Materi Uts Hukum Kesehatan
Materi Uts Hukum Kesehatan
PERTEMUAN I
PENGANTAR UMUM
Pada dasarnya (secara fitrah), setiap manusia dalam keberadaannya di masyarakat
ingin hidup teratur Namun demikian, persepsi / konsep ttg makna keteraturan
menurut seseorang sangat mungkin berbeda dengan yang lain => Dalam konteks
demikian maka diperlukan kaidah-kaidah sosial Ada beragam macam kaidah sosial
(seperti: kaidah agama, susila, adat, hukum dan lain sebagainya). Semua kaidah
sosial tersebut pada prinsipnya berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia agar
kepentingan dan hak-haknya terjaga / terlindungi dan tidak saling bertentangan
Khusus kaidah sosial berupa hukum , secara konseptual memiliki fungsi dan tujuan
untuk mengatur hubungan antar manusia dalam rangka mencapai kedamaian dan
keadilan melalui terciptanya keserasian antara ketertiban dengan ketentraman (TEORI
FUNGSI HUKUM SEBAGAI SOCIAL ORDER)
Suatu masyarakat yang teratur, tertib dan tentram sesungguhnya adalah suatu sistem
yaitu SISTEM KEMASYARAKATAN yang sangat kompleks di mana terciptanya
keteraturan, ketertiban dan ketentraman tersebut sangat bergantung pada teraturnya
sub-sub sistem kemasyarakatan itu sendiri yang antara lain dikondisikan oleh kaidah
sosial bernama hukum tadi .
Pengertian Hukum Kesehatan
a. H.J.J.Leenen: mencakup semua aturan hukum yang secara langsung berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan yang terganggu atau tercemar, dan penerapan aturan-
aturan hukum perdata serta pidana selama aturan-aturan itu mengatur hubungan-
hubungan hukum dalam pemeliharaan kesehatan. (Soerjono S: 1987, 28. Fred Ameln:
1991, 14)
b. W.B. van der Mijn: Hukum kesehatan bisa diartikan sebagai kumpulan aturan-aturan
yang berkaitan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan maupun penerapan
hukum perdata, pidana, dan administrasi. (Terjemahan bebas dalam Soerjono S: 1987,
29)
Hukum Kesehatan
Peraturan dan ketentuan hukum untuk profesi kesehatan, farmasi obat-obatan,
keshn jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan, hygiene
Tujuan Pembangunan kesehatan ( UU Kesehatan Pasal 3) (untuk dapat meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan yang optimal - lama)
Untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis
• Hukum kesehatan adalah peraturan perundang- undangan yang menyangkut
pelayanan kesehatan (merupakan ketentuan hukum yg berhubungan langsung dengan
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan)
• Yang terlibat didalam hukum kesehatan adalah : perorangan, lapisan masyarakat,
penyelenggara kesehatan, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan kesehatan,
ilmu pengetahuan kesehatan, dan hukum
Kedudukan Hukum Kesehatan dalam Ilmu Hukum
• Hukum Kesehatan adalah bagian dari Hukum Administrasi Negara
• Menurut Pinet: mewujudkan kesehatan untuk semua; faktor determinan yang
mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “.biological, behavioral,
environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population,
science and technology, information and communication, gender, equity and social
justice and human rights”. (Pinet: 1998, 134)
Fungsi Hukum Kesehatan
Menurt Fred Ameln:
1) Kepastian Hukum: Health Providers melakukan kegiatan medik sesuai keahlian; bagi
Health Receivers bahwa yang melakukan kegiatan medik adl yang mampu
melakukan;
2) Perlindungan Hukum: Health Provider mendapatkan perlindungan sepanjang
melakukan tugas sesuai standar profesi; bagi Health Receiver ketidaktahuan akan
ilmu kedokteran shg perlu perlindungan hk serta kepentingan2nya.
3) Menampung semua pendapat2 etis dalam suatu masyarakat yang etis pluriform.
Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
• Konsep-konsep dasar, teori, metodologi;
• Aspek individual dari hukum kesehatan;
• Kualitas pemeliharaan kesehatan;
• Ketentuan-ketentuan dalam pemeliharaan kesehatan;
• Kesehatan preventif dan lingkungan;
• Akses finansiil dalam pemeliharaan kesehatan;
• Hubungan pasien dan pemberi layanan kesehatan;
• Peran pemerintah;
• Hubungan pemerintah dan rakyat;
• Hukum kesehatan internasional.
(Leenen dalam Soerjono S.: 1987, 30-31)
• Ruang Lingkup Luas dan kompleks, bisa 30 UU yang berkaitan dengan kesehatan
dengan 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan,
peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan
kualitas dalam pemeliharaan kesehatan. (D.C.Jayasuria: 1997, hlm.16-28, 33)
Profesi
• Profesi dapat dibedakan menjadi:
• Profesi pada umumnya Pengertiannya sebagaimana tercantum pada pengertian
“Profesi”
• Profesi yang Luhur (officium nobile) seperti tenaga kesehatan
Yaitu: Profesi yang pada hakekatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau
masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa menjalankan Profesi yang Luhur tidak boleh
mendapatkan keuntungan finansial. Namun, keuntungan finansial bukanlah
merupakan motivasi utama.
Motivasi utama Profesi yang Luhur adalah kesediaan yang bersangkutan untuk
melayani sesama manusia. Misal: seorang Advokat wajib tetap memberikan bantuan
hukum baik Kliennya walaupun sang Klien tidak sanggup melunasi pembayaran jasa
hukum sebagaimana diperjanjikan. Lebih lanjut, tujuan Advokat menjalankan
Profesinya adalah penegakkan hukum bukanlah kemenanngan sang Klien.
• Untuk menegakkan Etika dan memajukan standar kualifikasi Profesi terdapat prinsip-
prinsip yang wajib dilaksanakan yang pada umumnya dicantumkan dalam Kode Etik
Profesi.
• Di Indonesia, Kode Etik suatu Profesi biasanya disusun oleh wakil-wakil yang duduk
dalam organisasi atau asosiasi Profesi. Timbul kesulitan ketika pada satu Profesi
terdapat lebih dari satu organisasi atau asosiasi. Kesulitan akan lebih besar ketika
• prinsip-prinsip Profesi diterjemahkan secara berbeda dalam Kode Etik masing-masing
organisasi atau asosiasi Profesi.
Pada prinsipnya, ada 2 (dua) prinsip umum yang wajib dijalankan oleh suatu
Profesi, antara lain:
1. Prinsip agar menjalankan Profesinya secara bertanggung jawab
Maksudnya adalah Profesional yang bersangkutan bertanggung jawab baik terhadap
Profesi yang dijalankan (menjalankan Profesinya sebaik mungkin) maupun terhadap
hasilnya (hasil berkualitas);
2. Prinsip untuk menghormati hak-hak orang lain, termasuk dalam menjalankan Profesi
wajib menjaga kelestarian lingkungan hidup.
• Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa motivasi utama Profesi yang Luhur adalah
pelayanan kepada sesama manusia bukan keuntungan finansial, sehingga umumnya
Profesi yang Luhur (officium nobile) mengadopsi 2 (dua) prinsip yang penting (Prof.
Darji Darmodiharjo, S.H.): (1)mendahulukan kepentingan orang yang dibantu, apakah
itu Klien atau Pasien; (2).Mengabdi pada tuntutan luhur Profesi
Hukum
• Hukum adalah peraturan perundang-undangan yg dibuat oleh suatu kekuasaan, dalam
mengatur pergaulan hidup masyarakat
• Hukum Perdata mengatur subyek dan antar subyek dalam hubungan dan
kedudukannya yang sederajat.
• Hukum pidana adh peraturan mengenai hukuman (penguasa dan pemerintah
mempunyai kedudukan yang tertinggi)
BIOETIKA
• Pengertian Bioetika selalu terkait dengan Etika, yaitu “rambu-rambu berperilaku,
yang berpangkal pada moral religiositas” dengan “aktivitas serta dampak yang
ditimbulkan dari Penelitian ilmu-ilmu hayati modern, yang diaplikasikan pada
makhluk hidup, utamanya manusia”.
• Bioetika merupakan rambu-rambu berperilaku, yang memandu aktivitas penerapan
ilmu/teknologi hayati modern, - utamanya jika diterapkan kepada makhluk hidup-,
agar tidak memberikan dampak yang merugikan kepada makhluk hidup itu
(utamanya:manusia) atau keanekaragaman hayati (utamanya: kemanusiaan) serta
lingkungannya.
Empat Prinsip ini disebut sbg: prima facie principles, Yang Berarti: “at first appearance”
• PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA
Bioetika Kedokteran (Medical Bioethics)
PRIMA FACIE
(1) Menghormati Otonomi (Respect to Autonomy)
(2) Adil (Justice)
(3) Memberikan Mashlahat (Beneficence)
(4) Tidak memberikan Mudarot (Non-maleficent)
[Dengan penyesuaian atau modifikasi, keempat prinsip bioetika dalam kedokteran ini
bisa digunakan untuk jenis bioetika yang lainnya]
PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA
Bioetika Kefarmasian (Pharmacal/Pharmaceutical Bioethics)
Hubungan antara Apoteker-Pasien
PRIMA FACIE
(1) Menghormati Otonomi (Respect to Autonomy)
(2) Adil (Justice)
(3) Memberikan Mashlahat (Beneficence)
(4) Tidak memberikan Mudarot (Non-maleficent)
Bioetika Kefarmasian (Pharmacal/Pharmaceutical Bioethics)
Hubungan antara Apoteker-Pasien
1. Otonomi (Autonomy)
Dalam pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, maka profesi apoteker harus
mengakui dan respect terhadap hak (otonomi) pasien.
Pasien mempunyai hak untuk mengetahui obat apa yang tertulis dalam resep, yang
akan diberikan kepada pasien. Pasien juga mempunyai hak untuk bertanya tentang
hal-ihwal yang berkaitan dengan obat itu; seperti khasiat, efek-samping, harga obat,
dan apakah obat itu dapat diganti dengan jenis yang sama tetapi lebih murah
harganya, misal diganti obat generik.
Respek terhadap otonomi pasien, diejawantahkan Apoteker dalam bentuk pemberian
jawaban profesional yang jelas kepada pasien.
2. Adil (Justice)
Dalam pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, maka profesi apoteker harus
berlaku adil kepada pasien. Tidak boleh ada perlakuan khusus/istimewa terhadap
pasien atas dasar apapun.
Pasien mempunyai hak untuk dilayani secara adil. Dalam hal ini Profesi apoteker
harus memegang teguh prinsip kedua dari Primafacie ini yaitu adil. Dalam
memberikan pelayanan kepada pasien tidak boleh ada diskriminasi atau perlakuan
khusus berbasiskan pada ras, agama, jabatan dll. Perlakuan khusus akan dilakukan
HANYA jika dalam resep tertulis bahwa resep harus segera dikerjakan atau
diserahkan kepada pasien, dengan pertimbangan keadaan kesehatan pasien yang
membahayakan (cito atau periculum in mora).
3. Mashlahat (memberikan manfaat, Beneficence)
Pelayanan profesi apoteker harus bisa memberikan efek penyembuhan kepada pasien,
atau sekurang-kurangnya memberikan palliative treatment. Dengan demikian azas
manfaat merupakan prinsip yang harus dipegang oleh profesi apoteker dalam layanan
kepada masyarakat.
Sebagai profesi yang bergerak di bidang kesehatan, dan ikut dalam layanan kepada
masyarakat (baca: pasien), maka pasien harus bisa merasakan manfaat dari pelayanan
profesi apoteker. Profesi kefarmasian harus mampu menjadikan apotek sebagai
tempat untuk public health information and services; khususnya dalam hal obat
maupun alat kesehatan.
4. Tidak-Mudarot (Non-Maleficent)
Prinsip “tidak-mudarot”, atau non-maleficent, berarti pelayanan keprofesian tidak
boleh menyebabkan kerugian atau kemudarotan lainnya (cause no harm). Pasien tidak
boleh menderita oleh sebab pelayanan kefarmasian.
Dalam melaksanakan prinsip non-maleficent ini, maka apoteker harus
melaksanakannya dengan tindakan penuh kehati-hatian (precautional acts). Mulai
dari penerimaan-resep, pembacaan-resep, persiapan, pembuatan dan penyerahan obat;
harus dilaksanakan secara profesional menurut kaidah-kaidah kefarmasian.
Selain empat Prinsip Bioetika diatas, yang dikenal dengan Primafacie, dikenal pula
prinsip-Prinsip, Bioetika yang tercantum dalam:The Universal Declaration on
Bioethics and Human Right(UDBHR)
Dalam Deklarasi ini tercantum prinsip-prinsip yang lebih rinci, yang dapat digunakan
sebagai pegangan/acuan profesi apoteker, utamanya bila bekerja di rumah sakit,
lembaga riset, atau industri
• Universal Declaration on Bioethics and Human Rights (UDBHR, 2005)
Principles of UDBHR
1. Human dignity and human rights
2. Benefit and harm
3. Autonomy and individual responsibility
4. Consent
5. Persons without capacity to consent
6. Respect for human vulnerability and personal integrity
7. Privacy and confidentiality
8. Equality, justice and equity
9. Non-discrimination and non-stigmatization
10. Respect for cultural diversity and pluralism
11. Solidarity and cooperation
12. Social responsibility and health
13. Sharing and benefits
14. Protecting future generations
15. Protection of the enviroment, the biosphere and biodiversity
( Sumber Umar.A.Jennie rakernas IAI)
• CIRI-CIRI BIOETIKA
1.Bersifat interdisipliner :
Artinya, analisis bioetika dalam peran sentralnya memecahkan berbagai problem etik-
medis, melibatkan banyak ilmu lain terkait. Seperti ilmu kedokteran, ilmu hayati,
sosiologi, hukum, filsafat, teologi dan lain -lain.
2. Bersifat internasional:
Artinya walaupun tempat, kebudayaan dan bahasa berbeda-beda, tetapi masalah-
masalah yang dibahas dan menjadi kajian bioetika pada prinsipnya sama (universal).
Namun demikian pemecahannya tidak harus sama. Karena substansi etik pada suatu
masyarakat lainnya bis berbeda konsepsi.
PERTEMUAN III
TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Gambaran Umum UU 12 Tahun 2011
Terdiri atas 13 Bab dan 104 Pasal
Disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 12 Agustus 2011
SISTEMATIKA :
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Asas Pembentukan Puu
Bab III : Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan Puu
Bab IV : Perencanaan PUU ( Perataturan Perundang-undangan)
Bab V : Penyusunan PUU
Bab VI : Teknik Penyusunan PUU
Bab VII : Pembahasan Dan Pengesahan RUU
Bab VIII : Pembahasan Dan Penetapan Raperda Prov,Kab/Kota
Bab IX : Pengundangan
Bab X : Penyebarluasan
Bab XI : Partisipasi Masyarakat
Bab XII : Ketentuan Lain-Lain
Bab XIII : Ketentuan Penutup
MATERI MUATAN
Materi Muatan UU :
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
MATERI MUATAN
1. Materi muatan PERPPU sama dengan materi muatan UU.
2. Materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
3. Materi muatan PERPRES berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk
melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.
MATERI MUATAN
Materi muatan PERDA Provinsi dan PERDA Kabupaten/Kota berisi materi muatan :
a. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta
menampung kondisi khusus daerah; dan/atau
b. penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
PERENCANAAN PUU
Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Prolegnas/Prompempernas
a. Penyusunan Prolegnas/Prompempernas di lingkungan DPR – Baleg/Bapemuu;
b. Penyusunan Prolegnas/Prompempernas di lingkungan Pemerintah – Menhukham;
c. Penyusunan Prolegnas/Prompempernas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan
oleh DPR (Baleg/Bapemuu);
d. Tata cara penyusunan Prolegnas/Prompempernas diatur oleh Peraturan DPR.
PERENCANAAN PUU
Perencanaan penyusunan PP dan PERPRES dilakukan dalam suatu program
penyusunan PP dan PERPRES
Tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
diatur dengan Peraturan Presiden
PERENCANAAN PUU
Perencanaan penyusunan PERDA dilakukan dalam Prolegda :
a. Penyusunan Prolegda/Propemperda di lingkungan DPRD – Balegda/Bapperda;
b. Penyusunan Prolegda/Propemperda di lingkungan Pemerintah Daerah – Biro Hukum
pada Pemerintah Provinsi atau Bagian Hukum pada Pemerintah Kabupaten/Kota;
c. Penyusunan Prolegda/Propemperda antara DPRD dan Pemerintah Daerah
dikoordinasikan oleh DPRD (Balegda/Bapperda);
d. Tata cara penyusunan Prolegda/Propemperda diatur oleh Peraturan DPRD.
Garis Besar Proses Pembentukan Uu/Perda
1. Proses persiapan di lingkungan Pemerintah/Pemerintah Daerah atau di DPR/DPRD
(Hak Inisiatif)
2. Proses Pembahasan di DPR/DPRD
3. Proses Pengesahan oleh Presiden terhadap UU, Penetapan PERDA Provinsi oleh
Gubernur dan Penetapan PERDA Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.
4. Proses Pengundangan
Dasar Hukum Peralihan Keputusan Mengatur Menjadi Peraturan
Pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau Keputusan pejabat lainnya yang sifatnya mengatur, yang sudah
ada sebelum UU ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan sepanjang tidak
bertentangan dengan UU ini
PERTEMUAN IV
HUBUNGAN HUKUM PIHAK-PIHAK DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Dalam perspektif perkembangan teori dan doktrin hukum, hubungan antara PASIEN
dengan DOKTER semula adalah bersifat SANGAT PRIBADI Artinya, hubungan tersebut
didasarkan atas dasar kepercayaan penuh pasien pada dokter untuk menyembuhkan
penyakitnya yang kemudian dengan itu melahirkan TRANSAKSI TERAPIUTIK
Namun dalam TRANSAKSI TERAPIUTIK tersebut nuansa perjanjian transaksionalnya
masih berpola VERTIKAL PATERNALISTIK. Maksudnya, kedudukan dokter tidak
sederajat (alias lebih tinggi) daripada pasien. Karena pasien dalam posisi tidak tahu apa-
apa tentang penyakitnya dan memasrahkan penuh upaya penyembuhannya pada dokter
Berdasar kontrak terapiutik di atas dokter kemudian memainkan peran yang besar dan
relatif dominan dalam proses dan upaya penyembuhan penyakit pasien. Namun demikian
, sifat peran dokter dapat diibaratkan seperti Bapak Yang Sedang Menghadapi
Masalah Anaknya => Father Knows Best Principle => Inilah letak pola/sifat
Paternalistik
Selanjutnya hubungan antara PASIEN dengan DOKTER berkembang dan berubah
menjadi bersifat HORIZONTAL KONTRAKTUAL.
Artinya, hubungan PASIEN-DOKTER adalah hubungan dua pihak dalam kedudukan
yang sejajar / sederajat yang sedang mengikatkan diri dalam suatu kontrak (perjanjian)
=> INSPANNINGS VERBINTENIS
Sebagai suatu perjanjian pula, maka bagi kedua belah pihak (PASIEN-DOKTER)
masing-masing tentu memiliki HAK-HAK tertentu dan terikat untuk melaksanakan
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN tertentu
Hukum perdata
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian (Wanprestasi) tersebut dapat berupa :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaan dan hasilnya.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
Pasal 1365
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian
tersebut”
Pasal 1366
“Seorang apoteker selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum
seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan
kerugian”
Pasal 1367
“Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya”
Undang-undang No.36 tahun 2014 pasal Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian
Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan alat
kesehatan Pasal 43
Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat
atau kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam bidang kesehatan(Universal Declaration
of Human Rights)
1. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care),
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to information),
3. Hak untuk ikut menentukan (the right to determination).
Hak mendapatkan kesehatan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 4-8
antara lain :
1. Kesehatan
2. Akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
3. Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
4. Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
5. Lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
6. Informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
7. Informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Contoh Kasus Hukum dimana Hak informasi pasien yang tidak dipenuhi
Kasus Prita
Kasus Prita dan dr. Ayu ini pasien merasa tidak mendapat informasi yang jelas dan
jujur dari dokter yang merawatnya dan tidak mudah mendapatkan informasi
Prita Mulyasari dapat diambil beberapa fakta yang berhubungan dengan hak pasien atas
informasi yakni :
Pasien ingin mendapat penjelasan mengenai penyakit dan semua terapi yang
didapatkannya.
Ada kesalahan dari pihak dokter dan rumah sakit mengenai informasi awal yang
diberikan terhadap pasien dan cara dokter/rumah sakit menjelaskannya kurang
memuaskan pasien.
Keingintahuan pasien pasien yang begitu besar dan meminta kejujuran dokter dan
rumah sakit sehingga seolah-olah dokter dan rumah sakit kewalahan menjelaskannya.
Pasien meminta catatan medik selama dia dirawat terutama hasil laboratorium yang
menyebabkan dia dirawat di rumah sakit tersebut.
Kasus Dokter Ayu
dr.Dewa Ayu Sasiary Prawan yang merupakan dokter spesialis kebidanan dan
kandungan di rumah sakit Dr Kandau Manado
Pasiennya meninggal dunia, keluarga pasien/korban adalah orang yang pada posisi
tidak mengetahui proses persalinan secara medis yang benar
Rumah Sakit/tenaga medisnya tidak memberikan penjelasan atau informasi yang baik
dan benar ke keluarga pasien
Kesalahan persepsi karena tidak diberikan penjelasan, misalnya tentang observasi
yang dilakukan oleh dokter dianggap oleh keluarga pasien sebagai suatu pembiaran
yang terlalu lama dan keadaan gawat darurat yang menjadi otoritas dokter dalam hal
menentukan kapan keadaan gawat darurat
1) Pandangan Paternalisme
• Pasien tidak memiliki pengetahuan medis sehingga pasien cukup mengetahui bahwa
kenyataannya dokter sedang melakukan upaya maksimal untuknya.
• Lebih baik tidak dibertahukan semuanya agar tidak mengganggu dan mempengaruhi
semangat dan kemampuan pasien untuk segera sembuh.
• Tidak ada gunanya memberikan kabar buruk kepada pasien jika prognosis bahwa
pasien itu akan meninggal
• Lebih baik jika keluarga pasien diberitahu, tetapi jangan diberitahu kepada
pasien,sebab pasien perlu dilindungi dari kabar buruk.
2) Pandangan Individualisme
• Hanya pasien yang berhak mengetahui informasi mengenai dirinya
• Lebih mudah dokter mengobati pasien yang sadar akan keadaan dirinya.
• Pasien sering marah karena tidak diberi tahu terlebih dahulu tentang efek samping
atau hal-hal yang menyakitkan menjadikan gangguan terhadap dirinya
3) Pandangan Moderat
• Mendengarkan pasien dengan seksama serta memperhatikan apa yang ingin diketahui
pasien.
• Tidak menghindar dari pertanyaaan pasien yang mendesak tetapi harus jujur,namun
tidak kasar.
• Tidak memaksakan informasi untuk diterima jika pasien belum siap untuk
mendengar.
• Berusaha menjelaskan kepad pasien dalam istilah awam atau bahasa sehari-hari
• Kebenaran harus diberitahukan dengan jelas, hati-hati dan mausiawi, jangan sekali-
kali kasar,dingin,tanpa member harapan, atau tanpa kasihan.
• Jangan sekali-kali meninggalkan pasien atau keluarganya tanpa member harapan
sedikitpun walaupun hanya dengan jaminan dokter akan berusaha semaksimal
mungkin.
Kesimpulan
1. Bahwa aturan hukum yang ada di Indonesia terkait dengan hak pasien untuk
mendapatkan informasi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia secara eksplisit sudah
ada dalam peraturan perundang-undangan.
2. Kasus-kasus penuntutan pasien terhadap tenaga medis maupun sarana kesehatan di
karenakan hak informasi kepada pasien tidak diperhatikannya oleh tenaga medis
maupun sarana pelayanan kesehatan.
3. Hak mendapatkan informasi kesehatan merupakan hak yang harus didapatkan seorang
pasien untuk dapat menentukan nasibnya sendiri dalam pelayanan kesehatan.