Anda di halaman 1dari 3

Siapa Bilang Jaksa Tak Butuh Keberanian?

Dalam sub bab ini penulis menceritakan tentang sebuah artikel yang pernah terbit dalam harian
Kompas tanggal 22 Juli tahun 2004 yang berjudul “Tegakkan Hukum Bukan Soal Keberanian”.

 Pikiran Abad ke-19

Pada abad ke-19 disaat kejayaan analytical jurisprudence (Inggris) atau rechtsdogmatiek
(Belanda) penegakan hukum itu dirumuskan sebagai subsumsi otomat atau dalam artian pencet
tombol otomat. Pada masa itu,pikiran hukum semacam itu memang mendominasi, sehingga hakim
hanya boleh menjadi mulut undang-undang, tidak boleh lebih dan kurang daripada itu. Di abad itu
pemikiran tentang hukum masih sangat positivistik, legalistik, dan dogmatis. Penegakan hukum
diibaratkan menarik garis lurus dari dua titik, jadi dapat diibaratkan bahwa hukum pada waktu itu
“bukan soal keberanian”.

Namun semakin berkembangnya jaman, terdapat pergeseran dalam pemaknaan hukum. Pada
abad ke-21 sekarang, dan bahkan sejak abad ke-20 saja sudah terjadi perubahan-perubahan besar
dalam pemikiran mengenai hukum. Kita sudah dicerahkan oleh pemahaman hukum yang lebih
luas dan kontekstual. Sudah sejak decade awal abad ke-20 muncul aliran bahwa hukum itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar.

 Penegakan Hukum Penuh Kompleksitas

Pada abad ke-20 orang sudah mulai menyadari betapa tidak sederhananya penegakan hukum.
Tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik. Dalam penegakan hukum, jangan lagi orang
berbicara berdasarkan prinsip “peraturan dan logika” semata. Beberapa penelitianpun mulai
banyak dilakukan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada waktu hukum harus
dijalankan di masyarakat.

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa banyak faktor diluar hukum yang
turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Maka tidak benar bahwa penegak
hukum itu hanya tinggal menarik garis lurus yang menghubungkan antara peraturan dan kejadian
di lapangan. Ternayata banyak faktor-faktor yang ikut terlibat dalam hal tersebut. Sebagai contoh
penelitian di Amerika mengenai faktor-faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap
sopan tersangka ikut menentukan penahanan yang terjadi pada seseorang.
 Predisposisi Personal Penegak Hukum

Faktor-faktor yang turut menentukan pekerjaan penegakan hukum tidak harus dating dari luar,
tetapi juga dari dalam. Dalam hal ini dikemukakan preposisi bahwa “ada dua penegak hukum,
berarti aka nada dua macam penegakan hukum”. Artinya bahwa hukum bukan hanya soal
peraturan tetapi keterlibatan manusia secara utuh. Disinilah relevansi membicarakan faktor
“keberanian jaksa”. Secara legalistic, semua jaksa di Indonesia itu sama, tetapi yang membedakan
adalah predisposisi sikap batin masing-masing.

Sebagai contoh nyata, sosok almarhum Baharuddin Lopa telah menunjukkan profil keberanian
seorang jaksa dan oleh karena itu seorang jaksa Lopa menjadi berbeda dari jaksa-jaksa lain. Dalam
profesi lain yang juga masih berkaitan dengan ranah hukum dapat dicontohkan dengan adanya
seorang hakim terkenal, hakim Bismar dan seorang polisi Hoegeng, yang juga berbeda dari rekan-
rekannya yang lain. Lopa, Bismar dan Hoegeng selalu merujuk pada hati nurani dan itulah yang
menyebabkan timbulnya keberanian. Putusan hati nurani adalah nomor satu dan hukum nomor
dua. Hakim Bismar pernah mengatakan “Keadilan di atas peraturan” dan saat jaksa Lopa gagal
membawa tersangka ke hukuman, ia sering berujar “sampai kemanapun, kamu akan saya kejar.”.

 Jaksa-jaksa Berani

Di dunia ini terdapat banyak sekali jaksa-jaksa yang berani. Di Indonesia sendiri mempunyai
Jaksa Agung Lopa dan Gatot Mangkupraja. Di Amerika, kita mengenal Wakil Jaksa Agung Rudy
Giulani dan Christopher Darden, seorang jaksa yang terkenal dalam kasus OJ Simpson. Persamaan
yang menyatukan Lopa dan Giulani adalah keberanian mereka.. Jaksa Agung Giulani tidak hanya
menegakkan hukum, tetapi mengajak korpsnya untuk berperang melawan mafia, pengedar
narkoba serta para politisi korup. Itulah yang disebut Jaksa berani. Indonesia sekarang sangat
membutuhkan jaksa seperti itu.

 Indonesia Butuhkan Jaksa Berani

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, maka kelirulah bila kita masih mengatakan bahwa
penegakan hukum tidak ada kaitannya dengan masalah keberanian. Kita sungguh menmbutuhkan
penegakan hukum yang progresif, penegakan ini tidak bisa diserahkan kepada cara-cara
konvensional sistem pencet tombol melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang
penuh greget. Oleh karena itu, faktor keberanian pun menjadi penting dan mendapat tempat.
Akhirnya disarakan agar kita memberikan penghargaan terhadap para jaksa yang berani
tersebut. Kita bisa mulai dengan tradisi reward and punishment (hadiah dan hukuman). Kepada
mereka yang berani itu hendaknya diberi imbalan atau hadiah dan disis[ lain, mereka yang bahkan
merusak citra kejaksaan sebaiknya diberikan hukuman jangan hanya dikatakan “nakal” semata.

Anda mungkin juga menyukai