“CA SERVIKS”
M.AFRIALDY (14.IK.398)
BANJARMASIN
2017
A. Pengertian
Kanker Cerviks yaitu keganasan pada leher rahim yang merupakan
keganasan pada bagian terendah rahim yang menonjol ke liang sanggama /
vagina ( Depkes RI, 2006).
Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dan berkembang pada
serviks atau mulut rahim, khususnya berasal dari lapisan epitel atau lapisan
terluar permukaan serviks. Kanker leher rahim/Kanker serviks termasuk dalam
kategori tumor ganas yang timbul di leher rahim wanita. Kanker ini dapat meluas
ke vagina, rahim hingga indung telur (Shadine, 2012).
Kanker serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah leher
rahim, yaitu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk
kearah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dengan liang senggama wanita
(vagina) (Wijaya, 2010).
B. Etiologi
Menurut Wijaya (2010), ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan peluang
seorang wanita untuk terkena kanker serviks. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Infeksi Virus Human Papilloma (HVP)
Faktor resiko dari infeksi HPV adalah factor yang terpenting dalam timbulnya
penyakit kanker serviks ini. Human Papilloma Virus adalah sekelompok lebih
dari 100 virus yang berhubungan yang dapat menginfeksi sel-sel pada
permukaan kulit, ditularkan melalui kontak kulit seperti vaginal, anal, atau
oral seks. Virus ini berasal dari familia Papovaridaedan genus Papilloma
virus. Hubungan seks yang tidak aman terutama pada usia muda atau
melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, memungkinkan
terjadinya infeksi HPV. Organ reproduksi wanita pada usia remaja (12-20
tahun) sedang aktif berkembang. Bila terjadi rangsangan oleh penis/sperma
dapat memicu perubahan sifat sel menjadi tidak normal, apalagi bila terjadi
luka saat berhubungan seksual dan kemudian terjadi infeksi virus HPV.
2. Pasangan Seksual yang Berganti-ganti
Dari berbagai penelitian yang dilakukan timbulnya penyakit kanker serviks
berkaitan erat dengan perilaku seksual seperti mitra seks yang berganti-
ganti. Resiko kanker serviks lebih dari 10 kali bila berhubungan dengan 6
atau lebih mitra seks.
3. Usia Pertama Melakukan Hubungan Seks
Wanita yang melakukan hubungan seks pertama sekali pada umur dibawah
17 tahun hampir selalu 3x ;lebih mungkin terkena kanker serviks di usia
tuanya. Semakin muda seorang wanita melakukan hubungan seks maka
semakin besar resiko terkena kanker serviks. Hal ini disebabkan karena alat
reproduksi wanita pada usia ini belum matang dan sangat sensitif.
4. Merokok
Tembakau atau rokok mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang
dikunyah atau dihisap sebagai rokok atau sigaret. Penelitian menunjukkan
lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya
terdapat di dalam rokok. Produk sampingan rokok seringkali ditemukan pada
mukosa serviks dari wanita perokok.
5. Jumlah Anak
Wanita yang sering melahirkan mempunyai resiko 3-5 x lebih besar terkena
kanker leher rahim. Terjadinya trauma pada bagian leher rahim yang tipis
dapat merupakan penyebab timbulnya suatu peradangan dan selanjutnya
berubah menjadi kanker. Menurut berapa pakar, jumlah kelahiran yang lebih
dari 3 akan meningkatkan resiko wanita terkena kanker serviks.
6. Kontrasepsi
Pil KB yang dipakai dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan resiko
terkena kanker serviks. Beberapa penelitian menemukan bahwa resiko
kanker serviks meningkat berkaitan dengan semakin lama wanita tersebut
menggunakan pil KB, dan cenderung akan menurun pada saat pil tersebut
dihentikan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pemakaian pil KB
akan menyebabkan wanita lebih sensitif terhadap HPV sehingga makin
meningkatkan resiko terkena kanker serviks.
7. Riwayat Keluarga
Sama seperti jenis kanker lainnya, maka pada kanker leher rahim juga akan
meningkatkan resiko lebih besar terkena pada wanita yang mempunyai
keluarga (ibu atau kakak perempuan) terkena kanker leher rahim.
8. Kekebalan Tubuh
Seseorang yang melakukan diet ketat, diet rendah sayuran dan buah-
buahan, rendahnya konsumsi vitamin A,C, dan E setiap hari dapat
menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh, sehingga orang tersebut
gampang terinfeksi oleh berbagai kuman, termasuk HPV. Penurunan
kekebalan tubuh dapat juga mempercepat pertumbuhan sel kanker dari
noninvasive menjadi invasif.
C. Patofisiologi
Serviks mempunyai dua jenis sel epitel yang melapisi nektoserviks dan
endoserviks, yaitu sel epitel kolumner dan sel epitel squamosa yang disatukan
oleh Sambungan Squamosa Kolumner (SSK). Proses metaplasia adalah proses
pergantian epitel kolumner dan squamosa. Epitel kolumner akan digantikan oleh
squamosa baru sehingga SSK akan berubah menjadi Sambungan Squamosa
Squamosa (SSS)/ squamosa berlapis.
Pada awalnya metaplasia berlangsung fisiologis akan tetapi dengan
adanya mutagen dari agen yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti
sperma, virus herpes simplek tipe II, maka yang semula fisiologis berubah
menjadi displasia. Displasia merupakan karakteristik konstitusional sel seperti
potensi untuk menjadi ganas.
Hampir semua ca. serviks didahului dengan derajat pertumbuhan
prakanker yaitu displasia dan karsinoma insitu. Proses perubahan yang terjadi
dimulai di daerah SquamosaColumner Junction (SCJ) atau SSK dari selaput
lendir portio. Pada awal perkembangannya, ca. serviks tidak memberikan tanda-
tanda dan keluhan. Pada pemeriksaan speculum, tampak sebagai portio yang
erosive (metaplasia squamosa) yang fisiologik atau patologik.
Tumor dapat tumbuh sebagai berikut:
1. Eksofitik, mulai dari SCJ kearah lumen vagina sebagai masa proliferasi yang
mengalami infeksi sekunder dan nekrosis.
2. Endofitik, mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung
untukmengadakan infiltrasi menjadi ulkus.
3. Ulseratif, mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks
dan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Displasia pada serviks disebut Neoplasia Servikal Intraepitelial (CIN). CIN ada
tiga tingkatan yaitu:
1. CIN I : Displasia ringan, terjadi di epitel basal lapisan ketiga, perubahan
sitoplasmik terjadi di atas sel epitel kedua dan ketiga.
2. CIN II : Displasia sedang, perubahan ditemukan pada epitel yang lebih
rendah dan pertengahan, perubahan sitoplasmik terjadi di atas sel epitel
ketiga.
3. CIN III : Displasia berat, terjadi perubahan nucleus, termasuk pada semua
lapis sel epitel, diferensiasi sel minimal dan karsinoma insitu.
E. Manifestasi Klinis
Menurut Sukaca (2009), gejala penderita kanker serviks diklasifikasikan
menjadi dua yaitu gejala pra kanker serviks dan gejala kanker serviks.
1. Gejala pra kanker serviks ditandai dengan gejala :
a. Keluar cairan encer dari vagina(keputihan)
b. Pendarahan setelah sanggama yang kemudian dapat berlanjut menjadi
pendarahan yang abnormal.
c. Pada fase invasive dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan,
berbau dan dapat bercampur dengan darah.
d. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi pendarahan kronis
e. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau diperut bagian bawah bila ada radang
panggul
2. Bila sel-sel tidak normal ini berkembang menjadi kanker serviks, maka
muncul gejala-gejala sebagai berikut:
a. Pendarahan pada vagina yang tidak normal.
Ditandai dengan pendarahan diantara periode menstruasi yang regular,
periode menstruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya,
pendarahan setelah hubungan seksual.
b. Rasa sakit saat berhubungan seksual.
c. Bila kanker telah berkembang makin lanjut maka dapat timbul gejala-
gejala seperti penurunan berat badan, nyeri panggul, kelelehan,
berkurangnya nafsu makan, keluar tinja dari vagina, dll.
F. Klasifikasi
Menurut FIGO (Federation Internationale de Gynecologic et Obstetrigue), 1988 :
1. Karsinoma Pra invasive
Stadium 0 : Karsinoma in situ atau karsinoma intra epitel.
2. Karsinoma Invasif
a. Stadium I : Proses terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uteri
tidakdinilai).
Stadium I a : Karsinoma serviks preklinis hanya dapat didiagnostik
secara mikroskopis, lesi tidak lebih dari 3 mm atau secara
mikroskopik kedalamannya > 3-5 mm dari epitel basal
dan memanjang tidak lebih dari 7 mm.
Stadium I b : Lesi invasif > 5, dibagi atas lesi < 4 Cm dan > 4 Cm.
b. Stadium II : Proses keganasan telah keluar dari serviks dan menjalar ke
2/3 bagian atas vagina dan atau ke parametrium tetapi
tidak sampai dinding panggul.
Stadium II a : Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas
dari infiltrat tumor.
Stadium II b : Penyebaran ke parametrium, uni atau bilateral tetapi
belum sampai dinding panggul.
b. Stadium III : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau ke parametrium
sampai dinding panggul.
Stadium III a : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina namun tidak sampai
ke dinding panggul.
Stadium III b : Penyebaran sampai dinding panggul, tidak ditemukan
daerah bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding
panggul atau proses pada tingkat I atau II tetapi sudah
ada gangguan faal ginjal/hidronefrosis.
c. Stadium IV :Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan
melibatkan mukosa rektum dan atau vesika urinaria
(dibuktikan secara histologi) atau telah bermetastasis
keluar panggul atau ketempat yang jauh.
Stadium IV a : Telah bermetastasis ke organ sekitar.
Stadium IV b : Telah bermetastasis jauh.
G. Komplikasi
1. Komplikasi yang terjadi karena radiasi
Waktu fase akut terapi radiasi pelvik, jaringan-jaringan sekitarnya
juga terlibat seperti intestines, kandung kemih, perineum dan kulit. Efek
samping gastrointestinal secara akut termasuk diare, kejang abdominal, rasa
tidak enak pada rektal dan perdarahan pada GI. Diare biasanya dikontrol
oleh loperamide atau atropin sulfate. Sistouretritis bisa terjadi dan
menyebabkan disuria, nokturia dan frekuensi. Antispasmodik bisa
mengurangi gejala ini. Pemeriksaan urin harus dilakukan untuk mencegah
infeksi saluran kemih. Bila infeksi saluran kemih didiagnosa, terapi harus
dilakukan segera. Kebersihan kulit harus dijaga dan kulit harus diberi salep
dengan pelembap bila terjadi eritema dan desquamasi. Squele jangka
panjang (1 – 4 tahun setelah terapi) seperti : stenosis pada rektal dan
vaginal, obstruksi usus kecil, malabsorpsi dan sistitis kronis.
2. Komplikasi akibat tindakan bedah
Komplikasi yang paling sering akibat bedah histerektomi secara
radikal adalah disfungsi urin akibat denervasi partial otot detrusor.
Komplikasi yang lain seperti vagina dipendekkan, fistula ureterovaginal,
pendarahan, infeksi, obstruksi usus, striktur dan fibrosis intestinal atau kolon
rektosigmoid, serta fistula kandung kemih dan rektovaginal.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pap smear
Dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yg
tidak memberikan keluhan.Sel kanker dapat diketahui pada secret yg diambil
dari posio serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia
18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah
3x hasil pemeriksaan pap smear setiap 3 tahun sekali sampai usia 65 tahun.
2. Pemeriksaan DNA HPV
Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan
pap’s smear untuk wanita diatas 30 tahun. Deteksi DNA HPV yang positif
yang ditemukan kemudian dianggap sebagai HPV yg persisten. Apabila hal
ini dialami pada wanita dengan usia yg lebih tua maka akan terjadi
peningkatan resiko kanker serviks.
3. Biopsy
Biopsy dilakukan jika pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks atau jika hasil pemeriksaan pap smear
menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Teknik yang biasa dilakukan
adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anastesi & teknik cone biopsy
yang menggunakan anastesi. Biopsy dilakukan untuk mengetahui kelainan
yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal
servikal. Hasil biopsy akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker
invasive atau hanya tumor saja.
4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yg terkena proses
metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear
karena kolposkopi memerlukan ketrampilan & kemampuan kolpokospi dalam
mengetes darah yang abnormal.
5. Tes schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan iodium. Pada
serviks yang normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel
serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang
mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena
tidak ada glikogen.
6. Radiologi
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi
kandung kemih & rectum yg meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP),
enema barium, & sigmoidoskopi. Magnetic resonance imaging (MRI) atau
CT scan abdomen/pelvis digunakan untuk menilai penyebaran local tumor
&/atau terkenanya nodus limpa regional.
7. Pelvic limphangiografi dapat menunjukkan adanya gangguan pada
saluran pelvic atau peroartik limfe
I. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks
paling luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau
bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau
konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak.
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
2. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium
II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi.
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan
utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya.
Tujuan pengobatan menggunakan kemoterapi tergantung jenis kanker dan
fase saat diagnosis. Kemoterapi disebut sebagai pengobatan adjuvant ketika
kemoterapi digunakan untuk mencegah kanker kambuh. Kemoterapi sebagai
pengobatan paliatif ketika kanker sudah menyebar luas dan dalam fase
akhir, sehingga dapat memberikan kualitas hidup yang baik. (Galle, 2000).
Kemoterapi bekerja saat sel aktif membelah, namun kerugian dari
kemoterapi adalah tidak dapat membedakan sel kanker dan sel sehat yang
aktif membelah seperti folikel rambut, sel disaluran pencernaan dan sel
batang sumsum tulang. Pengaruh yang terjadi dari kerja kemoterapi pada sel
yang sehat dan aktif membelah menyebabkan efek samping yang umum
terlihat adalah kerontokan rambut, kerusakan mukosa gastrointestinal dan
mielosupresi. Sel normal dapat pulih kembali dari trauma yang disebabkan
oleh kemoterapi, jadi efek samping ini biasanya terjadi dalam waktu singkat.
Macam-Macam kemoterapi :
a. Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik
Anthrasiklin obat golongan ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA
di inti sel, sehingga sel-sel tersebut tidak bisa melakukan replikasi.
b. Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa inti
sel, yang berakibat menghambat sintesis DNA.
c. Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes
bekerja pada gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi
hambatan mitosis sel.
d. Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan
menghambat sintesis protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis
DNA dan RNA dari sel-sel kanker tersebut.
4. Manajemen Nyeri Kanker
Berdasarkan kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan obat, yaitu :
a. Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain Asetaminofen,
OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
b. Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah kelompok
opioid ringan seperti kodein dan tramadol
c. Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid
d. kuat seperti morfin dan fentanil
5. Penatalaksanaan Keperawatan
Dalam lingkar perawatan meliputi sebelum pengobatan terapi radiasi
eksternal anatara lain kuatkan penjelasan tentang perawatan yang
digunakan untuk prosedur. Selama terapi yaitu memilih kulit yang baik
dengan menganjurkan menghindari sabun, kosmetik, dan deodorant.
Pertahankan keadekuatan kulit dalam perawatan post pengobatan
antara lain hindari infeksi, laporkan tanda - tanda infeksi, monitor intake
cairan, beri tahu efek radiasi persisten 10 - 14 hari sesudah pengobatan,
dan melakukan perawatan kulit dan mulut.
Terapi radiasi internal yang perlu dipertimbangkan dalam
perawatan umum adalah teknik isolasi dan membatasi aktivitas,
sedangkan dalam perawatan pre insersi antara lain menurunkan
kebutuhan untuk enema atau buang air besar selama beberapa hari,
memasang kateter sesuai indikasi, latihan nafas panjan dan latihan rom
dan jelaskan pada keluarga tentang pembatasan pengunjung. Selama
terapi radiasi perawatannya yaitu monitor tanda - tanda vital tiap 4 jam.
Memberikan posisi semi fowler, berikan makanan berserat dan cairan
parenteral sampai 300ml dan memberikan support mental. Perawatan
post pengobatan antara lain menghindari komplikasi post pengobatan
( tromboplebitis, emboli pulmonal dan pneumonia ), monitor intake dan
output cairan. (Bambang sarwiji, 2011)
J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agens cidera biologis
2. Risiko kekurangan volume cairan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan mencerna makanan
4. Risiko Infeksi
5. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
6. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, tirah baring
7. Gangguan citra tubuh b.d tahapan perkembangan penyakit dan terapi
penyakit (post kemoterapi).
8. Kerusakan Integritas Kulit b.d terapi radiasi
9. Hambatan mobilitas Fisik b.d gangguan metabolisme
10. Defisit perawatan diri b.d kelemahan
11. Konstipasi b.d penurunan mortalitas gastrointestinal
12. Gangguan pola tidur b.d penyakit
13. Kelebihan Volume Cairan b.d gangguan mekanisme regulasi
K. Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
. Keperawatan
1 Nyeri akut b/d agens NOC NIC
injury biologis, Setelah dilakukan tindakan Pain management
keperawatan selama 3x24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri
Batasan Karakteristik : diharapkan nyeri dapat teratasi secara komprehensif
1. Meringis dengan kriteria hasil : termasuk lokasi,
2. Mengeluh nyeri Pain control : karakteristik, durasi,
3. Gelisah 1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas, dan
4. Dilatasi pupil 2. Melaporkan bahwa nyeri faktor presipitasi
berkurang dengan 2. Observasi reaksi nonverbal
menggunakan manajemen dari ketidaknyamanan
nyeri 3. Gunakan teknik komunikasi
Pain level terapeutik untuk
1. Mampu mengenali nyeri mengetahui pengalaman
(skala, intensitas, frekuensi nyeri pasien
dan tanda nyeri) 4. Kontrol lingkungan yang
Comfort level dapat mempengaruhi nyeri
1. Menyatakan rasa nyaman seperti suhu ruangan,
setelah nyeri berkurang pencahayaan, kebisingan
5. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi, dan inter
personal)
6. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
9. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
10. Tingkatkan istirahat
11. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dam
tindakan nyeri tidak berhasil
Analgesic administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesic yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesic ketika
pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesic
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
6. Tentukan analgesic pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, Im untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali
9. Berikan analgesic tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
10. Evaluasi efektivitas
analgesic, tanda dan gejala
DO:
1. Gangguan pada
bagian tubuh
2. Kerusakan lapisan
kulit (dermis)
Gangguan permukaan
kulit (epidermis)
6. Risiko infeksi NOC : NIC :
Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko : keperawatan selama…… pasien 2. Batasi pengunjung bila
1. Prosedur Infasif tidak mengalami infeksi dengan perlu
2. Kerusakan jaringan kriteria hasil: 3. Cuci tangan setiap sebelum
dan peningkatan Immune Status dan sesudah tindakan
paparan lingkungan 1. Status imun, keperawatan
3. Malnutrisi gastrointestinal, 4. Gunakan baju, sarung
4. Peningkatan genitourinaria dalam tangan sebagai alat
paparan lingkungan batas normal pelindung
patogen Knowledge : Infection control 5. Ganti letak IV perifer dan
5. Imonusupresi 1. Klien bebas dari tanda dressing sesuai dengan
6. Tidak adekuat dan gejala infeksi petunjuk umum
pertahanan 2. Menunjukkan kemampuan 6. Gunakan kateter intermiten
sekunder untuk mencegah untuk menurunkan infeksi
(penurunan Hb, timbulnya infeksi kandung kencing
Leukopenia, Risk control 7. Tingkatkan intake nutrisi
penekanan respon 1. Jumlah leukosit dalam 8. Berikan terapi
inflamasi) batas normal antibiotik:.............................
7. Penyakit kronik 2. Menunjukkan perilaku ....
8. Imunosupresi hidup sehat 9. Monitor tanda dan gejala
9. Malnutrisi infeksi sistemik dan lokal
10. Pertahan primer 10. Pertahankan teknik isolasi
tidak adekuat k/p
(kerusakan kulit, 11. Inspeksi kulit dan membran
trauma jaringan, mukosa terhadap
gangguan kemerahan, panas,
peristaltik) drainase
12. Monitor adanya luka
13. Dorong masukan cairan
14. Dorong istirahat
15. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
16. Kaji suhu badan pada
pasien neutropenia setiap 4
jam
Aktifitas :
Arif.Mansjoer, dkk. (2000), Kapita Selekta Kedokteran , Edisi 3 , Jilid 1. EGC : Jakarta
Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad Bandung.(2000). Obstetri
Fisiology.Bandung : Elemen.
Carpenitto, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa :
Monica Ester, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Doengoes, Marilynn E. (2001). Rencana Perawatan Maternal / Bayi Edisi 2.Jakarta :
EGC.
G.W Garland and Joan M.E, 1999, Quickly Obstetric and ginekology of Nurses,
English University Press, London
Haen Forer. (1999). Perawatan Maternitas Edisi 2.Jakarta : EGC.
Hinchliff, Sue. (1996). Kamus Keperawatan.Edisi; 17.EGC : Jakarta
Lynda Jual Carpenito, 2001, Buku Saku Diagnosa keperawatan edisi 8,EGC : Jakarta
Manuaba. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.
Jakarta : EGC.
Muchtar Rustam. (1998). Sinopsis Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi Edisi: 2. Jakarta :
EGC.