Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN AKHIR

KOLABORASI DAN KERJASAMA TIM KESEHATAN II

“Laporan Permasalahan Hipertensi di Kelurahan


Lubang Buaya pada Nov - Des 2017”

Kelas IPE-P19
Aqmar Jalilah (1406567731/FIK) Lady Aurora (1206243186/FK)
Ariana Maulina Putri (1206207962/FKG) Laksmi Bestari (1206247045/FK)
Fismia Hikmah Tiara (1306376553/FF) Luluk Ummaimah (1206207016/FK)
Fransisca Fortunata (1306479822/FF) M. Fakhri Zahir (1206241634/FK)
Freddyhan Suhargo (1306412571/FF) Marina Rosyana (1206207956/FKG)
Ganesya Rita Putri (1306480446/FF) Ratna Dinar M. (1406624003/FIK)
Gerardo Laudus (1306411934/FF) Rivi Maharani A. (1406565985/FKM)
Gusti Indah Lestari (1406542855/FKM) Sayekti Yuliyanti (1406567712/FKM)
Hafshah Samrotul M. (1206256610/FKG) Sudono Sugianto (1406569604/FKM)
Kirana Meita P. (1406544633/FIK) Syifa Maulida (1406566930/FKM)

RUMPUN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1. Profil Puskemas Kecamatan Cipayung


Puskesmas Kecamatan Cipayung terletak di Jl. Bambu Hitam No. 104, Cipayung,
Kota Jakarta Timur. Puskesmas Kecamatan Cipayung membawahi beberapa puskesmas
kelurahan yakni Kelurahan Lubang Buaya, Kelurahan Bambu Apus I dan II, Kelurahan
Cipayung, Kelurahan Munjul, Kelurahan Ceger, Kelurahan Setu, Kelurahan Cilangkap,
serta Kelurahan Pondok Ranggon I dan II.
Puskesmas Kecamatan Cipayung tentunya berada di Wilayah Kecamatan
Cipayung, Kota Administrasi Jakarta Timur. Kecamatan Cipayung sendiri memiliki luas
wilayah 27,36 km2 yang ditempati oleh 122.151 jiwa dengan tingkat pertumbuhan
penduduk mencapai 2,30% per tahunnya. Adapun batas wilayah Kecamatan Cipayung
di utara adalah dengan Kecamatan Makassar (Jakarta Timur), di selatan dengan
Kecamatan Cibinong (Kabupaten Bogor), di timur adalah dengan Kecamatan Pondok
Gede (Jakarta Timur), serta dengan Kecamatan Ciracas (Jakarta Timur) di sebelah barat.

1.2. Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati (KPLDH)


Ketuk Pintu Layani Dengan Hati atau yang disingkat dengan KPLDH, merupakan
upaya pemerintah dalam mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
terutama di bidang promotif dan preventif dengan sasarannya adalah setiap penduduk
yang berdomisili di DKI Jakarta. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan secara
langsung tim KPLDH yang terdiri atas dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, ahli gizi,
kesehatan lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang merupakan mahasiswa
Universitas Indonesia yang sedang memenuhi mata kuliah IPE (interproffesional
education), serta tim KPLDH dari puskesmas kecamatan yang ditugaskan dalam
wilayah tertentu untuk turun ke pintu tiap-tiap rumah warga (home visite). Kegiatan
KPLDH diawali dengan pemeriksaan kesehatan dan pendataan setiap keluarga yang
meliputi informasi-informasi umum tentang keluarga maupun individu yang ada di
setiap keluarga hingga informasi khusus seperti riwayat penyakit dan tanda-tanda vital
seperti berat badan, tinggi badan, dan tekanan darah. Setelah kegiatan pendataan, tim
KPLDH akan mengidentifikasi dan menganalisis masalah, serta menindaklanjutinya.
Tindak lanjut yang dapat diberikan berupa home promotion dan home education oleh
tim KPLDH agar keluarga yang didatangi mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Rumah-rumah yang sudah dilakukan pendataan akan ditempelkan stiker KPLDH
sebagai bukti telah didata.

1.3. Penyakit Tidak Menular


Penyakit tidak menular saat ini merupakan salah satu masalah yang saat ini
menjadi perhatian besar. Pada tahun 2012, diketahui penyakit tidak menular (PTM)
menyebabkan kematian sebesar 56 juta jiwa (68% dari seluruh kasus), lebih dari 40%
berusia kurang dari 70 tahun yang dikategorikan premature death oleh WHO. Selain itu,
diperkirakan selama kurun 2011-2025, kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh PTM
mencapai 7 triliun dolar Amerika Serikat. Oleh karena itu, WHO membuat kebijakan dan
menetapkan target-target utama terkait PTM yang harus diselesaikan sebagai target global
pada tahun 2025.1
WHO setidaknya menetapkan sembilan target yang harus dicapai oleh seluruh
negara di dunia, yang mencakup: (1) 25% penurunan mortalitas penyakit-penyakit
kardiovaskular, kanker, diabetes, serta penyakit saluran napas kronik; (2) penurunan 10%
sakit akibat alkohol; (3) penurunan 10% prevalensi kurangnya aktivitas fisik; (4)
penurunan 30% prevalensi konsumsi rokok; (5) penurunan 30% dari rerata populasi
terhadap intake natrium/garam rumah tangga; (6) penurunan 25% prevalensi hipertensi
berdasarkan kondisi nasional; (7) meningkatkan kewaspadaan diabetes dan obesitas; (8)
target 50% penderita PTM mendapatkan terapi farmakologis yang sesuai; serta (9)
terbukanya akses terhadap obat maupun teknologi untuk penatalaksanaan PTM,
setidaknya 80% dari keseluruhan.1
Berdasarkan data riset kesehatan dasar 2013, diketahui bahwa terjadi
kecenderungan peningkatan prevalensi beberapa penyakit tidak menular. Misalnya
diketahui penyakit DM pada tahun 2013 memiliki prevalensi 2,1% yang meningkat dari
tahun 2007 dengan prevalensi sebesar 1,1%. Penyakit hipertensi juga memiliki prevalensi
yang meningkat dari 7,6% pada 2007 menjadi 9,5% pada 2013. Hasil ini merupakan
hipertensi yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Namun, berdasarkan pengukuran
justru ditemukan penurunan dari 31,7% di tahun 2007 hingga 25,8%. Hal ini diasumsikan
sebagai meningkatnya kesadaran masyarakat. Jika diagnosis hipertensi meningkat, namun
secara pengukuran akan lebih baik, artinya kesadaran masyarakat akan hipertensi sudah
semakin baik yang berimplikasi pada terkontrolnya tekanan darah para penderitanya. 2

1.4. Kolaborasi Tenaga Kesehatan dan Pencegahan PTM


Melihat tingginya prevalensi, komorbid, mortalitas, hingga perhatian pemerintah
terhadap PTM dapat diartikan bahwa PTM merupakan permasalahan besar yang harus
dicari solusinya. Di dalam salah satu studi oleh Pearce et al. (2015), dituliskan bahwa
pencegahan PTM merupakan salah satu strategi terbaik untuk mengobati PTM di
masyarakat. Namun sebelum mencapai target tersebut, tentunya suatu negara harus
memperkuat sistem kesehatannya serta membuat sistem yang inovatif yang terjangkau.
Pearce et al. (2015) juga mengatakan bahwa diperlukan suatu sistem multisektoral
terintegrasi baik demi tercapainya pencegahan PTM ini.3,4
Telah diketahui pula bahwa beban PTM demikian besarnya di seluruh dunia
sehingga mengakibatkan pengeluaran biaya yang sangat tinggi. Namun berdasarkan
beberapa literatur yang ada, diketahui bahwa sistem kesehatan terintegrasi yang berbasis
pencegahan merupakan salah satu cara yang memiliki cost-effectiveness tertinggi.
Beberapa poin utamanya adalah (1) menurunkan pajanan terhadap faktor risiko melalui
promosi kesehatan dan pencegahan primer, (2) deteksi dan tatalaksana dini, serta (3)
pendataan terhadap tren penyakit serta faktor risikonya.3
Untuk menjalankan seluruh sistem multisektoral dan terintegrasi seperti yang
telah dijabarkan di atas, tentu saja diperlukan adanya kolaborasi antar tenaga
kesehatan/kolaborasi interprofesional. Dalam satu studi bahkan diketahui bahwa
kolaborasi interprofesional antar tenaga kesehatan diketahui dapat menurunkan angka
morbiditas, mortalitas, hingga mencegah reaksi obat yang tidak diinginkan. Sehingga
kemudian banyak literatur yang menyimpulkan bahwa kolaborasi interprofesional secara
konsisten dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan dari penatalaksanaan penyakit
secara holistik dan komprehensif.4,5
Kolaborasi interprofesional yang baik kemudian dikatakan dalam beberapa
literatur akan menghasilkan suatu sistem kesehatan primer yang baik, serta dapat
menciptakan sistem yang mampu mencegah serta menatalaksana PTM dengan baik. Hal
ini tentu akan berdampak pada penurunan beban negara akibat PTM yang sangat tinggi
saat ini.4,5
BAB II
METODE

2.1 Penentuan Fokus Masalah


Berdasarkan data sekunder dari Profil Kesehatan DKI Jakarta pada tahun 2015,
didapatkan prevalensi hipertensi di Kotamadya Jakarta Timur mencapai 57,79% dan
melebihi prevalensi di Provinsi DKI Jakarta yakni sebesar 39,88%. Di Kelurahan
Lubang Buaya didapat pula insidensi hipertensi sebesar 10,90%, namun berada di
peringkat ke-2 kunjungan terbanyak di Puskesmas Kelurahan Lubang Buaya. Oleh
sebab itu, fokus masalah yang dipilih adalah masalah hipertensi di Kelurahan Lubang
Buaya sebagai salah satu bentuk upaya promotif dan preventif, kami berupaya untuk
mengetahui beberapa profil diantaranya adalah usia, pendidikan, pengukuran tekanan
darah langsung, berat badan, tinggi badan, serta riwayat aktivitas fisik, riwayat
merokok, dan pola makan sayur dan buah.

2.2 Tempat dan Waktu Pengambilan Data


Tempat : Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Tanggal : 10 November 2017; 24 November 2017; 8 Desember 2017

2.3 Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah data primer
yang terdiri dari data kuantitatif. Data primer diperoleh dengan cara wawancara
langsung kepada warga di Kelurahan Lubang Buaya. Komponen yang kami gunakan
sebagai data kuantitatif adalah usia, tekanan darah, berat badan, tinggi badan, kebiasaan
merokok, kebiasaan melakukan aktivitas fisik, dan kebiasaan konsumsi sayur dan buah.

2.4 Metode Pengambilan Data


Data diambil dari seluruh orang yang ditemui saat melakukan KPLDH. Rumah
yang dikunjungi ditentukan melalui mekanisme penentuan secara acak. Seluruh rumah
yang belum pernah dilakukan KPLDH akan dikunjungi untuk kemudian diwawancara
serta diukur beberapa data dasarnya. Dengan metode tersebut, kemudian didapatkan
subjek laporan sebanyak 97 orang. Subjek dengan data yang tidak lengkap kemudian
dieksklusi sehingga didapatkan subjek berjumlah 78 orang.

2.5 Definisi Operasional


Beberapa definisi operasional yang digunakan di dalam penelitian ini diantaranya
adalah:
1. Hipertensi (pengukuran)
Diagnosis hipertensi disimpulkan berdasarkan riwayat dinyatakan hipertensi dan
terdeteksi hipertensi saat dilakukan pemeriksaan saat KPLDH yang memiliki
kriteria tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 130 mmHg atau diastolik
lebih dari sama dengan 80 mmHg. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara, pasien
yang telah terdiagnosis hipertensi sebelumnya akan didiagnosis pula sebagai pasien
hipertensi.6
2. Berat badan berlebih
Berat badan berlebih didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang lebih besar
sama dengan 23,0 kg/m2 sesuai dengan kriteria indeks massa tubuh Asia oleh
WHO.7
BAB III
HASIL

3.1 Karakteristik Sosiodemografi Respondens

Tabel 3.1. Persentase jenis kelamin respondens dewasa ( >15 tahun) (n=78)
Jenis Kelamin Total
Pria 32 (41,03%)
Wanita 46 (58,97%)

Tabel 3.2 Persentase kelompok usia respondens dewasa ( > 15 tahun) (n=78)
Usia Total
16-64 tahun 75 (96,15%)
>65 tahun 3 (3,85%)

Tabel 3.3 Persentase profil pendidikan respondens dewasa ( > 15 tahun) (n=78)
Pendidikan Total
N/A 4 (5,13%)
SD 2 (2,56%)
SD Tidak Tamat 7 (8,97%)
SMP 17 (21,79%)
SMA 30 (38,46%)
D1 2 (2,56%)
D3 5 (6,41%)
D4/S1 11 (14,10%)

Tabel 3.4 Persentase indeks massa tubuh respondens dewasa (> 15 tahun) (n=78)
Usia Total
N/A 25 (32,05%)
≥ 23,0 kg/m2
28 (35,90%)
2
< 23,0 kg/m 25 (32,05%)

3.2 Identifikasi Masalah

Tabel 3.5 Persentase penderita penyakit respondens dewasa (> 15 tahun) (n=67)
Jenis Penyakit Total
Hepatitis 1 (1,49%)
Hipertensi 23 (34,33%)
Diabetes 3 (4,48%)
Kanker 2 (2,99%)
Sakit Gigi 38 (56,72%)

Tabel 3.6 Penentuan prioritas masalah menggunakan metode ITR


I
Jenis Penyakit T R I×T×R
P S RI DU SB PB PC TOTAL
Hepatitis 1.00 3.00 3.00 0.00 3.00 0.00 0.00 10.00 3.00 1.00 30.00
Hipertensi 1.00 5.00 5.00 0.00 5.00 0.00 0.00 16.00 5.00 5.00 400.00
Diabetes 1.00 5.00 5.00 0.00 5.00 0.00 0.00 16.00 5.00 5.00 400.00
Kanker 1.00 5.00 5.00 0.00 5.00 0.00 0.00 16.00 1.00 1.00 16.00
Sakit Gigi 5.00 1.00 1.00 0.00 3.00 0.00 0.00 10.00 5.00 5.00 250.00

3.3 Data Kuantitatif

Tabel 3.7 Proporsi penderita hipertensi respondens dewasa (> 15 tahun) (n=23)
Jenis Penyakit Total
Terdiagnosa Hipertensi 7
• Hipertensi Terkontrol 1
• Hipertensi Tidak Terkontrol 6
Hipertensi Kasus Baru 16

Tabel 3.8. Proporsi jenis kelamin respondens dewasa (>15 tahun) (n=78)
Pria Wanita Total
Hipertensi 4 (5,13%) 19 (24,36%) 23 (29,49%)
TD Normal 28 (35,90%) 27 (34,62%) 55 (70,51%)

Total 32 (41,03%) 46 (58,97%) 78 (100%)

Tabel 3.9 Persentase indeks massa tubuh respondens dewasa (>15 tahun) (n=53)
IMT ≥ 23,0 kg/m2 IMT < 23,0 kg/m2 Total
Hipertensi 19 (35,85%) 2 (3,77%) 21 (39,62%)
TD Normal 9 (16,98%) 23 (43,40%) 32 (60,38%)
Total 28 (52,83%) 25 (47,17%) 53 (100%)

Tabel 3.10 Proporsi respondens dewasa (> 15 tahun) yang merokok (n=78)
Merokok Tidak Total
Hipertensi 1 (1,28%) 22 (28,21%) 23 (29,49%)
TD Normal 9 (11,54%) 46 (58,97%) 55 (70,51%)
Total 10 (12,82%) 68 (87,18%) 78 (100%)
Tabel 3.11 Proporsi respondens dewasa (> 15 tahun) yang melakukan kebiasaan aktivitas fisik
minimal 30 menit per hari (n=78)
Rutin Tidak Total
Hipertensi 15 (19,23%) 8 (10,26%) 23 (29,49%)
TD Normal 29 (37,18%) 26 (33,33%) 55 (70,51%)
Total 44 (56,41%) 34 (43,59%) 78 (100%)

Tabel 3.12 Proporsi respondens dewasa (> 15 tahun) yang memiliki kebiasaan konsumsi buah
dan sayur setiap hari (n=78)
Rutin Tidak Total
Hipertensi 16 (20,51%) 7 (8,97%) 23 (29,49%)
TD Normal 42 (53,85%) 13 (16,67%) 55 (70,51%)
Total 58 (74,36%) 20 (25,64%) 78 (100%)

Tabel 3.13 Proporsi penderita DM pada respondens dewasa (> 15 tahun) (n=67)
DM Tidak Total
Hipertensi 3 (4,48%) 19 (28,36%) 22 (32,84%)
TD Normal 0 (0%) 45 (67,16%) 45 (67,16%)
Total 3 (4,48%) 64 (95,52%) 67 (100%)
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Masalah


Dalam kasus ini, kami menggunakan data-data hasil survei yang diperoleh dari
penduduk yang berdomisili di kelurahan Lubang Buaya, kecamatan Cipayung. Dari
hasil pengolahan data, terlihat bahwa hipertensi merupakan masalah utama yang terjadi
pada daerah tersebut. Oleh karena itu, kami melakukan peninjauan terhadap faktor
penyebab penyakit hipertensi berdasarkan Paradigma Blum (1981).8
Paradigma ini menganalisis masalah dari empat sisi utama, yakni:
1. Lingkungan
a. Rendahnya pengetahuan mengenai penyakit (terkait pendidikan/edukasi)
2. Gaya hidup
a. Makanan
b. Aktivitas fisik
c. Obesitas
d. Merokok
e. Stres
3. Hereditas
a. Riwayat genetik
b. Usia
4. Pelayanan kesehatan
a. Pemeriksaan kesehatan rutin
b. Monitoring penggunaan obat

4.1.1. Lingkungan
Lingkungan disini mencakup segala dimensi fisik, sosioekonomi, sosiopolitik dan
sosiokultural.8 Dari hasil wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa kebanyakan
penderita hipertensi menganggap bahwa hipertensi merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan, sehingga mereka cenderung untuk menghentikan penggunaan obat jika
gejala yang dirasakan sudah hilang atau berkurang. Hal ini sebaiknya dihindari karena
hipertensi merupakan penyakit degeneratif, dimana kontrol tekanan darah perlu
dilakukan secara rutin. Hal tersebut tidak dapat dielakkan mengingat rata-rata penderita
tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam dunia kesehatan dengan tingkat
pendidikan yang rendah. Mereka tidak mengetahui bahaya yang mungkin dapat terjadi
akibat penghentian penggunaan obat tersebut.
Selain itu, kasus yang juga dijumpai adalah penggunaan suplemen untuk
mengobati penyakit hipertensi yang diderita. Pasien mendapat informasi dari penduduk
setempat bahwa hipertensi dapat diobati tanpa menggunakan obat dari dokter,
melainkan hanya dengan mengonsumsi suplemen. Suplemen hanyalah bersifat sebagai
penunjang yang berfungsi untuk membantu meningkatkan stamina dan nutrisi yang
tidak dicukupkan hanya dari makanan saja.

4.1.2. Gaya Hidup


Studi menunjukkan bahwa makanan berperan penting dalam memicu terjadinya
hipertensi. Makanan yang tinggi lemak dan natrium diketahui dapat meningkatkan
tekanan darah akibat penyumbatan arteri dan retensi cairan pada ginjal sehingga dapat
meningkatkan risiko strok dan serangan jantung.
Aktivitas fisik sehari-hari juga menjadi faktor lain yang berperan dalam
menimbulkan hipertensi. Studi menunjukkan bahwa orang yang melakukan aktivitas
lebih dari 5 jam per minggu memiliki kemungkinan hipertensi yang lebih rendah pada
dua hingga tiga dekade ke depan dalam kehidupannya. 9
Kelebihan berat badan merupakan salah satu faktor risiko yang harus diperhatikan
dalam hipertensi. Data menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari pasien hipertensi
tergolong dalam kategori berat badan berlebih (overweight). Kejadian hipertensi 2-3 kali
lipat lebih sering terjadi pada orang dengan berat badan berlebih (overweight).10 Hal ini
diduga karena pengaruh obesitas terhadap regulasi hormon dalam tubuh, dimana yang
paling dipengaruhi adalah sistem RAA yang bertanggung jawab dalam regulasi tekanan
darah.11
Merokok juga merupakan faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Menurut studi,
merokok memang dapat menyebabkan hipertensi karena nikotin dan karbon monoksida
yang dihasilkan memiliki efek toksik pada jantung dan pembuluh darah. Nikotin dapat
merusakan sistem kardiovaskular secara akut melalui reaksi pengikatan dengan reseptor,
yang dapat menstimulasi sistem saraf simpatis sehingga memicu pelepasan katekolamin
yang akhirnya meningkatkan detak jantung dan tekanan darah sistolik. Zat tersebut juga
dapat menyebabkan disfungsi endotelial melalui serangkaian reaksi. Disfungsi tersebut
terjadi karena pengurangan produksi oksida nitrat sehingga vasodilatasi pembuluh darah
terhambat.12
Terakhir, faktor stres juga berperan dalam menyebabkan hipertensi. Stres dapat
menstimulasi baroreseptor vaskular dan mengurangi sensitivitas dari korteks serebral
yang akhirnya dapat memicu hipertensi.13

4.1.3. Hereditas
Riwayat genetik dan jenis kelamin merupakan faktor risiko terkait herediter yang
menyebabkan terjadinya hipertensi. Hipertensi dapat terjadi pada siapa saja, akan tetapi
cenderung terjadi pada pasien wanita dan pasien lansia. Wanita usia muda memiliki
kemungkinan hipertensi yang lebih rendah daripada pria usia muda. Akan tetapi, setelah
memasuki usia 50, prevalensi meningkat tajam melebihi pria yang memasuki usia ke-
6010.
Selain itu, usia juga mempengaruhi prevalensi hipertensi. Data yang diperoleh
dari hasil studi yang dilakukan Framingham (2007) menunjukkan bahwa tekanan
sistolik akan terus meningkat pada usia 30 hingga usia 84 dan seterusnya. Tekanan
diastol memiliki pola yang bervariasi, dimana diastol akan meningkat hingga memasuki
usia 50 dan melambat turun dari usia 60 hingga 84.14 Hal tersebut menjadi faktor utama
yang tidak dapat dihindari sehingga perlu disiasati dengan modifikasi gaya hidup sehat.

4.1.4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang penting dalam
penanggulangan hipertensi dan PTM lainnya. Aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan menjadi hal yang dikeluhkan oleh warga karena puskesmas kelurahan
terdekat sedang direnovasi sehingga masyarakat harus ke puskesmas kecamatan. Daerah
yang cukup jauh dan sulit dijangkau oleh masyarakat menyebabkan masyarakat enggan
pergi ke puskesmas untuk sekadar melakukan skrining berkala maupun untuk
melakukan pengobatan penyakit yang dideritanya. Selain itu, kurangnya sosialisasi
jadwal pelaksanaan posbindu kepada masyarakat membuat masyarakat tidak
mengetahui dan tidak memanfaatkan layanan tersebut.
Faktor lain yang memengaruhi kondisi ini adalah kurang memadainya edukasi
yang diberikan tenaga kesehatan kepada pasien hipertensi sehingga pasien tidak
memahami kemungkinan terjadinya komplikasi dari penyakit hipertensi. Selain itu,
tidak adanya sistem monitoring penggunaan obat oleh farmasis/apoteker menjadi salah
satu faktor yang berperan dalam ketidakpatuhan tersebut. Sesungguhnya, hal tersebut
merupakan salah satu tugas seorang apoteker dalam melakukan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat yang sesuai dengan yang tertera dalam PMK No. 74 tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.15

4.2. Tim Pelayanan Kesehatan


Tim pelayanan kesehatan adalah sekelompok individu yang bekerja bersama
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab dan efektif. Anggota
tim saling bergantung sama lain untuk mencapai tujuan yang sama melalui interaksi di
dalam tim.16 Kerjasama tim yang efektif akan meningkatkan kualitas pelayanan pasien,
mendorong keselamatan pasien, dan mengurangi beban kerja antaranggota.17
4.2.1. Hambatan dalam Tim Layanan Kesehatan
Dalam kerjasama tim, tim pelayanan kesehatan dapat menemukan beberapa
hambatan mulai dari karakteristik anggota tim dan komunikasi interprofesional.
Hambatan-hambatan tersebut dapat dilihat pada poin-poin dibawah ini.
Hambatan dalam Tim Layanan Kesehatan
a. Kepemimpinan yang kurang jelas dapat berdampak pada rendahnya pelayanan
kesehatan terhadap pasien. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya partisipasi,
tujuan yang tidak jelas, dan rendahnya komitmen terhadap pelayanan kesehatan
pasien.18
b. Perbedaan pendekatan konseptual dalam menyelesaikan masalah.20 Hal ini dapat
berkaitan dengan perbedaan kultur masing-masing profesi.
c. Masing-masing anggota belum mengenal satu sama lain dengan baik.
d. Keengganan untuk berubah dan menerima anggota tim yang baru dikenal. 20
e. Kemampuan penyesuaian diri dalam pola komunikasi untuk menyatukan perbedaan
kemampuan interpersonal antaranggota.21
f. Kekurangan waktu untuk bertemu dan mengadakan implementasi diskusi.22
g. Aspek pendukung yang tidak efektif, contohnya teknologi informasi. Dalam
menindaklanjuti hal tersebut, rekam medis elektronik sangat diperlukan dalam
memfasilitasi komunikasi dan tukar informasi antaranggota. 22

Hambatan dalam Komunikasi dan Kolaborasi Interprofesional23


a. Perbedaan nilai individu yang dianut
b. Perbedaan kepribadian
c. Tingkah laku yang mengganggu
d. Kebudayaan dan etnis
e. Perbedaan generasi
f. Jenis kelamin
g. Riwayat persaingan interprofesional dan intraprofesional
h. Perbedaan istilah bahasa yang digunakan
i. Perbedaan jadwal dan rutinitas profesional
j. Perbedaan tingkat status dan kualifikasi
k. Perbedaan persyaratan, regulasi, dan norma pendidikan profesional
l. Perbedaan tanggung jawab
m. Penekanan pada kemampuan pengambilan keputusan dengan cepat

Dalam pelaksanaan KPLDH di Puskesmas Kecamatan Cipayung, hambatan dari


segi karakteristik tim maupun komunikasi interprofesional menjadi hal yang tidak bisa
dihindari. Dari segi karakteristik tim, kondisi tim yang berisi anggota dari fakultas yang
berbeda dengan angkatan yang berbeda diikuti dengan intensitas pertemuan yang
singkat menjadi hambatan yang paling dirasakan. Dari segi komunikasi interprofesional,
perbedaan jadwal dan rutinitas profesional, perbedaan istilah dan bahasa yang
digunakan, serta penekanan pengambilan keputusan yang cepat menjadi hal yang paling
menonjol.
4.2.2. Tantangan dalam Tim Pelayanan Kesehatan
Kedepannya, terdapat beberapa tantangan yang akan dialami oleh tim pelayanan
kesehatan, yaitu:
a. Karakteristik sosial yang menunjukkan status anggota tim (seperti ras, jenis
kelamin, usia) dapat menjadi salah satu hambatan untuk mencapai fungsi tim yang
efektif karena anggota tim dengan status yang lebih tinggi seringkali memiliki
pengaruh yang lebih besar di antara anggota.17
b. Dalam tim pelayanan kesehatan, dibutuhkan suatu koordinasi, integrasi, dan
komunikasi. Seringkali ketiga fungsi ini tidak terlaksana dengan baik18 karena
adanya perbedaan disiplin ilmu yang dianut oleh masing-masing anggota tim.19
c. Pelayanan kesehatan yang semakin kompleks akan berkaitan dengan peningkatan
jumlah orang yang sakit. Hal ini mengakibatkan peningkatan beban pekerjaan. 24
Dalam hal ini, pertimbangan efektivitas dan efisiensi pelayanan dari berbagai
pendekatan profesi dapat dipertimbangkan.

4.2.3. Upaya Antisipasi Hambatan dan Tantangan dalam Tim Layanan Kesehatan
Dalam menghadapi hambatan dan tantangan, perlu dilakukan upaya antisipasi
yang meliputi seluruh aspek yang berperan dalam tim pelayanan kesehatan. Upaya yang
dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut.
a. Tujuan pelayanan kesehatan yang hendak dicapai harus memiliki target yang jelas,
yaitu meningkatkan kualitas hidup warga di daerah Puskesmas Kecamatan
Cipayung dan meningkatkan tanggung jawab individu dalam menjaga
kesehatannya.16 Akuntabilitas dapat dilakukan dengan membuat target-target
terukur sesuai dengan rekomendasi kementerian kesehatan maupun dari pihak
Puskesmas sendiri.
b. Tujuan bersama yang akan dicapai tim haruslah menerapkan sistem built-in
performance feedback.16
c. Adanya kontribusi yang bermanfaat dari setiap anggota dan anggota yang lain
mengakui kontribusi yang telah diberikan. Setiap individu harus menyadari bahwa
mereka berperan penting dan bersifat esensial dalam kesuksesan sebuah tim [1].
Adanya kejelasan peran di antara tim pelayanan kesehatan akan memudahkan
pencapaian tujuan.17
d. Adanya penentuan siapa yang berperan sebagai manajer dalam suatu tim akan
membantu koordinasi dan integrasi yang efektif, sehingga kesulitan dalam
berkomunikasi lebih mudah untuk dihindarkan.18
e. Menyediakan waktu luang untuk berkumpul bersama sehingga setiap anggota dapat
saling mengenal dengan baik satu sama lain.20
f. Kepemimpinan yang jelas dan efektif16, akan meningkatkan antusiasme dan
kesenangan dalam bekerja, bahkan menjaga rasa optimisme dan tingkat
kepercayaan diri anggota tim serta meningkatkan kemampuan beradaptasi dalam
diri anggota.18 Selain itu, pemimpin efektif akan mampu memastikan anggota tim
dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.20
g. Pertemuan yang rutin dan berkualitas untuk memastikan komunikasi dan kooperasi
yang efektif dalam pengambilan sebuah keputusan. 16 Metode komunikasi yang
direkomendasikan adalah ISBAR (Identify, Situation, Background, Assessment,
Recommendation).24,25
I : identifikasi diri – orang yang akan diberi informasi
S : menyampaikan tujuan dan apa yang sedang terjadi
B: menyampaikan informasi yang perlu diketahui orang tersebut
A: menyampaikan pemikiran terkait penilaian situasi dan manajemen situasi
R: menyampaikan rekomendasi apa yang sebaiknya dilakukan
h. Adanya rasa saling percaya dan aman di dalam sebuah tim16, yang menunjukkan
tingkat mutual respect yang tinggi antaranggota. Seluruh anggota tim saling
mendengarkan satu sama lain dan menghormati perbedaan pandangan 26. Bahkan,
setiap anggota percaya bahwa bekerja dalam tim merupakan metode terbaik dalam
mengintegrasikan kontribusi dari seluruh anggota.21

4.3. Saran dan Penyelesaian Masalah


Saran dan penyelesaian masalah dalam tim adalah:
a. Melakukan manajemen konflik (conflict management) dengan adanya pemahaman
dan panduan mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing profesi kesehatan
sehingga terdapat batasan yang jelas mengenai pekerjaan yang dijalankan. 28
b. Mewujudkan kepemimpinan yang baik dalam tim sehingga dapat mengarahkan
seluruh anggota tim yang terdiri dari berbagai macam profesi kesehatan untuk
mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh tim, yakni meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat sehingga tercapai masyarakat yang lebih sehat.
c. Setiap anggota tim adalah sederajat dan berhak untuk menyampaikan opininya serta
berpartisipasi aktif sesuai dengan kompetensinya dalam penentuan dan pelaksanaan
solusi guna menyelesaikan masalah yang dihadapi.
d. Melaksanakan koordinasi tim yang baik dan aktif melakukan komunikasi antar
anggota tim.
Saran dan penyelesaian masalah kesehatan yang dihadapi
a. Mengoptimalkan peran kader sebagai penghubung antara masyarakat dan profesi
kesehatan apabila terdapat kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan.
b. Menggerakkan masyarakat untuk membangun pelayanan kesehatan berbasis
masyarakat seperti posbindu.
c. Mengadakan penyuluhan kesehatan mengenai hipertensi, mencakup perjalanan
penyakit, tata laksana komprehensif, komplikasi penyakit, serta fasilitas dari layanan
kesehatan setempat terkait pencegahan dan penatalaksanaan hipertensi.
d. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan modifikasi gaya hidup untuk
menunjang penurunan angka kejadian hipertensi. Penurunan berat badan, meskipun
hanya sebesar 10 lb, dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada
penderita hipertensi yang overweight. Selain itu, diet kaya nutrisi pada buah dan
sayuran, serta rendah lemak jenuh terbukti dapat menurunkan tekanan darah
penderita hipertensi. Konsumsi natrium yang banyak terkandung dalam garam juga
perlu dibatasi, yaitu asupan Na yang ideal yaitu 1,5 g/hari. 27 Beberapa hal yang
dapat diterapkan pada warga dalam rangka mencegah dan mengontrol hipertensi
yaitu sebagai berikut:
a. Meningkatkan jumlah dan frekuensi program pencegahan hipertensi selain
penyuluhan, seperti senam, jogging, berenang, bersepeda. Karena latihan
aerobik selama minimal 30 menit dapat menurunkan tekanan darah.
b. Menyarankan masyarakat terutama pasien hipertensi untuk berhenti merokok
serta mengingatkan pentingnya berhenti merokok untuk mencegah komplikasi
hipertensi.
c. Menyarankan pasien hipertensi untuk menjaga pola makan dengan membatasi
jumlah asupan garam, yaitu dengan menghindari makanan tinggi garam seperti
sup, keju, dan daging olahan.
Besarnya Pengurangan
Modifikasi Rekomendasi Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
Penurunan Menjaga berat badan normal (BMI: 18,5 – 24,9 5 – 20 setiap penurunan
BB kg/m2) BB sebesar 10 kg
Pola makan Mengonsumsi makanan kaya nutrisi seperti buah 8 – 14
yang baik dan produk susu rendah lemak
Pembatasan Mengurangi asupan natrium harian, idealnya 65 2–8
asupan mmol/hari (1,5 g/hari Na atau 3,8 g/hari NaCl)
natrium
Aktivitas Melakukan aktivitas fisik aerobik rutin (minimal 4–9
fisik 30 menit/hari)
Konsumsi Membatasi konsumsi alkohol hingga ≤ 2 2–4
alkohol gelas/hari pada laki-laki dan ≤ 1 gelas/hari pada
wanita dan orang dengan BB ringan

e. Memanfaatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai role model dalam hal
kesehatan.
f. Melakukan pendataan teratur dan terkoordinir mengenai jumlah penderita hipertensi
di masyarakat, dengan mencakup hasil pendataan KPLDH serta data dari fasilitas
pelayanan kesehatan di wilayah setempat.
g. Mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam menjaga kesehatan melalui
kesadaran yang lebih tinggi dalam bentuk edukasi dan konseling personal.
h. Melakukan pembinaan kesehatan lingkungan termasuk makanan dan adanya potensi
timbul penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular pada kelompok
khusus di masyarakat (home surveillance).
i. Memperkuat sistem multisektoral terintegrasi baik demi tercapainya pencegahan
hipertensi.

4.4. Peran Profesi Kesehatan dalam Mengatasi Masalah Kesehatan


4.4.1. Ahli Kesehatan Masyarakat, Gizi, dan Kesehatan Lingkungan
Kesehatan masyarakat merupakan ilmu dan seni dalam mencegah penyakit,
memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui usaha masyarakat yang
terorganisir.29 Sesuai dengan filosofi kesehatan masyarakat sendiri, pelayanan kesehatan
yang diberikan bersifat promotif dan preventif untuk masyarakat. Pelayanan kesehatan
bersifat promotif berarti menekankan pada kegiatan promosi kesehatan seperti
penyuluhan atau sosialisasi mengenai hal-hal yang dapat mencegah seseorang menderita
hipertensi. Sedangkan, pelayanan kesehatan bersifat preventif berarti melakukan
tindakan pencegahan untuk menghindari hipertensi tersebut seperti mengurangi
konsumsi garam dan kafein, mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, menjaga
berat badan agar tetap normal, berolahraga secara teratur, dan menghindari rokok.
Berbeda dengan sasaran pelayanan kuratif dan rehabilitatif yang berfokus pada
individu yang sakit, pelayanan kesehatan yang diberikan oleh ahli kesehatan masyarakat
berfokus pada masyarakat yang sehat (berbasis komunitas). Kesehatan masyarakat juga
berperan dalam pembuatan program-program kesehatan dengan tujuan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dan melakukan advokasi kepada stakeholder di
masyarakat agar sadar mengenai masalah kesehatan yang ada di wilayah tempat
tinggalnya dengan data yang mendukung. Dalam hal ini yaitu untuk mencegah dan
membuat masyarakat sadar lebih dini mengenai masalah hipertensi.
Selain itu, ahli kesehatan lingkungan dapat melakukan studi epidemiologi terkait
hipertensi di wilayah yang bersangkutan. Hasil studi kemudian digunakan sebagai dasar
untuk melakukan intervensi perilaku sehat dan lingkungan yang bersih.

4.4.2. Farmasis/Apoteker
Berikut adalah beberapa peran farmasis dalam mengatasi masalah kesehatan:
a. Melakukan konseling/pelayanan informasi obat secara lengkap terkait obat yang
akan dikonsumsi.
b. Mengedukasi mengenai obat hipertensi yang merupakan obat yang harus
dikonsumsi terus menerus walaupun gejala sudah membaik
c. Mengkaji kemungkinan adanya interaksi obat
d. Mengedukasi mengenai tindakan yang harus dilakukan apabila pasien lupa atau
terlambat meminum obat
e. Menyarankan kondisi atau tempat yang baik untuk menyimpan obat
f. Mengedukasi bagaimana membuang obat yang sudah kadaluarsa atau rusak
g. Monitoring penggunaan obat hipertensi (kepatuhan) dan efek samping yang
mungkin terjadi.

4.4.3. Keperawatan
Terdapat tiga peran perawat, yaitu perawat sebagai praktisi, perawat sebagai
pemimpin, dan perawat sebagai peneliti. Dalam masalah ini, peran perawat yang sangat
penting yaitu peran sebagai praktisi. Perawat sebagai praktisi merupakan peran yang
paling dominan dalam perawatan primer, sekunder, dan tersier dalam setting individu,
kelompok, maupun masyarakat.30 Perawat dapat membantu klien dengan melakukan
intervensi langsung kepada klien, melakukan edukasi kesehatan kepada klien dan
keluarga, dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan
keperawatan.30
Dalam masalah ini, perawat dapat memberikan edukasi mengenai makanan dan
gizi pada hipertensi, serta melakukan kunjungan ke rumah klien untuk melakukan
pengecekan kesehatan secara rutin, dan modifikasi lingkungan tempat tinggal klien agar
terciptanya lingkungan yang adekuat terhadap proses perawatan mandiri klien.

4.4.4. Dokter
Dalam penatalaksanaan pasien dengan hipertensi, penting untuk menerapkan lima
pilar pencegahan guna meraih kendali tekanan darah yang baik dan dalam setiap tahap,
terdapat peranan yang dapat dilakukan oleh seorang dokter, seperti:
- Promosi kesehatan
Melakukan penyuluhan terkait hipertensi kepada masyarakat setempat, mencakup
perjalanan penyakit hipertensi, faktor risiko, upaya pencegahan yang perlu dilakukan,
diagnosis, penatalaksanaan, serta komplikasi dari hipertensi.
- Pencegahan spesifik
Melakukan edukasi kepada kelompok berisiko, seperti individu dengan diabetes
mellitus, usia lanjut, perokok, obesitas, dislipidemia, atau individu dengan riwayat
keluarga penderita hipertensi mengenai risiko mereka mengalami hipertensi sehingga
dibutuhkan kontrol tekanan darah rutin setiap tahun yang dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan primer terdekat.
- Diagnosis dini dan penatalaksanaan segera
Menegakkan diagnosis hipertensi serta melakukan penatalaksanaan yang
komprehensif (mencakup tata laksana farmakologi serta non-farmakologi seperti
edukasi nutrisi dan rekomendasi aktivitas fisik) sesegera mungkin kepada pasien.
- Pencegahan disabilitas dan rehabilitasi
Mencegah terjadinya komplikasi pada pasien hipertensi, dengan melakukan
pemeriksaan rutin untuk memantau apakah pasien sudah mengalami komplikasi
hipertensi atau belum (contoh : gangguan ginjal, penyakit jantung) dan melakukan
rehabilitasi sesuai dengan komplikasi yang dialami oleh pasien sebagai langkah
peningkatan kualitas hidup pasien.

4.4.5. Dokter Gigi


Dalam praktiknya, sebelum memulai perawatan dental, seorang dokter gigi perlu
memperhatikan riwayat medis pasien termasuk riwayat penyakit sistemik. Berdasarkan
data KPLDH yang telah terkumpul, hipertensi merupakan penyakit sistemik yang paling
banyak diderita oleh warga Kelurahan Lubang Buaya. Pasien dengan riwayat hipertensi
memiliki modifikasi perawatan gigi yang khusus terkait beberapa hal yang harus
diperhatikan seperti berapa tekanan darah pasien saat datang perawatan, apakah
hipertensinya terkontrol, medikasi yang dikonsumsi, pemilihan obat anestesi, dan
komplikasi perawatan dental yang mungkin terjadi, terutama untuk perawatan ekstraksi
gigi.
Peran dokter gigi dalam penyelesaian masalah ini adalah senantiasa memberikan
edukasi kesehatan gigi dan mulut kepada pasien hipertensi, terkait pengaruh hipertensi
maupun obat yang dikonsumsi terhadap kesehatan gigi dan mulut. Hal yang perlu
disampaikan oleh dokter gigi adalah obat antihipertensi memiliki beberapa efek
samping terhadap kondisi rongga mulut dan interaksinya dengan obat-obatan lain.
Penggunaan obat antihipertensi dapat menyebabkan penurunan produksi air liur yang
menyebabkan mulut kering, ulserasi, dan pembesaran gusi (gingival enlargement). Oleh
sebab itu, dokter gigi perlu mengedukasi pasien untuk senantiasa mengonsumsi air putih
minimal 8 gelas per hari agar hidrasi rongga mulut baik dan pasien tidak merasa
mulutnya kering. Mulut yang kering dan kurangnya produksi saliva dapat menimbulkan
masalah gigi dan mulut lain seperti bau mulut dan karies gigi. Selain itu, obat
antihipertensi dapat berinteraksi dengan obat NSAID, sehingga sebaiknya pasien
menghindari konsumsi obat-obatan NSAID, contohnya asam mefenamat (Ponstan),
Cataflam karena dapat mengganggu kerja obat antihipertensi (terutama calcium channel
blockers).31
Dokter gigi perlu mengedukasi pasien hipertensi terkait perawatan gigi dan mulut
serta risiko komplikasi apa yang mungkin terjadi. Pasien hipertensi sebaiknya
melakukan kunjungan perawatan di pagi hari, karena saat pagi hari mood pasien akan
lebih baik dan kondisi tubuh lebih segar. Ketika siang/sore hari, pasien cenderung
memiliki tingkat stres yang lebih tinggi sehingga berisiko terjadi peningkatan tekanan
darah. Sebelum memulai perawatan dental, pasien hipertensi harus diperiksa tekanan
darah dan ditanyakan apakah terdapat penyakit sistemik lain yang menyertai, misalnya
penyakit jantung/diabetes mellitus. Dokter gigi perlu menggali dengan detail kapan
terakhir kali pasien kontrol ke dokter terkait penyakit hipertensinya dan obat anti
hipertensi apa saja yang dikonsumsi.32
Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), manajemen perawatan
dental berdasarkan staging hipertensi dibedakan sebagai berikut:32
Tekanan Darah Hypertension
Modifikasi Perawatan Dental
(systole/diastole) Stage
<140/90 - Dapat dilakukan perawatan dental rutin
140-159/90-99 1 Dapat dilakukan perawatan dental rutin  syarat:
selalu periksa tekanan darah sebelum memulai
perawatan
• Konsultasi penyakit dalam sebelum memulai
160-179/95-109 2 perawatan dental
• Hindari penggunaan vasokonstriktor
• Konsultasi penyakit dalam
• Hanya boleh dilakukan perawatan dental yang
>180/110 3
emergensi seperti pemberian analgesik dan
antibiotik

Perawatan dental yang invasif (seperti ekstraksi/pencabutan gigi) pada pasien


hipertensi yang tidak terkontrol dapat menimbulkan risiko komplikasi yaitu perdarahan,
terutama bila menggunakan agen vasokonstriktor yang berlebihan. Sebelum ekstraksi,
pasien harus dipastikan sudah makan dan istirahat yang cukup. Pada pasien hipertensi
terkontrol, selalu periksa tekanan darah dan pasien dianjurkan untuk membawa obat
antihipertensi pada hari perawatan gigi. Jika tekanan darahnya tidak terkontrol dengan
baik, sebaiknya rujuk dulu ke internist dan perawatan ditunda sampai tekanan darah
terkontrol. Tenangkan dan yakinkan pasien sebelum perawatan. Jangan sampai pasien
cemas, takut, dan merasa sakit karena cemas dan sakit dapat memacu adrenalin yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah.32
Penggunaan vasokonstriktor dalam larutan anestesi untuk pasien hipertensi
sebenarnya masih diperbolehkan selama tekanan darah pasien tidak lebih dari 140/90
dengan dosis maksimal 2-3 cartridges. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
tidak ada peningkatan yang signifikan dalam tekanan arteri yang disebabkan oleh
penggunaan anestesi lokal dengan vasokonstriktor dalam perawatan gigi. Selain itu
selama perawatan, perubahan posisi tubuh secara tiba-tiba harus dihindari, karena dapat
menimbulkan hipotensi orthostatik sebagai efek samping dari obat-obatan penurun
tekanan darah. Bila dalam perawatan dental terjadi perdarahan, hal yang harus
dilakukan adalah tenangkan pasien dan kontrol perdarahan dengan penjahitan atau
pemberian koagulan topikal seperti gelatin sponge di dalam socket gigi.32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mendis S, Armstrong T, Bettcher D, Branca F, Lauer J, Mace C, et al. (eds.). Global status
report on noncommunicable disease 2014 (1st edition). Swiss: World Health Organization;
2014.
2. Trihono (eds.). Riset kesehatan dasar riskesdas 2013. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes RI;
2013.
3. Narain JP. Integrating services for noncommunicable diseases prevention and control: use of
primary health care approach. Indian J Commnity Med. 2011 Dec; 36(Suppl1): S67-71. doi:
10.4103/0970-0218.94712
4. Pearce N, Ebrahim S, McKee M, Lamptey P, Barreto ML, Matheson D, et al. Global
prevention and control of NCDs: limitations of the standard approach. J Public Health
Policy. 2015 Nov; 36(4): 408-25. doi:10.1057/jphp.2015.29
5. Borsch B, Mansell H. Interprofessional collaboration in health care. Can Pharm J (Ott).
2015 Jul; 148(4): 176-9. doi: 10.1177/1715163515588106
6. Greenland P, Peterson E. The new 2017 ACC/AHA guidelines “up the pressure” on
diagnosis and treatment of hypertension. JAMA. 2017;318(21): 2083-4.
doi:10.1001/jama.2017.18605
7. Nishida C. Appropriate body-mass index for Asian populations and its implications for
policy and intervention strategies. Lancet. 2004, January 10; 363:157-63
8. Shi L, Singh DA. Delivering Health Care in America: A System Approach. US: Jones &
Bartlett Learning; 2014.
9. Diaz KM, Shimbo D. Physical Activity and The Prevention of Hypertension. Natl Inst Heal.
2013; 15(6):659–68.
10. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach (6th Edition). New York: McGraw-Hill; 2005.
11. Perry M. How Does Obesity Cause Hypertension? [Internet]. 2017 [updated 2017; cited
2017 Dec 20]. Available from: http://www.healthguidance.org/entry/11619/1/How-Does-
Obesity-Cause-Hypertension.html
12. Leone A. Smoking and Hypertension. J Cardiol Curr Res. 2015; 2(2):1181–92.
13. Riede UN, Werner M. Color Atlas of Pathology. Sttutgart: Thieme; 2004.
14. Pinto E. Blood pressure and ageing. Postgrad Med J. 2007; 83(976):109–14.
15. PMK No. 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
16. Borrill C dan West M. How Good is Your Team? A Guide for Team Members. UK.
17. Oandasan I, Baker GR, Barker K, Bosco C, D’Amour D, Jones L, Kimpton S, Lemieux-
Charles L, Nasmith L, Rodriguez LSM, Tepper J, Way D. Teamwork in Healthcare:
Promoting Effective Teamwork in Healthcare in Canada. Canada: Canadian Health Services
Research Foundation (CHSRF); 2006.
18. Borill C, West M, Dawson J, Shapiro D, Rees A, Richards A, Garrod S, Carletta J, dan
Carter A. Team Working and Effectiveness in Health Care: Findings from the Health Care
Team Effectiveness Project. UK.
19. King HB, Battles J, Baker DP, Alonso A, Salas E, Webster T, Toomey L, dan Salisbury M.
TeamSTEPPSTM: Team Strategies and Tools to Enhance Performance and Patient Safety.
Rockville: Quality AfHRa; 2006.
20. Family Health Teams – Advancing Primary Health Care. Guide to Collaborative Team
Practice. Ontario; 2005.
21. Mickan SM dan Rodger SA. Effective Health Care Teams: A model of six characteristics
developed from shared perceptions. Journal of Interprofessional Care. 2005 August; 19(4):
358 – 370.
22. Fair S, Pugsley D, King S, Johnson D, Wilson R, Buchman S, Padmos A, Mann R, Hatcher
L, Hnydyk W, dan Zielke S. Putting Patients First®: Patient-Centred Collaborative Care, A
Discussion Paper. Canada: Canadian Medical Association (CMA); 2007.
23. O’Daniel M dan Rosenstein AH. Chapter 33. Professional Communication and Team
Collaboration. In: Hughes RG, editor. Patient Safety and Quality: An Evidence – Based
Handbook for Nurses. Agency for Healthcare Research and Quality; 2008.
24. Watson S dan O’Riordan A. Communication for Patient Safety: Timely Open
Communication for Patient Safety. Ontario: Queen’s University.
25. Marshall S, Harrison J, Flanagan B. The teaching of a structured tool improves the clarity
and content of interprofessional clinical communication. Quality Safety of Health Care
2009; 18:137-140.
26. Mickan SM. Evaluating the effectiveness of health care teams. Australian Health Review.
2005 May; 29(2): 211-217.
27. Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach (8th Edition). New York: McGraw-Hill; 2011.
28. Andrew LB. Conflict Management, Prevention, and Resolution in Medical Setting. The
Physician Executive; 1999.
29. WHO. Public Health Services [Internet]. 2012 [updated 2017; cited 2017 Dec 20]. Available
from: http://www.euro.who.int/en/health-topics/Health-systems/public-health-servic.
30. Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL, & Cheever KH. Brunner & Suddarth’s textbook of
medical-surgical nursing (12th edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
31. Little JW, Falce DA, Miller SC, Rhodus NL. Dental Management of the Medically
Compromised Patient (8th Edition). Missouri: Mosby Elsevier Inc; 2013.
32. Scully C. Medical Problems in Dentistry (6th Edition). China: Churcill Livingstone Elsevier;
2010.
LAMPIRAN

Foto Aktivitas KPLDH

Anda mungkin juga menyukai