk Allah sebagaimana yang telah lalu.

Dan lebih utama untuk seorang mengambil tempat tertentu di


dalam masjid untuk beristirahat di sana jika memungkinkan,
disyariatkan bagi seorang yang beri`tikaf untuk memperbanyak
dzikir, membaca alqur`an, beristighfar, berdoa, dan menunaikan
shalat di selain waktu-waktu yang terlarang.

Tidaklah mengapa seorang mengunjungi sebagian temannya,


berbincang-bincang bersamanya, sebagaimana dahulu nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dikunjungi sebagian istri-istrinya,
dan istri-istri beliau berbincang-bincang bersama nabi shallallahu
'alaihi wasallam.

Suatu kesempatan Shafiyah radhiyallahu`anha (salah satu istri


nabi) mengunjunginya, dalam keadaan beliau beri`tikaf di bulan
Ramadhan, maka tatkala Shafiyyah radhiyallahu `anha berdiri,
rasul shallallahu `alaihi wa sallam pun berdiri bersamannya
menuju pintu masjid, yang demikian ini menunjukkan bahwasanya
tidaklah mengapa dalam hal itu.

Perilaku dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam ini


menunjukkan atas sempurnanya sikap ketawadhu`anya, dan
79
baiknya kisah hidup beliau bersama para istrinya, semoga tercurah
kepada beliau shalawat dan salam yang paling utama dari
Rabbnya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi


kita Muhammad shallallahu a`alaihi wasallam, keluargannya,
para sahabatnya dan para pengikut mereka yang baik.



80
۞ Pembahasan Ketiga: Hukum Keluarnya Seorang Yang
Beri`tikaf Karena Suatu Kebutuhan ۞

Pertanyaan(41)
Penanya: Apa syarat-syarat i`tikaf di bulan Ramadhan, dan
apakah diperbolehkan bagi seorang keluar dari masjid di waktu itu
dikarenakan suatu sebab?

Jawaban
Sunnahnya ibadah i`tikaf adalah di dalam masjid ketika bulan
Ramadhan, jika hal itu mudah, baik di bulan Ramadhan dan di
selainnya, akan tetapi di bulan Ramadhan lebih utama, jika hal itu
mudah dilakukan, dan baginya boleh keluar (dari masjid) jika
kebutuhan menuntutnya, dia keluar untuk berwudhu, dia keluar
untuk mengerjakan kebutuhannya.

Tidaklah mengapa ia keluar dalam keadaan demikian, dan


boleh baginya untuk tidak mempermasalahkan ketika ia hendak
beri`tikaf dalam lima hari, kemudian dia tinggalkan i`tikaf itu
sehari atau dua hari, dan merasa cukup dengan dua hari ataukah
tiga hari, maka tidaklah mengapa, dikarenakan ibadah `itikaf itu
hukumnya sunnah bukanlah kewajiban, kecuali jika dia bernazar
(untuk beri`tikaf) dengan mengatakan: “Wajib atasku untuk Allah
beri`tikaf pada hari ini dan di waktu ini, maka wajib baginya untuk
memenuhi nazarnya, berdasar sabda nabi shallallahu `alaihi wa
sallam:

‫يع الَا اف ُل ُيطِ ُع ُه‬ ِ


‫ام ُن ن ااذ ار اأ ُن ُيط ا‬

”Barangsiapa yang bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah

81
Ta`ala, maka hendaknya ia kerjakan ketaatan itu”1

Adapun apabila i`tikaf itu bukan karena nazar, maka i`tikaf


tersebut hukumnya sunnah baginya, ketika memasuki masjid dan
beri`tikaf di dalamnya, dan dia memiliki hak untuk memutus
i`tikafnya, jika muncul suatu penghalang yang menghalanginya
dan dia berkeinginan untuk memutus i`tikafnya, tidaklah
mengapa, dan dia memiliki hak untuk keluar (dari masjid), untuk
melaksanakan kebutuhannya, untuk berwudhu, mandi, dan untuk
menunaikan kebutuhan lainnya, (hal demikian) tidaklah mengapa.

Hukum Seorang Yang Sudah Bernazar Untuk Beri`tikaf di


Bulan Ramadhan, Akan Tetapi Dia Tidak Memenuhi
Nazarnya.

Pertanyaan(42)
Aku telah bernazar untuk beri`tikaf di sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan di masjidil haram, jika terealisasi bagiku
suatu tujuan, aku akan berusaha menyelesaikan nazar itu, dan di
waktu lainnya aku berkata:

“Jika tujuan itu terealisasi ataukah tidak, maka aku akan


beri`tikaf”, akan tetapi aku tidak dapat memenuhi ucapanku, maka
kewajiban apakah yang semestinya aku tunaikan? semoga Allah
Ta`ala menjaga anda.

Jawaban
Jika engkau telah bernazar untuk beri`tikaf di bulan
Ramadhan pada sepuluh hari yang terakhir di masjidil haram,
apabila telah tercapai tujuanmu, maka wajib atasmu beri`tikaf,
namun bila hal itu (nazar beri`tikaf) terluput darimu, maka wajib
1
HR. Bukhari: 6696, dari `Aisyah -radhiyallahu `anha-.

82
bagimu untuk bertaubat kepada Allah dari kelalaianmu dan wajib
bagimu denda atas pelanggaran sumpah, dan wajib bagimu
beri`tikaf, meskipun di selain bulan Ramadhan, berdasar sabda
nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

‫ او ام ُن ن ااذ ار اأ ُن اي ُع ِص اي ُه اف ا‬،‫يع الَا اف ُل ُيطِ ُع ُه‬


‫ل اي ُع ِصه‬ ِ
‫ام ُن ن ااذ ار اأ ُن ُيط ا‬

”Barangsiapa yang bernazar untuk berbuat ketaatan kepada Allah,


maka hendaknya dia lakukan, dan barangsiapa yang bernazar untuk
berbuat durhaka kepada-Nya, maka janganlah dia kerjakan” 1

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya,


maka wajib bagimu untuk memenuhi nazarmu, dan wajib bagimu
untuk membayar denda atas pelanggaran sumpah dari waktu itu,
yang engkau telah menentukannya, dan wajib juga atasmu untuk
memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dari
kelalaianmu.

Allah-lah tempat meminta pertolongan.



1
HR. Bukhari: 6696, dari `Aisyah -radhiyallahu `anha-.

83
BAB LAILATUL QADAR

۞ Pembahasan Pertama: Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir


Bulan Ramadhan dan Malam Lailatul Qadr ۞

Pertanyaan(43)
Jika aku berkeinginan untuk menghidupkan malam-malam
sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, kapankah aku
harus memulainya? Semoga Allah Ta`ala membalas kebaikan
kepadamu.

Jawaban
Engkau mulai setelah selesai shalat isya, dahulu nabi
shallallahu `alaihi wa sallam menghidupkan malam-malam
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, `Aisyah radhiyallahu
`anha berkata:

‫ او اأ ُي اق اظ اأ ُه ال ُه‬،‫ او اأ ُح ايا ال ُي ال ُه‬،‫ش اشدَ ِم ُئ از ار ُه‬ ِ ِ


ُ ُ ‫اان النَبِ َي اص َل الُ اع ال ُيه او اس َل ام إ اذا اد اخ ال ال اع‬
‫ك ا‬

“Dahulu nabi shallallahu `alaihi wa sallam, jika telah masuk sepuluh


hari yang terakhir beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan
malamnya, dan membangunkan keluarganya ”1.
Ini merupakan suatu keutamaan bagi siapa yang dimudahkan
baginya untuk hal itu, meskipun dia tidur dari sebagiannya agar
dia bisa menguatkan diri, maka tidaklah mengapa, adapun bagi
siapa saja yang Allah telah berikan kekuatan kepadanya untuk
menghidupkannya, maka yang demikian merupakan sunnah dan
sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yaitu di dalam
penunaian shalatnya, bacaan (Al Qur`an), doa, dan permintaan
1
HR. Bukhari: 2024, dari `Aisyah -radhiyallahu `anha-.

84
ampun kepada-Nya.

Di malam-malam yang ganjil lebih utama untuk dihidupkan


daripada selainnya dari sepuluh hari yang terakhir bulan
Ramadhan, malam-malam tersebut lebih untuk ditekankan,
dikarenakan pada malam-malam itu lebih diharapkan akan adanya
malam lailatul qadar, nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah
bersabda:

‫اوالت ِام ُس ا‬
‫وها ِف ك يُل ِوتُر‬

”Carilah oleh kalian (malam lailatul qadr) di setiap malam ganjil”1

Di sebagian riwayat:

ِ ‫ش ُالاو‬
‫اخر‬ ‫افا ُلت ِام ُس ا‬
‫وها ِف ا ُل اع ُ ِ ا‬

”Maka hendaknya kalian mencarinya (malam lailatul qadar) pada


sepuluh hari yang terakhir”2

Akan tetapi pada malam-malam ganjil lebih diharapkan, pada


malam kedua puluh satu, malam kedua puluh tiga, dua puluh lima,
dua puluh tujuh dan dua puluh sembilan, dan yang paling
diharapkan adalah malam yang kedua puluh tujuh.

1
HR. Bukhari: 2027, dari Abu Sa`id Al Khudry -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Bukhari: 2027, Muslim: 1167, dari Abu Sa`id Al Khudry -radhiyallahu `anhu-.

85
Malam Lailatul Qadar di Sepuluh Hari Yang Terakhir Bulan
Ramadhan.

Pertanyaan(44)
Allah Subhaaahu Wa Ta`ala telah utamakan bulan Ramadhan
yang penuh berkah daripada bulan yang ada selainnya, dan
malam-malam sepuluh yang terakhir dari keumuman malam yang
ada, dan malam lailatul qadar yang merupakan suatu malam yang
lebih baik daripada seribu bulan, apakah malam lailatul qadar itu
waktunya tertentu ataukah malam itu berada di sela-sela sepuluh
hari yang terakhir dari bulan Ramadhan yang mulia ?

Jawaban:
Malam lailatul qadar telah dikhabarkan oleh nabi shallallahu
`alaihi wa sallam bahwasanya malam itu berada di sepuluh malam
yang terakhir dari bulan Ramadhan, nabi shallallahu `alaihi wa
sallam telah menjelaskannya, bahwa malam-malam ganjil di
sepuluh hari yang terakhir lebih kuat dari malam-malam
genapnya, maka bagi siapa yang menegakkan (menghidupkan),
seluruhnya dia pasti mendapati malam lailatul qadar.

Shahih dari rasul shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya


beliau bersabda:

‫ ُغ ِف ار ال ُه اما ات اقدَ ام ِم ُن اذنُبِ ِه‬،‫احتِ اسا ًبا‬


ُ ‫ام ُن اقا ام ال ُي ال اة ال اقدُ ِر إِ ايمنًا او‬

”Barangsiapa yang menegakkan (menghidupkan) malam lailatul


qadar dengan penuh keimanan dan berharap pahala di sisi Allah
Ta`ala, niscaya diampuni baginya dosa-dosannya (dosa kecil) yang
telah lalu”1

1
HR. Bukhari: 1901, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

86
Maknanya; Siapa saja yang menegakkan (menghidupkannya)
dengan shalat dan semua macam-macam bentuk peribadahan,
berupa bacaan, doa, shadaqah dan selain itu, dengan beriman
bahwa Allah Ta`ala telah mensyari`atkan hal itu dan berharap
pahala dari sisi-Nya, bukan karena ingin dilihat dan tidak pula
karena tujuan yang lainnya dari tujuan-tujuan dunia, maka Allah
Ta`ala akan mengampuni baginya apa yang telah lalu dari dosa-
dosanya.

Dan inilah pendapat mayoritas ahli ilmu, bahwa iman dan


amalannya (dapat menghapuskan dosa dosa kecil yang telah lalu)
dengan catatan ia menjauhi dosa-dosa besar, berdasar sabda nabi
shallallahu `alaihi wa sallam:

‫<ب‬ ُ ‫ات ما< ا اب ُين ُاه< َن إِ اذا‬


‫اج اتنا< ا‬ ‫ ُم اك يف ار ب‬،‫ان‬ ُ ‫ او ار ام اض‬،‫ال ُم اع ِة‬
‫ان إِ ال ار ام اض ا‬ ُ ُ ‫ال ُم اع ُة إِ ال‬
ُ ُ ‫ او‬،‫الا ُم ُس‬ ُ ‫الص ال او‬
ُ ‫ات‬ َ
‫ا ُل اك اب ِائ ار‬
”Shalat yang lima, jum`at hingga jum`at berikutnya dan Ramadhan
menuju Ramadhan berikutnya, menghapuskan dosa yang ada di
antaranya, jika dosa-dosa besar dijauhi”1

Maka kita meminta kepada Allah Ta`ala agar Allah Ta`ala


memberikan taufiq kepada umat islam seluruhnya, di semua
tempat untuk dapat menunaikannya dengan keimanan dan
mengharapkan pahala dari Allah, sesungguhnya Allah Ta`ala
Dialah Zat yang Maha Murah lagi Mulia.

1
HR. Muslim: 233, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.

87
۞ Pembahasan Kedua: Keutamaan Malam Lailatul Qadar ۞

Pertanyaan(45)
Penanya berkata: Aku telah membaca berbilangnya pendapat
tentang malam lailatul qadar, sampaikanlah kepada kami tentang
itu? Semoga Allah Ta`ala membalas kebaikan kepadamu,
kemudian berkaitan waktunya, jika mungkin penentuannya mohon
disampaikan?

Jawaban:
Malam lailatul qadar adalah malam yang paling utama,
sungguh Allah Subhaanahu Wa Ta`ala telah berfirman tentang
keutamaannya:

ِ ‫الي ال ُة ا ُل اقدُ ِر اخي ِمن اأ ُل‬


‫ف اش ُهر‬ ُ ‫ُب‬ ُ

“Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan“1

Allah Ta`ala juga berfirman perihal keutamaannya:

(4) ‫( فِ ايها ُي ُف ار ُق ك َُل اأ ُمر اح ِكيم‬3) ‫إِنَا اأن اُز ُلناا ُه ِف ال ُي الة ُم اب ااركاة إِنَا ُكنَا ُمن ُِذ ِري ان‬

”Sesungguhnya kami menurunkannya (Al Qur`an) di malam yang


penuh berkah, sungguh kamilah yang memberi peringatan (kepada
manusia dari perkara-perkara yang memberikan manfaat dan yang
menimbulkan madharat kepada mereka), pada malam itu dijelaskan
segala perkara (qadari dan syar`i ) dengan sempurna”2

Maka hal yang demikian itu merupakan malam yang penuh


1
QS. Al Qadr(97): 3.
2
QS.Ad Dukhan(44): 3-4.

88
dengan kebaikan, yaitu malam lailatul qadar, dan di malam itu
ditetapkan segala perkara dengan sempurna (penuh hikmah),
termasuk dari hal itu adalah pencatatan amalan-amalan dan
kejadian-kejadian pada tahun itu.

Itu semua dituliskan pada malam lailatul qadar, sebagai


pembeda /pemisah dengan ketetapan yang telah lalu, dan malam
tersebut merupakan malam yang lebih utama dari seribu bulan,
amalan pada malam itu dan usaha di malam itu lebih baik dari
amalan dan usaha dalam waktu seribu bulan dari malam-malam
selainnya.

Ini merupakan keutamaan yang besar, dan malam itu ada (di
antara) sepuluh hari akhir pada bulan Ramadhan, demikianlah
yang nabi shallallahu `alaihi wa sallam kabarkan, beliau
bersabda:

‫اخ ِر ِم ُن ار ام اض ا‬
‫ان‬ ِ ‫ش الاو‬ ‫الت ِام ُس ا‬
‫وها ِف ال اع ُ ِ ا‬

”Carilah oleh kalian malam lailatul qadar itu pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan”1.

Pada malam-malam ganjil lebih kuat: Pada malam kedua


puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua
puluh sembilan, dan pada malam-malam inilah yang lebih kuat
dan lebih cocok dari malam selainnya, berdasar sabda nabi
shallallahu `alaihi wa sallam:

‫اخ ِر ِم ُن ار ام اضان‬
ِ ‫ش الاو‬ ِ ِ ‫ا اتروا الي ال اة ال اقدُ ِر ِف‬
‫ م ان ال اع ُ ِ ا‬،‫الوت ُِر‬ ُ ُ َ

1
HR. Bukhari: 2021, dari Ibn `Abbas -radhiyallahu `anhuma-.

89
“Carilah oleh kalian malam lailatul qadar itu, di malam-malam
ganjil pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan” 1

Dan di dalam hadits-hadits yang lainnya, ada dalil bahwasanya


malam lailatul qadar itu dicari di sepuluh hari terakhir seluruhnya,
akan tetapi pada malam-malam yang ganjil itu lebih cocok, dan di
antara malam-malam ganjil yang paling cocok adalah malam
kedua puluh tujuh.

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar.

Pertanyaan(46):
Penanya berkata: Bagaimanakah seorang mengenali bahwa
malam itu sesuai dengan malam lailatul qadar?

Jawaban :
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengabarkan bahwa
malam itu ditandai dengan terbitnya matahari di pagi harinya tidak
menyilaukan, dahulu Ubay Ibn Ka`ab radhiyallahu `anhu beliau
adalah sahabat nabi yang mulia, telah melakukan pengawasan
selama bertahun-tahun lamanya, kemudian beliau lihat matahari
terbit di pagi harinya pada hari kedua puluh tujuh, tidaklah
(cahaya) matahari itu menyilaukan.

Dahulu beliau bersumpah bahwasanya malam itu adalah


malam lailatul qadar, dengan sebab alamat ini, akan tetapi yang
benar bahwasanya malam lailatul qadar terkadang ada pada malam
selainnya, terkadang ada di beberapa tahun di malam kedua puluh
tujuh, dan terkadang di tahun-tahun lainnya ada di malam dua
puluh satu, atau di dua puluh tiga, atau di dua puluh lima, atau di
selainnya. Maka untuk kehati-hatian dan kemantapan agar
bersungguh-sungguh di malam-malam semuannya.
1
HR. Bukhari: 2017, dari `Aisyah -radhiyallahu `anha-.

90
۞ Pembahasan Ketiga: Terkadang Lailatul Qadar Dapat
Dilihat Dengan Mata Kepala ۞

Pertanyaan(47)
Apakah lailatul qadar itu dapat terlihat dengan mata kepala
artinya; Bahwasanya lailatul qadar dapat dilihat dengan mata
manusia secara langsung, sebagian manusia mengatakan:
Sesungguhnya jika seoraang mampu melihat malam lailatul qadar,
(niscaya) dia akan melihat cahaya di langit dan semisal hal ini, dan
bagaimanakah rasul shallallahu `alaihi wa sallam dan para
shahabatnya radhiyallahu `anhum melihatnya?.
Dan bagaimanakah seorang mengetahui, bahwa dia sungguh
melihat malam lailatul qadar, apakah seorang mendapatkan pahala
dan ganjaranya, meskipun pada malam itu dia tidak dapat melihat
(berkeyakinan) malam lailatul qadar ada pada malam itu, kami
berharap penjelasan perihal ini, bersamaan adanya penyebutan
dalil (bukti)?

Jawaban:
Sungguh malam lailatul qadar dapat dilihat dengan mata
kepala, bagi siapa saja yang Allah Ta`ala berikan taufiq
kepadanya, hal itu dengan melihat tanda-tandanya, dan dahulu
para shahabat radhiyallahu `anhum mereka menjadikan dalil atas
nampaknya lailatul qadar dengan tanda-tandanya, akan tetapi tidak
nampaknya akan tanda-tandanya, itu pun tidaklah mencegah
seorang mendapatkan keutamaannya, bagi siapa saja yang
menghidupkan malam itu dengan disertai penuh keimanan dan
mengharap pahala di sisi Allah Ta`ala.

Maka sudah semestinya bagi seorang muslim untuk


bersungguh-sungguh untuk mencarinya di sepuluh hari dari bulan
Ramadhan (sebagaimana nabi shallallahu `alaihi wa sallam

91
memerintahkan para shahabatnya untuk hal itu) dalam rangka
mencari pahala dan ganjaran di sisi Allah Ta`ala.

Sehingga apabila amalan-amalan pada malam itu dia sertai


dengan keimanan dan berharap pahala di sisi Allah Ta`ala
(ternyata) sesuai dengan malam lailatul qadar, tentu dia akan
mendapatkan pahalanya meskipun dia tidak mengetahuinya, nabi
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

‫ ُغ ِف ار ال ُه اما ات اقدَ ام ِم ُن اذنُبِ ِه‬،‫احتِ اسا ًبا‬


ُ ‫ام ُن اقا ام ال ُي ال اة ال اقدُ ِر إِ ايمنًا او‬

“Barangsiapa yang menghidupkan (dengan berbagai amalan shalih)


malam lailatul qadar disertai keimanan dan berharap pahala di sisi
Allah Ta`ala, niscaya diampuni baginya dosa-dosa (dosa-dosa kecil)
yang telah lalu”1

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dan


di riwayat yang lain selain dari kitab shahih Bukhari

‫ ُث َم ُو يف اق ُت ال ُه ُغ ِف ار ال ُه اما ات اقدَ ام ِم ُن اذنُبِ ِه او اما ت ااأ َخ ار‬،‫احتِ اسا ًبا‬ ِ


ُ ‫ او‬،‫اف ام ُن اقا ام اها ا ُبت اغا اء اها إِ ايمنًا‬

”Barangsiapa yang menghidupkan malam itu, karena berharap


hanya kepada wajah-Nya semata (pahala di sisi-Nya), kemudian
seorang diberikan taufiq kepadanya, niscaya diampuni baginya dosa-
dosanya yang telah lalu dan yang akan datang”2

Telah shahih dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam riwayat


yang menunjukan atas bahwasanya termasuk dari tanda-tandanya
(lailatul qadar) adalah terbitnya matahari pada pagi harinya
1
HR. Bukhari: 1901, dari Abu Hurairah -radhiyallahu `anhu-.
2
HR. Ahmad: 22713, dari `Ubadah Ibnu Shamit -radhiyallahu `anhu-.

92
tidaklah menyilaukan (tidak memiliki sinar terang).

Dan dahulu Ubay Ibn Ka`ab radhiyallahu `anhu bersumpah


bahwasanya malam lailatul qadar jatuh pada malam kedua puluh
tujuh, dan beliau menjadikannya bukti (bahwa malam itu adalah
malam lailatul qadar) dengan tanda ini.

Pendapat yang paling benar adalah bahwasanya malam lailatul


qadar berpindah-pindah di malam-malam sepuluh hari terakhir
seluruhnya, pada malam yang ganjil itu lebih mencocokinya, dan
pada malam kedua puluh tujuh adalah malam ganjil yang paling
kuat dalam masalah itu.

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh di malam malam


sepuluh hari terakhir seluruhnya di dalam shalatnya, bacaan Al
Qur`annya, doanya dan selain dari hal itu dari amalan-amalan
kebaikan, (niscaya) dia akan jumpai malam lailatul qadar itu
dengan tanpa diragukan lagi, dan dia akan mendapatkan
kemenangan atas sesuatu yang telah dijanjikan oleh Allah bagi
siapa saja yang menghidupkan (malam lailatul qadar), apabila dia
mengerjakannya dengan disertai keimanan dan berharap pahala di
sisi-Nya.

Allah Ta`ala-lah yang memberikan taufiq, Shalawat dan salam


semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad
shallallahu `alaihi wa sallam, kepada keluarganya dan para
shahabatnya.



93
BAB ZAKAT FITRI.

۞ Pembahasan Pertama: Siapakah Yang Wajib Atasnya


Untuk Membayar Zakat Fitri ۞

Pertanyaan(48)
Berikanlah ketentuan kepada kami segenap orang yang wajib
atas mereka untuk menunaikan zakat fitri, siapa sajakah yang tidak
wajib, berapakah ukurannya, dan apakah diperbolehkan untuk
mengeluarkan zakat dengan uang nominal zakat?

Jawaban
Zakat fitri hukumnya wajib atas setiap muslim di usia anak-
anak ataupun dewasa (dengan catatan) apabila bahan pokok itu
ada di saat matahari terbenam pada malam berakhirnya puasa
Ramadhan, nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ل‬
،‫الُ < ير‬ < ‫ اأ ُو اصا ًعا ِم ُن اش ِعي اع ا‬،‫ول الِ اص َل الُ اع ال ُي ِه او اس َل ام ازكاا اة ا ُل ِف ُط ِر اصا ًعا ِم ُن اتُر‬ ُ ‫اف ار اض ار ُس‬
ِ ‫وج الن‬
‫َ<<اس‬ ‫ ِم ان الُ ُس ِل ِم ا‬،‫الص ِغ ِي اوا ُلكابِ ِي‬
ِ ‫ او اأ ام ار ِ ابا اأ ُن ت اُؤ َدى اق ُب ال ُخ ُر‬،‫ي‬ َ ‫اوا ُل اع ُب ِد او‬
َ ‫ او‬،‫الذك ِار او ُالُ ُن اثى‬
َ ‫إِ ال‬
‫الص الة‬

“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wajibkan zakat fitri sebesar satu


sha` kurma atau satu sha` gandum atas seorang hamba baik yang telah
merdeka, atau yang masih budak, dari kalangan laki, perempuan, anak
dan dewasanya dari kaum muslimin dan beliau perintahkan untuk
menunaikannya sebelum keluarnya manusia menuju shalat” 1.

Artinya; Menuju shalat `id, inilah yang wajib bagi mereka dari
orang-orang yang telah nabi shallallahu `alaihi wa sallam
1
HR. An Nasai -Sunan Kubra-: 2295, dari Ibnu `Umar -radhiyallahu `anhuma-.

94
sebutkan dari para lelaki, perempuan, usia anak-anak, dewasa,
orang-orang yang merdeka dan para budak dari kaum muslimin.

Adapun orang yang sedang hamil (dari) apa yang ada di dalam
perut wanita ketika hari `ied, maka yang demikian itu tidak ada
kewajiban zakat fitri, akan tetapi dalam hal ini disukai (jika
dikeluarkan darinya zakat fitri) dikarenakan `Utsman radhiyallahu
`anhu, seorang khalifah yang bijaksana telah mengeluarkan
(zakat) dari perempuan hamil, dan ulama pun menghasungnya
dalam rangka meneladani `Utsman radhiyallahu `anhu.

Zakat fitri ini tidak ada kewajiban atas orang kafir, baik laki
maupun perempuannya, dikarenakan keduanya tidaklah termasuk
orang yang suci, dan keduanya tidaklah layak untuk menunaikan
zakat sampai keduanya masuk islam.

Sehingga apabila ada padanya budak kafir, atau anak kafir,


tidak dia tunaikan zakat darinya, dikarenakan dia najis dengan
kekafiran dan zakat itu tidak dapat mensucikannya, maka tidaklah
ada zakat kecuali dikeluarkan dari seorang muslim.



95
Zakat Fitri Adalah Kewajiban Atas Setiap Muslim.

Pertanyaan(49)
Apa hukum (membayar) zakat fitri? Apakah harus ada
padanya nisab? Dan apakah jenis-jenis yang dikeluarkan (dalam
zakat) itu tertentu? dan jika memang demikian maka apa saja itu?
dan apakah seorang berkewajiban (untuk mengeluarkan zakat)
juga dari keluargannya yang dalam sebuah rumah ada istri dan
pembantu?

Jawaban:
Zakat fitri hukumnya adalah wajib atas setiap muslim, baik
dari kalangan anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan,
orang merdeka ataupun budak, berdasar hadits yang diriwayatkan
dari `Umar radhiyallahu `anhuma, beliau berkata:

‫ل ال اع ُب < ِد‬
< ‫ اأ ُو اصا ًعا ِم ُن اش ِعي اع ا‬،‫الف ُط ِر اصا ًعا ِم ُن اتُر‬ ِ ‫ول الَِ ص َل الُ اع الي ِه وس َلم ازكاا اة‬
‫ُ ا ا ا‬ ‫ا‬ ُ ‫اف ار اض ار ُس‬
ِ <َ‫وج الن‬
‫<اس‬ ‫الص ِغ ِي اوالكابِ ِي ِم ان الُ ُس ِل ِم ا‬
ِ ‫ او اأ ام ار ِ ابا اأ ُن ت اُؤ َدى اق ُب ال ُخ< ُر‬،‫ي‬ َ ‫ او‬،‫الذك ِار اوالُ ُن اثى‬
َ ‫ او‬،‫ل ير‬
ُ ‫اوا‬
‫الصلاة‬َ ‫إِ ال‬

“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat


fitri sebesar satu sha` berupa kurma atau satu sha` dari gandum atas
budak, orang merdeka, laki dan perempuan, anak-anak dan yang
dewasa, dari kaum muslimin dan beliau memerintahkan untuk
ditunaikan sebelum keluarnya manusia menuju tempat shalat (shalat
`ied)”1

Tidaklah ada darinya nisab zakat, bahkan zakat itu merupakan


suatu kewajiban atas setiap muslim untuk mengeluarkannya dari
1
HR. Bukhari: 1503, dari Ibn `Umar -radhiyallahu `anhuma-.

96
dia sendiri dan dari keluargannya dari anak-anaknya, para istrinya,
dan para budaknya jika diberikan kelebihan dari makanan pokok
dia sendiri dan makanan pokok mereka pada sehari semalam di
waktu itu.

Adapun seorang pembantu yang dibayar, maka zakatnya


dikeluarkan dari dirinya sendiri kecuali kalau majikannya itu
bersedekah dengan menunaikan zakat itu atas pembantu yang
dibayar ataukah ada persyaratan atas majikan (untuk membayar
zakat), adapun pembantu yang berstatus budak, maka zakatnya
menjadi tanggung jawab majikannya, sebagaimana telah berlalu
dalam hadits.

Dan yang menjadi kewajiban, pengeluaran zakat itu berupa


makanan pokok dari negerinya, baik itu berupa kurma atau
gandum, atau jelai atau jagung atau selain dari itu menurut
pendapat yang paling benar di kalangan para ulama, dikarenakan
rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidaklah mempersyaratkan
dalam pembahasan itu dengan satu jenis tertentu, dan dikarenakan
zakat itu merupakan bentuk peringanan dari seorang muslim
kepada saudara muslim yang lainnya, dan tidaklah ada kewajiban
bagi setiap muslim untuk meringankan muslim yang lain, jika
tidak ada kemampuan padanya.



97
۞ Pembahasan Kedua: Kadar Sha` Nabi Dalam Timbangan
Hadits ۞

Pertanyaan(50)
Seberapakah kadar sha` dalam zakat fithri dengan ukuran
kilogram pada masa kita sekarang ini, dan apakah zakat fithri itu
gugur karena tidak adanya kemampuan untuk mengeluarkannya?

Jawaban:
Zakat fithri kadarnya jika ditakar dengan sha` kita sekarang
seukuran kurang lebih tiga kilogram, dikarenakan tiga kilogram
itu seukuran 5 ritl/pound dengan sha` nabi shallallahu `alaihi wa
sallam, yaitu seukuran dengan kedua telapak tangan penuh
berukuran sedang sebanyak empat kali, sebagaimana disebutkan
dalam kamus dan selainnya.

Maka apabila kedua telapak tangan itu penuh sebanyak empat


kali dan kedua tangan itu berukuran sedang, dan penuhnya kedua
tangan secara sempurna, inilah yang disebut dengan satu mud, dan
empat kalinya (ukuran mud) itulah yang disebut dengan ukuran
sha`.

Adapun ukuran kilogram adalah kurang lebih tiga kilogram


kurang sedikit, maka apabila seorang mengeluarkannya sebanyak
tiga kilogram, maka sungguh seorang telah bertindak hati-hati dan
telah mengeluarkanya berdasar ukuran sha`yang sempurna seperti
inilah kadar zakat fithri.

98
Hukum Mengeluarkan Zakat Fithri Dengan Selain Jenis-Jenis
Yang Telah Ada Penentuannya Pada Nash Alqur`an /As
Sunnah-.

Pertanyaan(51)
Apakah diperbolehkan menunaikan zakat dari biji-bijian
seperti biji padi, jagung, gandum, dan biji tanaman sejenis gandum
meskipun pada biji-biji tersebut ada sisa dari kulitnya?

Jawaban:
Yang demikian itu diperbolehkan, jika biji-bijian itu termasuk
makanan pokok suatu negeri menurut pendapat yang paling benar
dari para ulama, akan tetapi setelah bersih dari kulit, berdasar
firman Allah Subhaanahu Wa Ta`ala:

ِ ‫يا اأيا ا َل ِذين آمنُوا اأن ُِف ُقوا ِمن اطيب‬


‫ات اما ك ااس ُبت ُُم‬ ‫ُ يا‬ ‫ا ا‬ ‫ا َا‬

“Wahai orang-orang yang beriman infaqkanlah oleh kalian dari hal-


hal yang baik apa yang telah kalian usahakan”1.

Dan dikarenakan yang demikian lebih melepaskan tanggungan


dan lebih memberikan manfaat kepada orang miskin, kecuali
gandung, dikarenakan gandum tidak ada kewajiban untuk
membersihkan kulitnya, sebab dalam hal itu terdapat kesusahan
padannya.

Akan tetapi jika seorang mengeluarkannya dari biji padi dan


yang semisalnya dari biji-bijian, yang biji itu lebih baik
penjagaannya dalam kulitnya maka dengan seperti itupun, telah
sah bahwasanya dia telah menunaikan kewajiban dari biji yang
1
QS. Al Baqarah(2): 267.

99
bersih, sampai yang demikian itu tidaklah mengapa insyaallah,
dalam rangka perhatian terhadap kebaikan bagi yang memiliki dan
orang miskin itu sendiri.

Allah Ta`ala-lah yang memberikan taufiq.



100
۞ Pembahasan Ketiga: Hukum Bayar Zakat Fithri Secara
Tunai ۞

Pertanyaan(52)
Apa pendapat anda berkaitan zakat fithri secara tunai?

Jawaban:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, (pendapat)
yang dipegangi oleh kebanyakan ulama (jumhur) ahli ilmu, bahwa
zakat itu tidaklah dibayarkan dengan uang tunai, zakat itu hanya
dibayarkan dalam bentuk (bahan) makanan, dikarenakan nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya mengeluarkan
dalam bentuk (bahan) makanan, dan nabi shallallahu `alaihi wa
sallam kabarkan bahwa Allah Ta`ala telah mewajibkannya atas
kita dengan seukuran satu sha` ini atau satu sha` dari ini.

Sehingga tidaklah zakat itu dikeluarkan dalam bentuk uang


tunai, dikarenakan uang tunai itu berbeda-beda, dan biji-bijian
juga berbeda, di antaranya ada yang baik, cukupan dan selain dari
hal itu.

Maka (pembayaran) secara tunai di dalamnya ada mudarat dan


rasul shallallahu `alaihi wa sallam tidaklah melakukannya begitu
juga para sahabatnya, dan klaim sebagian manusia bahwasanya
dengan pembayaran secara tunai itu lebih disukai bagi orang-
orang miskin tidaklah benar, bahkan mengeluarkan (zakat) yang
sudah Allah wajibkan itulah yang dituntut, dan orang-orang fakir
adalah tempatnya penyerahan (zakat fithri).

Sehingga yang wajib atas mereka, memberikan apa yang telah


Allah wajibkan atas setiap manusia dari zakat fithri berupa
makanan, tidak dengan pembayaran uang tunai, meskipun ada

101
sebagian ulama yang berpendapat bolehnya mengeluarkan dengan
uang tunai, akan tetapi pendapat itu adalah pendapat yang lemah
lagi kliru.

Pendapat yang benar adalah dikeluarkan dalam bentuk (bahan)


makanan, tidak dalam bentuk pembayaran uang tunai seukuran
satu sha` dari setiap macamnya, berupa gandum, jelai, kurma,
keju, atau kismis, berdasar perkataan Abu Sa`id Al Khudry
radhiyallahu `anhu:

‫ اأ ُو اصا ًعا‬،‫ول الَِ اص َل الُ اع ال ُي ِه او اس َل ام اصا ًعا ِم ُن اط اعام‬


ُ ‫اان فِيناا ار ُس‬
‫ُخ ِر ُج اصدا اق اة ا ُل ِف ُط ِر إِ ُذ ك ا‬
ُ ‫ُكنَا ن‬
‫ اأ ُو اصا ًعا ِم ُن اأ ِقط‬،‫ اأ ُو اصا ًعا ِم ُن ازبِيب‬،‫ اأ ُو اصا ًعا ِم ُن اش ِعي‬،‫ِم ُن اتُر‬

“Kami dahulu di masa nabi shallallahu `alaihi wa sallam


menyerahkan zakat fithri seukuran satu sha` berupa makanan atau
satu sha` dari kurma atau satu sha` dari gandum, atau satu sha` dari
kismis atau satu sha` dari keju” 1

Disyariatkannya Membagikan Zakat Fithri di Tengah Orang-


Orang Fakir Yang Ada di Negerinya.

Pertanyaan(53)
Aku mengirimkan zakat fithri khusus untukku kepada
keluargaku di mesir agar mereka mengeluarkannya di negeri
(mesir), sedangkan aku tinggal di Saudi Arabia, maka apakah
perbuatan seperti ini benar?

Jawaban:
Tidaklah mengapa amalan seperti itu dan (amalan itu) sah
1
HR. Ahmad: 11932, dari Abu Sa`id Al Khudriy -radhiyallahu `anhu-.

102
insyaallah menurut pendapat yang paling benar di antara pendapat
para ulama, akan tetapi penunaian (zakat) di tempatmu, yang
engkau menetap di dalamnya lebih utama dan lebih berhati-hati,
dan jika engkau telah mengirimkannya kepada keluargamu, agar
mereka menyerahkannya kepada orang-orang fakir di negerimu,
maka tidaklah mengapa.



103
۞ Bagian Keempat: Allah Ta`ala Mensyariatkan Zakat Fithri
Sebagai Bentuk Pengurangan Beban Bagi Orang-Orang
Miskin dan Orang -Orang Yang Membutuhkannya ۞

Pertanyaan(54)
Apakah diperbolehkan memberikan zakat fithri kepada kepala
desa, meskipun dia itu termasuk orang yang banyak harta dan
bukan dalam keadaan fakir miskin? Berikanlah faidah kepada
kami semoga Alah Ta`ala memberikan kemanfaatan kepada anda.

Jawaban :
Zakat fithri yang Allah Ta`ala syari`atkan amalannya, sebagai
bentuk pengurangan beban bagi orang-orang yang fakir dan orang-
orang yang membutuhkannya dan pemberian makan bagi orang-
orang miskin.

Sehingga apabila kepala desa itu serba mudah keadaanya


(termasuk kaya), ada padanya harta yang dapat mencukupinya,
yang demikian tidaklah diperbolehkan zakat fithri itu diberikan
kepadanya dan tidak pula zakat-zakat yang lainya, akan tetapi jika
gajinya tidak dapat mencukupinya, dikarenakan banyaknya
(anggota) keluarga atau karena sebab yang lainnya, maka tidaklah
mengapa zakat fithri atau pun zakat-zakat yang lainnya diberikan
kepadanya.



104
Hukum Seorang Yang Lupa Mengeluarkan Zakat Fithri
Sebelum Shalat Ied.

Pertanyaan(55)
Aku telah mempersiapkan zakat fithri sebelum waktu `id
untuk diberikan kepada orang fakir yang aku kenali, akan tetapi
aku telah lupa mengeluarkannya, dan tidaklah aku mengingatnya
kecuali di waktu shalat `id, dan aku pun mengeluarkannya setelah
shalat `ied, maka bagaimanakah hukumnya?

Jawaban:
Tidaklah diragukan bahwa yang menjadi kewajiban adalah
mengeluarkan zakat fithri sebelum waktu shalat `ied sebagaimana
hal ini telah diperintahkan oleh nabi yang mulia shallallahu
`alaihi wa sallam.

Akan tetapi tidaklah mengapa bagimu pada amalan yang


sudah engkau kerjakan, sehingga mengeluarkannya (zakat) setelah
waktu shalat, tetap sah walhamdulillah, meskipun telah ada hadits
bahwasanya (zakat yang dikeluarkan setelah shalat `ied) itu adalah
salah satu sedekah dari sedekah-sedekah yang ada, akan tetapi hal
itu tidaklah mencegah keabsahan (zakat).

Dia juga telah berikan (zakat) pada tempatnya, dan kami pun
berharap agar amalan itu diterima dan teranggap sebagai zakat
yang sempurna, dikarenakan anda tidaklah mengakhirkan amalan
itu dengan kesengajaan, hanyalah pengakhirannya dikarenakan
lupa.

Sungguh Allah telah berfirman di dalam kitabnya yang agung:

‫اخ ُذناا إِ ُن ن ِاسيناا اأ ُو اأ ُخ اط ُأناا‬


ِ ‫ربناا لا ت اُؤ‬
َ‫ا‬

105
”Wahai Rabb kami, jangan Engkau siksa kami jika kami lupa atau
kami salah1”

Shahih dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau


telah bersabda:

‫ اقدُ اف اع ُل ُت‬:‫اق اال‬

“Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Sungguh (hal itu) telah Aku


lakukan”2.

Maka Allah kabulkan seruan hamba-Nya yang beriman agar


tidak disiksa karena sebab lupa dan salah (dengan sengaja) .



1
QS. Al Baqarah(2): 286.
2
HR. Muslim: 126, dari Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhuma-.

106
Untaian Fatwa Seputar Hukum-Hukum Shalat Ied
Yang Diambil dari Kitab Fatawa Nur `Ala ad-Darb Atau
dari Kumpulan Fatawa dan Tulisan Yang Beragam
Milik Imam Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Bazz
Rahimahullah Wa Ghafarallahu Lahu

۞ Bagian Pertama: Hukum Shalat Ied ۞

Pertanyaan (56)
Apakah boleh bagi seorang muslim tidak ikut menghadiri
shalat `ied tanpa udzur, dan bolehkah melarang wanita untuk tidak
menunaikannya bersama keumuman manusia -berjama`ah di
lapangan- ?

Jawaban:
Shalat `ied menurut pendapat mayoritas ulama hukumnya
adalah fardhu kifayah, dan bolehnya sebagian orang untuk tidak
menghadirinya, akan tetapi hadirnya untuk shalat `ied dan
berkumpulnya dengan saudara-saudaranya muslim hukumnya
sunnah yang ditekankan.

Tidak sepantasnya untuk meninggalkannya kecuali karena


alasan syar`i, sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa shalat `ied itu
hukumnya wajib `ain sebagaimana shalat jum`ah, maka tidaklah
diperbolehkan bagi siapa saja yang sudah berlaku beban syari`at
atasnya dari para lelaki yang merdeka dan tidak sedang dalam
keadaan safar (mukim) untuk tidak menghadiri shalat `ied,
pendapat inilah yang lebih tampak dalam dalil-dalil dan yang lebih
dekat kepada kebenaran.

Disunnahkan bagi para wanita untuk menghadirinya -shalat

107
`ied- dengan perhatian terhadap hijab dan penutupnya serta tidak
memakai wangi-wangian, berdasar riwayat yang shahih dalam dua
kitab shahih -Bukhari dan Muslim- dari Ummu Athiyyah -semoga
Allah Ta`ala meridainya- bahwasannya beliau berkata:

<<ِ ِ ُ ‫ اأ ُن ن‬،‫ول الِ اص َل الُ اع ال ُي ِه او اس َل ام‬


ُ ُ ‫ او‬،‫ ا ُل اع اوات اق‬،‫ُخ ِر اج ُه َن ِف ا ُلف ُط ِر او ُالا ُض احى‬
،‫اليَ<< اض‬ ُ ‫اأ ام ارناا ار ُس‬
‫ي‬‫ او اد ُع او اة الُ ُس ِل ِم ا‬،‫الا ُ اي‬ َ ‫ال َي ُض اف اي ُعت ِاز ُل ان‬
ُ ‫ او اي ُش اهدُ ان‬،‫الص الةا‬ ِ ُ‫الُد‬
ُ ُ ‫ اف اأ َما‬،‫ور‬ ُ ‫ات‬ِ ‫و اذو‬
‫ا ا‬

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami


keluar di dua hari raya, mengeluarkan semua wanita remaja,
wanita yang sedang haid dan para gadis agar mereka ikut
menyaksikan kebaikan pada hari itu dan perayaan kaum muslimin,
namun wanita-wanita haid hendaknya menjauhi tempat shalat”1

Di sebagian lafadznya: Salah seorang dari mereka berucap:

ِ ِ ِ
‫ُون الاا ِج ُل اب ب‬
ُ ‫ول الِ إِ ُحدا اناا ال ايك‬
‫ اق االح دل ُت ُلبِ ُس اها ُأ ُخت اُها م ُن ج ُل اب ِ ا‬،‫اب‬
‫ابا‬ ‫ايا ار ُس ا‬

Wahai rasulullah tidaklah salah seorang di antara kami


mendapati jilbab yang dia dapat kenakan ketika (ingin) keluar
pada hari itu, maka rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya”.

Tidaklah diragukan bahwa hal ini menunjukkan atas


ditekankannya keluarnya wanita untuk shalat dua hari raya agar
mereka menyaksikan kebaikan pada hari itu dan terkumpulnya
kaum muslimin.

1
HR.Muslim: 890

108
Shalat Ied Tidaklah Dikerjakan di Pedalaman (Yang Tidaklah
Mendiami Tempat Tersebut Melainkan Beberapa Orang Saja)
dan di Waktu Safar

Segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla Rabb semesta alam,


shalat `ied hanyalah ditunaikan di desa dan perkotaan, tidaklah
disyari`atkan pelaksanaannya di pedalaman dan ketika seorang
melakukan safar, demikian inilah yang terdapat dalam sunnah nabi
shallallahu `alaihi wa sallam, dan tidaklah ternukil dari nabi
shallallahu `alaihi wa sallam tidak juga dari para shahabatnya
bahwasannya mereka melaksanakan shalat `ied di waktu safar dan
tidak pula ketika baru saja selesai dari safar.

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika menunaikan haji


wada` beliau tidak menunaikan shalat jum`at di `Arafah padahal di
waktu itu (bertepatan dengan) hari jum`at, beliau juga tidak
melaksanakan shalat `ied di Mina, dalam keteladanan rasul
shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya -semoga Allah
Ta`ala meridhai mereka- terdapat semua jenis kebaikan dan
kebahagiaan dan Allah Azza Wa Jalla-lah yang memberikan taufiq.



109
۞Bagian Kedua: Hukum Pensyaratan Jumlah (Jama`ah) Ketika Shalat
Dua Hari Raya ۞

Pertanyaan (57)
Apakah dipersyaratkan untuk shalat `ied jumlah tertentu
sebagaimana shalat jum`at contohnya? bagaimanakah hukumnya
seandainya hari `ied jatuh pada hari jum`at sehubungan dengan
adanya shalat jum`at? Aku telah mendengar bahwa di waktu `ied
tidak ada (kewajiban) jum`at bagi para makmum yang
(keadaanya) -justru- berkebalikan dengan seorang imam, maka
bagaimana diwajibkan atas seorang imam dan bagaimana
penunaian shalat jum`atnya jika dia bersendirian?

Jawaban:
Shalat `ied dan shalat jum`at termasuk syi`ar-syi`ar yang
agung bagi umat islam, maka shalat jum`at adalah hari raya
pekanan (umat islam), adapun shalat hari raya baik `idhul adhaa
dan `idhul fithri merupakan hari raya tahunan, shalat di keduanya
berhukum wajib, shalat jum`at hukumnya fardhu `ain, sementara
shalat `ied hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat mayoritas,
adapun pendapat sebagian ulama hukumnya fardhu `ain
sebagaimana shalat jum`at.

Para ulama berselisih pendapat dalam (hal) penentuan jumlah,


apakah keduanya dipersyaratkan (jumlah tertentu)?

Pendapat yang paling benar dalam pembahasan itu, bahwa


jumlah paling sedikit adalah tiga puluh ataukah lebih, adapun
pensyaratan (jumlah minimalnya) empat puluh maka tidaklah ada
dalil yang jelas yang dapat dijadikan sandaran atasnya, dan di
antara syaratnya adalah seorang dalam keadaan mukim, berada di
dalam negerinya, adapun orang yang sedang melakukan
perjalanan, orang yang baru saja tiba dari bepergian dan para
110
musafir maka tidaklah ada kewajiban shalat jum`at dan tidak pula
shalat `ied atas mereka, oleh sebab itu ketika nabi shallallahu
`alaihi wa sallam menunaikan haji wada` yang hari tersebut
bertepatan dengan hari jum`at beliau tidak melaksanakan shalat
jum`at dan beliau juga tidak menunaikan shalat `ied ketika `idhul
fithri, maka hal itu menunjukkan bahwasannya para musafir
tidaklah ada kewajiban ibadah shalat `ied dan tidak juga shalat
jum`at bagi mereka, dan demikian ini juga berlaku bagi penghuni
padang sahara, tidaklah ada kewajiban `ied dan tidak juga shalat
jum`at.

Hari `ied yang bertepatan dengan hari jum`at, boleh bagi


seorang yang sudah menghadiri shalat `ied untuk tidak
menunaikan shalat jum`at akan tetapi (tetap berkewajiban) untuk
menunaikan shalat dzuhur, berdasar riwayat yang shahih dari nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dalam masalah ini.

Shahih juga riwayat dari nabi shallallahu `alahi wasallam


bahwa beliau memberikan keringanan dalam shalat jum`at bagi
siapa saja yang sudah menghadiri shalat `ied, dan terkumpullah
pada hari mereka itu dua hari raya, maka bagi siapa yang yang
telah menyaksikan (menunaikan) shalat `ied maka tidaklah ada
(kewajiban) untuk menunaikan shalat jum`at, atau yang semisal
ini maknanya.

Yang dimaksud bahwasanya telah shahih dari nabi shallallahu


`alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya keringanan bagi
siapa saja yang menyaksikan (menunaikan) shalat `ied untuk tidak
melaksanakan shalat jum`at, akan tetapi seseorang tidak boleh
meninggalkan shalat dzuhur, bahkan wajib atasnya untuk
menunaikan shalat dzuhur, dikarenakan Allah Ta`ala telah
mewajibkan atas seorang untuk menunaikan shalat lima waktu
dalam sehari semalam.

111
Maka jika seorang tidak menunaikan shalat jum`at, wajib
baginya untuk shalat dzuhur, dan tidaklah ada di sisi kita satu hari
yang tidaklah ada suatu kewajiban (yang harus dikerjakan) di
dalamnya melainkan empat waktu saja, bahkan wajib atas kita
untuk menunaikan shalat lima waktu selain shalat `ied.

Shalat `ied adalah shalat yang keenam, maka apabila hari `ied
bertepatan dengan hari jum`at maka wajib atas seorang untuk
menunaikan shalat dzuhur jika tidak melaksankan shalat jum`at,
adapun seorang imam maka dia tegakkan shalat bersama orang
yang menghadirinya.

Hukum Bagi Orang Yang Menjumpai Shalat Ied,


Sedangkan Dia Dalam Keadaan Jauh dari Kampung

Pertanyaan (58)
Jika seorang berada di gurun pasir dan telah tiba waktu shalat
`ied, apakah seorang menunaikan shalat di waktu itu atau
bagaimana nasihat anda kepadanya?

Jawaban:
Shalat `ied itu tidaklah disyari`atkan bagi para musafir, dan
tidak pula bagi penghuni padang pasir (orang pedalaman), shalat
`ied itu bagi orang yang mukim di desa dan perkotaan
sebagaimana shalat jum`at, adapun orang yang sedang melakukan
perjalanan dan seorang yang menetap di gurun pasir tidaklah
disyari`atkan bagi mereka untuk menunaikan shalat `ied dan juga
kewajiban menunaikan shalat jum`at.



112
۞ Bagian Ketiga: Hukum Menunaikan Shalat Dua Hari Raya di Dalam
Masjid Karena Sebab Hujan ۞

Pertanyaan (59)
Di saat shalat dua hari raya, kami keluar menuju lapangan baik
para laki dan juga perempuannya, akan tetapi di saat hujan kami
shalat di dalam masjid, di karenakan lapangan (tempat
diselenggarakannya shalat ied) keadaanya terbuka, sementara
masjid yang kami shalat di dalamnya ukuranya kecil, tidaklah
mencukupi bagi orang yang shalat (di dalamnya), maka kami pun
menyelenggarakan shalat beberapa kali dengan satu kelompok
jama`ah kemudian (disusul) jama`ah berikutnya, dan di akhir
jama`ah sang imam berdiri untuk menyampaikan khutbah `ied,
maka tata cara shalat yang seperti ini apakah sah atau tidak?

Jawaban:
Tidaklah mengapa shalat itu ditunaikan di masjid, akan tetapi
jika mudah untuk ditunaikan di lapangan, maka itulah yang lebih
utama (dengan catatan) jika disana tidak ada penghalang,
termasuk di antaranya; Hujan, karena shalat yang ditunaikan di
lapangan itu (hukumnya) sunnah.

Shalat `ied dan shalat meminta hujan (sunnahnya secara asal


dikerjakan di lapangan), apabila ada penghalang berupa hujan
yang menghalanginya maka shalatlah kalian di masjid-masjid, dan
yang demikian itu tidaklah mengapa, bahkan seandainya tidak ada
penghalang, tidaklah mengapa shalat di dalam masjid, akan tetapi
yang lebih utama shalat `ied dan shalat istisqa`(meminta hujan)
dikerjakan di lapangan, dan jika di sana ada penghalang maka
tidaklah mengapa shalat itu dikerjakan di masjid-masjid.

Termasuk sunnah shalat dikerjakan sekali (jama`ah) seorang

113
imam shalat bersama keumuman manusia dalam satu kali jama`ah,
dan menyampaikan khutbah kepada jama`ah, dan bagi siapa saja
yang terluput dari shalat itu hendaknya seorang mengerjakannya
di rumah, atau di masjid setelah jama`ah shalat `ied selesai dua
raka`at, walhamdulillah, dan hal yang semisal itu sudah
mencukupi.

Seorang imam tidaklah butuh untuk mengulangi shalat


bersama jama`ah, bahkan dia (imam) shalat bersama jama`ah dan
dia sampaikan khutbah untuk mereka, kemudian setelah itu jika
mereka sudah keluar maka bagi siapa saja yang baru datang
hendaknya shalat secara sendiri-sendiri, walhamdulillah, atau dia
kerjakan shalat di rumahnya jika seorang tidak mendapati jama`ah
shalat `ied.

Suatu hal yang memungkinkan bagi mereka untuk mencari


suatu masjid yang lebih lapang sehingga mereka pun dapat
melaksanakan shalat secara jama`ah meskipun masjid itu tidak
berdekatan dengan mereka, meskipun masjid itu letaknya jauh
sehingga mereka dapat melaksanakan secara berjama`ah.

Adapun mereka menunaikan shalat dengan sekelompok


jama`ah kemudian (disusul) dengan jama`ah berikutnya maka
dengan tata cara yang seperti ini tidaklah kami mengetahui ada
asalnya, tidak di shalat jum`at dan juga shalat `ied, bahkan seorang
shalat bersama seorang imam (dengan satu jama`ah) baik di shalat
jum`at dan shalat hari raya.

Bagi siapa saja yang terluputkan (dari jama`ah) hendaknya


shalat secara sendirian, di waktu jum`at seorang menggantinya
dengan shalat dzuhur, dan di shalat `ied seorang mengerjakannya
sebanyak dua raka`at, walhamdulillah sebagaimana seorang shalat
bersama imam, hal yang seperti ini mencukupi, walhamdulillah.

114
۞ Bagian Keempat: Apa Saja Yang Disyari`atkan Bagi Yang Hadir di
Mushalla Ied ۞

Pertanyaan (60)
Saudara yang menyebutkan secara ringkas dari namanya a.a.a
dari Riyadh, beliau mengatakan dalam pertanyaannya: Aku
memperhatikan bahwasannya sebagian menusia ketika datang
untuk menunaikan shalat `ied (terlebih dahulu) dia shalat dua
raka`at, sebagiannya tidak mengerjakan shalat, sebagiannya
membaca alqur`an sebelum menunaikan shalat `ied, dan sebagian
mereka menyibukkan dengan takbir:

‫ ال أكب ول المد‬، ‫ ل إله إل ال‬، ‫ ال أكب‬، ‫) ال أكب‬

“Allahu akbar, Allahu akbar laa ilaaha illallah, allahu akbar walillahi
alhamdu”

Aku berharap dari anda, yang mulia penjelasan hukum syar`i


di dalam masalah-masalah ini, dan apakah di sana ada perbedaan
antara shalat di dalam masjid dan di lapangan (mushalla `ied) ?

Jawaban:
Sunnah bagi siapa saja yang menghadiri shalat `ied untuk
melaksanakan shalat `ied (secara berjama`ah), atau untuk
menunaikan shalat istisqa`(meminta hujan) untuk dia langsung
duduk saja dengan tidak melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, di
karenakan dalam masalah itu tidaklah ternukil dari nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dan tidak juga dari para shahabatnya
-semoga Allah Ta`ala meridhai mereka -pada apa yang kami telah
ketahui, kecuali jika shalat itu dikerjakan di masjid maka wajib
bagi dia untuk melaksanakan shalat tahiyyatul masjid (terlebih
dahulu), berdasar keumuman sabda nabi shallallahu `alaihi wa

115
sallam:

ِ ُ ‫ي ِل ُس احتَى ُي اص يل ار ُك اعت‬
‫اي‬ ‫ اف ا‬، ‫إِ اذا اد اخ ال اأ احدُ ك ُُم الا ُس ِجدا‬
ُ‫ل ا‬
‫ا‬

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah


dia duduk sampai dia tunaikan shalat dua raka`at terlebih dahulu”1.
Disepakati akan keshahihan hadits ini.

Hal yang disyari`atkan bagi seorang yang duduk menunggu


shalat `ied untuk memperbanyak tahlil dan takbir, di karenakan hal
itu merupakan syiar/kebesaran pada hari itu, dan itu sunnah untuk
semua (keadaan) baik yang mengerjakan `ied di masjid atau yang
di luar masjid sampai khutbah selesai dan bagi siapa yang
menyibukkan degan bacaan alqur`an maka tidaklah mengapa.

Allah Azza Wa Jalla-lah yang memberikan taufiq.



1
HR.Bukhari 1171, Muslim: 714, Lafadz Bukhari

116
۞ Bagian Kelima: Penjelasan dan Uraian Seputar Hukum Takbir
Secara Berjamaah Sebelum Pelaksanaan Shalat `ied ۞

Segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla Rabb semesta alam,


shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita
muhammad shallallahu `alaihi wasalllam, kepada keluarganya dan
para shahabatnya seluruhnya.

Adapun setelah itu:


Aku telah memeriksa atas apa yang telah disebarkan oleh
saudara yang mulia syaikh Ahmad bin Muhammad Jamal -semoga
Allah Ta`ala memberikan taufiq kepadanya dalam perkara yang
Allah Azza Wa Jalla ridhai-, pada sebagian surat kabar lokal
perihal rasa ganjil dari terlarangnya bertakbir secara jama`ah di
masjid-masjid sebelum shalat `ied dengan pertimbangan amalan
itu sebagai bid`ah yang wajib untuk melarangnya.

Syaikh Ahmad dalam ucapannya yang disebutkan, ia berupaya


untuk menentang bahwa takbir secara berjama`ah bukanlah
amalan bid`ah dan berkaitan amalan (takbir secara berjama`ah)
tidak diperbolehkan bagi (seorang) untuk melarangnya. Kemudian
dia kuatkan pendapatnya dengan sebagian kitab-kitab.

Karena dikhawatirkan perkaranya itu menjadi kabur atas orang


yang tidak mengetahui hakikatnya, kami dengan senang hati ingin
menjelaskan (hakikat sebenarnya) bahwa asal dari (amalan) takbir
di malam `ied, sebelum shalat `ied pada `iedul fithri di bulan
Ramadhan, dan di tanggal sepuluh Zulhijah, dan begitu juga pada
hari-hari Tasyrik, disyari`atkan (untuk memperbanyak takbir) pada
waktu-waktu yang agung tersebut dan juga dalam waktu-waktu
itu, terdapat keutamaan yang teramat banyak, berdasar firman
Allah Ta`ala berkaitan dengan takbir di `iedul fithri:

117
‫ابوا الَا اع ال اما اهدا اك ُُم او ال اع َلك ُُم ت ُاشك ُُر ا‬ ِ ِ ِ ِ
(185) ‫ون‬ ُ ‫اول ُتكُم ُلوا ا ُلعدَ اة اول ُتك ي‬

“Hendaklah kalian menyempurnakan bilangan (puasa) selama satu


bulan, kalian tutup amalan puasa itu dengan bertakbir kepada Allah
Azza Wa Jalla di waktu `iedul fithri dan hendaknya kalian
mengagungkan-Nya atas apa yang Allah Ta`ala berikan petunjuk
kepada kalian dan mudah-mudahan kalian bersyukur (atas segala
kenikmatan yang dikaruniakan atas kalian berupa hidayah, taufiq
dan kemudahan)”1

Firman Allah Ta`ala berkaitan sepuluh hari Zulhijah dan hari-


hari Tasyrik:

‫يم ِة ُالا ُن اعام‬ ِ


‫اس ام الَِ ِف اأ َيام ام ُع ُلو امات اع ال اما ار از اق ُه ُم م ُن ابِ ا‬
ِ ِ
ُ ‫ل اي ُش اه ُدوا امنااف اع ال ُ ُم او اي ُذك ُُروا‬

“Dan supaya mereka menyaksikan manfaat untuk mereka dan


supaya mereka berdzikir kepada Allah di hari-hari yang telah
ditentukan atas apa yang Allah Ta`ala rezekikan untuk mereka berupa
hewan-hewan ternak” hingga akhir ayat2,

Juga berdasar firman Allah Ta`ala:

‫اوا ُذك ُُروا الَا ِف اأ َيام ام ُعدُ و ادات‬

“Hendaklah kalian mengingat Allah Ta`ala di hari-hari yang


berbilang”3 hingga akhir ayat.

Di antara rangkaian dzikir yang disyari`atkan di hari-hari yang


telah diketahui dan yang berbilang adalah takbir muthlaq dan
takbir yang terikat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah
yang suci dan amalan salaf, adapun sifat takbir yang disyari`atkan:
1
QS.Al Baqarah (2): 185.
2
QS.Al Hajj (22): 28.
3
QS. Al Baqarah (2): 203.

118
bahwasanya setiap muslim bertakbir secara bersendiri dan dengan
mengeraskan suaranya hingga orang-orang pun mendengarnya
kemudian mereka pun meneladaninya dan dengan takbir itu
(seorang) mengingatkan mereka .

Adapun takbir secara berjama`ah dari pelaku bid`ah adalah


mereka mengeraskan suaranya (dua orang atau pun lebih) dengan
bertakbir bersama-sama, mereka mulai dan mengakhiri takbir itu
secara berbarengan juga dengan satu suara dan sifat takbir yang
khusus. Amalan seperti ini tidaklah ada asalnya dan tidaklah ada
dalilnya, amalan itu termasuk amalan bid`ah dalam sifat takbir,
tidaklah Allah Ta`ala menurunkan bukti-bukti tentangnya, maka
barangsiapa yang mengingkari takbir semacam ini dialah yang
berada di atas kebenaran dan hal itu berdasar sabda nabi
shallallahu `alaihi wa sallam:

‫ام ُن اع ِم ال اع ام ًل ال ُي اس اع ال ُي ِه اأ ُم ُرناا اف ُه او ار ٌد‬

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang amalan itu


bukanlah dari urusan kami maka amalan itu tertolak”1

Artinya amalan itu tertolak tidaklah amalan itu disyari`atkan.


Sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

‫ وكل بدعة ضللة‬، ‫ فإن كل مدثة بدعة‬، ‫وإياكم ومدثات المور‬

“Hendaknya kalian waspada dari perkara-perkara baru, karena


sesungguhnya setiap perkara baru itu bid`ah dan setiap kebid`ahan
itu sesat''

Amalan takbir secara berjama`ah itu amalan baru maka


amalan tersebut (termasuk amalan) bid`ah. Jika amalan seseorang
1
HR.Bukhari: 2141, Muslim: 1718

119
itu menyelisihi syari`at yang suci, wajib untuk dicegah dan
diingkari, dikarenakan ibadah itu sifatnya tauqifiyyah tidaklah
dalam suatu ibadah itu disyari`atkan melainkan ada dalilnya dari
Al Qur`an dan hadits.

Adapun ucapan manusia dan pendapat-pendapat mereka, maka


bukanlah hujjah pada amalan itu bilamana menyelisihi dalil-dalil
syar`i, demikian halnya mashalih mursalah tidaklah peribadahan
itu ditetapkan dengannya, dan hanya saja ibadah itu ditetapkan
dengan nash dari alqur`an atau sunnah atau kesepakatan yang
pasti.

Dan (suatu hal) yang telah disyari`atkan adalah seorang


muslim bertakbir sesuai sifat syar`i yang bersumberkan dalil-dalil
syar`i yaitu dengan bertakbir bersendiri.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim mufti negeri Saudi Arabia


telah mengingkari takbir secara berjama`ah dan melarang amalan
tersebut -semoga Allah Ta`ala merahmatinya- dan beliau telah
mengeluarkan fatwa perihal ini, dan telah keluar dari saya perihal
laranganya di banyak fatwa, dan keluar juga fatwa lajnah daimah
lilbuhuuts ilmiyyah walifta akan terlarangnya (takbir berjama`ah).

Fadhilatus syaikh Hamud bin Abdillah At Tuwaijirii semoga


Allah Ta`ala merahmatinya telah menulis suatu risalah yang bagus
dalam pengingkaran dan pelarangannya dari amalan jama`ah ini,
risalah itu telah dicetak dan beredar, dalam risalah tersebut
disertakan dalil-dalil yang mencukupi dan pasti atas terlarangnya
takbir secara berjama`ah (segala puji bagi Allah Ta`ala)

Adapun saudara Ahmad yang berhujjah atas amalan jama`ah


dengan perbuatan Umar (semoga Allah Ta`ala meridhainya) dan
keumuman orang ketika di Mina maka tidaklah ada hujjah di
dalamnya, dikarenakan amalan Umar dan keumuman manusia
120
ketika di Mina bukanlah termasuk takbir jama`ah, hanya saja
amalan di waktu itu termasuk dari takbir yang disyari`atkan,
dikarenakan beliau (semoga Allah Ta`ala meridhainya)
mengeraskan suaranya dengan takbir dalam rangka mengamalkan
sunnah dan sebagai pengingat kepada keumuman orang dengan
takbir itu, maka mereka pun ikut bertakbir, semuanya bertakbir
sesuai keadaan masing-masing.

Dalam takbir itu tidak ada kesesuaian di antara mereka (orang-


orang) dan Umar semoga Allah Ta`ala meridhainya agar mereka
bertakbir dengan satu suara dari awal hingga selesainya,
sebagaimana yang dilakukan para pelaku takbir jama`ah sekarang.

Demikianlah, semua yang diriwayatkan dari salafush shalih


-semoga Allah Ta`ala merahmati mereka- dalam pembahasan
takbir semuanya berdasar jalan syar`i, siapa saja yang
beranggapan adanya perbedaan dalam masalah itu maka wajib
baginya untuk mendatangkan dalil, demikian juga seruan untuk
shalat `ied atau shalat tarawih atau shalat malam atau shalat witir
semuanya bid`ah tidaklah ada asalnya.

Telah ada dalam hadits-hadits yang shahih dari nabi


shallallahu `alaihi wa sallam bahwasannya dahulu ketika
menegakkan shalat `ied tidaklah disertai dengan adzan dan tidak
pula iqamat (sebelumnya), dan tidak ada seorang dari kalangan
ahli ilmu dari yang kami ketahui yang mengatakan dalam masalah
itu bahwasanya di sana ada seruan dengan lafadz -lafadz yang
lain, dan wajib bagi yang menganggap hal itu ada, maka harus
menghadirkan dalil.

Secara asalnya tidaklah ada, maka tidaklah diperbolehkan


seorang membuat syariat dalam peribadahan (baik) ucapan
ataupun perbuatan kecuali disertai dengan dalil dari kitab yang
mulia atau dari sunnah yang shahih atau dengan kesepakatan ahli
121
ilmu (sebagaimana yang telah lalu) berdasarkan keumuman dalil-
dalil syari`at yang melarang dari perbuatan bid`ah dan agar
berwaspada darinya, dan di antara (dalilnya) firman Allah Ta`ala:

َُ‫ين اما ال ُ اي ُأ اذ ُن بِ ِه ال‬ ‫ش ُعوا ال ُ ُم ِم ان ي‬


ِ ‫الد‬ ‫اأ ُم ال ُ ُم ُ ا‬
‫شكاا ُء ا ا‬

“Apakah bagi mereka ada sekutu-sekutu yang mereka membuat


syari`at agama untuk mereka (sesuatu) syari`at yang Allah Azza Wa
Jalla tidak mengizinkannya”1

Di antaranya juga dua hadits yang telah berlalu di awal


pembicaraan ini, dan di antaranya juga sabda nabi shallallahu
`alaihi wa sallam:

‫ اف ُه او ار ٌد‬،‫ث ِف اأ ُم ِرناا اه اذا اما ال ُي اس فِ ِيه‬


‫ام ُن اأ ُحدا ا‬

“Barangsiapa yang mengadakan perbuatan baru di dalam


urusan kami ini apa yang tidak ada sandaran darinya maka amalan
itu tertolak”2 Disepakati keshahihannya.

Sabda rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam khutbah


jum`at:

،‫ وش المور م<<دثاتا‬،‫ وخي الدى هدى ممد‬،‫ فإن خي الديث كتاب ال‬،‫أما بعد‬
‫وكل بدعة ضللة‬

“Adapun setelah itu, Sungguh sebaik-baik petunjuk adalah


petunjuk nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dan sejelek-jelek
perkara adalah perkara yang baru (bid`ah) dan setiap kebid`ahan
1
QS.Asy-Syura (42): 21
2
HR.Bukhari: 2697, Muslim: 1718

122
itu sesat” Dikeluarkan oleh imam Muslim1 dalam kitab shahihnya,
hadits-hadits dan atsar yang semakna dengan ini banyak.

Allah Ta`ala-lah yang diminta agar memberikan taufiq kepada


kita, kepada syaikh Ahmad yang mulia dan semua saudara-saudara
kita untuk memahami agamanya, kokoh di atasnya, Allah jadikan
kita semua termasuk di antara penyeru kepada hidayah dan para
penolong kebenaran, melindungi kami dan semua kaum muslimin
dari semua amalan yang menyelisihi syari`atnya, sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi


kita Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam kepada
keluarganya dan para shahabatnya.

Pemimpin umum dalam lingkup bahasan ilmiah, fatwa, da`wah dan


bimbingan

Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz.


Kumpulan fatwa-fatwa dan tulisan yang beragam
jilid ke 13 halaman 20-24

1
HR.Muslim: 867

123
۞ Bagian Keenam: Hukum Takbir (Secara) Jama`ah Pada Hari `Ied
dan Bentuk Lafadznya ۞

Pertanyaan (61)
Penanya dari negeri Yaman berkata: Bagaimanakah bentuk
lafadz takbir pada dua hari ied, dan apakah boleh bertakbir
(secara) berjama`ah dengan satu suara?

Jawab:
Takbir (lafadznya) adalah: Allahu akbar, Allahu akbar, laa
ilaaha illallah, Allahu akbar, walilllahil hamd, atau dengan
melafadzkan takbirnya sebanyak tiga kali: Allahu akbar, Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah, Allahu akbar, Allahu akbar,
Allahu akbar walillahil hamd, begitu juga (dapat dengan lafadz):
Allahu akbar kabiiraa, walhamdulillahi katsiiraa, wa subhaanallahi
bukratan wa ashiilaa.

Semuannya ini disyari`atkan di hari `iedul fithri setelah


terbenamnya matahari (selesainya bulan Ramadhan) hingga
khutbah `ied selesai, adapun di hari `iedul adha dimulai dari
semenjak masuknya bulan Zulhijah hingga berakhirnya hari
Tasyrik, tiga belas hari dari semenjak awal bulan Zulhijah hingga
terbenamnya matahari pada hari yang ketiga belas, semua waktu
tersebutlah takbir (itu) disyariatkan.

Akan tetapi pada hari-hari Tasyrik, hari `Arafah dan di dua


Hari Raya ada padanya takbir muqayyad dan takbir muthlak di
tiap selesainya shalat wajib yang lima, takbir muthlak pada semua
waktu di hari `Arafah, hari qurban, tiga hari Tasyrik, pada hari
tersebut berkumpul takbir muqayyad dan takbir muthlak, adapun
di waktu sebelum `Arafah berlaku takbir mutlaq baik ketika siang
hari dan malamnya, hal seperti ini adalah sunnah.

124
Adapun takbir secara berjama`ah, maka perbuatan seperti itu
tidaklah disyari`atkan, (melainkan) masuk kepada perbuatan
bid`ah, tatacara mereka yang melafadzkan (takbir) dengan satu
suara termasuk perbuatan bid`ah yang sama sekali tidaklah
disyari`atkan.

Tata Cara Pengucapan Takbir Pada Shalat `Ied

Pertanyaan (62)
Saudara berinisial ls dari negeri Yaman bertanya: Kapan takbir
terus menerus dilakukan di waktu dua ied, dan berapa jumlah
takbir yang dilafadzkan di setiap raka`at selain takbiratul ihram
pada raka`at yang pertama, dan takbir (setelah) perpindahan dari
gerakan sujud hingga bangkitnya seseorang pada raka`at yang
kedua?

Jawaban:
Takbir di waktu dua ied disunnahkan bagi para lelaki dan
wanita sebelum terbitnya matahari di malam `iedul fithri hingga
khutbah shalat `ied selesai, takbir disunahkan di rumah, pasar-
pasar dan pertengahan khutbah (`ied), berdasar firman Allah Azza
Wa Jalla:

‫ابوا الَا اع ال اما اهدا اك ُُم‬ ِ


ُ ‫اول ُتك ي‬

“Dan bertakbirlah kalian kepada Allah atas hidayah yang


dianugerahkan kepada kalian”1

Adapun ketika shalat, maka bertakbirlah di raka`at yang


pertama dengan enam kali takbir setelah takbiratul ihram, dan
pada raka`at yang kedua dengan lima kali takbir setelah takbir
1
QS.Al Baqarah (2): 185.

125
perpindahan (dari sujud menuju berdirinya seorang pada raka`at
yang kedua), seorang bertakbir pada raka`at yang pertama diawali
dengan takbiratul ihram kemudian bersambung dengannya enam
kali takbir secara berurutan, dan jika seorang ingin mengucapkan
di antara kedua takbir dalam shalat dengan kalimat Allahu akbar
kabiira, walhamdulillahi katsiira, wa subhaanallaha bukratan wa
ashiila, maka yang demikian itu baik juga, sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits ibn Mas`ud (semoga Allah Ta`ala
meridhainya).

Pada raka`at yang kedua setelah takbir perpindahan adalah


dengan lima kali takbir, jika bangkit dari sujud kemudian berdiri
tegak, maka seorang bertakbir sebanyak lima kali, yang
(dilakukan) dengan satu takbir kemudian disusul dengan takbir
berikutnya, dan di antara takbir itu seorang melafadzkan dengan
ucapan Allahu akbar kabiira hingga akhir (sebagaimana di awal).



126
۞ Bagian ketujuh: Hukum Mengangkat Kedua Tangan di Semua
Gerakan Takbir Pada Shalat Ied ۞

Pertanyaan (63)
Seorang penanya dari negeri Yaman berkata: Imam di masjid
kami tidaklah mengambil qiyas (bermakna beliau tidak
mengambil pendapat ulama) hanya saja beliau mengambil apa
yang nampak dari hadits rasul shallallahu `alaihi wa sallam
semisal berkenaan dengan mengangkat kedua tangan ketika takbir
di shalat `ied, dan beliaupun mengatakan:
Tidaklah ada hadits dari rasul shallallahu `alaihi wa sallam
yang menyebutkan bahwa beliau mengangkat tangannya ketika
takbir, hanyalah para ulama beristimbat (menjadikannya dalil)
akan hal itu dan mereka mengambil qiyas dengan semisal
mengangkat kedua tangan di saat takbiratul ihram pada shalat-
shalat yang lainya, apa pendapat anda berkenaan dengan ucapan
semisal ini?
Dan apakah diperbolehkan kita mengambil pendapat ulama
ataukah dengan apa yang nampak saja dari hadits? Semoga anda
diberikan pahala .

Jawaban:
Telah shahih dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam
bahwasannya beliau dahulu bertakbir sebanyak empat kali ketika
menyolatkan jenazah:
Sunnah dalam masalah ini seorang bertakbir sebanyak empat
kali takbir, di takbir yang pertama dengan membaca surat
alfatihah, takbir yang kedua dengan melafadzkan shalawat kepada
nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagaimana seorang
bershalawat ketika shalat, takbir yang ketiga seorang mendoakan
untuk mayit;

127
‫ ال َل ُه< َم‬،‫ او اذك ِار ان< ا او ُأ ُن اثا ان< ا‬،‫ او اص ِغ ِي انا اوكابِ ِي انا‬،‫اه ِد انا او اغ ِائبِناا‬ ِ ‫ و اش‬،‫ال َلهم ا ُغ ِفر ِليناا وميتِناا‬
‫ُ َ ُ اي ا ا ي ا‬
‫ال ايم ِن‬ ِ ُ ‫ او ام ُن ات او َف ُي ات ُه ِمنَا اف ات او َف ُه اع ال‬،‫ال ُس ال ِم‬
ِ ُ ‫ام ُن اأ ُح اي ُي ات ُه ِمنَا اف اأ ُح ِي ِه اع ال‬

“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa


ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa
untsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal
Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan 1.

“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami


dan orang yang sudah meninggal, orang yang sekarang ada (hadir)
dan orang yang tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang
besar, laki-laki dan wanita kami. Ya Allah siapa yang engkau
hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam dan
siapa yang engkau wafatkan di antara kami maka wafat-kanlah dia
di atas iman.

ِ < ‫ وا ُغ ِس< ُله بِالُا‬،‫ ووسع م ُد اخ اله‬،‫ و اأك ُِرم ُنز اله‬،‫ف عنُه‬
‫اء‬ ُ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫و‬ ِ ِ‫ و اعاف‬،‫حه‬
‫ه‬ ‫ار‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ا‬
‫ل‬ ‫ر‬ ‫ف‬ِ ‫ال َلهم ا ُغ‬
ُ ‫ُ ا‬ ُ
ُ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ُ ُ ُ ‫ا‬ ُ ‫ا‬ ُ ‫ا‬ ‫ا‬ ُ ُ ‫ا‬ ُ ‫ا‬ ُ ُ َ ُ
‫ او اأ ُب< ِد ُل ُه اد ًارا‬،‫س‬ َ <‫الا اطا ايا ك اام ان َق ُي ات ال َث ُو اب ُالا ُب اي < اض ِم< ان ال‬
ِ ‫<د ان‬ ُ ‫ او ان يق ِه ِم ان‬،‫ب ِد‬ ‫اوال َث ُل ِج اوا ُل ا ا‬
‫النَ اة او ان يج ِه ِم ان‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
‫ او اأ ُدخ ُل ُه ُ ا‬،‫ او از ُو ًجا اخ ُ ًيا م ُن از ُوجه‬،‫ او اأ ُه ًل اخ ُ ًيا م ُن اأ ُهله‬،‫اخ ُ ًيا م ُن اد ِاره‬
ِ

ِ ‫الن َِار < اأ ُو اق اال <ح او اأ ِع ُذ ُه ِم ُن اع اذ‬


‫اب ا ُل اق ُب‬

“Allaahumma-ghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa


akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkholahu. Waghsilhu bil maa-i
wats tsalji wal barodi. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal
khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa
abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min
zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’izh-hu min ‘adzaabil qabri
wa min ‘adzaabin naari.”

“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Lindungilah dia dari


1
HR.Ibnu Majah: 1498, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah.

128
perkara yang tidak baik dan maafkanlah dia, muliakanlah tempat
tinggalnya, luaskan/ lapangkanlah tempat masuknya. Basuhlah ia
(dari dosa) dengan air, salju dan es. Sucikanlah dia dari kesalahan-
kesalahannya sebagaimana engkau mensucikan pakaian putih dari
noda. Gantikanlah untuknya negeri yang lebih baik daripada
negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya dan
pasangan yang lebih baik daripada pasangan hidupnya.
Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dia dari adzab kubur
dan adzab neraka.”1

Semua lafadz inilah yang dahulu nabi shallallahu `alaihi wa


sallam berdoa dengannya untuk kebaikan mayit, kemudian takbir
yang keempat lalu salam dengan satu kali salam, dan adalah nabi
shallallahu `alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika
takbiratul ihram (takbir yang pertama pada amalan shalat
seluruhnya).

Adapun dalam masalah shalat jenazah sungguh telah ada


hadits ibnu Umar semoga Allah Ta`ala meridhai keduanya,
bahwasannya beliau dahulu mengangkat tangan di semua takbir,
sebagian ahli ilmu berkata: Hal ini menunjukkan bahwasanya
beliau mengambil ilmu dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam di
karenakan yang demikian ini tidaklah dikatakan dari sisi akal
semata.

Maka perbuatan ibnu Umar semoga Allah Ta`ala meridhai


keduanya teranggap sebagai perbuatan yang diambil salafush
shalih (pendahulu shalih), denganya menunjukan bahwa perbuatan
beliau itu sebagai sesuatu yang saling mewarisi di sisi mereka
yang semuanya diambil dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam, di
karenakan pembahasan-pembahasan yang seperti ini tidaklah
dikatakan (ditentukan) dari sisi akal semata.

1
HR.Muslim: 963

129
Sehingga yang lebih utama dalam masalah ini adalah dengan
mengangkat kedua tangan di semua takbir, baik takbir dalam
pelaksanaan shalat jenazah dan demikian juga takbir ketika shalat
`ied sebanyak tujuh kali di raka`at yang pertama, dan sebanyak
lima kali pada raka`at yang terakhir (kedua) dari shalat `ied, dan
ketika sebagian shahabat melakukannya, maka perbuatan itu
menunjukkan bahwa asalnya dari nabi shallallahu `alaihi wa
sallam, dikarenakan periwayatan itu tidaklah ada tempat berijtihad
padanya.

Bahkan hal itu termasuk dari periwayatan yang berkaitan


dengan hukum marfu` (terangkat hingga nabi shallallahu `alaihi
wa sallam), artinya tidaklah tergambarkan di dalamnya, bahwa
riwayat itu (muncul) dari akal, dikarenakan tidak adanya tempat
bagi akal di dalam periwayatan, yang nampak periwayatan beliau
(ini) menandakan mengambilnya ilmu dari nabi shallallahu
`alaihi wa sallam, sehingga yang lebih utama di dalam masalah ini
adalah seorang mengangkat kedua tanganya di semua takbir
(takbir pelaksanaan shalat jenazah, dan di semua takbir pada shalat
`ied).

Yang demikian ini lebih utama, sebagaimana sebagian salaf


dari para shahabat nabi shallallahu `alaihi wa sallam
melakukannya, semisal ibnu Umar dan yang lainya semoga Allah
Ta`ala meridhai mereka, dan perbedaan yang ada dalam masalah
ini -segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla- sedikit, akan tetapi
pendapat inilah (mengangkat kedua tangan ketika takbir) yang
lebih utama.

Bagi seorang alim (ahli ilmu) wajib memilih kebenaran itu


dari Al Qur`an dan sunnah rasul shallallahu `alaihi wa sallam,
yang demikian itu merupakan suatu keharusan bagi mereka untuk
memilih kebenaran yang bersumber dari Al Qur`an dan hadits
shahih, dan diambil dari perbuatan para shahabat nabi shallallahu
130
`alaihi wa sallam serta para pendahulu yang shalih setelah
mereka, karena sesungguhnya dalil-dalil syar`iah (itu) berada
dalam Al Qur`an dan as sunnah rasullullah shallallahu `alaihi wa
sallam, kesepakatan salaful ummah kemudian qiyas shahih yang
terpenuhi padanya syarat-syarat. Jumhur ulama berketetapan
bahwasanya qiyas shahih yang di dalamnya ada banyak syarat-
syarat dijadikan sandaran jika tidak ada dalil dari kitab, sunnah
nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan kesepakatan para ulama,
dan pembahasan ini merupakan masalah-masalah ibadah yang
diambil dari rasul shallallahu `alaihi wa sallam dan dari para
shahabat tidaklah ada padanya tempat qiyas, hanyalah (qiyas itu)
dalam pembahasan hukum yang sifatnya cabang.

Adapun pembahasan ibadah, maka sifatnya tauqifiyah


(berdasarkan dalil) tidak ada tempat qiyas padanya, hanyalah
peribadahan itu berdasarkan dalil, wahyu dari Allah Azza Wa Jalla,
sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dan perbuatan salah
seorang shahabat yang (padanya) tidak ada tempat bagi akal,
tidaklah termasuk di antara yang didapatkan dari orang-orang
terdahulu (masa setelah shahabat), maka riwayat yang semisal ini
berhukum rafa`, dikarenakan shahabat itu mengambil agama dan
peribadahan mereka dari nabi mereka shallallahu `alaihi wa
sallam.

Maka apabila tidak ada nashnya dari kitab atau dari sunnah
nabi shallallahu `alaihi wa sallam, akan tetapi ada dari perbuatan
salah seorang shahabat dalam permasalahn yang di dalamnya
tidaklah ada tempat bagi akal, dan tidak ada rawi dari atsar itu dari
siapa saja yang mengambil dari orang-orang terdahulu (setelah
shahabat), maka amalan yang seperti ini memberikan hukum rafa`.

131
Pertayaan (64)
Apakah termasuk sunnah yang shahih, orang yang
mengerjakan shalat mengangkat kedua tangannya di takbir-takbir
tambahan dalam shalat `ied ?

Jawaban:
Perbuatan inilah yang lebih utama, merupakan perkara utama
untuk seorang mengangkat kedua tanganya di dalam shalat dua
hari raya, dan di dalam shalat jenazah juga dalam takbir empat
kalinya, demikian juga dalam shalat dua hari raya baik di raka`at
yang pertama (tujuh kali takbir) maupun raka`at yang kedua nya
(lima kali takbir).



132
۞ Bagian Kedelapan: Hukum Seruan Lafadz Ash Shalaatul
Jami`ah Ketika Shalat Ied ۞

Pertanyaan (65)
Wahai syeikh yang mulia, mereka yang menyeru (dengan
suatu seruan) ketika hendak melaksanakan shalat `ied, shalat
istisqa` dengan ucapan mereka: Ash shalaatu jaami`ah, apakah
amalan mereka itu ada asalnya?

Jawaban:
Tidaklah aku ketahui hal ini ada asalnya, bahkan semestinya
adalah meninggalkanya, dikarenakan secara hukum syar`i, hal itu
termasuk perbuatan bid`ah, oleh karena itu tidak selayaknya ketika
hendak shalat diucapkan lafadz ash shalaatul jami`ah dan tidak
pula shalatul`ied, dan tidak pula shalaatul tarawih.

Semua lafadz ini tidaklah pantas untuk diucapkan, hanyalah


seruan ini dilafadzkan ketika shalat kusuf, (berkaitan lafadz) Ash
shalaatu jami`ah telah ada hadits shahih dari nabi shallallahu
`alaihi wa sallam bahwasannya beliau memerintahkan agar ketika
hendak shalat diserukan: (Ash shalaatu jaami`ah) lafadz ini khusus
untuk pelaksanaan shalat kusuf.

Dahulu ketika manusia hendak berkumpul karena suatu


perkara penting, rasul shallallahu `alaihi wa sallam menyeru
dengan lafadz ash shalaatu jaami`ah, semoga shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepadanya, seakan-akan mereka berkumpul
karena suatu perkara penting, di tengah-tengah mereka diserukan:
Ash shalaatu jaami`ah, di karenakan mereka akan berbicara
dengan suatu perkara yang penting, semoga shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepadanya.

133
Adapun shalat `ied dan istisqa, sama sekali tidak disyari`atkan
sedikit pun, justru diingkari bagi siapa saja yang mengerjakannya,
dan telah diketahui bahwa hal ini tidaklah disyari`atkan, shahabat
Jabir (semoga Allah Ta`ala meridhainya) beliau berkata:
Sesungguhnya nabi shallallahu `alaihi wa sallam (mengimami)
shalat `ied dengan tanpa adzan dan iqamat dan demikian juga
shalat istisyqa.

Penjelasan Tata Cara Takbir di Rumah-Rumah Allah


Ta`ala

Pertanyaan (66)
Berkaitan dengan amalan takbir di dalam masjid-masjid,
apakah dengan cara salah seorang bertakbir kemudian orang-orang
bertakbir mengikutinya?

Jawaban:
Setiap orang bertakbir sesuai keadaannya, tidaklah ada di sana
takbir yang dilakukan secara berjama`ah, satu orang bertakbir
sendiri dan orang lainya pun bertakbir sendiri, dan tidaklah
disyari`atkan takbir secara berjama`ah, setiap orang bertakbir
sesuai keadaanya, dan jika kebetulan suara seorang itu bersesuaian
dengan suara saudaranya hal itu tidaklah memadharatkannya,
adapun mengatur takbir dari awal hingga akhir takbir, mereka
memulai secara berjama`ah dan mereka juga mengakhiri secara
berjama`ah pula maka yang demikian tidaklah ada asal pada
amalannya.



134
۞ Bagian kesembilan: Penjelasan Amalan Yang Disyari`atkan
Dalam Mengawali Khutbah Ied ۞

Pertanyaan (67)
Sunnah apakah yang ada di dalam khutbah `ied, apakah
dimulai dengan lafadz takbir ataukah dimulai dengan khutbah
hajah, dan apakah khutbahnya itu satu kali dengan tanpa duduk
ringan sebagaimana khutbah jum`at disunnahkan duduk -ringan-
di antara dua khutbah?

Jawaban:
Yang disyari`atkan dalam `ied adalah dua khutbah
sebagaimana khutbah jum`at, disyari`atkan setiap khutbah dimulai
dengan pujian, memuji Allah Ta`ala dan menyanjungnya,
bershalawat kepada nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dan
dengan dua syahadat; bersaksi bahwasannya tidak ada ilah -yang
berhak diibadahi dengan benar- melainkan Allah Azza Wa Jalla
dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah Azza
Wa Jalla ketika (khutbah) jum`at dan shalat dua hari raya.

Semuanya dimulai dengan pujian dan sanjungan kepada Allah


Azza Wa Jalla, memberikan persaksian bagi Allah Ta`ala dengan
ke-Esaanya, bagi nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan
kerisalahan, dan bershalawat kepada nabi shallallahu `alahi
wasallam kemudian memberikan nasihat kepada jama`ah juga
peringatan kepada mereka di khutbah jum`ah dan pada hari raya.

135
Penjelasan Tata Cara Khutbah Pada Hari Ied

Pertanyaan (68)
Apakah seorang imam (berkeharusan) khutbah dengan satu
khutbah ataukah dua khutbah pada hari `ied? Dan apakah yang
menjadi kewajiban (dari) isi kandungan khutbah `ied itu?

Jawaban:
Khutbah `ied sebagaimana khutbah jum`at, seorang khatib
(menyampaikan) khutbah dua kali, dia pisah di antara dua khutbah
itu dengan duduk (sesaat), seorang khatib dalam khutbahnya
memberikan nasihat kepada jama`ah dan peringatan kepada
mereka, dan dia sebutkan apa saja yang berkaitan dengan hari `ied,
apakah hari `iedul adha ataukah di hari `iedul fithri.

Hendaknya seorang khatib memberikan peringatan kepada


mereka, mengingatkan apa yang didapat di hari `iedul fithri agar
bersyukur kepada Allah Ta`ala atas kenikmatan-kenikmatanNya,
termasuk di antaranya adalah nikmat berpuasa Ramadhan,
mendorong mereka untuk senantiasa istiqamah di atas ketaatan
kepada Allah, dan agar terus-menerus di atas kebaikan, dan agar
mereka tidak kembali kepada perbuatan maksiat (yang mereka
dahulu kerjakan) setelah Ramadhan nanti,

Hendaknya mereka tulus dalam taubatnya, dan memotivasi


mereka untuk melakukan berbagai macam amalan dzikir,
kebaikan, ibadah dan ketaatan, berbagai macam amalan ibadah
dan shadaqah, bersegera kepada amalan kebaikan, memerintahkan
kepada hal yang baik dan mencegah perbuatan munkar,
memotivasi mereka kepada setiap kebaikan dalam ibadah shalat
(di waktu khutbah) `iedul fithri, dan menjelaskan kepada mereka
(perihal) hukum zakat fithri.

136
Adapun di shalat `iedul adha (dalam khutbah), maka seorang
khatib memotivasi mereka kepada perkara yang Allah Ta`ala
syari`atkan dari ibadah sembelihan, amalan takbir, (banyak)
berdzikir di hari-hari Tasyrik, dan memperingatkan mereka untuk
tidak berpuasa (pada hari-hari Tasyrik) di karenakan pada hari-hari
tersebut merupakan hari makan dan minum, bukanlah hari
berpuasa, kecuali bagi siapa yang tidak mendapatkan hewan
ternak (sebagai sembelihan) dari para jama`ah haji yang ingin
menyempurnakannya, maka dianjurkan untuk berpuasa sebagai
ganti dari hadyu jika dia (dalam keadaan) lemah pada hari-hari
Tasyrik secara khusus.

Dan menjelaskan kepada mereka apa yang Allah Ta`ala


syari`atkan berupa takbir, berdzikir dan menyembelih hewan
ternak (yang sudah ada penentuannya dalam syari`at) di hari-hari
tersebut, dan memberikan wasiat kepada mereka untuk bertaqwa
kepada Allah Azza Wa Jalla, mentaati Allah Azza Wa Jalla,
beramal shalih dan memperingatkan mereka dari perbuatan
maksiat semisal apa yang sudah disampaikan dalam khutbah
`iedul fithri.



137
۞ Bagian Kesepuluh: Hukum Mendahulukan Khutbah Ketika Shalat
Ied ۞

Pertanyaan (69)
Telah dimaklumi bahwa dua khutbah pada shalat jum`at
disampaikan sebelum shalat jum`at, adapun khutbah pada shalat
dua hari raya dan shalat meminta hujan (istisqa) dilaksanakan
setelah shalat.
Telah diketahui bahwa kebanyakan manusia semoga Allah
Ta`ala memberikan petunjuk kepada mereka yang mereka
bersegera keluar meninggalkan (tempat) shalat dua hari raya dan
shalat istisqa sebelum seorang khatib memulai untuk
menyampaikan khutbah,
Maka bagaimanakah hukum islam di dalam mendulukan
khutbah sebelum pelaksanaan shalat dua hari raya, dan shalat
istisqa hingga kaum muslimin hadir mengambil manfaat dari
khutbah (yang disampaikan) terlebih shalat dua hari raya dan
shalat meminta hujan itu hukumnya sunnah muakkad?

Jawaban:
Yang menjadi kewajiban atas umat islam adalah hendaknya
mereka mengikuti rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada
perkara yang telah rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bawa
dengannya, dan hendaknya mereka beramal sebagaimana amalan
rasul shallallahu `alaihi wa sallam, dan janganlah mereka
menambah-nambahi (amalan) dengan pendapat-pendapat mereka
dan jangan pula mereka merubahnya, rasulullah shallahu `alaihi
wasallam bersabda:

ِ ‫او اص َلوا ك اام ار اأ ُيت ُُم‬


‫ون ُأ اص يل‬

138
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”1

Allah Ta`ala telah memerintahkan shalat dengan lafadz global,


Allah Ta`ala berfirman:

ِ
‫الص ال اة‬ ُ ‫او اأ ُن اأق‬
َ ‫يموا‬

“Dan hendaknya kalian menunaikan shalat”2

Yakni jagalah oleh kalian shalat (yang lima), dan rasul


shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan dan merincinya
-semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau-
dengan sabda dan perbuatannya, maka wajib atas kaum muslimin
untuk mereka mengikut (saja) dan jangan mereka berbuat bid`ah.

Tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk


mendahulukan khutbah `ied atau istisqa, terkhusus khutbah `ied,
adapun istisqa maka telah ada (riwayat) yang (menyebutkan)
didahulukannya khutbah dan diakhirkan shalatnya, akan tetapi
khutbah `ied janganlah didahulukan, bahkan sudah seharusnya
seorang khatib mengimami jama`ah kemudian dia sampaikan
khutbah.

Demikianlah yang nabi shallallahu `alaihi wa sallam


kerjakan, para pengganti beliau yang terbimbing (di atas jalan
nabi) dan kaum muslimin ketika Marwan mengerjakan amalan
yang menyelisihi sunnah dengan mendahulukan khutbah pada
waktu `ied maka Abu Sa`id Al Khudri pun mengingkari
perbuatannya, kesimpulannya; wajib atas kaum muslimin
mengerjakan shalat sebagaimana nabi shallallahu `alaihi wa
sallam menunaikannya,

1
HR.Bukhari: 631.
2
QS.Al An`am (6): 72.

139
Termasuk sunnah bagi kaum muslimin untuk menghadiri
khutbah `ied, dan khutbah istisqa, jangan sampai mereka
ketinggalan, hal ini merupakan sunnah bagi mereka agar
menghadiri dan mengambil manfaat darinya, akan tetapi bagi
siapa yang keluar dari khutbah maka tidaklah mengapa, dan
tidaklah diperbolehkan mendahulukan khutbah atas shalat bahkan
sudah tetap penentuannya sebagaimana yang nabi shallallahu
`alaihi wa sallam mengerjakannya, beliau shalat bersama jama`ah
barulah beliau berkhutbah.

Adapun di waktu (shalat) jum`at, maka khutbahnya


disampaikan sebelum shalat, adapun istisqa; terdapat riwayat ini
dan riwayat itu, ada yang menunjukkan khutbah disampaikan
sebelum shalat dan ada juga riwayat bahwa khutbah istisqa`
dilaksanakan setelahnya, khutbah yang dilaksanakan setelah shalat
sebagaimana shalat `ied dan khutbah yang disampaikan sebelum
shalat sebagaimana khutbah untuk shalat jum`at, dan urusan
semisal ini ada padanya keluasaan, segala puji hanya milik Allah
Azza Wa Jalla.

Hukum Seorang Yang Lupa Membaca Surat Al Fatihah di


Rakaat Pertama dari Shalat Ied

Pertanyaan (70)
Penanya dari Kuwait berkata: Ketika shalat `ied saya lupa
membaca surat Al Fatihah pada rakaat pertama saat imam berhenti
tidak membaca, apakah ada keharusan bagi saya untuk
mengulangi shalat itu, ataukah sah bacaan imam bagi saya?
Semoga Allah Azza Wa Jalla membalas kebaikan kepada anda.

Jawaban:
Selama anda dalam keadaan lupa, maka bacaan imam itu telah

140
mencukupi, kemudian bukan bermakna (bolehnya) bagi makmum
untuk meninggalkan bacaan surat Al Fatihah tidak di shalat `ied
dan tidak juga dalam shalat fardhu, bahkan hendaknya seorang
membaca surat Al Fatihah itu, akan tetapi jika seorang lupa
darinya atau karena kebodohan, maka seorang imam sudah
mencukupinya, atau seorang tidaklah hadir melainkan saat ruku`,
maka bacaan imam sudahlah mencukupinya, segala puji bagi
Allah Azza Wa Jalla, dan tidaklah perlu baginya untuk
mengulanginya.



141
۞ Bagian Kesebelas: Penjelasan Tata Cara Penyempurnaan Makmum
Yang Tertinggal Pada Raka`at Yang Terluput dari Shalat Ied ۞

Pertanyaan (71)
Jika seorang hendak menyempurnakan apa yang terluput dari
shalat sebagai contoh dari shalat dua hari raya, shalat kusuf atau
shalat khusuf, maka apakah penyempurnaannya itu sebagaimana
yang berlaku pada hukum shalat-shalat wajib, ataukah dalam
perkara ini ada perbedaan padanya?

Jawaban:
Dalam shalat `ied dan shalat jum`at cara penyempurnaannya
sebagaimana ketentuannya, maka shalat jum`at sebagaimana
shalat jum`at, dan shalat ied sebagaimana ketentuan di dalam
shalat `ied, seorang bertakbir dengan beberapa takbir yang sudah
ditentukan syari`at itulah yang lebih utama, takbir itu sebanyak
lima kali di raka`at yang terakhir (kedua) pada shalat ied.

Jika raka`at pertama dari shalat `ied itu terluputkan, maka


raka`at yang kedua itu menjadi raka`at yang pertama baginya,
apabila seorang ingin menggantinya (menyempurnakannya), maka
seorang hendaknya dalam raka`at itu bertakbir sebanyak lima kali,
hal yang demikian lebih utama dalam pelaksanaanya, dan jika
seorang tidak bertakbir dengan lima kali takbir, cukup dengan
sekali takbir yang dia lafadzkan ketika bangkit dari sujud,
demikian ini tidaklah mengapa atasnya.

Akan tetapi perbuatannya dalam menyempurnakan shalat


sebagaimana yang telah ada penentuannya, maka hal yang seperti
inilah yang lebih afdhal, dia sempurnakan sebagaimana penentuan
shalat `ied, maka yang demikian ini lebih utama, dan jika
penyempurnaannya sebagaimana semua shalat, tidak dia kerjakan
dengan beberapa takbir yang dikerjakan pada awal kali raka`at,
142
dan dia cukupkan dengan beberapa takbir yang dikerjakan di
raka`at yang pertama dan dia cukupkan dengan satu kali takbir
yang dia lafadzkan ketika bangkit dari duduk setelah ucapan salam
dari imam, maka yang demikian tidaklah mengapa dengannya, dan
tidaklah mengapa bagi pelakunya.

Adapun kusuf maka shalat itu dia kerjakan sebagaimana yang


Allah Ta`ala syari`atkan dengan dua kali baca, dua kali ruku` dan
dua kali sujud sebagaimana yang nabi shallallahu `alaihi wa
sallam mengerjakannya, sungguh beliau bersabda: (Maka jika
kalian melihat hal itu maka shalatlah kalian)

Hal itu ditafsirkan dengan perbuatan nabi shallallahu `alaihi


wa sallam bahwa shalatnya dengan dua kali baca, dua kali ruku`
dan dua kali sujud pada setiap raka`atnya, maka sunnah bagi kita
agar mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam.

Penjelasan Diperolehnya Raka`at Dalam Shalat Ied

Pertanyaan (72)
Jika luput atas saya dari shalat `ied satu raka`at, maka apakah
saya sempurnakan dengan satu raka`at? Dan apakah saya telah
teranggap mendapatkan shalat `ied atau tidak ?

Jawaban:
Iya, sebagaimana shalat jum`at, jika anda mendapati raka`at
dari shalat `ied maka anda telah sempurna raka`at yang keduanya,
dan demikian juga jum`at anda telah sempurna raka`at yang kedua
dan anda pun mendapatkan jum`at.

143
۞ Bagian Kedua Belas: Ucapan Selamat Iedul Fithri ۞

Pertanyaan (73)
Saudara berinisial s.m.m dari washinton, berkata di dalam
pertanyaannya: Keumuman manusia pada sebagian mereka
terhadap sebagian yang lain menyampaikan ucapan selamat di hari
`ied dengan ucapan taqabbalallahu minna wa minkum al a`maala
ash shaalihah -semoga Allah Azza Wa Jalla menerima amalan
shalih kami dan kalian-
Bukankah termasuk perkara yang utama yaa samaahatul
waalid untuk seorang berdoa agar diterima semua amalannya, dan
apakah di sana ada doa yang disyari`atkan pada semisal
kesempatan ini?

Jawaban:
Tidaklah mengapa seorang muslim berkata kepada saudaranya
di hari `ied ataupun selainya dengan lafadz taqabbalallahu minnaa
wamink a`maalanaa ash shaalihah, dan tidaklah aku ketahui di
dalam masalah ini sesuatu yang dinashkan, hanyalah seorang
mukmin berdoa untuk saudaranya dengan doa-doa yang baik,
berdasarkan dalil-dalil yang banyak yang telah ada dalam masalah
itu.
Allah Azza Wa Jalla-lah yang memberikan taufiq.

Penjelasan Bentuk Pengucapan Selamat di Dua Hari Raya

Pertanyaan (74)
Penanya bertanya dengan mengatakan: Bagaimanakah bentuk
pengucapan selamat di hari `iedul adha yang penuh berkah yang
sungguh kita telah mengetahui di waktu `iedul fithri keumuman
manusia berucap kepada sebagian mereka dengan ucapan:

144
Taqabbalallahu minnaa wa minkum shaalihal a`maal, kemudian
apa (yang selayaknya) kita ucapkan di waktu `iedul adha?

Semoga Allah Ta`ala membalas anda dengan kebaikan .

Jawaban:
Tidaklah ada dalam ucapan selamat ini bentuk yang telah
diketahui (secara asalnya), jika seorang hendak mendoakan
tidaklah dilarang dengan seorang berucap: Taqabbalallahu minnaa
waminka, atau `iedukum mubaarak, atau al`ied mubaarak, atau
ja`alallahu `iedakum mubaarakan, baik ucapan itu dilafadzkan
ketika `iedul adha ataukah di saat `iedul fithri, semuanya sama
keadaanya.

Demikian juga halnya dalam waktu haji, hajjuka maqbuul,


taqabbalallahu minka, umratun maqbuulatun, taqabbalallahu
minka, semua ini dan ucapan yang semisalnya telah mencukupi.
Kita meminta kepada Allah Azza Wa Jalla hidayah dan taufiq



145
Untaian Fatwa Seputar Hukum-Hukum Puasa
Enam Hari di Bulan Syawal Yang Diambil dari Kitab
Fatawa Nur `Ala ad-Darb Atau dari Kumpulan Fatawa
dan Tulisan Yang Beragam Milik Imam Abdul Aziz Bin
Abdillah Bin Bazz Rahimahullah Wa Ghafarallahu Lahu

۞ Bagian Pertama: Penjelasan Keutamaan Puasa Enam Hari di


Bulan Syawal ۞

Pertanyaan (75)
Seorang penanya dari Libia bertanya tentang puasa enam hari
pada bulan Syawal dan tentang keutamaanya?

Jawaban:
Telah shahih dari rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bahwasanya beliau bersabda:

َ ‫ان ُث َم اأ ُت اب اع ُه ِستا ِم ُن اش َوال اف اذلِ اك ِص ايا ُم‬


‫الد ُه ِر‬ ‫ام ُن اصا ام ار ام اض ا‬

“Barangsiapa berpuasa bulan Ramadhan kemudian seorang


mengikutkannya dengan enam hari pada bulan Syawal maka dia
bagaikan berpuasa sepanjang masa”1
Diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab shahihnya.

Ini menunjukkan atas keutamaan puasa tersebut, yang apabila


seorang mengikutkan puasa Ramadhan dengan puasa enam hari
pada bulan Syawal maka seperti puasa selama satu tahun, seakan
seorang telah berpuasa selama satu tahun penuh, ini merupakan
keutamaan yang besar.
Puasa selama bulan Ramadhan sebanding dengan puasa
1
HR.Muslim: 1164.

146
selama sepuluh bulan dan enam hari pada bulan Syawal sebanding
dengan puasa selama dua bulan, (telah diketahui) bahwasanya satu
kebaikan dilipatkan sepuluh kali yang semisalnya, maka seakan-
akan seorang telah melakukan puasa selama satu tahun penuh, di
samping itu semua Allah Azza Wa Jalla dengan kemurahanya telah
menjadikan bulan Ramadhan itu sebagai penghapus terhadap dosa
(kecil) yang ada di antara satu Ramadhan dengan Ramadhan
berikutnya.

Maka puasa enam hari di bulan Syawal padanya ada tambahan


kebaikan dan kemaslahatan yang besar, manfaat yang melimpah
dalam menunaikan arahan nabi shallallahu `alaihi wa sallam, dan
bujukannya serta penyemangat untuk melaksanakan apa saja yang
Allah Azza Wa Jalla syari`atkan berupa ibadah, hal ini merupakan
kebaikan yang besar, dan seorang mukmin mencari apa saja yang
sudah Allah Azza Wa Jalla syari`atkan dan melaksanakannya serta
meminta ganjaran dari Allah Azza Wa Jalla, yang demikian ini ada
baginya pahala yang besar dalam amalannya itu.

Fatawa Nur `Ala ad-Darb juz 16 halaman 441.



147
۞ Bagian Kedua: Hukum Niat Berpuasa Sejak Malam Hari ۞

Pertanyaan (76)
Berikan faidah kepada kami berkaitan niat berpuasa, aku telah
mendengar suatu hadits yang maknanya, rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:

‫ اف ال ِص ايا ام ال ُه‬،‫الص ايا ام ِم ان ال َل ُي ِل‬ ِ


‫ام ُن ال ُ ُي اب ييت ي‬

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa semenjak malam harinya,


maka tidak ada puasa baginya”1

Maka bagaimanakah persiapan niat itu?


Apakah niat itu dengan hati ataukah dengan dilafadzkan?

Dan apa hukum seorang yang lupa berniat di waktu malam


harinya, kemudian baru dia niatkan ketika waktu sahur? Apakah
puasa seorang sah dalam keadaan dia bangun pada waktu adzan
fajr yang kedua, dia tidaklah mendapati kesempatan untuk
melaksanakan sahur, bahkan hanya dengan berkumur-kumur saja
kemudian berpuasa?
Apakah yang demikian itu absah jika itu terjadi di puasa
Ramadhan atau puasa sunnah lainnya, atau di puasa nazar?
Semoga Allah Azza Wa Jalla membalas anda dengan kebaikan.

Jawaban:
Makna hadits, bahwasanya seorang meniatkan di waktu
malam harinya meskipun tidaklah ia bangun melainkan sudah
dekat waktu fajar, jika dia meniatkan (pada waktu itu), maka telah
benar baginya dalam menata niatnya, jika dia berniat di akhir
malam, atau di pertengahan malam, ataukah di awal malam
1
HR. An-Nasai: 2334

148
bahwasanya dia ingin berpuasa pada pagi harinya maka sungguh
dia telah (dikatakan) berniat, yang demikian ini berlaku untuk
puasa yang wajib.

Adapun jika (jenis) puasa itu adalah puasa sunnah, maka


tidaklah diharuskan seorang untuk meniatkan hal itu di malam
harinya, apabila dia berniat pada siang harinya sebelum dia
makan, sebelum dia melakukan pembatal puasa, maka tidak
mengapa bagi siapa saja yang meniatkannya di pertengahan siang,
berdasar keshahihan (riwayat) yang ada dalam dalam shahih
Muslim dari Aisyah -semoga Allah Azza Wa Jalla meridhainya-:
َ
‫لمْمَ َّمَ َق َلي ََ َمَ َت ي َمْمٍف َق ال‬
َ ‫مص فىما َمَ َف َي ه َمو َس ف ََ َمَ َف ت َمذ َات َمي َوم َمف َق َال‬َ ‫َد َخ َّمالقب كت‬
َ‫امصال ي‬َ ‫لمْمفإ ٌنتم اذ‬ َ ‫َل‬
َ ‫مٍ َال‬،

Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menemuiku (Aisyah) pada suatu


hari, kemudian beliau berkata: “Apakah di sisi kamu ada sesuatu
makanan ?”, maka Aisyah berkata: “Tidak”, kemudian rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam berkata: “Maka jika demikian, Aku
berpuasa”1

Kemudian rasulullah berpuasa semenjak pertengahan siang itu


(setelah sebelumnya belum melakukan pembatal-pembatal puasa),
semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau.

Maka apabila di waktu shubuh seorang belum mengambil


sesuatu sebagai pembatal puasanya, tidak itu dalam bentuk
makanan, minuman dan tidak pula selain dari keduanya, kemudian
dia berniat pada waktu tengah hari waktu puasanya, maka tidaklah
mengapa dalam masalah itu, dan dicatat baginya (sebagai seorang
yang) berpuasa dari semenjak dia berniat, demikian ini berlaku di
puasa sunnah, adapun puasa di bulan Ramadhan, puasa nazar,
kafarat dan qadha Ramadhan, maka harus ada niat di waktu
1
HR.Muslim: 1154.

149
malamnya, dikarenakan menjadi kewajiban atasnya untuk
berpuasa di semua waktu siangnya (dari terbitnya fajar hingga
matahari terbenam), dan tidaklah ini semua terealisasi kecuali
dengan disertai niat terlebih dahulu untuk puasa di siang harinya.
(Fatawa Nur `Ala ad-Darb juz 16 halaman 181)



150
۞ Bagian Ketiga: Bulan Syawal Seluruhnya, Merupakan
Tempat (Waktunya) Berpuasa Enam Hari ۞

Pertanyaan (77)
Apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk memilih puasa
enam hari di bulan Syawal, ataukah puasa pada hari-hari tersebut
memiliki waktu tertentu? Dan apakah ketika seorang berpuasa di
waktu itu menjadi suatu kewajiban atasnya?

Jawaban:
Telah shahih dari rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bahwasanya beliau bersabda:

‫ان ُث َم اأ ُت اب اع ُه ِستا ِم ُن اش َوال اف اذلِ اك ِص ايا ُم الدَ ُه ِر‬


‫ام ُن اصا ام ار ام اض ا‬

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian dia


mengikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal maka seakan
dia telah berpuasa sepanjang masa” 1.

Hari-hari yang dimaksud disini tidaklah tertentu dari bulan


Syawal itu, akan tetapi seorang mukmin (dibolehkan) untuk
memilih dari semua hari dari bulan Syawal itu, maka apabila
seorang berkehendak dia dapat berpuasa di awal, di pertengahan
bulan ataukah di akhirnya, dan jika mau dia (dapat) memisahnya,
dan jika mau (dapat) dia urutkan, maka dalam masalah ini ada
padanya keluasaan, segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla.

Jika saja seorang bersegera untuk menunaikan puasa itu dan


dia ikutkan puasa itu pada awal bulan, yang demikian itu lebih
utama, dikarenakan dalam hal itu termasuk bagian bersegera di
dalam kebaikan .

1
HR.Muslim: 1164.

151
Hal yang demikian itu tidaklah bernilai wajib atasnya, bahkan
boleh baginya untuk meninggalkan puasa itu di tahun kapan saja,
akan tetapi dengan seorang berkelanjutan menunaikan puasa
Syawal, itulah yang lebih utama dan lebih sempurna, berdasar
sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam: “Amalan yang paling
dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla adalah amalan yang dikerjakan
berkelanjutan oleh pelakunya meskipun sedikit”

Tidaklah Dipersyaratkan Untuk Bekelanjutan di Dalam


Pelaksanaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Pertanyaan (78)
Apakah di dalam pelaksanaan puasa enam hari di bulan
Syawal harus dikerjakan secara beruntun, ataukah tidaklah
mengapa pelaksanaan puasanya itu dilakukan secara terpisah di
sela-sela bulan Syawal?

Jawaban:
Puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunnah yang shahih
dari rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, dan diperbolehkan
pelaksanaanya dengan berurutan dan boleh juga secara terpisah,
dikarenakan rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memutlakkan
puasa Syawal tanpa menyebutkan dengan berkelanjutan dan tidak
juga terpisah, beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

‫ان ُث َم اأ ُت اب اع ُه ِستا ِم ُن اش َوال اف اذلِ اك ِص ايا ُم الدَ ُه ِر‬


‫ام ُن اصا ام ار ام اض ا‬

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutkannya


dengan enam hari dari bulan Syawal maka seakan dia telah berpuasa
sepanjang masa” Dikeluarkan oleh imam Muslim dalam kitab
shahihnya1.

Kumpulan fatawa dan tulisan yang beragam juz 15 halaman 390/391).


1
HR.Muslim: 1164.

152
۞Bagian Keempat: Tidak Disyari`atkan Mendahulukan Qadha Atas
Puasa Sunnah۞

Pertanyaan (79)
Apakah disyari`atkan mendahulukan puasa sunnah atas qadha
(sebagai ganti dari puasa yang telah ditinggalkannya pada waktu
Ramadhan)? Semisal seorang menunaikan puasa Syawal baru
kemudian puasa qadha, apakah pengedepanan semisal ini telah
diriwayatkan dari Aisyah ibunya kaum mukminin -semoga Allah
Ta`ala meridhainya- dalam mengakhirkan puasa qadha hingga
bulan Sya`ban benar ataukah tidak? Berikanlah faidah kepada
kami semoga diberikan pahala, semoga Allah Azza Wa Jalla
membalas kebaikan kepada anda.

Jawaban:
Pembahasan ini ada padanya perbedaan di antara ahli ilmu,
dan yang paling benar bahwasanya puasa diawali dengan puasa
qadha, berdasar sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam

‫ان ُث َم اأ ُت اب اع ُه ِستا ِم ُن اش َوال اف اذلِ اك ِص ايا ُم الدَ ُه ِر‬


‫ام ُن اصا ام ار ام اض ا‬

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutkannya


enam hari pada bulan Syawal maka seakan dia berpuasa sepanjang
masa”1

Maka apabila dia tidak menunaikan puasa di sebagian (hari)


Bulan Ramadhan, bagaimana (dia dapat dikatakan) telah
mengikutkannya dengan enam hari bulan Syawal, wajib baginya
untuk menyempurnakan terlebih dahulu.

Dia sempurnakan puasa Ramadhannya, dan wajib bagi


1
HR.Muslim: 1164.

153
perempuan juga untuk menyempurnakan hari yang dia berbuka
dari bulan Ramadhan, kemudian dia berpuasa (Syawal) jika
memungkinkan untuk melaksanakan hal itu, jika tidak terlaksana
maka tidaklah mengapa, segala puji (hanya) milik Allah Azza Wa
Jalla.

Sebagian ahli ilmu berkata: Sesungguhnya dimulai dengan


puasa sunnah, dikarenakan waktunya sempit terkadang (seorang)
dapat luput (darinya), sedangkan puasa qadha waktunya longgar,
maka tidaklah terlarang untuk seorang memulainya dengan puasa
enam hari pada bulan Syawal, atau seorang berpuasa senin dan
kamis, atau puasa hari `Arafah, atau puasa hari `asyura, dan puasa
qadha memiliki waktu yang longgar.

Pendapat ini ada padanya sisi dan bagian sisi pandang (dalam
masalah fiqqiyah), akan tetapi pendapat yang pertamalah yang
lebih tampak dan lebih jelas, dikarenakan amalan yang sifatnya
wajib itu lebih penting, dikarenakan seorang terkadang
dihadapkan kepadanya kematian, dan berbagai macam penyakit
(sehingga terhalangi untuk dapat menyempurnakan kewajiban
yang telah ditinggalkan).

Maka sudah selayaknya bagi dia untuk memulai dengan


perkara yang paling penting yaitu qadha, kemudian jika ada
kemudahan baginya setelah pelaksanaan qadha ini, dapat
menunaikan puasa sunnah tertentu, puasa sunnah setelah
menyempurnakan kewajiban dengan apa yang Allah Azza Wa
Jalla mudahkan.

Adapun khabar Aisyah maka itu merupakan hadits yang


shahih darinya -semoga Allah Azza Wa Jalla meridhainya- dalam
dua kitab shahih, yang beliau berkata:

154
‫ض إِ َل ِف اش ُع ابان‬ ِ ِ ‫الص ُو ُم ِم ُن ار ام اض ا‬
‫يع اأ ُن اأ ُق ا‬
ُ ‫ اف ام اأ ُستاط‬،‫ان‬ ُ ‫اان ايك‬
َ ‫ُون اع ا َل‬ ‫ك ا‬

“Dahulu ada tanggungan atasku puasa dari bulan Ramadhan,


kemudian tidaklah aku mampu untuk menyempurnakannya
kecuali di bulan Sya`ban, karena keberadaanku di sisi rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam”1

Maka janganlah disangka dengan khabar tersebut beliau


berpuasa sunnah dan mengakhirkan amalan yang wajib, terus
menerus beliau berbuka dikarenakan kebutuhan rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam akan keluarganya, maka keadaan
beliau yang beliau itu berbuka di (waktu) puasa sunnah termasuk
amalan yang lebih utama.

Kesimpulannya; Bahwasanya tidaklah amalan Aisyah -semoga


Allah Ta`ala meridhainya -sebagai bukti yang beliau dahulu
menunaikan puasa sunnah, tidaklah dikatakan (dalam riwayat);
“Sesungguhnya aku dahulu melaksanakan puasa sunnah”, bahkan
beliau mengatakan; “Sesungguhnya beliau mengakhirkan puasa
Ramadhan”, dikarenakan keberadaan beliau di sisi rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam.

Maka tidaklah menunjukkan bahwasanya rasulullah


shallallahu `alaihi wa sallam mengizinkan baginya dalam
masalah itu atau beliau memberikan keringanan baginya (untuk
menunaikan puasa sunnah), tidak, bahkan perkara itu telah jelas
yang kemudian beliau mengakhirkannya (puasa Ramadhan),
dikarenakan sebab perhatian terhadap kebutuhan rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam kepadanya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau,


dan nampak dalam masalah itu, bahwasanya Aisyah -semoga
1
HR.Bukhari: 1950, Muslim: 1146.

155
Allah Ta`ala meridhainya- tidaklah pernah beliau berpuasa enam
hari pada bulan Syawal semasa hidup rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam dan tidak pula amalan-amalan sunnah lainya,
ada kewajiban baginya untuk menqadha, dan yang nampak bahwa
beliau itu mengakhirkan qadha dan selain qadha.

(Fatawa Nur `Ala ad-Darb juz 16 halaman 444-445).



156
۞ Bagian Kelima: Hukum Niat Memadukan Antara Puasa Wajib dan
Yang Sunnah ۞

Pertanyaan (80)
Apakah diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk
memadukan niat berpuasa enam hari pada bulan Syawal dan puasa
qadha (dari puasa yang telah ditinggalkan) puasa yang menjadi
kewajiban atasnya ketika bulan Ramadhan pada enam hari di
bulan Syawal dengan berniat puasa qadha dan berharap pahala
dari keduanya bersamaan, atau harus menunaikan qadha terlebih
dahulu, baru kemudian berpuasa enam hari dari bulan Syawal ?

Jawaban:
Iya, hendaknya dimulai dengan menunaikan qadha (terlebih
dahulu) kemudian berpuasa enam hari jika dia menginginkannya,
enam hari dari bulan Syawal itu termasuk puasa sunnah, jika dia
qadha di bulan Syawal apa yang menjadi tanggungannya
kemudian dia berpuasa enam hari dari bulan Syawal, maka yang
demikian ini merupakan kebaikan yang besar.

Adapun jika anda berpuasa enam hari (dari bulan Syawal)


dengan niat qadha dan menunaikan puasa enam hari di bulan
Syawal, maka bagi saya yang demikian itu tidaklah nampak
bahwasanya dia akan mendapatkan pahala dalam masalah itu,
enam hari dari bulan Syawal butuh darinya niat secara khusus di
hari-hari yang sudah dikhususkan pula.

157
Hukum Mendahulukan Puasa Nazar Atas Qadha
Ramadhan

Pertanyaan (81)
Seorang perempuan bernazar untuk berpuasa selama enam
hari di bulan Syawal, dari setiap tahunnya, apakah dia berpuasa
nazar terlebih dahulu, atau dia laksanakan qadha dari puasa yang
telah dia tinggalkan (berbuka) di waktu Ramadhan karena sebab
haid atau sebab nifas, dan apa (yang sudah semestinya dilakukan)
seandainya dia (ingin) berpuasa enam hari dari bulan Syawal yang
amalan ini termasuk amalan sunnah, apakah dia qadha terlebih
dahulu ataukah dia berpuasa sunnah (enam hari Syawal) terlebih
dahulu ?

Jawaban:
Yang lebih utama baginya adalah mendahulukan qadha,
kemudian dia berpuasa enam hari setelah itu, sama saja puasanya
itu adalah pelaksanaan puasa enam hari dari nazarnya atau puasa-
puasa sunnah lainnya hingga dia menyempurnakan (terlebih
dahulu) puasa Ramadhannya.

Hukum Berpuasa Pada Hari Sabtu Secara Tersendiri

Pertanyaan(82)
Penanya dari negeri Urdun ini berkata, jika kami ingin
berpuasa enam hari dari bulan Syawal dengan cara berurutan dan
di salah satu harinya bertepatan dengan hari sabtu, maka apakah
kami tetap berpuasa ataukah berbuka saja (di hari sabtu tersebut)?

158
Jawaban:
Semisal keterangan yang sudah lalu, yang lebih utama adalah
dengan berpuasa secara berurutan, dan puasa pada hari sabtu itu
tidaklah mengapa dengan puasanya meskipun dia lakukan pada
hari sabtu secara tersendiri (khusus), dikarenakan hadits yang ada
padanya larangan dari berpuasa pada hari sabtu kecuali pada
amalan yang telah diwajibkan atas kita (tidak lain termasuk) hadits
yang lemah dari nabi shallallahu `alaihi wa sallam.

(Fatawa Nur `Ala ad-Darb juz 16 halaman 443-446)



159
۞ Bagian Keenam: Penjelasan Bahwasanya Puasa Sunnah
Tidaklah Menjadi Suatu Kewajiban Atas Orang Yang Senantiasa
Merutinkannya ۞

Pertanyaan (83)
Seorang penanya dengan inisial j.b dari Aljazair mengatakan:
Syaikh yang mulia, pertanyaan seputar puasa sunnah,
sebagaimana hal itu telah tersebar di tengah-tengah kita
bahwasanya puasa enam hari dari bulan Syawal tetap menjadi
suatu amalan shalih yang sudah semestinya untuk dilakukan,
artinya sudah menjadi kewajiban baginya untuk menunaikan
puasa enam hari itu pada setiap tahunnya hingga kematian (tiba),
dan wajib juga atasnya untuk menunaikan puasa yang ada
selainnya dari waktu puasa sunnah, di antaranya; Puasa `Arafah,
puasa Ayyamul Bidh di setiap bulannya, pertengahan bulan
Sya`ban, puasa Asyura, dan selainnya dari hari-hari yang lainnya,
apakah ini benar? Apakah ini dibenarkan?

Jawab:
Tidaklah demikian yang benar: Puasa-puasa sunnah bagi siapa
yang ingin, maka hendaknya dia kerjakan, dan bagi siapa yang
mau untuk meninggalkannya boleh dia tinggalkan, ini semua
dicintai, bernilai sunnah, jika mau dia kerjakan di setiap tahun,
dan jika mau dia berpuasa pada sebagian tahun-tahun dan dia
tinggalkan di sebagian tahun-tahun yang lain, dalam masalah ini
ada padanya kelonggaran.

Demikian juga dengan puasa `Arafah, puasa hari `Asyura,


puasa senin kamis, dan puasa tiga hari dari setiap bulannya,
semuanya berhukum sunnah, jika Allah Azza Wa Jalla mudahkan
baginya untuk menunaikan puasa pada waktu tertentu, maka
(semestinya) dia kerjakan, dan apabila dia meninggalkannya,

160
maka tidaklah mengapa, dan jika saja seorang berpuasa di
sebagian bulan dan meninggalkannya sebagian bulan yang lain
tidaklah mengapa, dan dahulu nabi shallallahu `alaihi wa sallam
terkadang berpuasa dan terkadang pula beliau meninggalkannya,
terkadang berpuasa tiga hari di setiap bulan, berpuasa senin dan
kamis, terkadang tersibukkan dengan suatu perkara dan beliau pun
meninggalkannya dengan tidak berpuasa -semoga shalawat dan
salam senantiasa tercurah kepadanya -

Demikian juga ketika bulan Sya`ban, dahulu beliau berpuasa


di kebanyakan waktu Sya`ban seluruhnya, atau beliau tidak
berpuasa kecuali sedikit (pada waktu Sya`ban) sebagaimana hal
itu telah dikatakan oleh Aisyah dan Ummu Salamah -semoga
Allah Azza Wa Jalla meridhai keduanya-

Apabila terdapat kemudahan bagi seorang untuk berpuasa,


tidak mengapa apabila dia kerjakan (diberi pahala) dan jika tidak
ada kemudahan tidaklah mengapa untuk meninggalkannya (tidak
ada dosa atasnya), hanya saja kemestian untuk mengerjakannya,
ini ada pada amalan yang wajib, perintah yang bersifat wajib
haruslah dikerjakan, puasa Ramadhan harus ditunaikan, kecuali
karena sebab sakit atau sedang melakukan perjalanan, adapun
amalan sunnah, maka segala puji bagi Allah Azza Wa Jalla perkara
dalam masalah ini ada padanya keluasaan.

Jika seorang berpuasa pada sebagian tahun dan ia tinggalkan


di sebagian tahun yang lainnya, tidaklah mengapa, atau berpuasa
tiga hari dari setiap bulan, sebagian waktu dia meninggalkanya,
atau berpuasa senin dan kamis, di sebagian waktu dia tinggalkan,
yang demikian ini tidaklah mengapa, segala puji bagi Allah Azza
Wa Jalla.

(Fatawa Nur `Ala ad-Darb juz 16 halaman 448-449)

161
۞ Bagian Ketujuh: Tidak Bolehnya Mendahulukan Puasa
Enam Hari Pada Bulan Syawal Atas Puasa Kafarah ۞

Pertanyaan (84)
Seorang ada padanya tanggungan kewajiban berpuasa selama
dua bulan berturut-turut dan dia ingin berpuasa enam hari pada
bulan Syawal, maka apakah dibolehkan hal itu untuk dia?

Jawaban:
Yang wajib adalah bergegas dalam pelaksanaan puasa
kafarahnya1, maka tidaklah boleh mendahulukan puasa enam hari
pada bulan Syawal atas puasa kafarah, dikarenakan puasa enam
hari di bulan Syawal itu hukumnya sunnah, sementara puasa
kafarah itu berhukum wajib, dan tanggungan itu wajib untuk
disegerakan, sehingga menjadi kemestian untuk mendahulukannya
atas puasa enam hari pada bulan Syawal dan amalan selainnya dari
puasa-puasa yang hukumnya sunnah.

Tidaklah Mengapa Menyambung Puasa Qadha Dengan


Puasa Enam Hari dari Bulan Syawal

Pertanyaan (85)
Saudara berinisial a.s.m dari Ladziqiyyah2 berkata dalam
pertanyaanya: Saya telah mendengar bahwasanya tidaklah boleh
bagi seorang untuk menyambung puasa qadha dengan puasa
sunnah, artinya jika seorang ada padanya tanggungan waktu untuk
berpuasa dari bulan Ramadhan yang sebelumnya dia berbuka
karena sebab udzur syar`i kemudian dia telah menggantinya di

1
Suatu tebusan untuk menghapuskan kesalahan karena sebuah pelanggaran yang
dilakukan, baik berupa pelanggaran sumpah, nazar, atau membatalkan puasa Ramadhan
karena melakukan jima` (hubungan suami-istri pada siang hari bulan Ramadhan).
2
Salah satu nama Kota yang ada di negeri Suria.

162
bulan Syawal dan hendak berpuasa enam hari dari bulan Syawal,
maka jangan dia sambung amalan ini (puasa qadha dengan puasa
Syawal) melainkan dengan berbuka terlebih dahulu selama satu
hari di antara kedua amalan itu, apakah ucapan ini benar? Kami
berharap dapatkan faidah.

Jawaban:
Saya tidaklah mengetahui hal yang telah engkau sebutkan ada
asalnya, dan yang benar bahwasanya hal itu tidaklah mengapa,
karena keumuman dalil, dan Allah Azza Wa Jalla-lah yang
memberikan taufiq.

Ucapan Penilaian Bid`ahnya Amalan Puasa Enam Hari


Pada Bulan Syawal Adalah Ucapan Yang Salah

Pertanyaan (86)
Apa pendapat anda wahai syaikh yang mulia terhadap seorang
yang mengatakan bahwasanya puasa enam hari dari bulan Syawal
adalah amalan bid`ah dan ucapan ini adalah pendapatnya Imam
Malik, dengan beralasan akan pendapatnya itu dengan hadits Abu
Ayyub

‫ان ُث َم اأ ُت اب اع ُه ِستا ِم ُن اش َوال اف اذلِ اك ِص ايا ُم الدَ ُه ِر‬


‫ام ُن اصا ام ار ام اض ا‬

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutkannya


dengan enam hari dari bulan Syawal maka seakan dia berpuasa
selama setahun”1

Dia berkata: Pada sanadnya, ada seorang yang dibicarakan


keadaannya?

1
HR.Muslim: 1164.

163
Jawaban:
Ucapan ini adalah ucapan salah, sedangkan hadits Abu Ayyub
itulah yang benar, ada baginya kutipan-kutipan (hadits) yang
menguatkannya dan menunjukkan benarnya makna hadits itu.

Allah-lah yang memberikan taufiq, shalawat dan salam


semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad
shallallahu `alaihi wa sallam, kepada keluarganya dan para
shahabatnya.

(Kumpulan fatawa dan tulisan-tulisan yang beraneka ragam dalam juz 15


halaman 394,396,389)



164
۞ Bagian Kedelapan: Puasa Enam Hari dari Bulan
Syawal Adalah Puasa Sunnah Bukan Puasa Wajib dan
Bagi Siapa Saja Yang Tidak Ada Kemampuan Untuk
Menyempurnakanya Karena Alasan Yang Syar`i,
Diharapkan Baginya Mendapatkan Pahala dari
Keutamaan Puasa Enam Hari Pada Bulan Syawal ۞

Pertanyaan (87)
Seorang perempuan yang namanya dia rumuskan dengan
huruf s.k.l dari Oman di negeri Yordania berkata dalam soalnya:
Aku memulai berpuasa enam hari dari bulan Syawal akan tetapi
aku tidak mampu untuk menyempurnakannya karena sebab
sebagian keadaan dan pekerjaan, yang kemudian tersisalah puasa
yang belum terlaksana dari bulan Syawal sebanyak dua hari, maka
apa yang hendak aku lakukan wahai syaikh yang mulia, apakah
ada keharusan aku menggantinya? Dan apakah dalam hal itu ada
dosa padaku ?

Jawaban:
Puasa enam hari pada bulan Syawal merupakan ibadah yang
sifatnya sunnah bukan ibadah yang bersifat wajib, maka bagi
engkau pahala dari puasa yang sudah dikerjakan dan diharapkan
pahalanya pun sempurna jika ada halangan yang mencegah anda
untuk menyempurnakanya karena suatu alasan yang syar`i,
berdasar sabda nabi shallallahu `alaihi wa sallam:

ِ ِ ‫ب ال ُه ِم ُث ُل اما ك ا‬ ِ
ً ‫اان اي ُع ام ُل ُمق ًيم اصح‬
‫يحا‬ ‫ كُت ا‬،‫ اأ ُو اسا اف ار‬، ُ‫إِ اذا ام ِر اض ال اع ُبد‬

“Jika seorang hamba sakit atau sedang dalam perjalanan, Allah


Azza Wa Jalla catatkan untuknya (pahala) amalan yang dia (biasa)
kerjakan ketika lagi mukim dan dalam keadaan sehat)

165
diriwayatkan oleh imam Bukhari di dalam kitab shahihnya”1.

Dan tidak ada kewajiban qadha atas engkau dengan hari yang
engkau telah meninggalkannya, dan Allah Ta`ala-lah yang
memberikan taufiq .

(Kumpulan fatawa dan tulisan tulisan yang beragam dalam juz ke 15


halaman 395)

Hukum Seorang Yang Berpuasa Enam Hari dari Bulan


Syawal, Namun Dia Tidak Menyempurnakanya

Pertanyaan (88)
Jika seorang muslim hendak berpuasa enam hari dari bulan
Syawal akan tetapi karena suatu kebutuhan dia biarkan tidak
berpuasa selama lima hari, maka apa yang semestinya dia
lakukan?

Jawaban:
Baginya ganjaran (dari puasa yang sudah dikerjakannya) dan
segala puji bagi Allah, jika bulan Syawal telah berlalu, dan tidak
ada lagi waktu yang tersisa dari bulan Syawal, maka (puasa yang
belum ditunaikan) tidaklah diganti.
(Fatawa Nur `Ala ad-Darb juz 16 halaman 446)2

1
HR.Bukhari: 2996.
2
Tiada tulisan yang sempurna selain Kitabullah, kami memohon maaf atas kesalahan yang
terjadi di dalam terjemahan ini, kami mengucapkan selamat menyimak serta mengambil
faedah yang ada pada buku ini, dan begitu juga kami memohon kepada Allah agar
menjadikan amal ini hanya untuk mengharap wajah-Nya dan sebagai simpanan kebaikan
kami (semua yang membantu terselesaikan terjemahan ini) di akhirat kelak.

Alhamdulillahilladzi bini`matihi tatimmush shalihaat


(Segala puji bagi Allah, dengan kenikmatan-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna).

166

Anda mungkin juga menyukai