Etno Wardin R

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

Tugas kelompok 5

HUKUM PIDANA
“TEORI PEMIDANAAN”

OLEH:

1. KRISTOPEL HENDRA TONGLO LANGI (H1A117233)


2. M. YUSUF (H1A117238)
3. JULIANTO JAYA PERDANA (H1A117231)
4. LEONITA LA MBOE (H1A117236)
5. MUH. RINALDI SAPUTRA (H1A117243)
6. MUH. YUDHA PRASETYO (H1A117244)
7. LA ODE GUSLAN (H1A117235)
8. MARSELINUS (H1A117240)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penduduk Indonesia seperti dalam kenyataannya terdiri dari berbagai ragam


suku bangsa, adat istiadat, agama dan sistem kepercayaan yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Menurut Geerzt (1981:iii) bahwa ada sekitar 300 suku bangsa dan kurang
lebih 250 bahasa daerah (lokal), yang turut memperkaya khasanah kebudayaan di
nusantara ini, di mana setiap suku bangsa memiliki identitas kebudayaan yang
dikembangkan sesuai dengan keadaan dan lingkungannya masing-masing.
Keanekaragaman kebudayaan inilah merupakan ramuan yang turut menunjang
kebudayaan nasional, dan sekaligus merupakan suatu kekayaan bangsa yang perlu
mendapatkan perhatian khusus. Kekayaan bangsa ini mencakup wujud-wujud
kebudayaan yang di dukung oleh masyarakatnya.
Setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang khas, yang membedakan
jati diri mereka dari suku bangsa yang lainnya. Perbedaanperbedaan ini akan nyata
dalam gagasan-gagasan dan hasil-hasil karya yang akhirnya dituangkan lewat interaksi
antar individu, antar kelompok maupun terhadap alam raya di sekitarnya.
Sementara itu pengertian tentang konsep nilai budaya, sebagaimana yang
diungkapkan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional secara teknis operasional
mendefenisikan seperti berikut ini; Nilai budaya mengandung pengertian tentang apa
yang diharapkan dan atau dapat diharapkan, apa yang baik atau dianggap baik (1998:35)
Senada dengan pernyataan tersebut di atas, Gazalba (1978:93-94) menegaskan bahwa
soal nilai bukan soal benar atau salah, melainkan soal disenangi atau Alisyahbana
(1977:10) mengkonsepsikan adanya enam unsur nilai-nilai yang terdapat dalam setiap
kebudayaan, yaitu nilai ilmu, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni,nilai kuasa dan nilai
solidaritas.
Pada masyarakat suku bangsa Tolaki yang mendiami wilayah jazirah Provinsi
Sulawesi Tenggara, dimana mendiami beberapa wilayah Kota Kendari, Konawe,
Konawe Utara dan Selatan sampai di Kolaka sebagaimana dikemukakan Agustina
(2012:70) terdapat sebuah symbol yang dikenal dengan nama kalosara. Lingkup
berlakunya perangkat kalosara ini meliputi keseluruhan bekas wilayah Kerajaan
Konawe dan bekas wilayah Kerajaan Mekongga. Dalam berbagai aspek kehidupan,
masyarakat memahami dan menggunakan istilah kalosara, sebagai symbol adat
istiadatnya, yang maknanya mencerminkan sistem nilai sosial budaya, norma/sistem
hokum dengan aturan khusus yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Bahkan sampai saat ini keberadaan kalo masih ditempatkan sebagai suatu yang sakral
(Idaman, 2012:2).
Kalosara yang terbuat dari rotan kecil dan dipilin sebanyak tiga kali, sehingga
menyerupai bentuk gelang (bundar) atau sirkel itu, dapat merupakan kalimat dalam
berkomunikasi kepada seseorang atau sekelompok orang, serta sebagai unsur
kebudayaan yang dapat memenuhi dan memuaskan lebih dari satu kebutuhan orang
Tolaki. Di samping sebagai simbol pusat yang juga berfungsi sebagai pengintegrasian
system sistem symbol yang ada, juga adalah symbol dari azas hubungan timbal balik
langsung maupun tidak langsung, diantara individu yang satu dengan yang lainnya dan
di antara kelompokkelompok dalam kehidupan social orang Tolaki
Tiga ujung rotan, dimana yang dua tersembunyi dalam simpul dan ujung yang
satunya dibiarkan mencuat keluar memiliki makna bahwa jika dalam menjalankan adat
terdapat berbagai kekurangan, maka kekurangan itu tidak boleh dibeberkan kepada
umum atau orang banyak, sehingga pada Orang Tolaki terdapat kata-kata bijak: kenota
kaduki osara mokonggadu’i, toono meohai mokonggoa’i, pamarenda mokombono’i.
Arti dari kata-kata bijak tersebut adalah bila dalam menjalankan sesuatu adat terdapat
kekurangan, maka adat, para kerabat, dan pemerintahlah yang akan mencukupkan
semua itu atau dapat pula dimaknai kekurangan apapun yang terjadi dalam suatu proses
adat, maka hal itu harus dapat diterima sebagai bagian dari adat Orang Tolaki.
Lilitan tiga utas rotan mempunyai makna sebagai kesatuan dari stratifikasi sosial
Orang Tolaki yang terdiri dari anakia (bangsawan), towonua (penduduk asli atau
pemilik negeri) yang juga bisaa disebut toono motuo (orang-orang yang dituakan) atau
toono dadio (penduduk atau orang kebanyakan), dan o ata (budak) (Tarimana,
1989:199). Selain itu, tiga lilitan rotan juga memiliki makna sebagai kesatuan dari
keluarga, yakni bapak, ibu, dan anak sebagai unit awal atau unit terkecil yang jika
digabungkan atas beberapa keluarga akan membentuk suatu masyarakat.
Ketiga stratifikasi sosial di atas merupakan bentuk stratifikasi sosial Orang
Tolaki di zaman dahulu. Saat ini stratifikasi sosial pada Orang Tolaki telah
mengalami pula pergeseran dengan munculnya stratifikasi sosial baru walaupun
stratifikasi sosial yang lama juga masih dikenal. Stratifikasi sosial yang baru ini adalah
golongan terpelajar yang kemudian menduduki posisi-posisi penting dipemerintahan,
golongan pegawai dan orang kaya, dan kaum petani, buruh, atau mereka yang tidak
masuk pada golongan pertama dan kedua. Selain itu, stratifikasi sosial Orang Tolaki
yang mengalami pergeseran, terutama terlihat pada golongan o ata atau budak yang saat
ini sudah hampir tidak ada atau hampir tidak dikenal lagi oleh Orang Tolaki.
Terkait dengan adanya pergeseran stratifikasi pada Orang Tolaki, maka ukuran
kalo yang dipergunakan juga ikut berubah. Jika dahulu kala Orang Tolaki mengenal
adanya tiga jenis kalo yang penggunaannya diperuntukkan untuk tiga stratifikasi sosial,
maka saat ini Orang Tolaki hanya mengenal dua ukuran kalo sesuai peruntukkannya.
Ukuran yang pertama adalah kalo dengan diameter 45 cm yang diperuntukkan bagi
golongan anakia dan pejabat Bupati ke atas (Bupati, Gubernur dan seterusnya), ukuran
yang kedua adalah kalo dengan diameter 40 cm yang diperuntukkan bagi golongan
toono motuo (orang-orang yang dituakan dalam orang) dan toono dadio (penduduk atau
orangkebanyakan).
Kalo/Kalosaratidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari orang
Tolaki. Kalo/Kalosara sebagai simbol persatuan-kesatuan dan simbol hukum adat selalu
hadir dalam berbagai peristiwa penting dalam kehidupan orang Tolaki. Misalnya dalam
penyelesaian berbagai konflik/sengketa baik dalam skala besar (misalnya sengketa yang
melibatkan kampung dengan kampung) maupun dalam skala kecil (misalnya sengketa
yang melibatkan individu dengan individu), dalam pengurusan perkawinan, dalam
menyambut tamu, dalam menyampaikan undangan lisan, menyampaikan berita duka,
dan berbagai peristiwa-peristiwa lainnya.
Kalo/Kalosara sebagai simbol yang selalu hadir dalam berbagai peristiwa
penting tidak dapat dihadirkan oleh orang-orang biasa dalam masyarakat. Di dalam
masyarakat orang Tolaki terdapat tokoh adat yang disebut sebagai Tolea dan Pabitara.
Tolea dan Pabitara ini merupakan juru penerang adat yang tugasnya adalah
menyampaikan suatu pemberitahuan kepada orang banyak. Mereka adalah tokoh adat
yang diangkat sebagai tokoh karena kepandaiannya dalam menjelaskan sesuatu serta
dianggap mampu berbicara dalam berbagai urusan-urusan penting dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua tokoh adat inilah yang juga berhak untuk membawa kalo/Kalosara
serta berbicara atas nama hukum adat dengan menggunakan kalo/Kalosara dalam
berbagai urusan pada orang Tolaki.

1.2 Rumusan masalah


Mengacu pada sejumlah konsep tersebut di atas, maka fokus dengan masalah
penulisan proposal ini yakni mempertanyakan bagaimana eksistensi kalosara dewasa
ini, dalam kehidupan masyarakat Suku Bangsa Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara.

1.3 Tujuan penelitian


Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini yakni menjawab
bagaimana eksistensi kalosara dewasa ini, dalam kehidupan masyarakat Suku Bangsa
Tolaki di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.

1.4 Manfaat penelitian


Dari penelitian ini, diharapkan tercapai manfaat sebagai berikut:Pertama, adanya
pemahaman mengenai makna yang terkandung dalam kalosara ,dalam hal ini berupa
eksistensi dimasa kini. Kedua, memperkaya khazanah keilmuan menyangkut kajian
etnoarkeologi dan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

Kalosara sebagai benda yang dianggap bertuah bagi oang Tolaki, berasal dari
dua kata yakni kalo dan sara masing mempunyai arti tersendiri. Kalo dapat berarti suatu
benda yang berbentuk lingkaran,cara-cara mengikat yang melingkar, atau dapat juga
berarti pertemuan-pertemuan maupun suatu kegiatan bersama dimana para pelakunya
membentuk lingkaran (Tarimana, 1993:20). Oleh Suud (2006:2) menilai bahwa
keberadaan kalosara, sering juga disebut sebagai osara atau sara wonua yang artinya
hukum negeri.

2.1 penelitian terdahulu

Penelitian tentang Sejak kapankah benda kalosara yang dijadikan sebagai


simbol budaya di kalangan suku bangsa Tolaki, baik yang berdiam di Konawe maupun
di Mekongga, menurut Suud (2006:6) bahwa orang pertama sebagai pencipta atau
penemu atribut kalo adalah Puteri Wekoila yang juga dikenal sebagai peletak dasar
terbentuknya Kerajaan Konawe yang diperkirakan pada abad ke 11 atau Tahun 1150.
Dewasa ini Penelitian tentang eksistensi kalosara masih sangat jarang dilakukan.
Sehingga perlu dilakukan penelitian guna merekonstruksi budaya materi masyarakat
tolaki sehingga menjadi wawasan atau pengetahuan untuk masyarakat.

2.1 kerangka teori


Kalosara adalah sebuah benda yang dipakai dan dipergunakan oleh orang-orang
Tolaki dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabiladitinjau dari bahan utama yang
dipakai dalam pembuatan sebuah alat kalosara adalah rotan. Rotan sangat berarti dalam
kehidupan manusia, karena merupakan tumbuhan yang bermanfaat.Selain untuk
pembuatan benda yang satu ini, rotan juga dapat dijadikan wadah sehari-hari,seperti
misalnya pembuatan keranjang, tikar rotan dan perabot rumah tangga lainnya. Rotanitu
tidak mudah patah ataupun putus, sehingga dapat dibentuk menurut kehendak kita.
Dengandemikian digunakannya rotan sebagai bahan kalosara mempunyai arti
perlambang atau mempunyai makna simbolik.
Berpegang dari paparan di atas, maka penelitian ini dirancang sebagai penelitian
kualitatif. Metode deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan suatu gambaran yang
menyeluruh dan mendalam mengenahi pokok bahasan. Dalam hal ini, bahwa penelitian tidak
hanya membuat diskriptif mentah atas keadaan yang tampak, tetapi juga menampilkan analisis.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, berdasarkan pelaksanaannya
dapat dikategorikan menjadi dua, yakni (1) penelitian lapangan (wawancara, observasi, dan
pendokumentasian) dan (2) studi pustaka.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Wilayah Penelitian
Untuk mendapatkan data-data dalam penelitian ini, peneliti akan melakuakan
penelitan di Desa kiaea Kecamatan palangga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi
Sulawesi Tenggara.
3.2 Metode Penelitian
Metode merupakan cara kerja untuk memperoleh dan mengelola data pada objek
disuatu penelitian. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan
memberikan gambaran fakta-fakta yang ada di lapangan, dalam hal ini adalah kalosara
masyarakat tolaki. Metode penalaran ini diawali dengan pengumpulan data atau
deskripsi data. Data tersebut kemudian dianalisis dan akhirnya ditarik kesimpulan.
Selain itu, dalam penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan etnoarkeologi yaitu
merekonstruksi aktivitas pasar Baun Amarasi pada tahun 1960.
Penelitian ini menggunakan penalaran induktif, karena dalam pelaksanaanya
penelitian ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian
disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris (Tanudirjo,
1989 dalam Asfriyanto, 2006, 2015:9-10).
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data merupakan tahapan awal yang dilakukan dalam
penelitian ini. Pengumpulan data bertujuan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya
data di lapangan. Pegumpulan data yang dilakukan dibagi menjadi dua yaitu data primer
berupa:survei, observasi dan wawancara, serta data sekunder berupa studi pustaka.
Tahap pengumpulan data meliputi :
a. Survey
Survei dalam arkeologi adalah upaya untuk memperoleh data di lapangan
tanpa harus melakukan penggalian atau memodifikasi lahan tempat
ditemukannya data arkeologi.
b. Perekaman data
Proses perekaman data sangat penting dalam penelitian ini. Kalosara yang
ada di desa tersebut didokumentasikan
c. Wawancara
Peneliti akan melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh adat, masyarakat
yang terlibat dalam tradisi kalosara yang masih berlangsung hingga
sekarang, wawancara juga dilakukan pada seniman yang membuat alat
kalosara , dengan melihat cara dan pola pikir saat melukis aktifitas berkuda.
Wawancara etnografi juga akan dilakukan kepada para pelaku ritual di
Pegunungan Muria. Wawancara cukup efektif dilakukan untuk mengungkap
aspek kognitif (pikiran) dan afektif (perasaan) dari informan, apalagi bila
wawancara dapat dilakukan secara lebih mendalam (indepth interview)
(Spradley dalam Priyatno, 2016:10).
d. Studi pustaka
Studi pustaka merupakan salah satu bagian yang penting dalam melakukan
penelitian, karena dapat membantu mendapatkan data yang relevan. Studi
pustaka merupakan sumber data sekunder, karena tidak didapatkan langsung
di lapangan. Tahapan ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menelaah
sumber-sumber tertulis ataupun dokumen lainnya yang berhubungan dengan
masalah penelitian (Asfriyanto, 2006, 2015:13). Data kepustakaan yang
digunakan merupakan data tertulis yang berhubungan dengan situs yang
akan diteliti, baik dari publikasi arkeologis maupun sumber-sumber sejarah
atau etnosejarah. Selain itu, data kepustakaan dapat juga berupa gambar, foto
dan peta, baik peta rupa bumi maupun peta tematik (Puslitarkenas, 2008:21).
Pengumpulan data dengan studi pustaka diperoleh dari buku, laporan
penelitian, jurnal ilmiah, koran, majalah serta dokumen-dokumen lainnya
yang berhubungan dengan kalosara. Data dari studi pustaka digunakan
sebagai data tambahan yang tidak didapatkan dari observasi lapangan
ataupun wawancara, selain itu data studi pustaka juga digunakan sebagai
pembanding dari data wawancara.

3.2.2. Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan setelah diperoleh dari pembahasan dan analisis
data yang telah dilakukan oleh penulis. Kesimpulan yang didapatkan diharapkan dapat
menjelaskan eksistensi penggunaan kalosara dimasa kini.
Daftar Pustaka

Agustina, Tira. 2012. Pelaksanaan Penjatuhan Sanksi Adat Peohala Terhadap Pelanggaran
Hukum Adat Kesusilaan Tolaki di Kota Kendari. Jakarta: Fakultas Hukum Program
Pasca Sarjana Sistem Peradilan Pidana
Alisyahbana, S. Takdir. 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia, dilihat dari
jurusan Nilai-Nilai. Jakarta: Idayu Press.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1998. Kebi j aksanaan Tekni s Operasi onal
Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional,
Gazalba, Sidi. 1978. Azas Kebudayaan Islam.Jakarta: Bulan Bintang.

Geertz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Diterbitkan untuk
yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FISUI.
Idaman. 2012. Kalosara Sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki
di Kabaupaten Kendari Konawe Sulawesi Tenggara.
http://idamanalwi.multiply/journal.(Online). Diakses pada tanggal 12 November 2017.
Saleh, nur alam,.(2015). Makna Simbolik Kalosara Dalam Kehidupan Sosial Orang
Tolaki.jurnal. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Suud, Muslimin. 2006. Hukum Adat Tolaki ( Osara) . Unaaha: Lembaga Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Sejarah dan Kebudayaan Tolaki (LP3SKT).
Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Seri etnografi indonesia. Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai